POV Citra :
Sudah jam enam sore, tinggal satu jam lagi dan aku bisa pulang. Shift siang kali ini lumayan melelahkan, weekend dan banyak pelanggan datang untuk mengisi bensin. Ya, aku memang seorang pegawai di SPBU, bersama dengan beberapa pegawai wanita lainnya.
Kami biasa mengisi shift pagi dan siang, sementara shift malam hanya untuk para pegawai lelaki saja. Padahal aku senang-senang saja kalau dapat shift malam, tapi memang peraturannya tidak memperbolehkan wanita untuk bekerja malam hari, apalagi sampai subuh mengingat SPBU ini buka 24 jam.
“Cie yang mau gajian, senyam-senyum mulu. Udah check out keranjang Syopie belum nih?” salah satu teman kerjaku menyikut pinggang, sambil bercanda.
“Haha, keranjangku 99 plus-plus nih. Musti gajian sekoper dulu biar bisa check out semua.” Sahutku bercanda juga.
Kami lalu tertawa, sama-sama tahu jika gaji kami tak akan bisa membeli semua barang dalam wishlist aplikasi belanja online. Gaji UMR, tak ada bonus, tak ada asuransi kerja, bisa dapat THR saja sudah sangat bersyukur.
Sebuah mobil keluaran terbaru memasuki area SPBU, mengisi bahan bakar di tempatku bertugas. Kaca jendela diturunkan, seorang wanita cantik dengan rambut keriting, berkaca mata hitam dan mengenakan blazer yang modis.
“Diisi sampai penuh ya mbak?” ujarnya sopan, aku mengangguk dan segera melaksanakan permintaannya.
Aku suka melayani orang-orang yang seperti ini. Terlihat berkelas, pendidikan tinggi. Wanita dalam mobil ini menyetir sendiri, ia juga cantik dan terlihat sangat mandiri. Jika hidupku lebih baik, apakah aku juga akan hidup seperti dia? Bukannya berdiri dekat pompa bahan bakar dan mengenakan seragam SPBU dengan aroma bensin yang kuat seperti sekarang.
Tapi aku tak boleh mengeluh sebenarnya, bisa dapat kerja tetap pun sudah bagus untukku yang lulusan SMA ini.
Telepon di kantor berdering nyaring, di area SPBU memang tidak ada telepon seluler yang menyala. Jadi saat telepon kantor berbunyi, pasti ada telepon untuk salah satu pegawai di SPBU.
“Citra, telepon buat kamu!”
“Hah? Oh iya tunggu sebentar, ini belum selesai...”
“Biar aku yang teruskan Cit,” temanku menawarkan diri untuk menyelesaikan pengisian bensin.
“Oke, makasih ya?”
“Iya, sana cepetan. Takutnya ada hal penting.”
Kuanggukkan kepala dan bergegas menuju kantor, menerima telepon yang disodorkan staff.
[Kak, ini ayah. Tolong ke kantor polisi, adek kamu kena masalah lagi.]
Lututku langsung lemas, mendengar suara ayah terbata-bata di ujung telepon. Adikku satu-satunya, tak pernah bosan berbuat onar. Masalah apa lagi yang sedang ia perbuat saat ini?
********
Kugenggam amplop cokelat berisi gajiku bulan ini, uang yang tadinya akan kupakai untuk mencicil hutang ayah dan membayar tagihan ini itu di rumah. Terpaksa kuminta lebih awal sebab aku tahu pastinya harus mengeluarkan uang untuk ganti rugi.
Begitulah siklus hidup adikku.
Buat onar, ganti rugi atau uang damai, buat onar lagi, ganti rugi lagi. Aku tak paham maunya apa, sekolah tak lulus, ingat pulang ke rumah juga tak pernah. Apalagi untuk membantu ayah dan aku, mungkin harus menunggu dunia kiamat dulu, baru dia mau.
Ia hanya ingat keluarga saat kena masalah. Setelah masalahnya beres? Ia akan kembali ke jalanan. Aku menyayangi dia, namun sekaligus juga begitu benci padanya.
Sesampainya di kantor polisi, nampak ayah berdiri dengan gusar di pintu masuk dan adikku duduk terpekur di dalam ruangan. Di kursi seberangnya ada seorang lelaki muda dengan penampilan rapi, sepertinya adikku membuat masalah dengan orang yang salah saat ini.
“Kak! Ya Tuhan, syukur kamu sudah datang kemari. Itu, adikmu...”
“Kenapa lagi dia, Yah?”
“Dia...dia ngebaretin mobil orang kaya waktu lagi ngamen di lampu merah dan orang itu enggak terima.”
Dadaku langsung sesak, kulirik sebuah mobil yang terparkir di depan kantor polisi, ada baret memanjang dari pintu depan hingga hampir ke bagian belakang mobil. Berapa juta Rupiah yang harus kukeluarkan untuk mengganti rugi?
Kakiku terasa lunglai, merasa sangat lelah dan ingin menyerah. Apa kali ini kubiarkan saja adikku dipenjara? Sepertinya jika kuberikan semua gajiku pun tak akan cukup untuk biaya ganti rugi.
“A-anu mas, ini anak saya. Kakaknya Angga...”
Lelaki muda berpenampilan rapi itu menatapku, tatapannya tajam dan tak ada riak muka apapun terlihat. Ia sangat tenang, nyaris tanpa emosi dan itu malah membuatku merasa makin ciut. Orang semacam ini akan sangat susah untuk diajak bernegosiasi sebab mereka tipikal orang yang mendominasi.
“Kamu kerja di pom bensin?” tanyanya, aku mengangguk sambil meremas amplop cokelat di depan dada. Gajiku yang bahkan belum kulihat isinya, sekarang kita harus berpisah.
“Mas, saya bener-bener enggak punya uang lagi. Ini gaji saya, semuanya buat mas. Semoga mas mau kasih keringanan buat saya. Saya bener-bener enggak mampu buat ganti rugi mobil mas di luar!” kusodorkan amplop gajiku padanya memakai kedua tangan, dengan wajah yang menunduk menatap lantai dan kakiku yang berdebu.
Aku tak punya muka untuk menatap wajah lelaki itu, malu sekali rasanya. Aku harus menghiba, demi sedikit keringanan yang mungkin akan dia berikan. Siapa tahu ia masih memiliki sisi kemanusiaan, mau memaafkan adikku yang kurang ajar karena melihatku yang menyedihkan seperti ini.
“Memangnya berapa gaji kamu?” tanyanya lagi,
“Aah, ini...dua jutaan.”
“Ckk.”
Jantungku rasanya disobek mendengar suara decakan lidahnya itu, sudah pasti nominalnya jauh sekali dari angka yang ia inginkan untuk ganti rugi.
“Kamu mau ganti rugi? Dua juta itu enggak cukup. Tapi aku punya penawaran buat kamu.”
“Pe-penawaran?”
Mukaku langsung terasa dingin, aku merasa ada hal buruk yang akan terjadi kepadaku.
********
POV Raka
Hari ini sebenarnya diawali dengan baik, saat pagi hari aku mendapatkan telepon dari ayah yang mengatakan bahwa ia sudah menemukan calon untukku. Begitulah, aku di usia 30 tahun ini diwajibkan untuk segera menikah. Karena menurut mereka aku tak becus mencari pacar, jadilah ayah dan ibuku yang mencarikannya untukku.
Maureen.
Dia adalah teman masa kecilku, puteri tunggal dari Kevin Widjaya pemilik Widjaya Group. Pengembang real estate kenamaan yang sedang naik daun, sehingga menurut ayahku yang memiliki perusahaan di bidang furniture mewah, akan menjadi gabungan dua keluarga yang sangat bagus.
Terus terang, sejak lama aku menaruh hati padanya. Gadis cantik dengan mata sipit dan kepribadiannya ceria. Hanya saja aku memang tak punya nyali untuk menyatakan perasaan, sehingga kami cuma berteman sejak lama.
[Raka! Aku tuh enggak mau dijodohin sama kamu, kan kamu tau kalo kita ini kakak adekan. Mana ada aku harus nikah sama kamu...]
Kata-kata Maureen saat kutelepon sangat menyakitkan, tak kusangka ia akan menolak mentah-mentah. Lagi-lagi aku tak bisa bicara apapun, melainkan hanya mengiyakan kata-katanya saja.
[Kasih tau ayahmu doong, aku udah ada pacar soalnya. Lagian, hari gini masih aja jodoh-jodohan. Enggak banget!]
[Lho, kamu udah ada pacar? Kok enggak bilang ke aku?]
[Eheheh...maaf lupa! Udah seminggu ini sih, aku sama Jonas jadian...]
[Jonas? Jonas temen kita?]
[Iyaaa. Enggak nyangka kan kalo dia juga naksir aku? Jadi, dia itu ternyata....bla...bla...bla...]
Aku tak bisa mendengar apa yang Maureen katakan selanjutnya, telingaku langsung tuli mendapatkan penolakan dan kenyataan yang menyakitkan.
Aku yang pengecut, merasa hanya selangkah lagi untuk mendapatkan gadis yang kuinginkan. Namun ternyata ia menolak, dan sialnya ia malah berpacaran dengan teman di circle kami. Jonas, si bocah playboy sialan itu.
Dengan hati yang terbakar cemburu, aku pun memacu kendaraanku untuk pergi ke apartemen Jonas. Aku hanya ingin mengetahui seberapa serius ia dengan Maureen, jangan sampai ia dijadikan permainan sesaat saja.
Seakan menambah ruwetnya hari ini, segerombolan anak jalanan di lampu merah mengamen dengan kasar. Mereka memaksa dengan mengetok-ngetok kaca mobilku,
“Ayolah bang, abang kan udah kaya. Masa mau pelit kasih kami 100 ribu sih bang? Bang! Hey!”
Rasanya ingin kuhantam saja kepala mereka, seenaknya saja minta uang. Ingin uang? Kerja. Bukannya malah di jalanan dan mengamen begini. Mengamen di jalan bukan bekerja, itu memalak dengan ‘gaya’!
Kreeeeetttt!
Mataku langsung melotot mendengar suara itu, dan kulihat salah satu anak jalanan menggores bodi mobilku dengan pisau belati kecil. Tanpa banyak bicara kubuka pintu mobil dan kutangkap anak itu, sementara yang lain berhamburan kabur entah kemana.
Lalu di sinilah aku, di dalam kantor polisi bersama seorang anak jalanan dengan pakaian punk yang belel, berbau keringat dan sedikit pesing. Polisi yang menangani aduan kasusku pun sepertinya malas-malasan mengurusnya, apa daya, aku hanya ingin berikan pelajaran pada bocah ini.
“Pak tolong teleponin ayah saya dong, saya pengen pulang nih.”
Bocah sialan itu dengan santai meminta salah satu polisi untuk menelepon orangtuanya. Dasar bocah tengik, hidup di jalanan sesuka hati, saat kena masalah tetap saja butuh orangtua untuk menyelesaikan masalah yang mereka buat.
Tak lama berselang, seorang lelaki yang mungkin tak jauh lebih tua dari ayahku datang. Pakaiannya sederhana, dan bisa kulihat jaket hijau tersampir di sepeda motornya, mungkin ia driver ojol. Lelaki itu bertanya masalah yang terjadi dan mukanya langsung pucat pasi setelah tahu kejadian sebenarnya.
Setelah meminta maaf padaku, ia pun meminta izin untuk menelepon anak sulungnya terlebih dahulu. Anak jalanan itu nyengir padaku,
“Ayah mau telepon kak Citra, dia yang bakalan bayarin ganti rugi mobil abang. Tenang aja, dia kerja keras supaya bisa gajian banyak dan pasti bisa ganti rugi.”
“Kamu sering bertingkah begini?”
“Bertingkah apa bang? Ini aku cuma menyuarakan kebebasan! Ketimpangan sosial antara si kaya dan si miskin!”
Aku hanya bisa terpana mendengar ucapan bocah di hadapanku ini, ketimpangan sosial katanya. Kalau mau kaya ya kerja, bukannya malah menyalahkan orang kaya. Memangnya orang kaya dapat duit banyak hasil rebahan seharian?
Bocah tolol.
Beberapa menit berlalu, kemudian datang seorang gadis muda dengan seragam merah khas SPBU. Terengah-engah masuk ke kantor polisi dengan membawa sebuah amplop cokelat. Ini kah kakak yang disebutkan oleh bocah tadi?
“Kamu kerja di pom bensin?” tanyaku, menanyakan sesuatu yang sebenarnya sudah aku tahu.
Melihat seragamnya saja sebenarnya sudah jelas, ditambah lagi bau bensin melekat pada pakaian yang ia pakai. Kasihan, mungkin ia lari-lari untuk sampai ke kantor polisi. Ia bahkan belum melepas tas pinggangnya, yang biasa digunakan untuk menyimpan yang dari costumer. Sepatunya berdebu, dan mukanya berkeringat.
“Mas, saya bener-bener enggak punya uang lagi. Ini gaji saya, semuanya buat mas. Semoga mas mau kasih keringanan buat saya. Saya bener-bener enggak mampu buat ganti rugi mobil mas di luar!”
Ia tiba-tiba menyodorkan amplop yang ia pegang ke hadapanku, bisa kulihat mukanya menahan malu dan menahan tangis. Mungkin ia sangat sayang dengan uang yang akan ia berikan padaku, namanya juga uang hasil kerja.
“Memangnya berapa gaji kamu?” tanyaku lagi.
“Aah, ini...dua jutaan.”
“Ckk.”
Kerja keras sebulanan jadi penjaga SPBU hanya dua juta? Kasihan sekali. Lalu sekarang uangnya malah akan dipakai untuk membayar kelakuan adiknya itu? Hah, apa yang harus kulakukan? Terus terang aku sebenarnya tak mau ganti rugi, aku hanya ingin memberikan pelajaran pada bocah tengil itu.
Lagipula dua juta tak akan cukup untuk menyelesaikan masalah lecet di mobilku itu.
Entah setan macam apa yang lewat, tiba-tiba saja aku teringat kedua orangtuaku yang terus menerus cerewet memintaku untuk segera menikah. Lalu aku teringat Maureen yang malah pacaran dengan Jonas, rasa benci dan ingin membalas dendam tiba-tiba membara.
Ide gila pun muncul.
“Kamu mau ganti rugi? Dua juta itu enggak cukup. Tapi aku punya penawaran buat kamu.”
“Pe-penawaran?”
Kulihat mukanya langsung pucat memutih, terus terang aku juga tak yakin apa ideku ini tak akan timbulkan masalah apapun. Tetapi aku saat ini sangat ingin membalas Maureen, aku ingin membuatnya cemburu.
“Ya, kamu harus menikah denganku.”
“Apa?!”
Bruk!
Tiba-tiba ayah dari gadis itu dan si bocah jalanan jatuh pingsan, membuat kami panik seketika.
Aduh, memangnya sebegitu mengagetkannya kah jika meminta seseorang untuk menikahi kita?
*********
POV CitraSatu minggu belakangan terasa bagaikan mimpi, aku yang tadinya seorang gadis pekerja di pom bensin, seketika menjadi istri dari seorang lelaki yang kaya raya. Aku mungkin sudah sangat lelah dengan semua hal yang terjadi, sudah sangat lelah menjadi tulang punggung keluarga, mengambil alih dan menyelesaikan semua masalah di rumah bagai kepala keluarga.Aku sudah terlalu lelah menjadi orang miskin, yang bekerja banting tulang demi dua juta Rupiah yang hampir tak pernah kucicipi rasanya.Aku sudah terlalu gila, hingga akhirnya kuterima penawaran yang diberikan oleh Raka.Untuk menikah, dan mengikuti semua kata-katanya tanpa perlu banyak bicara.“Saya terima nikah dan kawinnya, Citraloka binti Ahmad Fahrudin dengan mas kawin logam mulia seberat 50 gram, tunai!”Lelaki bernama Raka Ageng Nataprawira tersebut mampu mengucap ijab qabul dengan satu kali percobaan, begitu lantang, percaya diri, tanp
POV CitraMalam pertama sebagai istri, berakhir dengan tidur saling membelakangi dengan suami. Aku benar-benar merasa malu dan kehilangan harga diri. Seolah-olah aku ini memang sangat ngebet ingin menjadi istri Raka, ingin melakukan hubungan suami istri dan sebagainya.Padahal bukan begitu...Ahh, andai saja aku sedikit lebih jual mahal.Maksudku, jangan mentang-mentang sudah menikah maka aku langsung mau berhubungan intim dengan dia. Masalahnya adalah kami berdua bahkan belum kenal betul!Kenapa pula aku bisa dengan polosnya memakai lingeri itu, lalu mempertontonkan tubuhku yang setengah telanjang di depan dia? Sudah begitu dia malah menolak pula.Malu sekali, juga sedikit agak terhina.“Citra, hari ini ayahku mengajak makan malam di rumahnya. Jam lima kita berangkat, jadi pastikan sebelum jam lima kamu udah siap, ya?” Ujar Raka, tanpa menoleh kepadaku.“Baik,” sahut
POV RakaBetul sekali dugaanku, selera berpakaian Citra memang sangat kampungan. Ia memilih memakai celana jeans dan kemeja tartan untuk pergi makan malam dengan keluarga dan Claudia. Memangnya mau pergi ke mall?Tak salah jika aku sudah menyiapkan berbagai setelan pakaian untuk stoknya selama menjadi istriku di sini, dari mulai pakaian dalam sampai baju tidur, pakaian formal dan sepatu serta aksesoris semuanya sudah aku bantu siapkan.Kasihan juga jika ia tidak kusiapkan barang-barang ini, ia pasti lebih bingung lagi untuk berpakaian, menyesuaikan diri dengan kehidupan dia yang baru.Memang sih bisa beli langsung saat ia butuh, tapi masalahnya aku khawatir seleranya tidak sesuai denganku. Jangan sampai dia kalap seperti OKB kebanyakan, selera kampungannya tetap dibawa walau sudah jadi orang kaya.Itu akan sangat memalukan.Tapi syukurlah, ia tidak ngeyel dan menurut dengan apa yang kukatakan. Ia juga cukup pan
POV Citra:Hari keduaku sebagai seorang istri, bangun pagi dan langsung bingung harus lakukan apa. Biasanya pagi hari bergegas masak, menyiapkan sarapan untuk ayah dan untukku sendiri. Setelah makan dengan nasi goreng sederhana atau telor ceplok, maka aku dan ayah akan berangkat kerja.Adikku? Dia pulang ke rumah kurang dari sebulan sekali. Kami biasanya bertemu di jalanan, berpapasan saat menunggu di lampu merah. Kadang bertemu di pos satpam, atau kantor polisi seperti kemarin, saat ia terkena masalah dan butuh keluarga untuk menyelesaikan masalahnya.Dasar anak sialan.Aku menyayangi dia, dulu dia anak yang lucu dan penurut. Tapi sejak ibu pergi entah kemana, akhirnya ia jadi berandalan dan tak pernah pulang ke rumah.Aku masih ingat saat pertama kali ia kabur dari rumah, ayah dan aku berhari-hari menyebar poster anak hilang, melapor ke kantor polisi dan mencari kemana-mana. Tak tahunya ia ditangkap satpol PP di kot
POV Citra:Rasanya aneh, aku diajak tinggal di rumah besar ini setelah menikah dengan Raka. Namun sejak terakhir kali kami pergi ke rumah ayahnya, Raka sama sekali tak mengajak aku bicara barang sepatah kata pun.Apalagi sejak kedatangan Maureen, bisa kulihat jika Raka begitu gembira dengan kedatangan gadis bule Indo itu.Sekarang saja dia sedang mengobrol dengan asyik di ruang membaca, sambil menikmati biskuit dan susu hangat di atas meja. Sementara aku? Masih mengenakan piyama, rambut yang kusut dan diikat sekadarnya, diam-diam mengintip mereka berdua dari lantai dua.Maureen gadis yang cantik, tubuhnya langsing dan kulitnya bersih. Pembawaannya juga begitu berkelas, caranya duduk, berjalan, setiap kali ia menyibak rambut panjangnya terlihat sangat feminim dan mewah.“Kalo aku rajin skincare-an, bisa kayak dia juga enggak ya?” tanyaku setelah kembali ke kamar.Kupandang wajahku di cermin, kusam dan tidak menari
POV Raka: Mungkin begini ya rasanya jika Maureen menjadi istriku? Dia bersamaku siang dan malam, menemaniku mengobrol, berbagi berbagai cerita. Dia juga memasak untukku, lucu sekali melihat tubuh mungilnya hilir mudik di dapur.Ia terlihat berusaha keras untuk belajar memasak, padahal aku tahu ia gadis yang anti sekali menyentuh dapur. Cuma kasihan sekali ia tadi mengangkat panci presto berisi dua kilo iga sapi, tangannya yang mungil tak kuat menahannya sampai-sampai jatuh ke lantai.“Hati-hati, kan mama udah bilang kalo enggak kuat biar mama aja yang angkat...kena kaki, enggak?” tanya mama, sambil mengisyaratkan supaya seorang pelayan merapikan iga dan panci yang berantakan.Namun Citra yang langsung bergerak karena memang ia yang ada paling dekat, dibereskan lalu dibawa ke bak cuci untuk dibersihkan lagi.Aku terharu melihat mama yang perhatian dengan Maureen, mereka bisa menjadi menantu dan mertua yang serasi.
POV Citra:Sepanjang malam aku tidak bisa tidur, mengingat kata-kata Raka kemarin. Tentang poligami.Tak tahu apa yang ada dalam pikiran lelaki itu, mengapa tiba-tiba malah ingin poligami? Kenapa memaksakan diri memiliki dua istri, padahal jika dia mau tinggal ceraikan saja aku dan menikah dengan perempuan yang ia idamkan.Sejak awal memang perjanjian perkawinan kontrak ini sangat aneh.Aku saja yang terlalu bodoh dan gelap mata, sampai mau-mau saja jadi istri kontrak.Seperti malam-malam sebelumnya, Raka dan aku tidak tidur bersama dalam satu kamar. Kami tidur di kamar masing-masing dalam mansion besar dengan nuansa warm white ini. Kamarku berseberangan dengan kamar Raka, yang bersebelahan dengan kamar Maureen.Pagi ini aku keluar kamar, lalu berpegangan pada railing tangga yang mengelilingi area kosong di bagian tengah lantai dua. Jadi dari lantai ini aku bisa melihat ke lantai bawah, kurang
Citra“Aaah, aku paham sekarang. Kamu menikahi Citra untuk bikin Maureen cemburu? Iya kan?!”Ucapan lelaki yang mirip dengan Lee Dong Wook itu kembali terngiang di telingaku, meninggalkan rasa kesal dan marah yang menyala di dalam dadaku. Tapi dipikir-pikir lagi, kenapa aku harus marah?Lagipula memang sejak awal pernikahan pun sudah dijelaskan, Raka menikahi Citra untuk satu alasan. Dia tak perlu tahu, dan tak berhak untuk protes. Dia sudah dapat uang muka, yaitu pelunasan hutang ayahnya.Kalau ternyata memang perkawinan ini untuk membuat Maureen cemburu, lantas memangnya kenapa? Ya sudah, terima saja.Pantas jika Raka begitu peduli dengan gadis bule itu, bahkan sekarang juga ia sedang mencoba untuk menghibur Maureen. Sejak kemarin ia memang merajuk, ketika tahu Jonas datang kemari untuk mencarinya, namun tidak ada yang memberitahu dia.
Selama berada di depan Raka, Citra tidak menangis sama sekali, sebab semua tangisnya sudah habis. Malah Raka yang menangis, ia terlihat sangat menyesali semua yang ia rasakan saat ini. “Maafkan aku Citra, maafkan aku. Aku bahkan tak pantas untuk menggendong anak kita.. karena semua kelakuanku di masa lalu.” Citra tak menanggapi hal itu, biarkan saja Raka dengan penyesalannya sendiri. Ini salah satu cara untuk mengikhlaskan semuanya. Lagipula mau minta pertanggungjawaban dalam bentuk apa? Raka saja nyaris tak bisa menghidupi dirinya sendiri. Tak mau berlama-lama, Citra mengajak Angga pergi. Raka yang masih bercucuran air mata meminta untuk menggendong Hana sebentar. “SIlahkan,” sahut Citra. Walau sangsi, ia tetap memberikan Hana untuk digendong. Selama beberapa saat Hana dalam gendongan ayahnya sendiri, ia sangat anteng dan cuma mengoceh kecil sementara Raka makin banjir dalam air mata penyesalan. Tak berselang lama, Maureen datang sambil kesusahan menggunakan kursi rodanya. “Rak
Walaupun baru beberapa bulan saja Citra tinggal bersama bu Susi dan Anwar, tetapi perpisahan yang terjadi antara mereka cukup menyedihkan. Ketiganya menangis dengan haru bercampur sedih, namun mereka sama-sama berjanji supaya bisa tetap saling berkomunikasi walaupun sudah tak bersama.Citra kembali ke kampung halamannya, di mana ayah dan adiknya tinggal. Juga tentu saja Raka.Tetapi dia tak begitu peduli dengan Raka, bukan urusannya lagi sekalipun harus tinggal satu daerah dengan lelaki yang sudah mengacaukan hidupnya yang damai.Memang, saat belum menikah dengan lelaki itu dirinya juga dipusingkan dengan kelakuan Angga, tetapi paling tidak batinnya tak terluka sedalam saat bersama dengan Raka.Sebab karena Raka juga, dirinya mengalami patah hati dan rasa kecewa yang luar biasa karena dibohongi oleh orang yang telah ia percayai. Bahkan Citra juga sudah memikirkan kemungkinan jika dirinya akan mempercayakan hatinya juga pada Jalu.Iya, Jalu.Lelaki itu tipe pendamping yang sempurna, de
POV RakaCitra tak main-main dengan apa yang telah ia katakan dua bulan yang lalu, di rumah sakit, ketika lukanya masih berdarah dan bayi kecil kami masih belum terbuka matanya.Dia benar-benar pergi, meninggalkan semuanya. Masa lalunya, termasuk aku yang ternyata bukan siapa-siapa untuknya, sekalipun ada darahku dalam tubuh gadis mungil dalam pelukannya itu.Ah andai saja dulu aku tahu hidupku bakal sesusah ini, niscaya aku tak akan berkata hal yang buruk tentang anak kami. Paling tidak, aku tidak akan merasakan penyesalan sedalam ini.Aku akui, dahulu diriku memang sangat buta dan mengahalalkan segala cara, aku sangat takut jatuh miskin, apalagi dengan adanya papa dan Maureen yang menjadi tanggunganku.Kuakui saat itu menjadi kesalahan besar yang telah kulakukan, setelah banyak kesalahan lain yang telah kulakukan dan menyakiti hati Citra. Aku berangkat bukan untuk benar-benar menemui Citra, dan buah hati kami.Tetapi untuk memaksanya kembali denganku, dan meminta bagian warisan dar
Raka mengusap wajahnya dengan kasar, lalu berkacak pinggang sambil memalingkan mukanya ke arah lain. Ke mana pun, asal tak perlu bertatapan dengan Jalu.Ia merasa jika Jalu memiliki semacam kemampuan untuk mengintimidasi orang lain. Entah karena memang dirinya yang terlalu pengecut, Raka tidak terlalu paham akan hal itu.“Mau apa datang ke mari? Mengacaukan semuanya lagi, hah?” desak Jalu.“Terus salahku di mana? Aku cuma mau ketemu anak istriku. Aku cuma mau mengatakan yang sebenarnya saja. salah?!”“Masih berani tanya salahmu di mana? Hmm. Kau lupa dengan semua yang telah kau lakukan pada Citra? Pernikahan kontrak itu, tindakanmu yang semena-mena padanya cuma karena ingin menyenangkan Maureen?”Raka jengah, ternyata Jalu juga tahu sampai sedetail itu.“Tau dari mana kamu? Jangan sok tau!”“Aku bukan sok tau, aku memang sudah tau. Kamu juga tak mengakui darah dagingmu, sampai Citra harus pergi jauh sekali. kalau aku jadi kamu, aku tak akan pernah menampakkan mukaku lagi di depan Citr
Citra berusaha untuk bangkit dari tidurnya, namun ia merasa kepalanya begitu berat dan ditambah lagi luka di perutnya terasa makin nyeri saja.“Duh, perutku sakit banget..” keluhnya sambil memegang perut, dan ia merasa jika perutnya sudah diperban lagi.Terakhir ia ingat jika dirinya sudah melepaskan perban saat berlari, karena perbannya sudah basah oleh darah dan perekatnya lepas. Tapi sekarang benda itu sudah diganti dengan yang baru, demikian juga pakaian yang ia kenakan.“Bu Susi pasti bawa aku ke mari.. aduh ya Tuhan, mau bayar pakai apa?” keluhnya lagi sambil menahan tangis.Tetapi ia tak bisa menangis, sebab dalam pikirannya kini hanya bayinya, bayinya dan bayinya. Urusan bayar rumah sakit, atau rasa nyeri yang tak tertahankan ini, semua masih bisa dipikirkan nanti.Bagaimana dengan bayinya yang masih merah? Di mana dia sekarang? Bersama siapa? Bagaimana jika dia ingin minum susu?“Ya Tuhan, kuatkan aku..”Citra turun dari ranjang, dan melepas infusan yang menempel di tangannya
Citra baru menyelesaikan makannya, dan bayi kecil yang baru saja dia lahirkan masih tidur terlelap tanpa menangis, rewel atau apapun. Setahunya, bayi baru lahir memang tidak terlalu banyak menangis, bahkan cenderung lebih banyak tidur.Maka karena itu dirinya harus memaksimalkan waktu, harus mampu memulihkan diri dalam waktu cepat namun juga harus bisa bekerja.Citra keluar kamar dan menutup pintunya rapat, ia berniat mengantarkan piringnya ke depan sambil bertanya apakah ada yang bisa dia bantu. Bagian belakang rumah sekaligus warung makan ini tidak dipagar, melainkan langsung mengarah ke kebun yang cukup padat tumbuhannya.Sejauh yang Citra lihat, ada beberapa batang pohon jengkol, rambutan dan pohon-pohon besar berbuah lainnya. Di ujung kebun yang cukup jauh terlihat ada jalan setapak kecil yang entah mengarah ke mana.“Agak ngeri juga ya kalau begini? Tapi enggak apa-apa. Siapa juga yang mau datang ke mari?” gumam Citra, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri.Di dalam kepalany
Kamar yang diberikan untuk Citra adalah sebuah ruangan yang cukup untuk satu kasur single, ada lemari pakaian dan kipas angin. Satu pintu di bagian depan dan di sebelahnya ada jendela yang lumayan besar, dengan gorden yang bersih. “Syukurlah, tempatnya bersih. Aku bisa menidurkan anakku dulu, sementara aku makan. Aduh, perutku.. “ keluh Citra, sambil memegang bagian bawah perutnya. Ia khawatir jika luka jahitannya berdarah, atau parahnya jahitannya lepas. Tetapi saat ia melihat bagian bawah perutnya, sepertinya baik-baik saja. Semoga memang tak ada masalah apapun. “Permisi kak, ini nasinya dari depan.” Remaja lelaki anak pemilik warung nasi mengantarkan makanan Citra, bahkan sudah ditambah dengan es teh manis dan juga ayam goreng. “Makasih. Eh iya, nama kamu siapa Dek?” “Anwar, kak. Kalau Kakak siapa?” “Citra.” “Oh Kak Citra. Ya udah selamat makan dan istrirahat kak, kalau ada butuh apa-apa tinggal panggil aja aku di depan.” Citra mengangguk dan berterima kasih. Ia benar-benar
Selama hampir setengah jam Citra hanya duduk termangu di depan toserba, ia masih menggendong bayinya dalam posisi yang sama seperti saat pertama ia datang ke tempat ini. Jalanan di depannya masih ramai, beberapa orang yang melintas melihat dia dengan tatapan aneh.Wajar, semua orang juga pasti akan merasa aneh melihat seorang wanita muda dengan bayi yang masih merah. Pakaiannya berantakan dan bahkan mukanya juga masih pucat, hanya saja tidak ada yang cukup peduli untuk bertanya keadaannya, atau bahkan curiga jika dia penculik bayi atau apalah.Tetapi pada kenyataannya memang Citra lebih suka tidak ada yang peduli padanya, ia benar-benar sedang tidak mau bicara dengan siapapun.Citra baru tersadar saat bayinya bersuara, tidak menangis, hanya merengek sedikit lalu kembali tidur.“Ahh, aku harus beli baju buat anakku. Kasihan.. nanti dia mau pake apa?” gumamnya sambil berdiri.Ia membetulkan letak tas yang tersampir di bahunya, memperbaiki
Para perawat dan bruder mengeluarkan semua orang yang ada dalam ruangan rawat Citra, dan membiarkan ibu muda itu berduaan saja dengan bayinya. Seorang perawat sempat memberitahunya bagiamana cara untuk menyusui bayi yang benar, dan Citra sangat bersyukur tentang hal itu.“Sayang, kita pergi dari sini yuk? Di sini udah enggak aman. Mama enggak mau hidup kamu kacau kayak mama. Padahal ini hari pertama kamu di dunia, tapi kamu udah dapat masalah begini. Maafin mama ya?” bisik Citra, ia mendekap bayinya dengan erat.Bayi mungil dalam dekapannya sudah dibalut dengan selimut bayi, ia turun dari ranjang untuk mencari barang-barang pribadinya. Ia terkejut melihat tas yang biasa ia gunakan sudah ada di lemari kecil dekat ranjang.Isinya masih lengkap seperti terakhir dia meninggalkannya, ada HP, dan dompet.“Baguslah, aku bisa pergi sekarang.” Gumamnya sambil menghela napas.Tidak ada pakaian ganti, tidak ada baju untuk si baby. Suda