POV Citra:
Sepanjang malam aku tidak bisa tidur, mengingat kata-kata Raka kemarin. Tentang poligami.
Tak tahu apa yang ada dalam pikiran lelaki itu, mengapa tiba-tiba malah ingin poligami? Kenapa memaksakan diri memiliki dua istri, padahal jika dia mau tinggal ceraikan saja aku dan menikah dengan perempuan yang ia idamkan.
Sejak awal memang perjanjian perkawinan kontrak ini sangat aneh.
Aku saja yang terlalu bodoh dan gelap mata, sampai mau-mau saja jadi istri kontrak.
Seperti malam-malam sebelumnya, Raka dan aku tidak tidur bersama dalam satu kamar. Kami tidur di kamar masing-masing dalam mansion besar dengan nuansa warm white ini. Kamarku berseberangan dengan kamar Raka, yang bersebelahan dengan kamar Maureen.
Pagi ini aku keluar kamar, lalu berpegangan pada railing tangga yang mengelilingi area kosong di bagian tengah lantai dua. Jadi dari lantai ini aku bisa melihat ke lantai bawah, kurang lebih mirip dengan desain rumah ayah Atra, mertuaku. Cuma di rumahnya bagian ini dipasang candelier yang menjuntai dari langit-langit rumah, sampai ke lantai bawah.
Di sini lampu gantungnya juga cukup besar, tapi tidak sampai menjuntai. Terus terang aku lebih suka yang seperti ini. Tak takut tersenggol bocah yang lari-larian sampai lampu kristalnya jatuh berantakan atau apalah.
Kulihat pintu kamar Maureen terbuka, sosoknya yang mengenakan baju tidur berwarna navy keluar dengan rambut kusut. Ia menguap dan tak sengaja beradu pandang denganku, gadis itu lantas memalingkan muka saat aku tersenyum padanya.
“Judes sekali.” Gumamku sambil pura-pura tidak melihat dia lagi.
Maureen mendorong pintu kamar Raka, lalu masuk ke dalam tanpa menutupnya lagi. Aku tahu, sepertinya ia sengaja ingin membuatku merasa cemburu dengan kedekatan mereka berdua.
Andaikan dia tahu, apapun yang ia lakukan tidak akan membuatku merasa cemburu. Soalnya antara aku dan Raka tidak ada hubungan perasaan apapun.
Supaya Maureen tahu tindakannya memanasi aku sia-sia saja, kuputuskan melangkah ke balkon saja. Menikmati udara pagi di lantai dua mansion mewah rasanya semakin nikmat saja.
Apakah aku sudah terbiasa menjadi nyonya yang hidup enak?
Hahah, menggelikan sekali.
Tentu saja tidak. Hidup di sini seperti terpenjara di sangkar emas. Aku memiliki semuanya tapi entah kenapa rasanya tidak menyenangkan sama sekali.
Aku rindu teman-teman kerjaku di SPBU, juga rindu mengerjakan pesanan buket snack dan buket bunga yang kugeluti selama ini. Begitulah, untuk menyambung hidup dan membayar hutang ayah, aku mengerjakan banyak hal.
Jadi ayah tidak perlu terlalu lelah mencari uang ada aku yang membantu, sayang sekali adikku tak berpikiran sama. Dia malah ikut-ikutan menambah beban hidup saja.
“Haloo?! Ada orangnya gak nih di rumah?”
Terdengar suara lelaki muda di lantai bawah, aku tak tahu siapa yang datang. Tetapi mungkin dia temannya Raka sebab langsung masuk ke dalam rumah.
Sebelum turun ke bawah, aku merapikan rambutku dulu dan piyama yang kukenakan. Supaya tidak terlihat memalukan.
Saat kuhampiri, lelaki itu bertubuh tinggi kurus dengan bahu yang lebar. Aroma parfum pria yang maskulin tercium kuat, bahkan bisa kucium dari jarak yang cukup jauh.
“Mau ketemu siapa, mas? Raka?” tanyaku ramah, sambil tersenyum. Sebuah senyum yang selalu kulatih supaya terlihat ramah di depan pengunjung SPBU.
Lelaki itu menoleh, rambutnya yang hitam ikut bergerak lembut seiring dengan gerakan kepalanya. Lumayan juga, ia terlihat seperti Lee Dong Wook, mungkin karena matanya yang sayu dengan rahangnya yang tegas.
“Kamu? Kamu istrinya Raka?” ia malah balik bertanya.
Kuanggukkan kepala sambil tetap tersenyum, lelaki itu pun maklum.
“Ahh, maaf ya kemarin aku enggak datang ke pernikahan kalian. Habisnya mendadak banget kayak dikejar-kejar setan. Raka itu emang impulsif banget anaknya.”
Aku tak tahu harus bagaimana menanggapi ucapan itu, jadinya aku hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala sedikit.
“Mau ketemu Raka?”
“Ahh enggak sih, sebenernya aku mau ketemu sama Maureen. Aku yakin dia pasti ke sini setelah kami berantem tempo hari.”
Ohh jadi ini orang yang dibicarakan Maureen dan Raka, orang yang membuat gadis cantik itu menangis tersedu-sedu dan kabur ke rumah orang lain. Bahkan sampai menginap di sini bermalam-malam.
“Dia di sini kan?” tanya lelaki itu sambil mendekatiku yang masih berdiri di ujung tangga,
“Aaah, iya sih...mau kupanggilkan?” kumundurkan tubuh, tak ingin terlalu dekat.
Tak tahu kenapa tatapannya terlihat mengintimidasi dan membuatku jadi tidak nyaman.
“Boleh,”
Bergegas kulangkahkan kaki menaiki tangga, langsung menuju ke kamar Raka karena kutahu gadis itu pasti masih ada di sana.
Memang benar dugaanku, Maureen di sana dan sedang tidur di atas ranjang bersama dengan Raka.
Suami di atas kontrakku itu memeluk tubuh Maureen dari belakang, keduanya tidur dengan nyenyak di bawah hangatnya sinar matahari pagi. Keduanya terlihat serasi dan mesra, malah Raka lebih terlihat seperti suami Maureen ketimbang suamiku sendiri.
Dengan ragu kubangunkan Raka,
“Raka, ada yang cari Maureen di bawah...Raka!”
“Hah?!” Raka tersentak kaget, ia langsung bangun dengan mata yang masih setengah terpejam
“Apa? Kenapa? Siapa yang datang?”
“Ihh berisik banget sih Raka!” Maureen menguap, lalu memeluk guling dan kembali tidur.
“Ada siapa?”
“Aku enggak tau siapa, tapi dia cari Maureen. Orangnya tinggi dan kurus...”
“Jonas.”
Wajah ngantuk Raka langsung berubah, ia terlihat kesal setengah mati dan segera turun dari ranjang. Sebelum pergi ia membetulkan letak selimut Maureen, memastikan gadis itu tidur dengan nyaman dan barulah dia turun ke lantai bawah.
Aku tidak berminat untuk mengikuti Raka, biarkan saja dia yang bicara dengan orang bernama Jonas itu.
Kualihkan pandangan pada sosok yang masih tidur di atas ranjang, gadis yang cantik dan mungil. Memiliki visual yang luar biasa, wajar sekali jika ia menjadi idola banyak lelaki termasuk Raka dan Jonas tentu saja.
Bagaimana rasanya jadi orang secantik dia, ya?
Apakah rasanya menyenangkan diperhatikan dan disayangi oleh banyak lelaki? Dikejar-kejar lelaki dan bisa terbang kesana-kesini sesuai kemauan dia.
Eww, tapi kenapa terdengar seperti sedikit...murahan? entahlah, aku tak paham gaya hidup orang cantik. Sebaiknya aku segera kembali ke kamarku sendiri sebelum Maureen bangun, dan mendapati aku yang sedang memandangi dia seolah aku ingin menelannya bulat-bulat.
*********
POV Raka:
Jonas, si brengsek itu berani-beraninya datang ke rumahku.
Dia mau cari Maureen? Masih punya muka untuk melakukan itu setelah memukulnya tempo hari?
“Wow, pengantin baru nih!”
Aku muak melihat senyum bodohnya itu menyapaku, ia merentangkan tangan seolah ingin menyongsong dan memelukku yang turun dari tangga.
“Gimana rasanya jadi pengantin?”
“Enggak usah basa-basi. Kamu ngapain ke sini?”
“Haha, santa bro. Kenapa sensi begitu? Apa karena aku udah ganggu pagi romantis kamu sama istri? Siapa namanya?”
“Citra.” Sahutku ketus.
“Ahh Citra, kalian kenal di mana sih? Udah pacaran berapa lama? Aku enggak tau kalo seleramu kayak begitu.”
“Begitu gimana?”
“Gimana ya...terlalu sederhana. Haha.”
Bisa kulihat seringai di bibirnya begitu culas, entah sejak kapan aku jadi sebenci ini padanya. Apakah saat kutahu Maureen berpacaran dengan dia? Atau setelah aku tahu ia berani memukul perempuan?
“Itu semua bukan urusanmu, lagipula aku punya pandangan sendiri tentang perkawinanku dengan Citra.”
“Lah memangnya pandanganmu sama orang lain tentang perkawinan itu beda? Kamu enggak seidealis itu Raka.”
Cih, dia menyeringai lagi. Mengesalkan.
“Menikah itu kan buat mengikat orang ya..memaksa setia sama satu orang dan punya anak. Udah. So boring. Itulah kenapa aku enggak akan pernah menikah. Aku hidup bukan untuk hal-hal membosankan kayak begitu.”
“Aku enggak peduli dengan pendapatmu, Nas. Kalo misal udah enggak ada yang perlu kita omongin, kamu bisa pergi. Pintu keluarnya tau kan?”
“Wah-wah, santai dong. Sensi banget nih pagi-pagi. Lagian kedatanganku bukan buat ketemu sama kamu. Urusanku sama Maureen, aku tau dia di sini.”
“Enggak ada, pergilah!”
“Mobilnya di garasimu, bodoh!”
Kukatupkan rahangku, menahan emosi. Semakin lama bersama Jonas, makin besar pula rasa benci yang kurasakan. Bahkan rasanya aku juga rugi sekali berbagi oksigen dengan orang brengsek seperti dia.
“Maureen!”
“Sial, jangan berteriak di rumahku!”
“Maureen!”
“Kurang ajar!” kucengkram kerah baju yang Jonas pakai, dia sama sekali tidak mengindahkan kata-kataku.
Bukannya menyadari kesalahan, Jonas malah lagi-lagi memamerkan seringai jahat di bibirnya. Begitu culas, licik, perutku rasanya mual disuguhi evil smirk seperti itu terus menerus.
“Kenapa kamu mau kasih cewek lain tidur di rumahmu? Padahal kamu baru nikah dan harusnya lagi mesra-mesranya ya sama istrimu itu..”
“..agak aneh enggak sih? Apa jangan-jangan...kawin kontrak?”
“Jangan asal ngomong! Orang macam kamu enggak bakal paham!”
“Hahah, bener kan kataku? Aku sudah curiga sih. Kalian berdua itu terlalu jauh berbeda, kasta kalian enggak sama dan perkawinan kalian juga mendadak. Siapa sih yang enggak curiga?”
Jonas menepis tanganku yang mengendur, lalu merapikan bajunya sambil tetap menghujamkan pandangannya yang tajam. Aku sendiri berusaha untuk terlihat tenang, memikirkan kalimat yang tepat untuk membantah kata-kata si brengsek di hadapanku ini.
“Baiklah, terserah kalian berdua mau kawin kontrak kek, beneran kek, bukan urusanku. Tapi yang jelas...jangan bawa-bawa Maureen. Dia pacarku, dan enggak pantas dia tinggal di sini sama suami orang yang dulunya pernah naksir sama dia.”
Aku tercekat, bagaimana dia tahu? Perasaan aku tak pernah terang-terangan menunjukkan rasa sukaku padanya.
“Aaah, aku paham sekarang. Kamu menikahi Citra untuk bikin Maureen cemburu? Iya kan?!”
Checkmate!
Aku hanya bisa mematung sambil menelan ludah getir, tak menyangka bisa secepat itu seseorang menerka tujuan pernikahanku dengan Citra. Kedua orangtuaku sama sekali tak mengira seperti itu, Maureen pun tidak. Hanya Jonas.
“Langkah yang kamu pilih terlalu gegabah, bro. Harusnya kamu hadapi semua sendiri, nyatakan langsung pada Maureen dan bukannya malah membawa gadis lain ke dalam masalahmu itu. Dewasalah, bro!”
“Jangan pengecut.”
Sekali lagi, ia menyeringai padaku dan rasanya makin tajam ke ulu hati. Tak tahu karena kata-katanya yang memuakkan, atau karena apa yang dia katakan itu benar adanya.
Aku cuma terlalu pengecut untuk langsung mengutarakannya secara langsung, dan pikiran liarku malah menyeret Citra ke dalam masalah hatiku sendiri.
Jonas akhirnya pergi tanpa memaksa untuk bertemu dengan Maureen, ada sedikit rasa lega menyelusup ke dalam hatiku. Setidaknya mereka tak dulu bertemu saat ini. Saat kubalikkan tubuh untuk kembali ke lantai dua, Citra berdiri di ujung tangga dengan wajah yang sedih.
“Sejak kapan kamu di situ?”
“Ah...aku..aku enggak bermaksud nguping...aku...maaf.”
Ia berlari ke kamar tanpa menoleh lagi padaku. Rasa tak enak membuatku merasa bersalah, tapi untuk apa rasa bersalah itu? Toh dia pun sudah menyetujui pernikahan ini, untuk tujuan apapun yang tak perlu ia ketahui.
*********
Citra“Aaah, aku paham sekarang. Kamu menikahi Citra untuk bikin Maureen cemburu? Iya kan?!”Ucapan lelaki yang mirip dengan Lee Dong Wook itu kembali terngiang di telingaku, meninggalkan rasa kesal dan marah yang menyala di dalam dadaku. Tapi dipikir-pikir lagi, kenapa aku harus marah?Lagipula memang sejak awal pernikahan pun sudah dijelaskan, Raka menikahi Citra untuk satu alasan. Dia tak perlu tahu, dan tak berhak untuk protes. Dia sudah dapat uang muka, yaitu pelunasan hutang ayahnya.Kalau ternyata memang perkawinan ini untuk membuat Maureen cemburu, lantas memangnya kenapa? Ya sudah, terima saja.Pantas jika Raka begitu peduli dengan gadis bule itu, bahkan sekarang juga ia sedang mencoba untuk menghibur Maureen. Sejak kemarin ia memang merajuk, ketika tahu Jonas datang kemari untuk mencarinya, namun tidak ada yang memberitahu dia.
RakaSial, aku lupa!Malam ini harusnya aku mengajak Citra untuk pergi ke perjamuan kantor, dan memang acara ini sudah rutin kuikuti sejak aku resmi menjadi pimpinan di perusahaan anak cabang milik ayahku. Hanya makan malam bersama, semi formal, namun biasa dilakukan di restoran fine dining karena yang menghadirinya adalah jajaran pemimpin perusahaan.Gara-gara Jonas si brengsek itu datang ke rumah, pikiranku jadi berantakan dan melupakan hal penting.Padahal jika aku ingat, rencananya aku ingin memberikan sedikit pelajaran basic manner untuk Citra. Supaya dia tidak mempermalukan aku di depan para elit perusahaan.“Malam ini kamu mau makan malam sama para petinggi perusahaan kayak biasa?” tanya Maureen, ia memang tahu hal ini. Ia juga sempat beberapa kali kuajak pergi menghadiri jamuan tersebut.Dia selalu pandai menempatkan diri, mengenakan gaun yang indah dan bersolek dengan cantik.
Citra Menjadi orang kaya mendadak ternyata tidak menyenangkan, walau aku diperbolehkan membeli apapun yang kumau, bisa memasak menu apapun dengan bahan-bahan mahal sepuas hati, bermalas-malasan tanpa harus bekerja keras untuk membayar hutang, tetap saja rasanya tidak sehebat itu.Maksudku, yaa...memang menyenangkan bisa melakukan hal-hal yang tak bisa kulakukan dulu. Tetapi saat ini aku merasa sangat kelelahan untuk menyesuaikan gaya hidupku dengan gaya hidup Raka. Seperti makan malam mewah semalam, aku tidak menyangka tak pakai perhiasan pun menjadi satu masalah yang besar.Terus terang aku tersinggung dengan ucapannya, rasa sedihku bertambah saat wanita bernama Cindy itu datang dan mengajakku bicara. Aku tahu dia ingin membuatku merasa makin down dan makin minder, ia berhasil melakukan itu padaku.“Jadi semalam bagaimana? Kulihat muka Raka asem, pasti kamu mengacau, kan?” Maureen mencegat langkah
RakaMaureen berdiri di balkon, menatap lurus ke arah gerbang masuk dengan ekspresi yang masam. Perasaanku jadi tak enak, kukira setelah aku bisa tinggal bersamanya dalam satu rumah maka aku bisa membuatnya jadi lebih ceria dan bahagia. Tetapi rupanya semua yang kulakukan tak cukup membuat Maureen lebih bahagia.Salahku di mana?Perlahan kudekati dia, kusentuh bahunya dan ia terlonjak kaget,“Raka!”“Ngelamunin apa sih? Sampai kaget begitu...”Maureen melenguh, seolah pikirannya benar-benar dibebani oleh sesuatu yang begitu berat dan tak bisa diselesaikan dengan mudah.“Liat aja itu, istrimu kayaknya sedikit terlalu percaya diri sampai kegatelan. Memangnya pantas mereka pergi berdua?” ia menoleh lagi ke arah gerbang masuk.Kuikuti tatapannya, dan bisa kulihat jika mobil Jonas terparkir di sana. Yang membuatku kaget adalah Citra keluar dari pintu de
Citra Bayangan wanita muda yang terpantul di cermin memandangku dengan sorot mata menyedihkan, ia terlihat mengasihani aku dan seolah ingin keluar dari sana lalu memelukku dengan erat. Huh, aku terus menerus diombang-ambing dengan yang terjadi padaku saat ini.Menerima tawaran menikahi seseorang yang tak kukenal dengan imbalan hutang ayah lunas, terasa terlalu mudah. Tidak mungkin hidupku akan berjalan semulus itu bagai dalam cerita dongeng, happily ever after.Benar saja, sekarang saja aku sudah mendapatkan banyak sekali rasa sakit hati. Perlakuan Raka yang egois dan tidak melihatku sebagai sosok manusia yang punya perasaan, Maureen yang merasa jika dirinya lebih tinggi derajatnya dariku, ditambah lagi dengan Jonas yang seenaknya saja menarikku kesana-kemari dengan alasan membantu.Untuk apa aku pergi ke butik mewah itu? Mengganti potongan rambutku, mengajarkan cara berpakaian seperti wanita-wanita sosialita, diajarkan car
Raka Aku yakin sekali jika Maureen sedang membenci Jonas, karena cemburu melihat kekasihnya pergi dengan istriku tanpa bicara pada siapapun. Tetapi bukannya merajuk, atau marah besar dan meminta putus, Maureen malah mau-mau saja diajak keluar oleh Jonas. Sekitar setengah jam yang lalu, mereka pergi dengan mobil Jonas dan aku yang bodoh ini langsung bergegas mengikuti mobil mereka dari belakang. Keduanya tidak mampir kemana-mana, melainkan langsung pergi ke apartemen milik Jonas. Di balik kemudi aku mengawasi mereka berdua yang cukup lama di parkiran, mungkin membicarakan soal Citra atau entalah aku tidak yakin. Tetapi samar-samar bisa kulihat jika hubungan mereka sedang diperbaiki, Jonas merengkuh kepala Maureen dan mengecup dahinya, lalu mereka berciuman. “Sialan.” Gerutuku sambil membuang muka. Kupukul setir dengan sekuat tenaga, memaki dan bersumpah serapah untuk menahan rasa cemburu yang benar-benar membakar dada.
CitraIya aku tahu, jika penampilanku ini jauh sekali dari selera wanita yang disukai oleh Raka, dan semua lelaki yang ada di kalangannya. Tetapi Raka tak perlu mengatakan hal sejahat itu hanya untuk berkata tidak. Cukup katakan saja tak mau pergi konsultasi, sudah.Kenapa malah membawa-bawa tak sudi menghamiliku segala? Memangnya aku juga mau dia hamili?Hidupku memang susah, aku ingin memiliki uang yang cukup untuk hidup dan bebas dari hutang serta tak perlu capek kerja keras. Tetapi jika harus mengorbankan harga diri dan memasang muka tembok demi mengandung anak orang kaya, lalu hidup enak dari biaya bulanan untuk anak.Aduh, itu bukan gayaku!Setelah berdebat panjang lebar dengan Raka, aku masuk ke kamar dan mengemas beberapa pakaianku. Tak tahan lagi jika lebih lama tinggal di sini, aku mau pulang dulu ke rumah ayah selama dua atau tiga hari. Siapa tahu bisa membuat kepalaku sedikit dingin dan bisa waras untuk kemba
RakaSudah dua hari Citra menginap di rumah ayahnya, sudah dua hari pula Maureen tak ada kabar. Aku ingin menyusul Maureen tapi sadar diri tak punya hak apapun untuk melarangnya melakukan ini itu sesuai kemauan dia. Urusan Citra, mau sebulan pun tinggal di sana aku tak peduli.“Pak, ada telepon dari kantor. Katanya ada rapat penting tapi bapak enggak bisa dihubungi.”“Oh iya, makasih.” Jawabku tak acuh.Walau begitu aku tetap berdiri untuk mengambil ponsel yang kubuat mode senyap, sehingga tak tahu ada telepon, chat atau notifikasi apapun yang kudengar. Ternyata sudah banyak panggilan tak terjawab, chat dari sekretaris dan aku langsung malas mengingat posisiku sebagai CEO. Karena hal itu aku jadi tak bisa duduk diam di rumah tanpa direpotkan dengan urusan kantor.Padahal di saat seperti ini, aku sangat ingin bersantai tanpa memikirkan apapun lagi. Sebab otakku sudah cukup ngebul memikirkan Maureen
Selama berada di depan Raka, Citra tidak menangis sama sekali, sebab semua tangisnya sudah habis. Malah Raka yang menangis, ia terlihat sangat menyesali semua yang ia rasakan saat ini. “Maafkan aku Citra, maafkan aku. Aku bahkan tak pantas untuk menggendong anak kita.. karena semua kelakuanku di masa lalu.” Citra tak menanggapi hal itu, biarkan saja Raka dengan penyesalannya sendiri. Ini salah satu cara untuk mengikhlaskan semuanya. Lagipula mau minta pertanggungjawaban dalam bentuk apa? Raka saja nyaris tak bisa menghidupi dirinya sendiri. Tak mau berlama-lama, Citra mengajak Angga pergi. Raka yang masih bercucuran air mata meminta untuk menggendong Hana sebentar. “SIlahkan,” sahut Citra. Walau sangsi, ia tetap memberikan Hana untuk digendong. Selama beberapa saat Hana dalam gendongan ayahnya sendiri, ia sangat anteng dan cuma mengoceh kecil sementara Raka makin banjir dalam air mata penyesalan. Tak berselang lama, Maureen datang sambil kesusahan menggunakan kursi rodanya. “Rak
Walaupun baru beberapa bulan saja Citra tinggal bersama bu Susi dan Anwar, tetapi perpisahan yang terjadi antara mereka cukup menyedihkan. Ketiganya menangis dengan haru bercampur sedih, namun mereka sama-sama berjanji supaya bisa tetap saling berkomunikasi walaupun sudah tak bersama.Citra kembali ke kampung halamannya, di mana ayah dan adiknya tinggal. Juga tentu saja Raka.Tetapi dia tak begitu peduli dengan Raka, bukan urusannya lagi sekalipun harus tinggal satu daerah dengan lelaki yang sudah mengacaukan hidupnya yang damai.Memang, saat belum menikah dengan lelaki itu dirinya juga dipusingkan dengan kelakuan Angga, tetapi paling tidak batinnya tak terluka sedalam saat bersama dengan Raka.Sebab karena Raka juga, dirinya mengalami patah hati dan rasa kecewa yang luar biasa karena dibohongi oleh orang yang telah ia percayai. Bahkan Citra juga sudah memikirkan kemungkinan jika dirinya akan mempercayakan hatinya juga pada Jalu.Iya, Jalu.Lelaki itu tipe pendamping yang sempurna, de
POV RakaCitra tak main-main dengan apa yang telah ia katakan dua bulan yang lalu, di rumah sakit, ketika lukanya masih berdarah dan bayi kecil kami masih belum terbuka matanya.Dia benar-benar pergi, meninggalkan semuanya. Masa lalunya, termasuk aku yang ternyata bukan siapa-siapa untuknya, sekalipun ada darahku dalam tubuh gadis mungil dalam pelukannya itu.Ah andai saja dulu aku tahu hidupku bakal sesusah ini, niscaya aku tak akan berkata hal yang buruk tentang anak kami. Paling tidak, aku tidak akan merasakan penyesalan sedalam ini.Aku akui, dahulu diriku memang sangat buta dan mengahalalkan segala cara, aku sangat takut jatuh miskin, apalagi dengan adanya papa dan Maureen yang menjadi tanggunganku.Kuakui saat itu menjadi kesalahan besar yang telah kulakukan, setelah banyak kesalahan lain yang telah kulakukan dan menyakiti hati Citra. Aku berangkat bukan untuk benar-benar menemui Citra, dan buah hati kami.Tetapi untuk memaksanya kembali denganku, dan meminta bagian warisan dar
Raka mengusap wajahnya dengan kasar, lalu berkacak pinggang sambil memalingkan mukanya ke arah lain. Ke mana pun, asal tak perlu bertatapan dengan Jalu.Ia merasa jika Jalu memiliki semacam kemampuan untuk mengintimidasi orang lain. Entah karena memang dirinya yang terlalu pengecut, Raka tidak terlalu paham akan hal itu.“Mau apa datang ke mari? Mengacaukan semuanya lagi, hah?” desak Jalu.“Terus salahku di mana? Aku cuma mau ketemu anak istriku. Aku cuma mau mengatakan yang sebenarnya saja. salah?!”“Masih berani tanya salahmu di mana? Hmm. Kau lupa dengan semua yang telah kau lakukan pada Citra? Pernikahan kontrak itu, tindakanmu yang semena-mena padanya cuma karena ingin menyenangkan Maureen?”Raka jengah, ternyata Jalu juga tahu sampai sedetail itu.“Tau dari mana kamu? Jangan sok tau!”“Aku bukan sok tau, aku memang sudah tau. Kamu juga tak mengakui darah dagingmu, sampai Citra harus pergi jauh sekali. kalau aku jadi kamu, aku tak akan pernah menampakkan mukaku lagi di depan Citr
Citra berusaha untuk bangkit dari tidurnya, namun ia merasa kepalanya begitu berat dan ditambah lagi luka di perutnya terasa makin nyeri saja.“Duh, perutku sakit banget..” keluhnya sambil memegang perut, dan ia merasa jika perutnya sudah diperban lagi.Terakhir ia ingat jika dirinya sudah melepaskan perban saat berlari, karena perbannya sudah basah oleh darah dan perekatnya lepas. Tapi sekarang benda itu sudah diganti dengan yang baru, demikian juga pakaian yang ia kenakan.“Bu Susi pasti bawa aku ke mari.. aduh ya Tuhan, mau bayar pakai apa?” keluhnya lagi sambil menahan tangis.Tetapi ia tak bisa menangis, sebab dalam pikirannya kini hanya bayinya, bayinya dan bayinya. Urusan bayar rumah sakit, atau rasa nyeri yang tak tertahankan ini, semua masih bisa dipikirkan nanti.Bagaimana dengan bayinya yang masih merah? Di mana dia sekarang? Bersama siapa? Bagaimana jika dia ingin minum susu?“Ya Tuhan, kuatkan aku..”Citra turun dari ranjang, dan melepas infusan yang menempel di tangannya
Citra baru menyelesaikan makannya, dan bayi kecil yang baru saja dia lahirkan masih tidur terlelap tanpa menangis, rewel atau apapun. Setahunya, bayi baru lahir memang tidak terlalu banyak menangis, bahkan cenderung lebih banyak tidur.Maka karena itu dirinya harus memaksimalkan waktu, harus mampu memulihkan diri dalam waktu cepat namun juga harus bisa bekerja.Citra keluar kamar dan menutup pintunya rapat, ia berniat mengantarkan piringnya ke depan sambil bertanya apakah ada yang bisa dia bantu. Bagian belakang rumah sekaligus warung makan ini tidak dipagar, melainkan langsung mengarah ke kebun yang cukup padat tumbuhannya.Sejauh yang Citra lihat, ada beberapa batang pohon jengkol, rambutan dan pohon-pohon besar berbuah lainnya. Di ujung kebun yang cukup jauh terlihat ada jalan setapak kecil yang entah mengarah ke mana.“Agak ngeri juga ya kalau begini? Tapi enggak apa-apa. Siapa juga yang mau datang ke mari?” gumam Citra, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri.Di dalam kepalany
Kamar yang diberikan untuk Citra adalah sebuah ruangan yang cukup untuk satu kasur single, ada lemari pakaian dan kipas angin. Satu pintu di bagian depan dan di sebelahnya ada jendela yang lumayan besar, dengan gorden yang bersih. “Syukurlah, tempatnya bersih. Aku bisa menidurkan anakku dulu, sementara aku makan. Aduh, perutku.. “ keluh Citra, sambil memegang bagian bawah perutnya. Ia khawatir jika luka jahitannya berdarah, atau parahnya jahitannya lepas. Tetapi saat ia melihat bagian bawah perutnya, sepertinya baik-baik saja. Semoga memang tak ada masalah apapun. “Permisi kak, ini nasinya dari depan.” Remaja lelaki anak pemilik warung nasi mengantarkan makanan Citra, bahkan sudah ditambah dengan es teh manis dan juga ayam goreng. “Makasih. Eh iya, nama kamu siapa Dek?” “Anwar, kak. Kalau Kakak siapa?” “Citra.” “Oh Kak Citra. Ya udah selamat makan dan istrirahat kak, kalau ada butuh apa-apa tinggal panggil aja aku di depan.” Citra mengangguk dan berterima kasih. Ia benar-benar
Selama hampir setengah jam Citra hanya duduk termangu di depan toserba, ia masih menggendong bayinya dalam posisi yang sama seperti saat pertama ia datang ke tempat ini. Jalanan di depannya masih ramai, beberapa orang yang melintas melihat dia dengan tatapan aneh.Wajar, semua orang juga pasti akan merasa aneh melihat seorang wanita muda dengan bayi yang masih merah. Pakaiannya berantakan dan bahkan mukanya juga masih pucat, hanya saja tidak ada yang cukup peduli untuk bertanya keadaannya, atau bahkan curiga jika dia penculik bayi atau apalah.Tetapi pada kenyataannya memang Citra lebih suka tidak ada yang peduli padanya, ia benar-benar sedang tidak mau bicara dengan siapapun.Citra baru tersadar saat bayinya bersuara, tidak menangis, hanya merengek sedikit lalu kembali tidur.“Ahh, aku harus beli baju buat anakku. Kasihan.. nanti dia mau pake apa?” gumamnya sambil berdiri.Ia membetulkan letak tas yang tersampir di bahunya, memperbaiki
Para perawat dan bruder mengeluarkan semua orang yang ada dalam ruangan rawat Citra, dan membiarkan ibu muda itu berduaan saja dengan bayinya. Seorang perawat sempat memberitahunya bagiamana cara untuk menyusui bayi yang benar, dan Citra sangat bersyukur tentang hal itu.“Sayang, kita pergi dari sini yuk? Di sini udah enggak aman. Mama enggak mau hidup kamu kacau kayak mama. Padahal ini hari pertama kamu di dunia, tapi kamu udah dapat masalah begini. Maafin mama ya?” bisik Citra, ia mendekap bayinya dengan erat.Bayi mungil dalam dekapannya sudah dibalut dengan selimut bayi, ia turun dari ranjang untuk mencari barang-barang pribadinya. Ia terkejut melihat tas yang biasa ia gunakan sudah ada di lemari kecil dekat ranjang.Isinya masih lengkap seperti terakhir dia meninggalkannya, ada HP, dan dompet.“Baguslah, aku bisa pergi sekarang.” Gumamnya sambil menghela napas.Tidak ada pakaian ganti, tidak ada baju untuk si baby. Suda