POV Citra
Malam pertama sebagai istri, berakhir dengan tidur saling membelakangi dengan suami. Aku benar-benar merasa malu dan kehilangan harga diri. Seolah-olah aku ini memang sangat ngebet ingin menjadi istri Raka, ingin melakukan hubungan suami istri dan sebagainya.
Padahal bukan begitu...
Ahh, andai saja aku sedikit lebih jual mahal.
Maksudku, jangan mentang-mentang sudah menikah maka aku langsung mau berhubungan intim dengan dia. Masalahnya adalah kami berdua bahkan belum kenal betul!
Kenapa pula aku bisa dengan polosnya memakai lingeri itu, lalu mempertontonkan tubuhku yang setengah telanjang di depan dia? Sudah begitu dia malah menolak pula.
Malu sekali, juga sedikit agak terhina.
“Citra, hari ini ayahku mengajak makan malam di rumahnya. Jam lima kita berangkat, jadi pastikan sebelum jam lima kamu udah siap, ya?” Ujar Raka, tanpa menoleh kepadaku.
“Baik,” sahutku sambil pura-pura sibuk dengan buku yang sedang kupegang, aku tak bisa membaca judulnya karena cukup sulit dieja, namun isinya aku paham walaupun dalam bahasa Inggris.
Sekalipun lulusan SMA, aku terbilang cerdas saat masih sekolah dan juga menguasai bahasa Inggris dengan cukup baik.
Setelah sarapan pagi, kami berdua duduk-duduk di ruangan keluarga. Raka yang mengajakku untuk duduk di sana, katanya itu tempat kesukaannya di dalam rumah. Sambil membaca sebuah buku, Raka duduk santai sambil menselonjorkan kakinya di atas sofa.
Aku sendiri duduk di sofa lainnya yang tak terlalu jauh dari tempat duduk Raka. Hari ini belum tahu apa yang harus kulakukan, pekerjaan domestik tak ada yang perlu kukerjakan karena banyak asisten rumah tangga yang melakukannya.
Entahlah, mungkin nanti aku akan mencari kegiatan sendiri. Menjadi nyonya ternyata cukup membosankan.
*********
Pukul lima sore, Raka sudah siap dengan mengenakan celana chinno dan kemeja santai yang digulung lengannya. Aku sendiri baru selesai mandi dan kebingungan pakaian apa yang harus dipakai, untuk makan malam di rumah mertua yang kaya?
Terus terang aku sangat degdegan, mengingat ini kali pertama aku akan bertemu dengan ayah mertua. Sebab saat pernikahanku dengan Raka, ia dan istrinya tidak hadir.
Begitulah, Raka ini anak broken home.
Ayahnya menikah lagi, ibunya pun demikian.
Pernikahan sederhana kami kemarin hanya dihadiri oleh keluarga ibunya saja, aku tak tahu kenapa ayahnya memilih untuk tidak datang. Mungkin karena perpisahan mereka dulu tidak dengan cara baik-baik?
Entahlah, bukan urusanku. Lagipula aku cuma menantu pura-pura di keluarga sultan ini.
“Jangan pake baju itu, enggak pantes. Mendingan pake rok selutut sama blus, ada banyak blus satin di lemari. Pilih aja yang senada, sepatunya pilih yang hak rendah. Semuanya udah aku siapin di ruangan wardrobe.”
“Ahh, iya...”
Raka tiba-tiba mengomentari pakaian yang akan kukenakan, aku berniat pakai celana jeans dan kemeja juga supaya tidak jauh berbeda dengan setelannya. Lagipula ini makan malam keluarga, jadi kupikir pakai pakaian yang casual juga tak apa.
Tetapi sepertinya pemilihan pakaianku kurang cocok, buktinya aku diminta ganti pakaian.
“Nah, itu lebih bagus. Ini acara semi formal, apalagi ini pertama kali kamu ketemu sama ayah aku. Jadi yaa..paham lah ya?”
“Iya...”
“Kang, panggil aja akang kalo lagi sama keluarga. Kalo lagi di rumah mau panggil nama doang juga enggak masalah.”
“Iya ka-kang...”
Raka mengenakan jam tangannya dan mengisyaratkan aku untuk segera pergi, dengan setengah berlari aku mengejar langkah Raka yang begitu lebar.
**********
Sekitar 30 menit perjalanan menggunakan mobil, kami sudah sampai di kediaman Nataprawira. Aku tercengang melihat betapa besar dan megahnya rumah milik mertua lelakiku ini.
Benar-benar layaknya sebuah istana di cerita dongeng zaman dahulu! rumahnya hanya dua lantai namun begitu luas, pilar-pilar besar yang mengawal tiga fasad rumah, depan, kanan dan kiri. Jadi total rumah ini punya tiga teras dengan nuansa tropical modern yang begitu megah.
Lampu kristal terpajang mulai dari paviliun depan, ruangan tamu, mungkin sampai ke kamar mandi pun ada lampu kristal yang terpasang. Lantai marmer mengkilap dengan indahnya dan seolah tanpa sambungan sama sekali. Seakan-akan langsung memasang marmer seluas lantai yang sedang kuinjak ini.
Setahuku, pemasangan marmer yang bagus dilakukan oleh profesional dan ada teknik khusus, sehingga marmer-marmer itu terlihat seakan tak ada sambungannya sama sekali. Bahkan teknik untuk membersihkan dan mengepelnya juga tak sembarangan, butuh mesin khusus untuk mengepel sekaligus memolesnya supaya kilauannya terjaga.
“Selamat datang ke kediaman sederhana kami, Citraloka menantuku...”
Sesosok lelaki bertubuh tambun menyambut kami berdua di ruangan keluarga, mengenakan celana bahan dan polo shirt yang terlihat mahal. Raka mencium tangannya dengan khidmat dan aku pun melakukan hal yang sama.
“Perkenalkan, Atra Bagea ayahnya Raka. Kamu panggil ayah aja ya biar akrab? Ha-ha-ha.”
“Baik, yah...” sahutku sambil berusaha tersenyum ramah.
“Mami, mi...ini anak-anak udah pada sampai! Ke sini dulu!”
“Iya yah, sebentar...”
Tak berselang lama, seorang wanita Tionghoa memasuki ruangan. Ia bertubuh tinggi langsing dengan paras yang rupawan, namun ekspresinya dingin dan membuatku merasa tak nyaman. Penampilannya elit sekali, seperti ibu-ibu kaya di drama Korea.
Untung aku sudah memoles mukaku dengan makeup tipis, jadi tampangku tidak terlalu kusam. Semoga penampilanku tidak memalukan, aku benar-benar tak menyangka jika ayahnya Raka orang yang begitu kaya.
Maksudku, iyaa...Raka saja rumahnya sudah semewah itu, apalagi ayahnya. Tetapi...maklum lah, namanya orang miskin, mana tahu semewah apa rumah orang kaya bisa dibangun. Benar-benar di luar khayalanku.
“Mari, makan malam sudah siap.” Ujar wanita yang dipanggil mami itu, mempersilahkan kami untuk duduk di ruangan makan.
Lagi-lagi aku tercengang melihat ruangan makan di rumah ini, meja makan dari kayu jati yang kokoh, dipadukan kaca hias membuatnya terlihat begitu berkelas. Sesuatu yang hanya kulihat di internet saja, sekarang aku akan makan di atasnya. Wow!
Lihat makanannya, dari mulai ayam panggang utuh, iga sapi panggang, asparagus dengan cincang daging dan entah apa lagi aku bahkan tak tahu apa saja menu makanan yang dipajang di sana.
Gila, untuk makan sekampung juga bisa, nih!
“Silahkan duduk,”
Ayah Atra duduk di kursi utama, istrinya di sebelah kanan, dan aku serta Raka duduk di sebelah kirinya.
Dengan sigap istrinya mengambilkan nasi untuk ayah Atra,
“Segini cukup yah?”
“Cukup,”
“Mau makan sama apa? Ayam? Atau iga? Iga? Segimana, segini cukup kah?”
Aku tertegun melihat caranya melayani suami, entahlah...aku merasa agak ganjil. Bukan terlihat seperti melayani suami dengan hormat, lebih ke...melayani seorang raja. Ia terlihat tidak menikmati perannya.
Apakah aku harus menyiapkan makan juga untuk Raka?
Kulirik ia, dan Raka mengisyaratkan supaya aku tidak melakukan apapun. Akhirnya aku menurut dan mengambil makan sendiri, setelah Raka mengambil makannya.
Di sela-sela makan, ayah Atra mengatakan sesuatu yang sama sekali tidak kuduga.
“Gimana? Udah ketemu sama mamanya Raka? Baik kan? sayang suaminya yang baru agak gimana gitu. Kamu hati-hati saja.”
Aku sampai tersedak mendengarnya,
“Uhuk, ma-maksudnya yah?”
“Yaah...dulu, ayah lagi susah, perusahaan lagi agak goyah dan dia merayu mamanya Raka pakai harta. Yaa begitulah, akhirnya kami cerai.”
Nasi yang kutelan seperti sekam, sakit di tenggorokan dan tak bisa kutelan dengan mudah. Sampai-sampai aku harus menggelontorkan air minum supaya bisa makan dengan benar.
Bukan karena nasinya jelek, tidak. Melainkan karena aku kaget dengan ucapan ayah Atra. Kulirik Raka, ia terlihat tidak peduli dan menyantap makanannya seolah tak mendengar apapun.
Padahal aku ingin tahu apakah yang dikatakan ayah Atra itu benar atau tidak.
“Ah iya, kalian gimana rencananya? Mau langsung promil?”
“Aah, be-belum tahu yah...ka-kami belum merencanakan itu.” Sahutku segera, asal-asalan.
Karena memang belum ada pembicaraan apapun soal ini dengan Raka, maksudku...bagaimana cara menjelaskan pada orang lain supaya pernikahan kami tak dicurigai. Kami kan hanya kawin kontrak.
“Jangan ditunda, ya! Nanti malah kayak ayah, anaknya dikit...lagi promil juga gagal terus, iya kan mi?”
“Iya.” Sahut istrinya pendek, ketus dan dingin.
Raut mukanya sedikit berubah saat promil gagal diucapkan, nampaknya ia benar-benar kecewa dengan hal itu.
Aku menggigit bibir, sisa makan malamku terasa sangat tidak menyenangkan. Ayah Atra cukup suka mengobrol, dan agaknya tidak mempermasalahkan latar belakang keluargaku.
Tapi tak tahu mengapa, aku merasa tidak nyaman.
*********
POV RakaBetul sekali dugaanku, selera berpakaian Citra memang sangat kampungan. Ia memilih memakai celana jeans dan kemeja tartan untuk pergi makan malam dengan keluarga dan Claudia. Memangnya mau pergi ke mall?Tak salah jika aku sudah menyiapkan berbagai setelan pakaian untuk stoknya selama menjadi istriku di sini, dari mulai pakaian dalam sampai baju tidur, pakaian formal dan sepatu serta aksesoris semuanya sudah aku bantu siapkan.Kasihan juga jika ia tidak kusiapkan barang-barang ini, ia pasti lebih bingung lagi untuk berpakaian, menyesuaikan diri dengan kehidupan dia yang baru.Memang sih bisa beli langsung saat ia butuh, tapi masalahnya aku khawatir seleranya tidak sesuai denganku. Jangan sampai dia kalap seperti OKB kebanyakan, selera kampungannya tetap dibawa walau sudah jadi orang kaya.Itu akan sangat memalukan.Tapi syukurlah, ia tidak ngeyel dan menurut dengan apa yang kukatakan. Ia juga cukup pan
POV Citra:Hari keduaku sebagai seorang istri, bangun pagi dan langsung bingung harus lakukan apa. Biasanya pagi hari bergegas masak, menyiapkan sarapan untuk ayah dan untukku sendiri. Setelah makan dengan nasi goreng sederhana atau telor ceplok, maka aku dan ayah akan berangkat kerja.Adikku? Dia pulang ke rumah kurang dari sebulan sekali. Kami biasanya bertemu di jalanan, berpapasan saat menunggu di lampu merah. Kadang bertemu di pos satpam, atau kantor polisi seperti kemarin, saat ia terkena masalah dan butuh keluarga untuk menyelesaikan masalahnya.Dasar anak sialan.Aku menyayangi dia, dulu dia anak yang lucu dan penurut. Tapi sejak ibu pergi entah kemana, akhirnya ia jadi berandalan dan tak pernah pulang ke rumah.Aku masih ingat saat pertama kali ia kabur dari rumah, ayah dan aku berhari-hari menyebar poster anak hilang, melapor ke kantor polisi dan mencari kemana-mana. Tak tahunya ia ditangkap satpol PP di kot
POV Citra:Rasanya aneh, aku diajak tinggal di rumah besar ini setelah menikah dengan Raka. Namun sejak terakhir kali kami pergi ke rumah ayahnya, Raka sama sekali tak mengajak aku bicara barang sepatah kata pun.Apalagi sejak kedatangan Maureen, bisa kulihat jika Raka begitu gembira dengan kedatangan gadis bule Indo itu.Sekarang saja dia sedang mengobrol dengan asyik di ruang membaca, sambil menikmati biskuit dan susu hangat di atas meja. Sementara aku? Masih mengenakan piyama, rambut yang kusut dan diikat sekadarnya, diam-diam mengintip mereka berdua dari lantai dua.Maureen gadis yang cantik, tubuhnya langsing dan kulitnya bersih. Pembawaannya juga begitu berkelas, caranya duduk, berjalan, setiap kali ia menyibak rambut panjangnya terlihat sangat feminim dan mewah.“Kalo aku rajin skincare-an, bisa kayak dia juga enggak ya?” tanyaku setelah kembali ke kamar.Kupandang wajahku di cermin, kusam dan tidak menari
POV Raka: Mungkin begini ya rasanya jika Maureen menjadi istriku? Dia bersamaku siang dan malam, menemaniku mengobrol, berbagi berbagai cerita. Dia juga memasak untukku, lucu sekali melihat tubuh mungilnya hilir mudik di dapur.Ia terlihat berusaha keras untuk belajar memasak, padahal aku tahu ia gadis yang anti sekali menyentuh dapur. Cuma kasihan sekali ia tadi mengangkat panci presto berisi dua kilo iga sapi, tangannya yang mungil tak kuat menahannya sampai-sampai jatuh ke lantai.“Hati-hati, kan mama udah bilang kalo enggak kuat biar mama aja yang angkat...kena kaki, enggak?” tanya mama, sambil mengisyaratkan supaya seorang pelayan merapikan iga dan panci yang berantakan.Namun Citra yang langsung bergerak karena memang ia yang ada paling dekat, dibereskan lalu dibawa ke bak cuci untuk dibersihkan lagi.Aku terharu melihat mama yang perhatian dengan Maureen, mereka bisa menjadi menantu dan mertua yang serasi.
POV Citra:Sepanjang malam aku tidak bisa tidur, mengingat kata-kata Raka kemarin. Tentang poligami.Tak tahu apa yang ada dalam pikiran lelaki itu, mengapa tiba-tiba malah ingin poligami? Kenapa memaksakan diri memiliki dua istri, padahal jika dia mau tinggal ceraikan saja aku dan menikah dengan perempuan yang ia idamkan.Sejak awal memang perjanjian perkawinan kontrak ini sangat aneh.Aku saja yang terlalu bodoh dan gelap mata, sampai mau-mau saja jadi istri kontrak.Seperti malam-malam sebelumnya, Raka dan aku tidak tidur bersama dalam satu kamar. Kami tidur di kamar masing-masing dalam mansion besar dengan nuansa warm white ini. Kamarku berseberangan dengan kamar Raka, yang bersebelahan dengan kamar Maureen.Pagi ini aku keluar kamar, lalu berpegangan pada railing tangga yang mengelilingi area kosong di bagian tengah lantai dua. Jadi dari lantai ini aku bisa melihat ke lantai bawah, kurang
Citra“Aaah, aku paham sekarang. Kamu menikahi Citra untuk bikin Maureen cemburu? Iya kan?!”Ucapan lelaki yang mirip dengan Lee Dong Wook itu kembali terngiang di telingaku, meninggalkan rasa kesal dan marah yang menyala di dalam dadaku. Tapi dipikir-pikir lagi, kenapa aku harus marah?Lagipula memang sejak awal pernikahan pun sudah dijelaskan, Raka menikahi Citra untuk satu alasan. Dia tak perlu tahu, dan tak berhak untuk protes. Dia sudah dapat uang muka, yaitu pelunasan hutang ayahnya.Kalau ternyata memang perkawinan ini untuk membuat Maureen cemburu, lantas memangnya kenapa? Ya sudah, terima saja.Pantas jika Raka begitu peduli dengan gadis bule itu, bahkan sekarang juga ia sedang mencoba untuk menghibur Maureen. Sejak kemarin ia memang merajuk, ketika tahu Jonas datang kemari untuk mencarinya, namun tidak ada yang memberitahu dia.
RakaSial, aku lupa!Malam ini harusnya aku mengajak Citra untuk pergi ke perjamuan kantor, dan memang acara ini sudah rutin kuikuti sejak aku resmi menjadi pimpinan di perusahaan anak cabang milik ayahku. Hanya makan malam bersama, semi formal, namun biasa dilakukan di restoran fine dining karena yang menghadirinya adalah jajaran pemimpin perusahaan.Gara-gara Jonas si brengsek itu datang ke rumah, pikiranku jadi berantakan dan melupakan hal penting.Padahal jika aku ingat, rencananya aku ingin memberikan sedikit pelajaran basic manner untuk Citra. Supaya dia tidak mempermalukan aku di depan para elit perusahaan.“Malam ini kamu mau makan malam sama para petinggi perusahaan kayak biasa?” tanya Maureen, ia memang tahu hal ini. Ia juga sempat beberapa kali kuajak pergi menghadiri jamuan tersebut.Dia selalu pandai menempatkan diri, mengenakan gaun yang indah dan bersolek dengan cantik.
Citra Menjadi orang kaya mendadak ternyata tidak menyenangkan, walau aku diperbolehkan membeli apapun yang kumau, bisa memasak menu apapun dengan bahan-bahan mahal sepuas hati, bermalas-malasan tanpa harus bekerja keras untuk membayar hutang, tetap saja rasanya tidak sehebat itu.Maksudku, yaa...memang menyenangkan bisa melakukan hal-hal yang tak bisa kulakukan dulu. Tetapi saat ini aku merasa sangat kelelahan untuk menyesuaikan gaya hidupku dengan gaya hidup Raka. Seperti makan malam mewah semalam, aku tidak menyangka tak pakai perhiasan pun menjadi satu masalah yang besar.Terus terang aku tersinggung dengan ucapannya, rasa sedihku bertambah saat wanita bernama Cindy itu datang dan mengajakku bicara. Aku tahu dia ingin membuatku merasa makin down dan makin minder, ia berhasil melakukan itu padaku.“Jadi semalam bagaimana? Kulihat muka Raka asem, pasti kamu mengacau, kan?” Maureen mencegat langkah
Selama berada di depan Raka, Citra tidak menangis sama sekali, sebab semua tangisnya sudah habis. Malah Raka yang menangis, ia terlihat sangat menyesali semua yang ia rasakan saat ini. “Maafkan aku Citra, maafkan aku. Aku bahkan tak pantas untuk menggendong anak kita.. karena semua kelakuanku di masa lalu.” Citra tak menanggapi hal itu, biarkan saja Raka dengan penyesalannya sendiri. Ini salah satu cara untuk mengikhlaskan semuanya. Lagipula mau minta pertanggungjawaban dalam bentuk apa? Raka saja nyaris tak bisa menghidupi dirinya sendiri. Tak mau berlama-lama, Citra mengajak Angga pergi. Raka yang masih bercucuran air mata meminta untuk menggendong Hana sebentar. “SIlahkan,” sahut Citra. Walau sangsi, ia tetap memberikan Hana untuk digendong. Selama beberapa saat Hana dalam gendongan ayahnya sendiri, ia sangat anteng dan cuma mengoceh kecil sementara Raka makin banjir dalam air mata penyesalan. Tak berselang lama, Maureen datang sambil kesusahan menggunakan kursi rodanya. “Rak
Walaupun baru beberapa bulan saja Citra tinggal bersama bu Susi dan Anwar, tetapi perpisahan yang terjadi antara mereka cukup menyedihkan. Ketiganya menangis dengan haru bercampur sedih, namun mereka sama-sama berjanji supaya bisa tetap saling berkomunikasi walaupun sudah tak bersama.Citra kembali ke kampung halamannya, di mana ayah dan adiknya tinggal. Juga tentu saja Raka.Tetapi dia tak begitu peduli dengan Raka, bukan urusannya lagi sekalipun harus tinggal satu daerah dengan lelaki yang sudah mengacaukan hidupnya yang damai.Memang, saat belum menikah dengan lelaki itu dirinya juga dipusingkan dengan kelakuan Angga, tetapi paling tidak batinnya tak terluka sedalam saat bersama dengan Raka.Sebab karena Raka juga, dirinya mengalami patah hati dan rasa kecewa yang luar biasa karena dibohongi oleh orang yang telah ia percayai. Bahkan Citra juga sudah memikirkan kemungkinan jika dirinya akan mempercayakan hatinya juga pada Jalu.Iya, Jalu.Lelaki itu tipe pendamping yang sempurna, de
POV RakaCitra tak main-main dengan apa yang telah ia katakan dua bulan yang lalu, di rumah sakit, ketika lukanya masih berdarah dan bayi kecil kami masih belum terbuka matanya.Dia benar-benar pergi, meninggalkan semuanya. Masa lalunya, termasuk aku yang ternyata bukan siapa-siapa untuknya, sekalipun ada darahku dalam tubuh gadis mungil dalam pelukannya itu.Ah andai saja dulu aku tahu hidupku bakal sesusah ini, niscaya aku tak akan berkata hal yang buruk tentang anak kami. Paling tidak, aku tidak akan merasakan penyesalan sedalam ini.Aku akui, dahulu diriku memang sangat buta dan mengahalalkan segala cara, aku sangat takut jatuh miskin, apalagi dengan adanya papa dan Maureen yang menjadi tanggunganku.Kuakui saat itu menjadi kesalahan besar yang telah kulakukan, setelah banyak kesalahan lain yang telah kulakukan dan menyakiti hati Citra. Aku berangkat bukan untuk benar-benar menemui Citra, dan buah hati kami.Tetapi untuk memaksanya kembali denganku, dan meminta bagian warisan dar
Raka mengusap wajahnya dengan kasar, lalu berkacak pinggang sambil memalingkan mukanya ke arah lain. Ke mana pun, asal tak perlu bertatapan dengan Jalu.Ia merasa jika Jalu memiliki semacam kemampuan untuk mengintimidasi orang lain. Entah karena memang dirinya yang terlalu pengecut, Raka tidak terlalu paham akan hal itu.“Mau apa datang ke mari? Mengacaukan semuanya lagi, hah?” desak Jalu.“Terus salahku di mana? Aku cuma mau ketemu anak istriku. Aku cuma mau mengatakan yang sebenarnya saja. salah?!”“Masih berani tanya salahmu di mana? Hmm. Kau lupa dengan semua yang telah kau lakukan pada Citra? Pernikahan kontrak itu, tindakanmu yang semena-mena padanya cuma karena ingin menyenangkan Maureen?”Raka jengah, ternyata Jalu juga tahu sampai sedetail itu.“Tau dari mana kamu? Jangan sok tau!”“Aku bukan sok tau, aku memang sudah tau. Kamu juga tak mengakui darah dagingmu, sampai Citra harus pergi jauh sekali. kalau aku jadi kamu, aku tak akan pernah menampakkan mukaku lagi di depan Citr
Citra berusaha untuk bangkit dari tidurnya, namun ia merasa kepalanya begitu berat dan ditambah lagi luka di perutnya terasa makin nyeri saja.“Duh, perutku sakit banget..” keluhnya sambil memegang perut, dan ia merasa jika perutnya sudah diperban lagi.Terakhir ia ingat jika dirinya sudah melepaskan perban saat berlari, karena perbannya sudah basah oleh darah dan perekatnya lepas. Tapi sekarang benda itu sudah diganti dengan yang baru, demikian juga pakaian yang ia kenakan.“Bu Susi pasti bawa aku ke mari.. aduh ya Tuhan, mau bayar pakai apa?” keluhnya lagi sambil menahan tangis.Tetapi ia tak bisa menangis, sebab dalam pikirannya kini hanya bayinya, bayinya dan bayinya. Urusan bayar rumah sakit, atau rasa nyeri yang tak tertahankan ini, semua masih bisa dipikirkan nanti.Bagaimana dengan bayinya yang masih merah? Di mana dia sekarang? Bersama siapa? Bagaimana jika dia ingin minum susu?“Ya Tuhan, kuatkan aku..”Citra turun dari ranjang, dan melepas infusan yang menempel di tangannya
Citra baru menyelesaikan makannya, dan bayi kecil yang baru saja dia lahirkan masih tidur terlelap tanpa menangis, rewel atau apapun. Setahunya, bayi baru lahir memang tidak terlalu banyak menangis, bahkan cenderung lebih banyak tidur.Maka karena itu dirinya harus memaksimalkan waktu, harus mampu memulihkan diri dalam waktu cepat namun juga harus bisa bekerja.Citra keluar kamar dan menutup pintunya rapat, ia berniat mengantarkan piringnya ke depan sambil bertanya apakah ada yang bisa dia bantu. Bagian belakang rumah sekaligus warung makan ini tidak dipagar, melainkan langsung mengarah ke kebun yang cukup padat tumbuhannya.Sejauh yang Citra lihat, ada beberapa batang pohon jengkol, rambutan dan pohon-pohon besar berbuah lainnya. Di ujung kebun yang cukup jauh terlihat ada jalan setapak kecil yang entah mengarah ke mana.“Agak ngeri juga ya kalau begini? Tapi enggak apa-apa. Siapa juga yang mau datang ke mari?” gumam Citra, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri.Di dalam kepalany
Kamar yang diberikan untuk Citra adalah sebuah ruangan yang cukup untuk satu kasur single, ada lemari pakaian dan kipas angin. Satu pintu di bagian depan dan di sebelahnya ada jendela yang lumayan besar, dengan gorden yang bersih. “Syukurlah, tempatnya bersih. Aku bisa menidurkan anakku dulu, sementara aku makan. Aduh, perutku.. “ keluh Citra, sambil memegang bagian bawah perutnya. Ia khawatir jika luka jahitannya berdarah, atau parahnya jahitannya lepas. Tetapi saat ia melihat bagian bawah perutnya, sepertinya baik-baik saja. Semoga memang tak ada masalah apapun. “Permisi kak, ini nasinya dari depan.” Remaja lelaki anak pemilik warung nasi mengantarkan makanan Citra, bahkan sudah ditambah dengan es teh manis dan juga ayam goreng. “Makasih. Eh iya, nama kamu siapa Dek?” “Anwar, kak. Kalau Kakak siapa?” “Citra.” “Oh Kak Citra. Ya udah selamat makan dan istrirahat kak, kalau ada butuh apa-apa tinggal panggil aja aku di depan.” Citra mengangguk dan berterima kasih. Ia benar-benar
Selama hampir setengah jam Citra hanya duduk termangu di depan toserba, ia masih menggendong bayinya dalam posisi yang sama seperti saat pertama ia datang ke tempat ini. Jalanan di depannya masih ramai, beberapa orang yang melintas melihat dia dengan tatapan aneh.Wajar, semua orang juga pasti akan merasa aneh melihat seorang wanita muda dengan bayi yang masih merah. Pakaiannya berantakan dan bahkan mukanya juga masih pucat, hanya saja tidak ada yang cukup peduli untuk bertanya keadaannya, atau bahkan curiga jika dia penculik bayi atau apalah.Tetapi pada kenyataannya memang Citra lebih suka tidak ada yang peduli padanya, ia benar-benar sedang tidak mau bicara dengan siapapun.Citra baru tersadar saat bayinya bersuara, tidak menangis, hanya merengek sedikit lalu kembali tidur.“Ahh, aku harus beli baju buat anakku. Kasihan.. nanti dia mau pake apa?” gumamnya sambil berdiri.Ia membetulkan letak tas yang tersampir di bahunya, memperbaiki
Para perawat dan bruder mengeluarkan semua orang yang ada dalam ruangan rawat Citra, dan membiarkan ibu muda itu berduaan saja dengan bayinya. Seorang perawat sempat memberitahunya bagiamana cara untuk menyusui bayi yang benar, dan Citra sangat bersyukur tentang hal itu.“Sayang, kita pergi dari sini yuk? Di sini udah enggak aman. Mama enggak mau hidup kamu kacau kayak mama. Padahal ini hari pertama kamu di dunia, tapi kamu udah dapat masalah begini. Maafin mama ya?” bisik Citra, ia mendekap bayinya dengan erat.Bayi mungil dalam dekapannya sudah dibalut dengan selimut bayi, ia turun dari ranjang untuk mencari barang-barang pribadinya. Ia terkejut melihat tas yang biasa ia gunakan sudah ada di lemari kecil dekat ranjang.Isinya masih lengkap seperti terakhir dia meninggalkannya, ada HP, dan dompet.“Baguslah, aku bisa pergi sekarang.” Gumamnya sambil menghela napas.Tidak ada pakaian ganti, tidak ada baju untuk si baby. Suda