Citra
Menjadi orang kaya mendadak ternyata tidak menyenangkan, walau aku diperbolehkan membeli apapun yang kumau, bisa memasak menu apapun dengan bahan-bahan mahal sepuas hati, bermalas-malasan tanpa harus bekerja keras untuk membayar hutang, tetap saja rasanya tidak sehebat itu.
Maksudku, yaa...memang menyenangkan bisa melakukan hal-hal yang tak bisa kulakukan dulu. Tetapi saat ini aku merasa sangat kelelahan untuk menyesuaikan gaya hidupku dengan gaya hidup Raka. Seperti makan malam mewah semalam, aku tidak menyangka tak pakai perhiasan pun menjadi satu masalah yang besar.
Terus terang aku tersinggung dengan ucapannya, rasa sedihku bertambah saat wanita bernama Cindy itu datang dan mengajakku bicara. Aku tahu dia ingin membuatku merasa makin down dan makin minder, ia berhasil melakukan itu padaku.
“Jadi semalam bagaimana? Kulihat muka Raka asem, pasti kamu mengacau, kan?” Maureen mencegat langkahku di tangga, ia mengenakan piyama satin dengan rambut dicepol, segelas cokelat panas di tangannya. Sepertinya ia baru dari dapur.
“Biasa saja, kami memang pulang cepat semalam.”
“Raka malu dengan penampilanmu, kan?”
Kugigit bibir, menolak untuk menjawab dan memilih untuk menggeser langkahku supaya bisa turun ke dapur tanpa dihalangi Maureen. Namun gadis itu tetap mengejarku,
“Iya kan? Sudah kubilang dari awal, kamu enggak cocok jadi istrinya tetapi Raka tetap memaksa. Bodoh banget dia.”
Kuremas tanganku gusar, ingin meladeni omongan Maureen namun aku tahu tak akan memberikanku keuntungan apapun. Rasanya ingin mengatakan jika pernikahan ini untuk membuat dia cemburu, namun bisa-bisa Raka marah padaku dan ia lebih murka dari semalam.
“Kenapa sih kamu enggak sadar diri? Kamu ngincar hartanya Raka kan? Kamu pake pelet apaan, hah?!” Maureen menarik bahuku, membuatku meringis kesakitan. Kutatap dia dengan tajam, ucapannya terlalu berlebihan.
“Dunia sudah modern dan kamu masih berpikir terbelakang seperti di zaman purba. Siapa yang masih pakai pelet zaman sekarang? Mungkin aku memang bukan dari keluarga kaya, tapi aku tidak sebodoh itu sampai harus pakai pelet untuk menikah. Apa jangan-jangan kamu sendiri yang pakai pelet?”
Byur!
Sial!
Maureen menyiramkan cokelat panasnya kepadaku dan membuat bagian dada dan perutku rasanya terbakar. Cepat-cepat kukibaskan pakaianku supaya tidak menempel ke kulit yang membuatnya melepuh. Maureen sendiri melihatku kepanasan malah tersenyum sinis, menyebalkan!
“Jangan asal tuduh ya! Aku bukan orang jelek kayak kamu, yang harus pakai pelet segala. Semua lelaki itu suka padaku. Jadi jangan samakan aku dengan kamu.”
“Tapi Raka akhirnya menikah denganku, bukan denganmu yang katanya disukai semua lelaki.”
Aha, savage.
Tak tahu kenapa aku malah mengatakan hal seperti itu, padahal aku tahu jika Raka yang notabene suamiku itu menyukai Maureen.
Gadis bule itu memelototkan mata, ingin menyiramku lagi tapi dia ingat jika cangkirnya sudah kosong.
“Jangan merasa jadi ratu kamu! Suatu saat akan kupastikan jika Raka bakal buang kamu ke luar sana. Kembali ke kubangan lumpur di mana kamu seharusnya tinggal!” ancamnya tanpa ragu.
Kepalang tanggung, aku meladeni ucapan Maureen dan membalasnya dengan seringai di bibir. Semoga terlihat cukup badass dan bisa membuatnya sedikit gentar.
“Coba saja kalau kamu bisa.”
Gila, gila! Aku malah menantang Maureen. Apakah ini tak apa?
Aku bukannya kepedean atau apa, hanya saja tekanan dan rasa marah dalam dadaku membuat instingku aktif untuk membela diri. Akhirnya aku malah menantangnya untuk mencoba menghasut Raka untuk menceraikan diriku.
Entahlah benar atau tidak, tapi yang kulakukan ini bisa saja berujung buruk padaku karena aku akan didepak keluar. Tetapi setidaknya Raka mungkin akan senang karena Maureen terlihat cemburu dan bisa jadi ia nantinya mau dinikahi oleh Raka.
Jika mereka menikah, aku tetap akan mendapatkan tambahan uang dari Raka seperti yang telah ia janjikan di awal pernikahan. Jadi intinya apapun yang terjadi sebenarnya aku ini diuntungkan, betulkah?
***
Setelah sedikit insiden di tangga, aku melanjutkan niat awalku untuk pergi ke dapur dan membuat sarapan. Moodku untuk memasak hilang, dan sebagai gantinya aku hanya menyantap semangkuk sereal di meja dapur, Risa memperhatikanku dari dekat lemari es.
“Kenapa?” tanyaku, pelayan yang masih muda itu menggeleng sambil tersenyum,
“Enggak, tumben bu cuma makan sereal aja? Ibu mau saya panggangin roti?”
“Enggak usah, makasih. Aku memang lagi enggak semangat makan...”
“Dan pakaian ibu kotor,”
“Iya, tadi Maureen enggak sengaja tumpahin cokelatnya di tangga...kena bajuku jadinya begini.”
Risa mengangkat alis, kurasa ia tahu apa yang terjadi karena tadi Maureen berteriak kencang sekali.
“Hai, selamat pagi!!” sapa sebuah suara, Lee Dong Wook kw itu kembali lagi.
“Mau bertemu Maureen? Biar aku panggilkan.” Aku beringsut dari kursi dapur, berniat untuk segera mencari Maureen, tetapi Jonas mencegahku.
“Aku mau bertemu kamu, ini soal perjamuan kemarin. Kamu pasti sedih banget kan?”
“Perjamuan? Dari mana kamu tahu?”
“Tau lah, aku ada di sana kok. Cuma sengaja enggak nemuin kamu berdua sama Raka. Dia juga ngomelin kamu kan? kenapa?”
“Bukan urusanmu.” Kuabaikan Jonas, kembali kusantap serealku sebelum semuanya jadi mengembang dan lembek. Tapi tetap saja rasanya jadi tak enak, mungkin karena perasaanku saja.
“Soal penampilanmu, kan? Ayolah, biar kuajarkan banyak hal sama kamu.”
“Maksudmu apa?”
“Ikut aja denganku. Kamu pengen buktiin kalo Maureen salah tentang kamu dan Raka, kan?”
“Da-darimana kamu tau itu semua?” aku sekarang merasa agak ngeri. Jonas malah tertawa dan menarik tanganku keluar dari dapur.
Aku ingin menolak, namun aku tidak bisa dan terus terang aku merasa penasaran. Apa yang mau dia ajarkan padaku?
***
Rupanya Jonas mengajakku ke sebuah butik, bangunannya mewah dan terdiri dari dua lantai. Lantai bawah untuk pengunjung biasa dan lantai dua untuk para pengunjung eksklusif saja. Jonas berada di lantai dua bersamaku.
Seorang wanita dengan sanggul tinggi memperhatikan aku dari ujung kaki ke ujung kepala, tampilannya sangat berkelas dan membuatku jadi benar-benar minder. Butik ini sama saja menegangkan seperti di restoran mewah kemarin.
“Jonas, aku mau pulang saja...:
“Jangan, tunggu sebentar. Kamu bakalan suka sama yang bakal kamu pelajari di sini.”
“Jadi kamu si bebek buruk rupa yang ingin berubah jadi angsa jelita?” celetuk wanita bersanggul itu, membuatku jadi bertambah minder.
Aku memang tidak secantik dan seelegan Maureen, tapi disebut bebek buruk rupa agaknya sedikit berlebihan sih. Wanita itu lantas mendekatiku dan mengamati wajahku dari jarak yang benar-benar dekat, bahkan dia seolah akan menciumku.
“Kamu itu sebenarnya ada bakat cantik, sudah cantik tapi kucel banget mukanya, kurang perawatan!”
“Kamu enggak suka perawatan? Kamu suka panas-panasan tanpa pake sunblock? Ckk ckk sudah kuduga. Sunblock itu penting sayangku, supaya mukamu enggak rusak kayak begini!” ia meraih sebotol sunblock dan melemparkannya padaku.
“Ambillah itu, pakai tiap mau keluar rumah. Anggap saja itu hadiah untuk pelanggan spesial hari ini. Ahh Jonas sayangku, dia harus aku apakan?”
“Tolong ajari dia berbusana yang elegan dan berkelas, aku cuma merasa sayang jika ada potensi yang tidak bisa terpancar karena kurangnya perhatian.”
Aku cuma diam saja mendengarkan percakapan mereka, siapa yang potensinya belum terpancar? Aku? Karena mukaku yang kusam dan tak tahu cara berpakaian kelas atas?
Jonas menghampiriku dan berbisik pelan,
“Jangan marah ya Citra, aku ingin membuat kamu jadi sosok yang baru...seorang wanita kelas atas yang bisa bikin siapapun bertekuk lutut kepadamu. Kamu itu cantik seperti mutiara yang langka, hanya saja kamu membutuhkan sedikit bantuan untuk memolesnya, sehingga kecantikanmu itu bisa terpancar dengan nyata.”
Aku, mutiara yang langka katanya..ha-ha.
Sudahlah, mau pulang dan menyerah pun sudah tak berguna. Lebih baik kunikmati saja semua sekalian, apalagi semua ini gratis kudapatkan. Kapan lagi bisa belajar berbusana dan tata krama orang kaya jika tidak sekarang?
***
RakaMaureen berdiri di balkon, menatap lurus ke arah gerbang masuk dengan ekspresi yang masam. Perasaanku jadi tak enak, kukira setelah aku bisa tinggal bersamanya dalam satu rumah maka aku bisa membuatnya jadi lebih ceria dan bahagia. Tetapi rupanya semua yang kulakukan tak cukup membuat Maureen lebih bahagia.Salahku di mana?Perlahan kudekati dia, kusentuh bahunya dan ia terlonjak kaget,“Raka!”“Ngelamunin apa sih? Sampai kaget begitu...”Maureen melenguh, seolah pikirannya benar-benar dibebani oleh sesuatu yang begitu berat dan tak bisa diselesaikan dengan mudah.“Liat aja itu, istrimu kayaknya sedikit terlalu percaya diri sampai kegatelan. Memangnya pantas mereka pergi berdua?” ia menoleh lagi ke arah gerbang masuk.Kuikuti tatapannya, dan bisa kulihat jika mobil Jonas terparkir di sana. Yang membuatku kaget adalah Citra keluar dari pintu de
Citra Bayangan wanita muda yang terpantul di cermin memandangku dengan sorot mata menyedihkan, ia terlihat mengasihani aku dan seolah ingin keluar dari sana lalu memelukku dengan erat. Huh, aku terus menerus diombang-ambing dengan yang terjadi padaku saat ini.Menerima tawaran menikahi seseorang yang tak kukenal dengan imbalan hutang ayah lunas, terasa terlalu mudah. Tidak mungkin hidupku akan berjalan semulus itu bagai dalam cerita dongeng, happily ever after.Benar saja, sekarang saja aku sudah mendapatkan banyak sekali rasa sakit hati. Perlakuan Raka yang egois dan tidak melihatku sebagai sosok manusia yang punya perasaan, Maureen yang merasa jika dirinya lebih tinggi derajatnya dariku, ditambah lagi dengan Jonas yang seenaknya saja menarikku kesana-kemari dengan alasan membantu.Untuk apa aku pergi ke butik mewah itu? Mengganti potongan rambutku, mengajarkan cara berpakaian seperti wanita-wanita sosialita, diajarkan car
Raka Aku yakin sekali jika Maureen sedang membenci Jonas, karena cemburu melihat kekasihnya pergi dengan istriku tanpa bicara pada siapapun. Tetapi bukannya merajuk, atau marah besar dan meminta putus, Maureen malah mau-mau saja diajak keluar oleh Jonas. Sekitar setengah jam yang lalu, mereka pergi dengan mobil Jonas dan aku yang bodoh ini langsung bergegas mengikuti mobil mereka dari belakang. Keduanya tidak mampir kemana-mana, melainkan langsung pergi ke apartemen milik Jonas. Di balik kemudi aku mengawasi mereka berdua yang cukup lama di parkiran, mungkin membicarakan soal Citra atau entalah aku tidak yakin. Tetapi samar-samar bisa kulihat jika hubungan mereka sedang diperbaiki, Jonas merengkuh kepala Maureen dan mengecup dahinya, lalu mereka berciuman. “Sialan.” Gerutuku sambil membuang muka. Kupukul setir dengan sekuat tenaga, memaki dan bersumpah serapah untuk menahan rasa cemburu yang benar-benar membakar dada.
CitraIya aku tahu, jika penampilanku ini jauh sekali dari selera wanita yang disukai oleh Raka, dan semua lelaki yang ada di kalangannya. Tetapi Raka tak perlu mengatakan hal sejahat itu hanya untuk berkata tidak. Cukup katakan saja tak mau pergi konsultasi, sudah.Kenapa malah membawa-bawa tak sudi menghamiliku segala? Memangnya aku juga mau dia hamili?Hidupku memang susah, aku ingin memiliki uang yang cukup untuk hidup dan bebas dari hutang serta tak perlu capek kerja keras. Tetapi jika harus mengorbankan harga diri dan memasang muka tembok demi mengandung anak orang kaya, lalu hidup enak dari biaya bulanan untuk anak.Aduh, itu bukan gayaku!Setelah berdebat panjang lebar dengan Raka, aku masuk ke kamar dan mengemas beberapa pakaianku. Tak tahan lagi jika lebih lama tinggal di sini, aku mau pulang dulu ke rumah ayah selama dua atau tiga hari. Siapa tahu bisa membuat kepalaku sedikit dingin dan bisa waras untuk kemba
RakaSudah dua hari Citra menginap di rumah ayahnya, sudah dua hari pula Maureen tak ada kabar. Aku ingin menyusul Maureen tapi sadar diri tak punya hak apapun untuk melarangnya melakukan ini itu sesuai kemauan dia. Urusan Citra, mau sebulan pun tinggal di sana aku tak peduli.“Pak, ada telepon dari kantor. Katanya ada rapat penting tapi bapak enggak bisa dihubungi.”“Oh iya, makasih.” Jawabku tak acuh.Walau begitu aku tetap berdiri untuk mengambil ponsel yang kubuat mode senyap, sehingga tak tahu ada telepon, chat atau notifikasi apapun yang kudengar. Ternyata sudah banyak panggilan tak terjawab, chat dari sekretaris dan aku langsung malas mengingat posisiku sebagai CEO. Karena hal itu aku jadi tak bisa duduk diam di rumah tanpa direpotkan dengan urusan kantor.Padahal di saat seperti ini, aku sangat ingin bersantai tanpa memikirkan apapun lagi. Sebab otakku sudah cukup ngebul memikirkan Maureen
CitraTak tahu hari keberapa aku menginap di rumah ayah, kulakukan beberapa hal untuk membuat rumah lebih nyaman baginya. Kubelikan kasur baru untuknya, juga untuk Angga sementara kasurku sendiri ditumpuk menggunakan kasur tipis bekas mereka. Tak apa, dibungkus seprai baru juga sudah terlihat bagus, lagipula aku tidak akan terus menerus tidur di rumah karena harus pulang ke rumah Raka.Juga kupanggil tukang untuk memperbaiki atap rumah yang bocor, juga menambal lantai yang keramiknya sudah pecah-pecah, mengganti daun pintu dan membeli lemari plastik yang ukurannya cukup besar untuk menyimpan pakaian mereka berdua, menggantikan lemari kayu yang sudah jelek dan dimakan rayap.Rumah sekarang terlihat lebih segar, dan juga lebih nyaman dibanding sebelumnya.“Jangan ke jalan lagi, Angga. Di sini aja temenin ayah.” Nasehatku saat kami sedang duduk di depan rumah, menikmati bakso di tengah hari.“Gimana nanti
Citra Sebenarnya aku belum mau pulang, tapi saat mendengar mama Laksmi memintaku menginap maka aku langsung mengiyakan ajakan Raka. Tak perlu berpikir dua kali, sebab aku menyukai wanita dengan tubuh subur itu. Orangnya tulus, dan tidak dibuat-buat.Aku merasa seperti diterima sebagai menantu, dianggap sebagai istri dari anaknya. Aku pun ingin melakukan semua yang bisa membuat mama Laksmi merasa senang, salah satunya mengiyakan ajakannya menginap.Saat kami akan berangkat, Maureen ngambek ingin ikut juga. Ia bahkan sampai merajuk seperti anak kecil, Raka kerepotan menghadapinya. Ia membujuk gadis bule itu supaya tidak marah-marah, dan berjanji akan membelikannya makanan yang ia inginkan.“Aku bukan anak kecil! Aku enggak mau disogok makanan! Aku maunya ikut!” tolaknya sambil menepis tangan Raka, ia lantas melipat tangannya di depan dada, bibirnya mengerucut manyun.“Ya udah..udah. Yuk
RakaIni adalah pengalaman menginap yang paling memuakkan sepanjang hidupku, padahal biasanya aku sangat tenang saat tidur di rumah mama. Tetapi malam ini, rasanya kupingku panas dan hatiku terbakar setiap kali melihat mama bersama Citra, atau terus memujinya di hadapanku.Kenapa mama seleranya rendah sekali?Citra itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Maureen, kelas mereka jelas berbeda jauh. Jika dibandingkan, langit dan bumi pun sepertinya terlalu dekat untuk membandingkan mereka berdua. Apa istimewanya gadis berwajah kusam itu? Apa jangan-jangan dia pakai jampi-jampi untuk menaklukkan hati mamaku?Halah, zaman digital begini memangnya masih mempan pakai jampi-jampi zaman batu? Lagipula siapa yang masih percaya pada dukun untuk mempermudah urusan mereka? Hanya orang primitif saja.“Raka, mama nyuruh aku untuk panggil kamu dan nyicipin roti. Itu udah pada mateng...”Citra menghampiriku yang se
Selama berada di depan Raka, Citra tidak menangis sama sekali, sebab semua tangisnya sudah habis. Malah Raka yang menangis, ia terlihat sangat menyesali semua yang ia rasakan saat ini. “Maafkan aku Citra, maafkan aku. Aku bahkan tak pantas untuk menggendong anak kita.. karena semua kelakuanku di masa lalu.” Citra tak menanggapi hal itu, biarkan saja Raka dengan penyesalannya sendiri. Ini salah satu cara untuk mengikhlaskan semuanya. Lagipula mau minta pertanggungjawaban dalam bentuk apa? Raka saja nyaris tak bisa menghidupi dirinya sendiri. Tak mau berlama-lama, Citra mengajak Angga pergi. Raka yang masih bercucuran air mata meminta untuk menggendong Hana sebentar. “SIlahkan,” sahut Citra. Walau sangsi, ia tetap memberikan Hana untuk digendong. Selama beberapa saat Hana dalam gendongan ayahnya sendiri, ia sangat anteng dan cuma mengoceh kecil sementara Raka makin banjir dalam air mata penyesalan. Tak berselang lama, Maureen datang sambil kesusahan menggunakan kursi rodanya. “Rak
Walaupun baru beberapa bulan saja Citra tinggal bersama bu Susi dan Anwar, tetapi perpisahan yang terjadi antara mereka cukup menyedihkan. Ketiganya menangis dengan haru bercampur sedih, namun mereka sama-sama berjanji supaya bisa tetap saling berkomunikasi walaupun sudah tak bersama.Citra kembali ke kampung halamannya, di mana ayah dan adiknya tinggal. Juga tentu saja Raka.Tetapi dia tak begitu peduli dengan Raka, bukan urusannya lagi sekalipun harus tinggal satu daerah dengan lelaki yang sudah mengacaukan hidupnya yang damai.Memang, saat belum menikah dengan lelaki itu dirinya juga dipusingkan dengan kelakuan Angga, tetapi paling tidak batinnya tak terluka sedalam saat bersama dengan Raka.Sebab karena Raka juga, dirinya mengalami patah hati dan rasa kecewa yang luar biasa karena dibohongi oleh orang yang telah ia percayai. Bahkan Citra juga sudah memikirkan kemungkinan jika dirinya akan mempercayakan hatinya juga pada Jalu.Iya, Jalu.Lelaki itu tipe pendamping yang sempurna, de
POV RakaCitra tak main-main dengan apa yang telah ia katakan dua bulan yang lalu, di rumah sakit, ketika lukanya masih berdarah dan bayi kecil kami masih belum terbuka matanya.Dia benar-benar pergi, meninggalkan semuanya. Masa lalunya, termasuk aku yang ternyata bukan siapa-siapa untuknya, sekalipun ada darahku dalam tubuh gadis mungil dalam pelukannya itu.Ah andai saja dulu aku tahu hidupku bakal sesusah ini, niscaya aku tak akan berkata hal yang buruk tentang anak kami. Paling tidak, aku tidak akan merasakan penyesalan sedalam ini.Aku akui, dahulu diriku memang sangat buta dan mengahalalkan segala cara, aku sangat takut jatuh miskin, apalagi dengan adanya papa dan Maureen yang menjadi tanggunganku.Kuakui saat itu menjadi kesalahan besar yang telah kulakukan, setelah banyak kesalahan lain yang telah kulakukan dan menyakiti hati Citra. Aku berangkat bukan untuk benar-benar menemui Citra, dan buah hati kami.Tetapi untuk memaksanya kembali denganku, dan meminta bagian warisan dar
Raka mengusap wajahnya dengan kasar, lalu berkacak pinggang sambil memalingkan mukanya ke arah lain. Ke mana pun, asal tak perlu bertatapan dengan Jalu.Ia merasa jika Jalu memiliki semacam kemampuan untuk mengintimidasi orang lain. Entah karena memang dirinya yang terlalu pengecut, Raka tidak terlalu paham akan hal itu.“Mau apa datang ke mari? Mengacaukan semuanya lagi, hah?” desak Jalu.“Terus salahku di mana? Aku cuma mau ketemu anak istriku. Aku cuma mau mengatakan yang sebenarnya saja. salah?!”“Masih berani tanya salahmu di mana? Hmm. Kau lupa dengan semua yang telah kau lakukan pada Citra? Pernikahan kontrak itu, tindakanmu yang semena-mena padanya cuma karena ingin menyenangkan Maureen?”Raka jengah, ternyata Jalu juga tahu sampai sedetail itu.“Tau dari mana kamu? Jangan sok tau!”“Aku bukan sok tau, aku memang sudah tau. Kamu juga tak mengakui darah dagingmu, sampai Citra harus pergi jauh sekali. kalau aku jadi kamu, aku tak akan pernah menampakkan mukaku lagi di depan Citr
Citra berusaha untuk bangkit dari tidurnya, namun ia merasa kepalanya begitu berat dan ditambah lagi luka di perutnya terasa makin nyeri saja.“Duh, perutku sakit banget..” keluhnya sambil memegang perut, dan ia merasa jika perutnya sudah diperban lagi.Terakhir ia ingat jika dirinya sudah melepaskan perban saat berlari, karena perbannya sudah basah oleh darah dan perekatnya lepas. Tapi sekarang benda itu sudah diganti dengan yang baru, demikian juga pakaian yang ia kenakan.“Bu Susi pasti bawa aku ke mari.. aduh ya Tuhan, mau bayar pakai apa?” keluhnya lagi sambil menahan tangis.Tetapi ia tak bisa menangis, sebab dalam pikirannya kini hanya bayinya, bayinya dan bayinya. Urusan bayar rumah sakit, atau rasa nyeri yang tak tertahankan ini, semua masih bisa dipikirkan nanti.Bagaimana dengan bayinya yang masih merah? Di mana dia sekarang? Bersama siapa? Bagaimana jika dia ingin minum susu?“Ya Tuhan, kuatkan aku..”Citra turun dari ranjang, dan melepas infusan yang menempel di tangannya
Citra baru menyelesaikan makannya, dan bayi kecil yang baru saja dia lahirkan masih tidur terlelap tanpa menangis, rewel atau apapun. Setahunya, bayi baru lahir memang tidak terlalu banyak menangis, bahkan cenderung lebih banyak tidur.Maka karena itu dirinya harus memaksimalkan waktu, harus mampu memulihkan diri dalam waktu cepat namun juga harus bisa bekerja.Citra keluar kamar dan menutup pintunya rapat, ia berniat mengantarkan piringnya ke depan sambil bertanya apakah ada yang bisa dia bantu. Bagian belakang rumah sekaligus warung makan ini tidak dipagar, melainkan langsung mengarah ke kebun yang cukup padat tumbuhannya.Sejauh yang Citra lihat, ada beberapa batang pohon jengkol, rambutan dan pohon-pohon besar berbuah lainnya. Di ujung kebun yang cukup jauh terlihat ada jalan setapak kecil yang entah mengarah ke mana.“Agak ngeri juga ya kalau begini? Tapi enggak apa-apa. Siapa juga yang mau datang ke mari?” gumam Citra, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri.Di dalam kepalany
Kamar yang diberikan untuk Citra adalah sebuah ruangan yang cukup untuk satu kasur single, ada lemari pakaian dan kipas angin. Satu pintu di bagian depan dan di sebelahnya ada jendela yang lumayan besar, dengan gorden yang bersih. “Syukurlah, tempatnya bersih. Aku bisa menidurkan anakku dulu, sementara aku makan. Aduh, perutku.. “ keluh Citra, sambil memegang bagian bawah perutnya. Ia khawatir jika luka jahitannya berdarah, atau parahnya jahitannya lepas. Tetapi saat ia melihat bagian bawah perutnya, sepertinya baik-baik saja. Semoga memang tak ada masalah apapun. “Permisi kak, ini nasinya dari depan.” Remaja lelaki anak pemilik warung nasi mengantarkan makanan Citra, bahkan sudah ditambah dengan es teh manis dan juga ayam goreng. “Makasih. Eh iya, nama kamu siapa Dek?” “Anwar, kak. Kalau Kakak siapa?” “Citra.” “Oh Kak Citra. Ya udah selamat makan dan istrirahat kak, kalau ada butuh apa-apa tinggal panggil aja aku di depan.” Citra mengangguk dan berterima kasih. Ia benar-benar
Selama hampir setengah jam Citra hanya duduk termangu di depan toserba, ia masih menggendong bayinya dalam posisi yang sama seperti saat pertama ia datang ke tempat ini. Jalanan di depannya masih ramai, beberapa orang yang melintas melihat dia dengan tatapan aneh.Wajar, semua orang juga pasti akan merasa aneh melihat seorang wanita muda dengan bayi yang masih merah. Pakaiannya berantakan dan bahkan mukanya juga masih pucat, hanya saja tidak ada yang cukup peduli untuk bertanya keadaannya, atau bahkan curiga jika dia penculik bayi atau apalah.Tetapi pada kenyataannya memang Citra lebih suka tidak ada yang peduli padanya, ia benar-benar sedang tidak mau bicara dengan siapapun.Citra baru tersadar saat bayinya bersuara, tidak menangis, hanya merengek sedikit lalu kembali tidur.“Ahh, aku harus beli baju buat anakku. Kasihan.. nanti dia mau pake apa?” gumamnya sambil berdiri.Ia membetulkan letak tas yang tersampir di bahunya, memperbaiki
Para perawat dan bruder mengeluarkan semua orang yang ada dalam ruangan rawat Citra, dan membiarkan ibu muda itu berduaan saja dengan bayinya. Seorang perawat sempat memberitahunya bagiamana cara untuk menyusui bayi yang benar, dan Citra sangat bersyukur tentang hal itu.“Sayang, kita pergi dari sini yuk? Di sini udah enggak aman. Mama enggak mau hidup kamu kacau kayak mama. Padahal ini hari pertama kamu di dunia, tapi kamu udah dapat masalah begini. Maafin mama ya?” bisik Citra, ia mendekap bayinya dengan erat.Bayi mungil dalam dekapannya sudah dibalut dengan selimut bayi, ia turun dari ranjang untuk mencari barang-barang pribadinya. Ia terkejut melihat tas yang biasa ia gunakan sudah ada di lemari kecil dekat ranjang.Isinya masih lengkap seperti terakhir dia meninggalkannya, ada HP, dan dompet.“Baguslah, aku bisa pergi sekarang.” Gumamnya sambil menghela napas.Tidak ada pakaian ganti, tidak ada baju untuk si baby. Suda