POV Raka
Betul sekali dugaanku, selera berpakaian Citra memang sangat kampungan. Ia memilih memakai celana jeans dan kemeja tartan untuk pergi makan malam dengan keluarga dan Claudia. Memangnya mau pergi ke mall?
Tak salah jika aku sudah menyiapkan berbagai setelan pakaian untuk stoknya selama menjadi istriku di sini, dari mulai pakaian dalam sampai baju tidur, pakaian formal dan sepatu serta aksesoris semuanya sudah aku bantu siapkan.
Kasihan juga jika ia tidak kusiapkan barang-barang ini, ia pasti lebih bingung lagi untuk berpakaian, menyesuaikan diri dengan kehidupan dia yang baru.
Memang sih bisa beli langsung saat ia butuh, tapi masalahnya aku khawatir seleranya tidak sesuai denganku. Jangan sampai dia kalap seperti OKB kebanyakan, selera kampungannya tetap dibawa walau sudah jadi orang kaya.
Itu akan sangat memalukan.
Tapi syukurlah, ia tidak ngeyel dan menurut dengan apa yang kukatakan. Ia juga cukup pandai mengenakan riasan, membuat wajahnya lebih segar dan kuakui, dia manis juga.
“Kenapa bengong?” tanyaku iseng, melihat Citra yang terpana di depan paviliun.
Sekitar dua menit ia terdiam melihat lampu kristal yang menggantung di sana, ekspresinya lucu sekali.
“A-ah, enggak...” ia segera menunduk dan tak jujur. Mungkin malu.
Kuajak dia untuk masuk dan bertemu dengan ayah, lelaki yang kusayangi namun sekaligus kubenci juga. Wanita yang ia nikahi belum nampak, namanya Claudia dan ia hanya lebih tua 5 tahun usianya denganku alias wanita yang terlalu muda untuk dinikahi oleh ayah.
Itulah kenapa aku lebih suka memanggilnya dengan nama, ketimbang embel-embel ibu, mami, atau apalah. Mamaku cuma ada satu. Mama Laksmi.
Tapi apa peduliku. Baik ayah ataupun mama sama saja, mereka juga tidak peduli padaku.
“Raka, habis makan malam ikut sama ayah. Ada yang mau ayah omongin di ruang kerja.”
“Mau ngomongin apa sih? Di sini aja.” Tolakku ketus, Citra terlihat kaget saat aku bicara dengan ayah dengan nada seperti itu.
Dia tak tahu saja jika memang begini caraku bicara dengan ayah, entahlah...aku tak bisa bicara dengan lebih lunak dan santai. Tiap kali aku bicara dengannya, bawaannya selalu ketus.
Salahnya sendiri, gara-gara dia yang memang selalu saja melantur bicara kemana-mana. Awalnya mungkin bisa mengobrol biasa, tapi semakin lama selalu ada saja celah untuk menjelekkan mamaku. Seperti tadi, saat makan malam tiba-tiba saja membicarakan mama.
Seolah hanya mama yang salah, memangnya dia sendiri tak punya salah?
Dia tak ingat bagaimana kelakuannya saat muda, sebelum berpisah dengan mama Laksmi. Kelakuannya macam pemuda 18 tahun yang tak punya tanggungan hidup apa-apa. Banyak uang, wajah tampan, tak ada yang melarang untuk melakukan apapun.
Senin sampai Jumat dia bekerja seperti tak ada hari esok, hari Sabtu dan Minggu bersenang-senang seakan esok akan kiamat dan tak ada waktu lagi untuk berhura-hura.
Sampai lupa anak dan istri.
“Enggak enak dong sama mami kamu kalo di sini, nanti saja lah. Ayah tunggu di ruang kerja. Citra, kamu santai aja dulu di ruang keluarga ya, nonton TV atau baca buku, ngemil, mau apapun bebas. Anggap aja rumah sendiri.”
Kulihat Citra mengangguk dengan canggung, ia menoleh ke arahku tapi aku segera memalingkan muka. Ia pasti mau minta pulang, tapi memangnya dia tak dengar apa kata ayahku? Aku masih harus bicara dengannya.
Mau tak mau harus berdiri untuk menemui ayah, firasatku tak baik. Sepertinya ia akan membuatku emosi lagi malam ini.
“Raka, kamu mau promil sama dokter kandungan yang sama kayak mami kamu gak?”
“Maksudnya?”
“Ya biar nanti ayah bikinkan janji supaya bisa konsultasi, kalo bisa anak lelaki lah. Sekarang teknologi udah canggih, kita bisa promil anak lelaki atau perempuan, kembar atau triplet, bebas.”
“Emangnya siapa yang mau punya anak?”
“Lhoo, masa menikah enggak mau punya anak sih. Harus punya anak dong buat penerus darah kita!”
Aku duduk di kursi kerja ayah, sementara lelaki itu berdiri di dekat jendela sambil berpangku tangan.
“Harus anak lelaki, Raka. Soalnya keluarga Jagadita itu enggak punya anak lelaki.”
“Lho apa urusannya sama aku?” tanyaku aneh.
Jagadita adalah nama belakang ayah tiriku, suami mama Laksmi. Ia memang tidak memiliki anak lelaki, sebab kedua anaknya adalah perempuan.
“Yaa ada dong. Kalo kamu punya anak lelaki, dia bakal angkat kamu jadi anak dia, pake nama belakang dia, nanti disahkan ke pengadilan.”
“Maksudnya?”
“Gimana sih kamu, masih muda tapi kok lemot begitu. Kamu harus punya anak lelaki, supaya warisan si Jarot Jagadita itu jadi sebagian besar milik kamu, bukan anak-anaknya yang perempuan itu!”
Aku benci dengan cara bicara ayah, yang seakan-akan begitu akrab denganku. Ia bicara dengan bahasa yang santai, seolah hubungan kami normal layaknya ayah dan anak kebanyakan.
Padahal tidak.
Kami tidak akrab, dan aku tidak merasa dia benar-benar ayah kandungku.
Lihat saja, dia dengan entengnya bilang bahwa aku harus meneruskan nama Jagadita, alih-alih Nataprawira!
“Kenapa harus meneruskan nama orang sih yah? Kan jelas-jelas aku anak ayah, cuma satu-satunya pula. Memangnya ayah enggak keberatan kalo nama keluarga ayah putus di sini aja?” serangku gerah, menahan marah.
Ayah membalikkan tubuhnya menatap keluar jendela, bulan mulai muncul dan membuat suasana temaram dengan syahdu. Lelaki itu terdiam beberapa saat, hela napasnya meninggalkan jejak embun di jendela kamar yang diterangi lampu taman.
“Ayah sudah punya penerus, kakak kamu. Lagipula mami kamu juga lagi usaha, nanti ada lagi adik kamu laki-laki, bisa jadi penerus juga...”
“Tunggu, apa maksudnya? Kakak? Aku punya kakak?!”
Ayah menoleh padaku sekilas, lalu kembali menatap bulan yang masih separuh bentuknya.
“Iya, kakak. Sebelum nikah sama mama Laksmi, kan ayah sudah nikah dulu sama yang lain dan punya anak. Nah, itulah kakak kamu. Cuma yaa...ayah masih belum bisa publish dia. Kondisinya masih kurang memungkinkan.”
Apa katanya?
Sebelum menikah dengan mama Laksmi, dia sudah memiliki anak dari perempuan lain? Selama menikah dengan mamaku, ia tetap menikah dengan wanita itu?
Bukan cuma seorang lelaki yang gila kerja dan gila hura-hura, tapi juga seorang lelaki yang gila wanita? Yaa yaa aku tahu, banyak gosip miring tentang ayahku dan kebiasaannya bermain perempuan. Namun aku berusaha menutup telinga, kuanggap itu hanya gosip belaka.
Lalu dengan mudahnya ia bilang bahwa aku tak perlu meneruskan darahnya sebagai seorang Nataprawira?
Darahku mendidih, marah.
Aku merasa seperti tak diinginkan, dan ditipu.
“Heh, kemana?”
Aku tidak menjawab, kubanting pintu ruang kerja dan bergegas meninggalkan area tersebut. Aku benar-benar tidak menyukai rumah ini, rasanya tak pernah hatiku baik-baik saja setelah bertemu dengan ayah dan bicara berdua.
Kusambar tangan Citra yang sedang duduk canggung di ruang keluarga.
“Ke-kenapa?”
“Diamlah, aku sedang marah.” Sahutku ketus.
Makan malam berakhir kacau, seperti yang sudah kuduga sebelumnya.
**********
POV Citra:Hari keduaku sebagai seorang istri, bangun pagi dan langsung bingung harus lakukan apa. Biasanya pagi hari bergegas masak, menyiapkan sarapan untuk ayah dan untukku sendiri. Setelah makan dengan nasi goreng sederhana atau telor ceplok, maka aku dan ayah akan berangkat kerja.Adikku? Dia pulang ke rumah kurang dari sebulan sekali. Kami biasanya bertemu di jalanan, berpapasan saat menunggu di lampu merah. Kadang bertemu di pos satpam, atau kantor polisi seperti kemarin, saat ia terkena masalah dan butuh keluarga untuk menyelesaikan masalahnya.Dasar anak sialan.Aku menyayangi dia, dulu dia anak yang lucu dan penurut. Tapi sejak ibu pergi entah kemana, akhirnya ia jadi berandalan dan tak pernah pulang ke rumah.Aku masih ingat saat pertama kali ia kabur dari rumah, ayah dan aku berhari-hari menyebar poster anak hilang, melapor ke kantor polisi dan mencari kemana-mana. Tak tahunya ia ditangkap satpol PP di kot
POV Citra:Rasanya aneh, aku diajak tinggal di rumah besar ini setelah menikah dengan Raka. Namun sejak terakhir kali kami pergi ke rumah ayahnya, Raka sama sekali tak mengajak aku bicara barang sepatah kata pun.Apalagi sejak kedatangan Maureen, bisa kulihat jika Raka begitu gembira dengan kedatangan gadis bule Indo itu.Sekarang saja dia sedang mengobrol dengan asyik di ruang membaca, sambil menikmati biskuit dan susu hangat di atas meja. Sementara aku? Masih mengenakan piyama, rambut yang kusut dan diikat sekadarnya, diam-diam mengintip mereka berdua dari lantai dua.Maureen gadis yang cantik, tubuhnya langsing dan kulitnya bersih. Pembawaannya juga begitu berkelas, caranya duduk, berjalan, setiap kali ia menyibak rambut panjangnya terlihat sangat feminim dan mewah.“Kalo aku rajin skincare-an, bisa kayak dia juga enggak ya?” tanyaku setelah kembali ke kamar.Kupandang wajahku di cermin, kusam dan tidak menari
POV Raka: Mungkin begini ya rasanya jika Maureen menjadi istriku? Dia bersamaku siang dan malam, menemaniku mengobrol, berbagi berbagai cerita. Dia juga memasak untukku, lucu sekali melihat tubuh mungilnya hilir mudik di dapur.Ia terlihat berusaha keras untuk belajar memasak, padahal aku tahu ia gadis yang anti sekali menyentuh dapur. Cuma kasihan sekali ia tadi mengangkat panci presto berisi dua kilo iga sapi, tangannya yang mungil tak kuat menahannya sampai-sampai jatuh ke lantai.“Hati-hati, kan mama udah bilang kalo enggak kuat biar mama aja yang angkat...kena kaki, enggak?” tanya mama, sambil mengisyaratkan supaya seorang pelayan merapikan iga dan panci yang berantakan.Namun Citra yang langsung bergerak karena memang ia yang ada paling dekat, dibereskan lalu dibawa ke bak cuci untuk dibersihkan lagi.Aku terharu melihat mama yang perhatian dengan Maureen, mereka bisa menjadi menantu dan mertua yang serasi.
POV Citra:Sepanjang malam aku tidak bisa tidur, mengingat kata-kata Raka kemarin. Tentang poligami.Tak tahu apa yang ada dalam pikiran lelaki itu, mengapa tiba-tiba malah ingin poligami? Kenapa memaksakan diri memiliki dua istri, padahal jika dia mau tinggal ceraikan saja aku dan menikah dengan perempuan yang ia idamkan.Sejak awal memang perjanjian perkawinan kontrak ini sangat aneh.Aku saja yang terlalu bodoh dan gelap mata, sampai mau-mau saja jadi istri kontrak.Seperti malam-malam sebelumnya, Raka dan aku tidak tidur bersama dalam satu kamar. Kami tidur di kamar masing-masing dalam mansion besar dengan nuansa warm white ini. Kamarku berseberangan dengan kamar Raka, yang bersebelahan dengan kamar Maureen.Pagi ini aku keluar kamar, lalu berpegangan pada railing tangga yang mengelilingi area kosong di bagian tengah lantai dua. Jadi dari lantai ini aku bisa melihat ke lantai bawah, kurang
Citra“Aaah, aku paham sekarang. Kamu menikahi Citra untuk bikin Maureen cemburu? Iya kan?!”Ucapan lelaki yang mirip dengan Lee Dong Wook itu kembali terngiang di telingaku, meninggalkan rasa kesal dan marah yang menyala di dalam dadaku. Tapi dipikir-pikir lagi, kenapa aku harus marah?Lagipula memang sejak awal pernikahan pun sudah dijelaskan, Raka menikahi Citra untuk satu alasan. Dia tak perlu tahu, dan tak berhak untuk protes. Dia sudah dapat uang muka, yaitu pelunasan hutang ayahnya.Kalau ternyata memang perkawinan ini untuk membuat Maureen cemburu, lantas memangnya kenapa? Ya sudah, terima saja.Pantas jika Raka begitu peduli dengan gadis bule itu, bahkan sekarang juga ia sedang mencoba untuk menghibur Maureen. Sejak kemarin ia memang merajuk, ketika tahu Jonas datang kemari untuk mencarinya, namun tidak ada yang memberitahu dia.
RakaSial, aku lupa!Malam ini harusnya aku mengajak Citra untuk pergi ke perjamuan kantor, dan memang acara ini sudah rutin kuikuti sejak aku resmi menjadi pimpinan di perusahaan anak cabang milik ayahku. Hanya makan malam bersama, semi formal, namun biasa dilakukan di restoran fine dining karena yang menghadirinya adalah jajaran pemimpin perusahaan.Gara-gara Jonas si brengsek itu datang ke rumah, pikiranku jadi berantakan dan melupakan hal penting.Padahal jika aku ingat, rencananya aku ingin memberikan sedikit pelajaran basic manner untuk Citra. Supaya dia tidak mempermalukan aku di depan para elit perusahaan.“Malam ini kamu mau makan malam sama para petinggi perusahaan kayak biasa?” tanya Maureen, ia memang tahu hal ini. Ia juga sempat beberapa kali kuajak pergi menghadiri jamuan tersebut.Dia selalu pandai menempatkan diri, mengenakan gaun yang indah dan bersolek dengan cantik.
Citra Menjadi orang kaya mendadak ternyata tidak menyenangkan, walau aku diperbolehkan membeli apapun yang kumau, bisa memasak menu apapun dengan bahan-bahan mahal sepuas hati, bermalas-malasan tanpa harus bekerja keras untuk membayar hutang, tetap saja rasanya tidak sehebat itu.Maksudku, yaa...memang menyenangkan bisa melakukan hal-hal yang tak bisa kulakukan dulu. Tetapi saat ini aku merasa sangat kelelahan untuk menyesuaikan gaya hidupku dengan gaya hidup Raka. Seperti makan malam mewah semalam, aku tidak menyangka tak pakai perhiasan pun menjadi satu masalah yang besar.Terus terang aku tersinggung dengan ucapannya, rasa sedihku bertambah saat wanita bernama Cindy itu datang dan mengajakku bicara. Aku tahu dia ingin membuatku merasa makin down dan makin minder, ia berhasil melakukan itu padaku.“Jadi semalam bagaimana? Kulihat muka Raka asem, pasti kamu mengacau, kan?” Maureen mencegat langkah
RakaMaureen berdiri di balkon, menatap lurus ke arah gerbang masuk dengan ekspresi yang masam. Perasaanku jadi tak enak, kukira setelah aku bisa tinggal bersamanya dalam satu rumah maka aku bisa membuatnya jadi lebih ceria dan bahagia. Tetapi rupanya semua yang kulakukan tak cukup membuat Maureen lebih bahagia.Salahku di mana?Perlahan kudekati dia, kusentuh bahunya dan ia terlonjak kaget,“Raka!”“Ngelamunin apa sih? Sampai kaget begitu...”Maureen melenguh, seolah pikirannya benar-benar dibebani oleh sesuatu yang begitu berat dan tak bisa diselesaikan dengan mudah.“Liat aja itu, istrimu kayaknya sedikit terlalu percaya diri sampai kegatelan. Memangnya pantas mereka pergi berdua?” ia menoleh lagi ke arah gerbang masuk.Kuikuti tatapannya, dan bisa kulihat jika mobil Jonas terparkir di sana. Yang membuatku kaget adalah Citra keluar dari pintu de
Selama berada di depan Raka, Citra tidak menangis sama sekali, sebab semua tangisnya sudah habis. Malah Raka yang menangis, ia terlihat sangat menyesali semua yang ia rasakan saat ini. “Maafkan aku Citra, maafkan aku. Aku bahkan tak pantas untuk menggendong anak kita.. karena semua kelakuanku di masa lalu.” Citra tak menanggapi hal itu, biarkan saja Raka dengan penyesalannya sendiri. Ini salah satu cara untuk mengikhlaskan semuanya. Lagipula mau minta pertanggungjawaban dalam bentuk apa? Raka saja nyaris tak bisa menghidupi dirinya sendiri. Tak mau berlama-lama, Citra mengajak Angga pergi. Raka yang masih bercucuran air mata meminta untuk menggendong Hana sebentar. “SIlahkan,” sahut Citra. Walau sangsi, ia tetap memberikan Hana untuk digendong. Selama beberapa saat Hana dalam gendongan ayahnya sendiri, ia sangat anteng dan cuma mengoceh kecil sementara Raka makin banjir dalam air mata penyesalan. Tak berselang lama, Maureen datang sambil kesusahan menggunakan kursi rodanya. “Rak
Walaupun baru beberapa bulan saja Citra tinggal bersama bu Susi dan Anwar, tetapi perpisahan yang terjadi antara mereka cukup menyedihkan. Ketiganya menangis dengan haru bercampur sedih, namun mereka sama-sama berjanji supaya bisa tetap saling berkomunikasi walaupun sudah tak bersama.Citra kembali ke kampung halamannya, di mana ayah dan adiknya tinggal. Juga tentu saja Raka.Tetapi dia tak begitu peduli dengan Raka, bukan urusannya lagi sekalipun harus tinggal satu daerah dengan lelaki yang sudah mengacaukan hidupnya yang damai.Memang, saat belum menikah dengan lelaki itu dirinya juga dipusingkan dengan kelakuan Angga, tetapi paling tidak batinnya tak terluka sedalam saat bersama dengan Raka.Sebab karena Raka juga, dirinya mengalami patah hati dan rasa kecewa yang luar biasa karena dibohongi oleh orang yang telah ia percayai. Bahkan Citra juga sudah memikirkan kemungkinan jika dirinya akan mempercayakan hatinya juga pada Jalu.Iya, Jalu.Lelaki itu tipe pendamping yang sempurna, de
POV RakaCitra tak main-main dengan apa yang telah ia katakan dua bulan yang lalu, di rumah sakit, ketika lukanya masih berdarah dan bayi kecil kami masih belum terbuka matanya.Dia benar-benar pergi, meninggalkan semuanya. Masa lalunya, termasuk aku yang ternyata bukan siapa-siapa untuknya, sekalipun ada darahku dalam tubuh gadis mungil dalam pelukannya itu.Ah andai saja dulu aku tahu hidupku bakal sesusah ini, niscaya aku tak akan berkata hal yang buruk tentang anak kami. Paling tidak, aku tidak akan merasakan penyesalan sedalam ini.Aku akui, dahulu diriku memang sangat buta dan mengahalalkan segala cara, aku sangat takut jatuh miskin, apalagi dengan adanya papa dan Maureen yang menjadi tanggunganku.Kuakui saat itu menjadi kesalahan besar yang telah kulakukan, setelah banyak kesalahan lain yang telah kulakukan dan menyakiti hati Citra. Aku berangkat bukan untuk benar-benar menemui Citra, dan buah hati kami.Tetapi untuk memaksanya kembali denganku, dan meminta bagian warisan dar
Raka mengusap wajahnya dengan kasar, lalu berkacak pinggang sambil memalingkan mukanya ke arah lain. Ke mana pun, asal tak perlu bertatapan dengan Jalu.Ia merasa jika Jalu memiliki semacam kemampuan untuk mengintimidasi orang lain. Entah karena memang dirinya yang terlalu pengecut, Raka tidak terlalu paham akan hal itu.“Mau apa datang ke mari? Mengacaukan semuanya lagi, hah?” desak Jalu.“Terus salahku di mana? Aku cuma mau ketemu anak istriku. Aku cuma mau mengatakan yang sebenarnya saja. salah?!”“Masih berani tanya salahmu di mana? Hmm. Kau lupa dengan semua yang telah kau lakukan pada Citra? Pernikahan kontrak itu, tindakanmu yang semena-mena padanya cuma karena ingin menyenangkan Maureen?”Raka jengah, ternyata Jalu juga tahu sampai sedetail itu.“Tau dari mana kamu? Jangan sok tau!”“Aku bukan sok tau, aku memang sudah tau. Kamu juga tak mengakui darah dagingmu, sampai Citra harus pergi jauh sekali. kalau aku jadi kamu, aku tak akan pernah menampakkan mukaku lagi di depan Citr
Citra berusaha untuk bangkit dari tidurnya, namun ia merasa kepalanya begitu berat dan ditambah lagi luka di perutnya terasa makin nyeri saja.“Duh, perutku sakit banget..” keluhnya sambil memegang perut, dan ia merasa jika perutnya sudah diperban lagi.Terakhir ia ingat jika dirinya sudah melepaskan perban saat berlari, karena perbannya sudah basah oleh darah dan perekatnya lepas. Tapi sekarang benda itu sudah diganti dengan yang baru, demikian juga pakaian yang ia kenakan.“Bu Susi pasti bawa aku ke mari.. aduh ya Tuhan, mau bayar pakai apa?” keluhnya lagi sambil menahan tangis.Tetapi ia tak bisa menangis, sebab dalam pikirannya kini hanya bayinya, bayinya dan bayinya. Urusan bayar rumah sakit, atau rasa nyeri yang tak tertahankan ini, semua masih bisa dipikirkan nanti.Bagaimana dengan bayinya yang masih merah? Di mana dia sekarang? Bersama siapa? Bagaimana jika dia ingin minum susu?“Ya Tuhan, kuatkan aku..”Citra turun dari ranjang, dan melepas infusan yang menempel di tangannya
Citra baru menyelesaikan makannya, dan bayi kecil yang baru saja dia lahirkan masih tidur terlelap tanpa menangis, rewel atau apapun. Setahunya, bayi baru lahir memang tidak terlalu banyak menangis, bahkan cenderung lebih banyak tidur.Maka karena itu dirinya harus memaksimalkan waktu, harus mampu memulihkan diri dalam waktu cepat namun juga harus bisa bekerja.Citra keluar kamar dan menutup pintunya rapat, ia berniat mengantarkan piringnya ke depan sambil bertanya apakah ada yang bisa dia bantu. Bagian belakang rumah sekaligus warung makan ini tidak dipagar, melainkan langsung mengarah ke kebun yang cukup padat tumbuhannya.Sejauh yang Citra lihat, ada beberapa batang pohon jengkol, rambutan dan pohon-pohon besar berbuah lainnya. Di ujung kebun yang cukup jauh terlihat ada jalan setapak kecil yang entah mengarah ke mana.“Agak ngeri juga ya kalau begini? Tapi enggak apa-apa. Siapa juga yang mau datang ke mari?” gumam Citra, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri.Di dalam kepalany
Kamar yang diberikan untuk Citra adalah sebuah ruangan yang cukup untuk satu kasur single, ada lemari pakaian dan kipas angin. Satu pintu di bagian depan dan di sebelahnya ada jendela yang lumayan besar, dengan gorden yang bersih. “Syukurlah, tempatnya bersih. Aku bisa menidurkan anakku dulu, sementara aku makan. Aduh, perutku.. “ keluh Citra, sambil memegang bagian bawah perutnya. Ia khawatir jika luka jahitannya berdarah, atau parahnya jahitannya lepas. Tetapi saat ia melihat bagian bawah perutnya, sepertinya baik-baik saja. Semoga memang tak ada masalah apapun. “Permisi kak, ini nasinya dari depan.” Remaja lelaki anak pemilik warung nasi mengantarkan makanan Citra, bahkan sudah ditambah dengan es teh manis dan juga ayam goreng. “Makasih. Eh iya, nama kamu siapa Dek?” “Anwar, kak. Kalau Kakak siapa?” “Citra.” “Oh Kak Citra. Ya udah selamat makan dan istrirahat kak, kalau ada butuh apa-apa tinggal panggil aja aku di depan.” Citra mengangguk dan berterima kasih. Ia benar-benar
Selama hampir setengah jam Citra hanya duduk termangu di depan toserba, ia masih menggendong bayinya dalam posisi yang sama seperti saat pertama ia datang ke tempat ini. Jalanan di depannya masih ramai, beberapa orang yang melintas melihat dia dengan tatapan aneh.Wajar, semua orang juga pasti akan merasa aneh melihat seorang wanita muda dengan bayi yang masih merah. Pakaiannya berantakan dan bahkan mukanya juga masih pucat, hanya saja tidak ada yang cukup peduli untuk bertanya keadaannya, atau bahkan curiga jika dia penculik bayi atau apalah.Tetapi pada kenyataannya memang Citra lebih suka tidak ada yang peduli padanya, ia benar-benar sedang tidak mau bicara dengan siapapun.Citra baru tersadar saat bayinya bersuara, tidak menangis, hanya merengek sedikit lalu kembali tidur.“Ahh, aku harus beli baju buat anakku. Kasihan.. nanti dia mau pake apa?” gumamnya sambil berdiri.Ia membetulkan letak tas yang tersampir di bahunya, memperbaiki
Para perawat dan bruder mengeluarkan semua orang yang ada dalam ruangan rawat Citra, dan membiarkan ibu muda itu berduaan saja dengan bayinya. Seorang perawat sempat memberitahunya bagiamana cara untuk menyusui bayi yang benar, dan Citra sangat bersyukur tentang hal itu.“Sayang, kita pergi dari sini yuk? Di sini udah enggak aman. Mama enggak mau hidup kamu kacau kayak mama. Padahal ini hari pertama kamu di dunia, tapi kamu udah dapat masalah begini. Maafin mama ya?” bisik Citra, ia mendekap bayinya dengan erat.Bayi mungil dalam dekapannya sudah dibalut dengan selimut bayi, ia turun dari ranjang untuk mencari barang-barang pribadinya. Ia terkejut melihat tas yang biasa ia gunakan sudah ada di lemari kecil dekat ranjang.Isinya masih lengkap seperti terakhir dia meninggalkannya, ada HP, dan dompet.“Baguslah, aku bisa pergi sekarang.” Gumamnya sambil menghela napas.Tidak ada pakaian ganti, tidak ada baju untuk si baby. Suda