Nadina menghentikan kakinya yang telah bersiap melangkah untuk memasuki dalem. Dengan perasaan sedikit canggung dan kebingungan, Nadina sebentar melihat ke arah Rayyan sembari bertanya. “Apa, Pak?” Rayyan sebentar meneguk ludahnya lalu mengikat kedua tangannya di belakang punggung dan mencoba berdiri dengan terlihat tegap. “Jika saya dan almarhum Nadhif seumuran, itu artinya saya dan Ibu Nadina kurang lebih berusia sama. Bisakah jangan memanggil saya dengan sebutan ‘pak’? Saya juga tidak akan memanggil Ibu Nadina dengan sebutan ‘ibu’ lagi.” Nadina tampak sedikit mengerutkan dahinya, ia ragu dengan maksud tujuan Rayyan meminta hal itu padanya. Nadina mulai berpikir jika Rayyan mengira Nadina merasa Rayyan tua hingga mesti disebut sebagai ‘pak’ padahal kenyataannya, Nadina memanggil Rayyan dengan sebutan itu untuk menghormati posisi Rayyan sebagai guru dan wali kelas putranya, Adnan. “Maaf, Pak Rayyan jika sebutan saya ini sedikit kurang nyaman untuk anda. Tetapi hanya itu yang bis
Beberapa hari setelahnya, Rayyan masih sesekali datang untuk mengajari Adnan. Kedekatan Adnan dan Nadina pun berangsur kian akrab meskipun Nadina masih saja dingin. Namun sikapnya sudah lebih melembut daripada pertama kali bertemu dengan pemuda itu. Suatu hari, Nadina berencana untuk pergi ke salah satu swalayan untuk membeli beberapa keperluan tambahan dan belanja bulanan untuk dapur dalem. Berbeda dengan bukan lalu, kali ini Nadina memilih untuk pergi sendiri. Aminah menjaga Nadhin bersama Adnan di dalem. Menurutnya itu akan lebih aman untuk kedua anaknya daripada mengajak mereka ke swalayan yang ramai, bising, dan penuh risiko jika terpisah dari salah satunya. “Kilas berita! Jalan utama Merdeka mengalami macet total dikarenakan sebuah kampanye oleh salah satu komunitas pencinta lingkungan hidup. Oleh karenanya aparat kepolisian membuka jalur baru untuk menghindari semakin membengkaknya kemacetan!” Suara radio mobil itu membuat Nadina seketika mendengus. “Astaga, kenapa harus ha
Pemuda yang baru saja memekikkan nama Nadina itu berlari mendekat, sementara itu Rayyan apak kebingungan melihat ke arah Nadian yang mencoba mengamati siapa yang memanggilnya. “Mas Dewa?” lirih Nadina. “Dewa? Siapa dia, Nadina?” sahut Rayyan lalu turut mengubah arah pandangannya ke arah pemuda yang berlari ke arah mereka itu. “Mas Dewa?” ulang Nadina lagi saat Arif Sadewa, seseorang yang pernah ia cintai itu berada di hadapannya. Dewa menoleh ke arah Rayyan dan sedikit melotot. “Nadina, maaf jika memotong, tetapi apa aku salah mendengar kabar tentang Nadhif?” bisik Dewa. Nadina seketika tersadar akan hadirnya Rayyan di sebelahnya. Ia segera menghembuskan napas yang sedari tadi ia tahan lalu sedikit menggeser tubuhnya menghadap Rayyan. “Ini, ini Rayyan! Beliau guru di sekolah Adnan,” tutur Nadina memperkenalkan. “Dan Rayyan, kenalkan, ini Arif Sadewa, kawan saya dan almarhum Mas Nadhif!” terang Nadina. Kedua pemuda itu kini saling berjabat tangan dan mulai berkenalan satu sama
Nadina tercekat lagi mendengar tambahan pertanyaan yang baru saja dituturkan oleh Rayyan. Entah apa yang pemuda itu pikirkan, namun kini menurutnya, pertemuan antara dirinya juga sedikit terkesan aneh. Nadina tak langsung menjawab, bahkan wanita itu terkesan tutup mulut dan tak berniat menjawab pertanyaan Rayyan yang membuat pemuda itu penasaran setengah mati. “Nadina?” ulang Rayyan membuat Nadina sedikit tersentak dari lamunannya. “Kenapa tiba-tiba kamu bertanya tentang itu? Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” Nadina balik bertanya. Rayyan mengencangkan tangannya pada kemudi lalu menatap jalanan di depannya sembari menarik napas dan ancang-ancang untuk kembali menjelaskan. “Aku tak yakin apa kamu melihatnya. Tetapi jika kamu melihatnya, ada sesuatu yang aneh pada mata pemuda itu. Dan saat dia bilang kembali untuk menyelesaikan sesuatu yang rupanya belum berakhir, suaranya sedikit bergetar. Tidakkah kau menyadarinya, Nadina?” papar Rayyan sembari sesekali melirik ke arah Nadi
Raut wajah Aminah seketika berubah. Senyuman yang awalnya masih terselip kecil di antara wajah sayunya itu kini memudar. Wajahnya berganti terkejut dan terkesan tak percaya. “Pemuda itu? Pemuda yang–” “Iya, Umi benar. Pemuda yang pernah membuat Nadina menolak Mas Nadhif dan nyaris membuat Nadina menghancurkan segalanya.” Nadina menunduk. Aminah seketika bangkit dari kursinya dan memburu Nadina. Dipegangnya kedua bahu sang menantu lalu tampak seolah memeriksa keadaan Nadina saat itu. “Apa? Apa yang pemuda itu lakukan padamu!? Semua– semua baik-baik saja ‘kan, Nadina?! Katakan! Katakan pada umi!” sergah Aminah menatap tajam intens pada Nadina. Nadina mengelus pundak sang mertua lalu membuat kedua tangan Aminah yang awalnya mencengkeram cukup kuat merenggang. Nadina tersenyum tipis sembari mengangguk lalu meminta sang ketua kembali duduk. “Nadina tidak tahu apa yang sebenarnya tengah diputar takdir Nadina saat ini. Kedatangan seseorang yang mirip dengan Mas Nadhif, juga masa lalu y
Seperti yang telah dijanjikan pada pertemuan selanjutnya, kali ini Rayyan kembali ke pondok untuk kembali mengajar Adnan. Sejak beberapa pertemuan ke belakang, Nadina secara resmi meminta Rayyan untuk menjadi guru kelas tambahan bagi putranya agar tak terkesan memperkerjakan seseorang cuma-cuma. Saat mobil Rayyan berhenti di halaman pondok dan telah berhasil mendapatkan posisi parkir yang tepat, mata pemuda itu sedikit terusik dengan keberadaan seorang pemuda dan seorang wanita di depan area dalem. “Bukankah itu, Nadina? Dan pemuda itu? Arif Sadewa?” gumam Rayyan sembari berusaha memfokuskan matanya melihat apa yang ada di sana di antara temaramnya cahaya malam itu. “Ahh, aku tak mungkin salah lagi! Pemuda itu benar-benar Arif Sadewa! Jadi dia benar-benar mendatangi Nadina di sini? Kupikir itu hanya basa-basi!” gumam Rayyan. “Baiklah, haruskah aku menunggu di sini atau menemuinya sekarang? Tapi bagaimana jika pemuda itu bukan hendak pukang tetapi hendak bertamu?” Rayyan mengajak-a
“Cukup, Mas. Berhenti bermain-main dengan semua perkataan yang mas ucapkan. Nadina senang karena mas Dewa kembali dan baik-baik saja, tetapi apa yang terjadi pada masa lalu kita tidak akan pernah Nadina lupakan, Mas.” “Nadina tidak akan biarkan mas Dewa kembali merobohkan apa yang sudah Nadina bangun,” lengkap Nadina dengan menatap Sadewa sedikit lebih tajam. Sadewa tampak menghela napasnya sebentar sebelum akhirnya mengubah pandangannya ke arah Rayyan dan Adnan yang tengah fokus dengan buku-buku di hadapan mereka. “Aku tidak ingin menghancurkan apa yang telah ada, Nadina. Aku hanya mau mencegah apa yang mungkin saja bisa rusak. Jangan berdalih bahwa pemuda itu guru yang terbaik untuk putramu dan kebetulan mirip dengan mendiang suamimu,” “Akui saja kau bahkan putramu mulai memanfaatkan tampangnya untuk mengobati rasa rindu kalian pada Nadhif, bukan? Jika kau teruskan ini, mungkin akan ada yang terluka, Nadina. Entah kau, putramu, atau Rayyan!” papar Sadewa panjang lebar. Tak ingi
“Jika itu kamu, mungkin itu yang akan kamu lakukan. Tapi masalahnya aku bukan kamu, Mas. Aku tidak akan lari dari apa yang sudah terjadi. Hidupku di sini. Meskipun haru mati berulang kali karena kerinduanku padanya,” sergah Nadina. “Kau benar-benar sangat mencintainya, Nadina. Aku jadi ingat bagaimana kau menangis padaku karena pernikahanmu ini, kau ingin pergi dari sini apapun caranya. Dan sekarang, kau ingin tetap di sini apapun caranya?” sindir Sadewa sembari terkekeh kecil. “Ya, semuanya sudah berubah. Dan aku sadar aku sangat bodoh karena menyia-nyiakan semuanya yang telah Mas Nadhif berikan untuk terus berusaha lari dari sini,” sahut Nadina. Sadewa menurunkan cangkir teh di tangannya lalu meletakkannya di meja. Pemuda itu tampak menyandarkan sebagian punggungnya lalu menghela napas cukup jelas. “Dimana, Nadhin? Kudengar dia memiliki mata yang sama dengan Nadhif. Aku belum pernah bertemu dengannya. Bisakah aku bertemu dengannya?” Sadewa tampak menyebar pandangan ke sekitar ru