Sementara itu, Nadhif yang telah berada di pondok terus berusaha menelepon sang istri yang sampai sekarang belum ia temui semenjak semalam. Ponselnya mati dan tak sama sekali ada tanda-tanda bahwa wanita itu menerima panggilannya. “Nadina belum mengangkat teleponnya, Nadhif?” tanya Ali yang tiba di sebelah Nadhif dan baru keluar sari kamar Aminah itu. “Belum, Abi! Perasaan Nadhif jadi campur aduk. Tidak mungkin Nadina sengaja pergi bukan? Nadhif juga menelepon rumah sakit dan mengatakan Nadina tak ada di kamar umi. Nadhif harus bagaimana Abi?” tanya Nadhif dengan tatapan cemas. “Coba hubungi Abi Ghafi siapa tahu ia berada di sana. Setelah itu temui umimu dulu, ia terus meminta abi untuk memanggilmu ke dalam.” Nadhif mengangguk sembari menekan nomor telepon Ghafi. [“Assalamualaikum, Nadhif! Apa kabar? Semuanya baik?”] Suara Ghafi terdengar dari seberang. “Waalaikumsalam, Abi! Sebenarnya ada yang ingin Nadhif tanyakan. Apa Nadina pergi ke sana? Nadhif tidak bisa menghubungi ponseln
Di tengah hujan hari itu, Nadhif mendatangi salah satu apartemen tengah kota dan menanyakan keberadaan Sadewa. Namun jawaban yang ia harapkan datang bersamaan dengan jawaban yang tak ia harapkan. “Untuk saat ini Bapak Arif Sadewa sedang tidak ada di tempat. Beliau sudah meninggalkan apartemen pukul enam pagi tadi. Adakah yang ingin bapak titipkan untuk kami sampaikan kepada beliau?” ujar sang resepsionis. “Tidak ada, terima kasih!” Nadhif langsung membalik tubuhnya dan menghubungi nomor Sadewa. Seperti yang ia duga, nomor itu tak lagi aktif. Sama seperti milik Nadina, pemuda itu sepertinya tak menerima panggilan telepon darinya. “Ya Allah, ujian apa lagi ini? Kenapa sulit sekali membangun rumah yang nyaman untuk kami?” ujar Nadhif. Tak berhenti di sana, Nadhif akhirnya mendatangi kantor Sadewa dimana pemuda itu mendirikan grup fotografernya. Namun hasil yang ia dapat sama saja. Seluruh warga kantor Sadewa malah tampak tak melihat batang hidung pemuda itu sejak dua hari yang lalu.
Nadhif cukup terkejut dengan apa yang kini berada di depan matanya, begitupun Aminah yang mendengarkan pasal keributan itu akhirnya pun keluar dari kamarnya. “Nadina!” pekik Nadhif langsung menghadang Sadewa dan mulai hendak mengambil alih sang istri dari pemuda itu. “Apa yang kau lakukan padanya, Sadewa!” pekik Nadhif kini menatap tajam mata Sadewa. “Apa yang kau pikirkan, Nadhif? Kau selalu membuatnya sakit hati, aku menemukannya, dan apa selain itu? Kami melakukannya bersama, mungkin dia kelelahan karenanyalah dia pingsan!” pekik Sadewa sembari membaringkan Nadina ke sofa ruang tamu dalem. Tak menunggu hal lain, usai Sadewa melepaskan tubuh Nadina, dengan kuat Nadhif menarik kerah pakaian Sadewa hingga pemuda di hadapannya itu sedikit terjingkat. “Dengarkan aku baik-baik, Sadewa!! Jaga bicaramu! Jika tak bisa menjaganya tak usah bicara sedikitpun terlebih terkait istriku! Atau aku tak akan melewatkan sedikitpun sesi untuk memukulimu!” bisik Nadhif ketus. “Terserah maumu, Nadh
Jantung Nadhif berpacu sekian kali lebih cepat, pikirannya kacau kemana-mana. Ia bingung apakah harus bahagia atau sedih saat ini. Di satu sisi kabar gembira yang semestinya ia syukuri, namun di sisi lain keadaan Nadina yang melemah. Namun sebuah pikiran mengenai perkataan Sadewa pun mengusiknya. “Tak mungkin jika itu—” “Nadhif, apa yang kau pikirkan lagi? Tak mau menemui istrimu itu?” pekik Ali sembari menepuk pundak Nadhif saat melihat putranya itu hanya melamun. Nadhif pun segera berlari masuk ke dalam ruangan itu dan melihat Nadina yang terbaring dengan mata terpejam, sama seperti saat ia membawanya ke rumah sakit tempo hari. Nadhif melemaskan dirinya dan tampak beruangku wajah di brankar Nadina dengan kedua tangannya. “Apa yang sebenarnya terjadi, Nadina? Saya benar-benar tak paham apa yang mesti saya percayai saat ini. Kebahagiaan atau sebuah kekecewaan?” “Semestinya ini adalah hal yang kita syukuri dan kita nantikan bukan? Tapi kenapa dia datang di saat semua ini? Fotomu
Aminah melemparkan sebuah foto yang ia dapat sari Azalea ke ranjang dan membuat Nadina maupun Nadhif dapat melihatnya dengan jelas. “Setelah berfoto mesra sambil minum kopi kamu belum merasa puas juga, Nadina? Begitu?” sergah Aminah. “Mas– Mas Nadhif!” Tak peduli dengan aoo yang sang mertua katakan. Nadina kali ini langsung menoleh ke arah Nadhif. Pemuda itu terdiam sembari menutup matanya. Nadina yang melihatnya pun merasa semakin hancur. Ia sadar jika foto itu adalah bukti yang Aminah maksudkan dan ia rahasiakan dari sang suami. Sudah sepatutnya Nadhif terdiam sekarang dan tak bisa membelanya. “Mas, Nadina minta maaf—” “Saya akan percaya denganmu, Nadina. Tapi tolong jelaskan semuanya dengan sebenar-benarnya meskipun itu teramat pahit untuk diucap atau didengar,” tutur Nadhif. Nadina menelan ludahnya sendiri lalu menoleh ke arah Aminah yang tampak menatapnya tajam sementara Ali mengangguk atas permintaan yang putranya katakan. “Nadina memang berbohong kepada mas saat menemui
“Umi, Sadewa sendiri yang mengatakannya di telepon! Dia sendiri juga mengatakannya saat hendak mengejar Nadina. Umi, Nadina mohon percaya pada Nadina,” rintih Nadina. “Mempercayai pemuda itu? Itu artinya bukankah aku juga harus mempercayai perkataannya jika dia telah melakukan sesuatu bersamamu dengan puas? Itu yang dia katakan!” sahut Aminah. “Umi, jika Mas Dewa mengatakannya kepada sekongkolnya itu artinya yang sebenarnya. Jika dia mengatakannya pada keluarga pondok, dia hanya ingin membuatnya merasa menang, menghancurkan hubungan Nadina dengan Mas Nadhif,” terang Nadina. Aminah mengalihkan pandangannya sembari menghembuskan napasnya kencang dan kasar. Sementara Nadhif mencoba mengatur napasnya sendiri memilah mana yang benar. “Haruskah aku mempercayai seseorang yang membohongi suaminya sendiri untuk bertemu pemuda lain, Nadina?” ujar Aminah. Nadina menundukkan pandangannya lalu terisak dalam tangisnya, perlahan ia melepaskan cekalan Nadhif dan membungkus tangannya sendiri deng
Nadhif langsung mengerutkan dahinya dan memutar tubuhnya menghadap Ali. Ia sama sekali tak menyangka jika sang abi juga akan mengatakan hal yang seperti itu. “Abi? Apa maksud Abi mengatakan hal itu?” tanya Nadhif dengan penuturan cepat. “Semestinya abi menikahkan kalian jika kalian telah sama-sama mencintai sehingga tak akan yang tersiksa seperti ini. Nadina pasti tersiksa karena tak dapat menikahi pujaan hatinya dan kau pasti tersiksa karena merasa mencintai sendirian.” “Abi, Nadhif bersumpah Nadhif tahu bahkan sebelum acara perayaan kami di pondok itu. Nadhif tahu pemuda mana yang Nadina cintai. Tetapi Nadhif memang tetap memutuskan melanjutkan pernikahan ini. Nadhif hanya tidak menyangka bahwa Nadina akan membohongi Nadhif untuk bertemu dengannya. Itu saja.” “Kami telah saling mencintai, Abi. Dan setelah semua vonis ini Nadina dinyatakan hamil. Apa yang Nadhif usahakan dan pertahankan selama ini telah Allah jawab abi. Apakah Abi ingin Nadhif mengakhirinya?” tanya Nadhif getir.
Melihat rekaman CCTV yang Nadhif tunjukkan Aminah sedikit merasa terketuk dan merasa bersalah. Namun ada sesuatu yang mengganjal pada apa yang ia lihat. “Umi, Nadhif mohon restui Nadhif dan Nadina untuk yang kedua kalinya. Nadhif tahu masa lalu ini sangat sulit untuk umi terima, tetapi akhirnya Nadhif sampai pada apa yang Nadhif tunjukkan, Umi.” “Nadhif mencintai Nadina, begitupun dengannya mencintai putra umi ini. Kami telah menerima satu sama lain dan sekarang atas izin Allah kami diberi kesempatan untuk menjadi calon orang tua. Nadhif mohon restu, Umi.” Nadhif tampak menurunkan egonya yang selama ini cukup membuatnya memasang benteng tinggi untuk sang umi. “Apa yang telah terjadi memanglah sangat sulit untuk umi terima. Tapi tampaknya memang umi yang terlalu kuno dan memaksa. Umi menjadi sangat egois dan tak memikirkan perasaan kalian terlebih Nadina yang selama ini telah umi sakiti dengan semua perkataan yang tanpa umi pikirkan terlebih dahulu. Untuknya umi meminta maaf,” ujar