“Umi, Sadewa sendiri yang mengatakannya di telepon! Dia sendiri juga mengatakannya saat hendak mengejar Nadina. Umi, Nadina mohon percaya pada Nadina,” rintih Nadina. “Mempercayai pemuda itu? Itu artinya bukankah aku juga harus mempercayai perkataannya jika dia telah melakukan sesuatu bersamamu dengan puas? Itu yang dia katakan!” sahut Aminah. “Umi, jika Mas Dewa mengatakannya kepada sekongkolnya itu artinya yang sebenarnya. Jika dia mengatakannya pada keluarga pondok, dia hanya ingin membuatnya merasa menang, menghancurkan hubungan Nadina dengan Mas Nadhif,” terang Nadina. Aminah mengalihkan pandangannya sembari menghembuskan napasnya kencang dan kasar. Sementara Nadhif mencoba mengatur napasnya sendiri memilah mana yang benar. “Haruskah aku mempercayai seseorang yang membohongi suaminya sendiri untuk bertemu pemuda lain, Nadina?” ujar Aminah. Nadina menundukkan pandangannya lalu terisak dalam tangisnya, perlahan ia melepaskan cekalan Nadhif dan membungkus tangannya sendiri deng
Nadhif langsung mengerutkan dahinya dan memutar tubuhnya menghadap Ali. Ia sama sekali tak menyangka jika sang abi juga akan mengatakan hal yang seperti itu. “Abi? Apa maksud Abi mengatakan hal itu?” tanya Nadhif dengan penuturan cepat. “Semestinya abi menikahkan kalian jika kalian telah sama-sama mencintai sehingga tak akan yang tersiksa seperti ini. Nadina pasti tersiksa karena tak dapat menikahi pujaan hatinya dan kau pasti tersiksa karena merasa mencintai sendirian.” “Abi, Nadhif bersumpah Nadhif tahu bahkan sebelum acara perayaan kami di pondok itu. Nadhif tahu pemuda mana yang Nadina cintai. Tetapi Nadhif memang tetap memutuskan melanjutkan pernikahan ini. Nadhif hanya tidak menyangka bahwa Nadina akan membohongi Nadhif untuk bertemu dengannya. Itu saja.” “Kami telah saling mencintai, Abi. Dan setelah semua vonis ini Nadina dinyatakan hamil. Apa yang Nadhif usahakan dan pertahankan selama ini telah Allah jawab abi. Apakah Abi ingin Nadhif mengakhirinya?” tanya Nadhif getir.
Melihat rekaman CCTV yang Nadhif tunjukkan Aminah sedikit merasa terketuk dan merasa bersalah. Namun ada sesuatu yang mengganjal pada apa yang ia lihat. “Umi, Nadhif mohon restui Nadhif dan Nadina untuk yang kedua kalinya. Nadhif tahu masa lalu ini sangat sulit untuk umi terima, tetapi akhirnya Nadhif sampai pada apa yang Nadhif tunjukkan, Umi.” “Nadhif mencintai Nadina, begitupun dengannya mencintai putra umi ini. Kami telah menerima satu sama lain dan sekarang atas izin Allah kami diberi kesempatan untuk menjadi calon orang tua. Nadhif mohon restu, Umi.” Nadhif tampak menurunkan egonya yang selama ini cukup membuatnya memasang benteng tinggi untuk sang umi. “Apa yang telah terjadi memanglah sangat sulit untuk umi terima. Tapi tampaknya memang umi yang terlalu kuno dan memaksa. Umi menjadi sangat egois dan tak memikirkan perasaan kalian terlebih Nadina yang selama ini telah umi sakiti dengan semua perkataan yang tanpa umi pikirkan terlebih dahulu. Untuknya umi meminta maaf,” ujar
Mata Azalea amat terkejut saat melihat apa yang Aminah tunjukkan. Ia tak menyangka jika permainannya yang dirasa cukup bersih itu masih saja memiliki celah. “Kabar baiknya, hanya saya yang tahu tentang ini, Aza. Jadi Nadhif tidak akan semakin membencimu. Kenapa kamu melakukannya, Aza?” “Kenapa kau bekerja sama dengan pemuda lain untuk menjebak seorang wanita lain? Dengan jelas itu kau yang ada di balik dinding dan menyaksikan tubuh Nadina di bawa oleh Sadewa. Tidakkah merasa ibu dengannya?” tutur Aminah. Azalea tampak bisu seribu bahasa. Ia hanya bisa menunduk sembari memainkan jemarinya. “Katakan, Aza! Kenapa kau melakukannya!!” pekik Aminah. “Umi, ini semua Aza lakukan untuk Umi. Umi sendiri yang bilang mengeluh tentang Nadina. Umi tidak ingin menantu sepertinya, dan bukankah apa yang Aza lakukan sesuai dengan apa yang terjadi? Dengan adanya kejadian itu, umi bisa mengusir Nadina dengan alasan yang kuat!” pekik Azalea yakin. Aminah kini tampak menggelengkan kepalanya dan tampa
“Baiklah, kalau begitu ikutlah. Tapi duduk di barisan paling depan agar saya tetap bisa memantaumu, okei?” ujar Nadhif. “Tidak enak duduk di depan, Mas. Umi ahkan lebih suka duduk di belakang! Meskipun tidak pernah mendapatkan tempat di belakang! Tapi Nadina bisa! Nadina duduk di belakang saja, ya!!” rengek Nadina sambil memegang tangan Nadhif seperti seorang anak kecil yang meminta jajan kepada ayahnya. Nadhif terkekeh kecil lalu menghentikan Nadina menggerak-gerakkan tangannya lalu memegang kepala wanita itu dan menatapnya intens. “Tidak boleh!” pekiknya mantap sementara wajah sang istri malah cemberut. “Kenapa tidak boleh? Nadina akan lebih nyaman berada di belakang karena bisa bersandar!” pekik Nadina. “Tidak boleh, Sayang!” Nadhif mencubit ujung pipi Nadina sembari sedikit tersenyum. “Kalau kamu duduk di belakang dan terjadi sesuatu saya tidak akan bisa langsung tahu. Kalau kamu merasa belum cukup kuat untuk ikut kajian, maka tinggallah di sini dulu. Saya tak masalah untuk m
Nadhif kini melipat tangannya di depan dada lalu menundukkan tubuhnya dan menatap lurus Nadina. “Kamu lihat mata saya supaya kamu semakin percaya.” “Saya sudah jarang berbicara dengannya terlebih tak ada event pondok akhir-akhir ini. Materi yang mesti saya cek juga ia tinggalkan di meja kantor dan ia ambil tanpa bertemu dengan saya. Kamu percaya?” papar Nadhif. Nadina tampak mendatarkan bibirnya lalu mengangkat alisnya. “Baiklah, Nadina percaya dan berhentilah memandang Nadina seperti itu, Mas! Mas bukan saja membuat Nadina yakin tetapi malah membuat Nadina nyaris pingsan!” pekik Nadina. Nadhif menyipitkan matanya lalu menegakkan tubuhnya tetapi masih menatap ke arah Nadina. “Kenapa begitu? Apa saya terlihat seperti hantu jika pada jarak dekat? Atau—” “Atau apa? Jangan mulai memotong pembicaraan, Mas. Mas sendiri yang bilang sedang tidak melihat drama series.” “Atau karena saya sangat tampan?” ujar Nadhif. “Mas terlalu pede!!” pekik Nadina lalu tampak segera berlari meninggalk
Salah satu santriwati mendekati Nadina saat wanita itu tampak masih tercengang dengan benda yang ia temukan di tempat sampah itu. “Mbak Nadina menemukan sesuatu?” tanya santriwati itu. Namun, Nadina malah dengan cepat menyembunyikan benda itu di balik hijab panjangnya dan menoleh ke belakang. “Tidak! Saya hanya salah melihat! Kalian menemukan sesuatu? Jika tidak kita bisa memeriksa lainnya?” tutur Nadina. Santriwati itu pun mengangguk setuju dan proses sidak pun kembali berlanjut. Meskipun Nadina mengikuti jalannya sidak dari awal hingga akhir, ia tak begitu bisa fokus sejak memeriksa kamar dan bagian Azalea. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk menenangkan dirinya di kantin dan memesan semangkuk mie ayam dan memakannya perlahan. Namun tak jauh dari sana, beberapa menit setelah Nadina menghabiskan makanannya, Nadina melihat Putri Azalea memasuki kantin bersama Sarah. Matanya terus memandang Azalea bahkan tanpa berkedip. “Haruskah aku menanyakan perihal benda itu? Tetapi bagaiman
Nadina dan Nadhif kini dalam perjalanan pulang saat keluarga sang anak telah menjaga bocah itu di rumah sakit. “Saya rasa perlu adanya pendataan ulang tentang kondisi perekonomian mereka. Pondok pasti bisa menyisihkan dana untuk para keluarga yang kurang mampu,” tutur Nadhif sembari fokus menyetir mobilnya. “Nadina setuju, kita tak bisa membiarkan ada anak lain yang kelaparan atau keracunan karena memakan makanan basi sebab mereka tak memiliki makanan yang layak di rumahnya.” Nadina turut memahami kekhawatiran apa yang suaminya rasakan. Nadhif tampak menghela napas panjang lalu melepas kopiah yang ada di kepalanya dan mengacak rambutnya sedikit. “Apa saya gagal mengurus pondok ini hingga ada warga saya yang menderita seperti ini, Nadina?” tuturnya. “Mas, kenapa bicara seperti itu. Pondok amat besar, mereka juga tinggal di rumah hunian bukan di asrama keluarga, patutlah jika kita kurang memperhatikannya. Kita jadikan ini sebagai pelajaran saja untuk semakin perhatian,” tutur Nadin