Malam itu, saat seluruh santriwati datang menghadiri kajian malam rutin di masjid, Azalea tampak berada di kamar bersama Sarah. “Sebenarnya kamu ini kenapa Mbak Aza? Kenapa jadi sering muak begini? Jadi sering marah juga!” omel Sarah pada Azalea. “Kau tak tahu apapun!” sergah Azalea. “Soal saranku kemarin, Mbak Aza sudah lakukan? Sudah membeli benda itu dan memeriksanya? Yaa, aku tahu semestinya itu tidak mungkin terjadi, tetapi semua yang mbak keluhkan mengarah ke sana. Apalagi mual itu. Semua orang pasti bertanya-tanya tapi ragu menanyakannya karena tak fakta status Mbak Aza!” pekik Sarah sambil membantu Azalea mengemasi barang-barang di mejanya. “Jika kau semakin membuatku marah, lebih baik kau pergi, Sarah!” pekik Azalea. “Kalau aku pergi, ketua kamar ini akan mengamuk karena meninggalkan Mbak Aza sendirian dalam kondisi sakit!” sergah Sarah lalu tampak meraih sebuah kotak yang menurutnya cukup asing dan baru ia lihat di sana. “Sejak kapan kotak ini ada di sini? Aku tak pern
Jantung Nadina berpacu amat cepat, apa yang baru saja ia dengar tentu amat mengganggu hati dan pikirannya saat ini. Kakinya mulai melangkah mundur dan memegangi perutnya sembari sedikit mengerjap akibat kepalanya yang mulai pusing. “Jangan pingsan di sini, Nadina. Kau akan menyulitkanku! Pergilah! Aku tahu kau tak akan bisa membantuku dengan putraku apalagi membiarkan kami hidup dengan sosok suami dan ayah!” pekik Azalea sembari menunjuk pintu kamarnya. Nadina berusaha mengatur napasnya dan perlahan berjalan meninggalkan kamar Azalea. Meskipun dengan sedikit terhuyung, Nadina akhirnya dapat keluar dari lingkungan asrama. Langkahnya terhenti di salah satu dinding luar asrama dan tampak berusaha menenangkan dirinya. Nadhif yang saat itu melintas dan melihat Nadina sontak mendekati istrinya itu. “Nadina, ada apa? Kenapa kamu tampak tak baik-baik saja?!” sergah Nadhif sembari memegang kedua bahu Nadina dan mengamati wajah wanita itu. Perlahan Nadina mendongak dan melepaskan kedua tan
Wajah seluruh orang di sana terkejut kecuali Nadina. Nadina malah tampak semakin takut dan memegangi perutnya seolah khawatir dengan apa yang akan terjadi setelah ini. “Maksudmu pemuda dari pondok ini? Siapa? Dia masih ada di sini?” tanya Nadhif. “Tentu saja dia masih ada di sini, Gus. Dia bahkan sangat aktif.” Nadhif mengerutkan dahinya, ia merasa semakin tak beres dengan semua kalimat yang Azalea berikan sebagai jawaban atas setiap pertanyaannya. “Kau memiliki hubungan dengannya, Nak?” tanya Ali lagi. “Hampir saja Abi, kami nyaris membentuk hubungan yang serius.” Jawaban Azalea seketika membuat semua orang ragu terlebih Aminah yang langsung melirik ke arah Nadina. Wanita itu tampak memejamkan matanya dan memegang perutnya juga sofa lebih erat. Aminah yang melihat respons tak baik Nadina ini langsung meminta Nadina untuk beristirahat di kamar. Namun seperti yang diduga, Nadina menolaknya. “Jangan berputar-putar dan membuat kami bertanya-tanya, Aza. Katakan saja siapa dan bagaim
Nadina tampak berusaha menguatkan dirinya dan mengangkat kepalanya. “Katakan, Mas. Apa benar Mas membawa Putri Azalea masuk ke sana dan berada lama di dalam sana? Apa yang mas lakukan?” tanya Nadina dengan suara gemetarnya. “Nadina, saya mohon jangan salah paham. Saya memang mengantar dia masuk dan berada di sana. Tapi kejadiannya sudah cukup lama dan saat itu kondisinya sangat tidak terduga, saya bahkan tak ingat apa yang saya makan di sana!” pekik Nadhif. “Jadi mas tidak ingat malam itu melakukan apa di sana?” tanya Nadina. Aminah tampak mengeratkan rangkulan dan genggamannya pada tangan Nadina. Ia tak menyangka jika badai akan kembali hadir dalam rumah tangga putranya. “Nadina, jangan percaya begitu saja, Nadina.” “Nadina tidak percaya begitu saja, Mas. Nadina mencoba memahami apa yang terjadi. Mas tidak bisa membuktikan apapun di sini. Mas memang bilang mas tidur di kursi tunggu, tapi pastinitu terjadi setelahnya bukan?” ujar Nadina. “Jika memang saya yang melakukannya, men
“Bagaimana jika pada akhirnya saya tidak bisa membuktikan bahwa bukan saya yang melakukan hal itu kepada Putri Azalea, Nadina?” tanya Nadhif sembari memandang wajah istrinya. Nadina tampak menarik napas cukup panjang usai mendengar apa yang sang suami tanyakan. Tangannya perlahan mendekati tangan Nadhif dan meletakkan miliknya di atas. “Mas masih punya 30 hari. Jangan menyimpulkan sebelum waktu itu habis.” Nadina tampak memaksakan senyumnya pada Nadhif. “Kenapa ini harus terjadi? Semuanya sudah baik-baik saja selama ini dan kenapa tiba-tiba dia muncul kembali dengan tuduhan yang serius seperti ini?!” sergah Nadhif. “Mungkin kita masih harus menyelesaikan satu misi lagi. Nadina percaya pada mas, tetapi jika pun memang mas tidak bisa membuktikan, keputusan yang dibuat yang harus diikuti.” “Apa kamu benar-benar percaya jika itu bukan saya, Nadina?” Nadhif mendongakkan kepalanya memandang wajah Nadina yang sedikit menunduk. “Ya, Nadina percaya.” Wajah wanita itu jelas tak bisa berbo
Dua puluh tiga hari berjalan tanpa adanya sesuatu yang jelas terkait apa yang terjadi malam itu. Rekaman CCTV koridor rumah sakit seakan menjadikannya bumerang. Ia tak begitu ingat apa yang terjadi malam itu. Entah apa yang terjadi, ia melupakan segala. “Apa yang kau lakukan malam itu, Nadhif! Berapa lama lagi kau mesti mencari buktinya?! Jika kau bukan pelakunya, bukti itu akan ada di mana-mana! Tapi mana?!” “Apa kau yakin malam itu kau benar-benar sadar?! Atau kau benar melewatkan satu jam itu?!” batin Nadhif sembari berusaha fokus dengan berkas-berkas di meja kantor umum. Sejak dua puluh hari keputusan itu ditetapkan, ia sama sekali tak bisa tidur dengan benar, ia terus mencemaskan semua bukti, Nadina, juga anaknya di dalam perut Nadina. “Kenapa aku terlalu baik padanya makam itu?! Jika aku tahu membawanya masuk ke dalam akan membuatku dituduh seperti ini, lebih baik aku meninggalkannya di kursi tunggu!” batinnya lagi. “Assalamualaikum, Mas Nadhif!” pekik Azalea lalu tersenyum
Hari ke dua puluh sembilan. Nadina semakin meyakinkan dirinya, jika mulai besok malam ia harus berbagi suami dengan wanita lain yang juga tengah mengandung putra dari suaminya. “Apa kali ini aku salah telah percaya kepadanya? Apakah malam itu Mas Nadhif benar-benar telah melakukannya? Apakah ia melakukannya dengan sadar? Atau tidak? Tetapi apa pentingnya itu?” “Semua sudah terjadi. Bahkan hingga hari ini, Mas Nadhif tidak bisa membuktikan apapun. Semua yang dia katakan hanyalah pendapatnya tentang malam itu, bukan fakta dan buktinya.” Nadina menundukkan kepalanya dan menenggelamkannya di antara dua tangan yang berpangku pada lutut yang ia tekuk di atas ranjang. Aminah datang ke dalam kamar usai mengetuk pintu dan tak mendapat sahutan. Wanita paruh baya itu duduk di depan Nadina lalu mengelus tangan sang menantu pelan. “Umi! Kapan– kapan umi tiba? Maafkan Nadian, pasti Nadina melewatkan salam dari Umi!” pekik Nadina. “Bagaimana kabarmu, Nadina? Umi tak berani menemuimu sejak per
Di ruang keluarga dalem, Harun bersama Khoiri duduk di sebelah Nadina berhadapan dengan Ali dan Aminah. Keduanya tampak tengah diam membisu saat akhirnya Nadhif berjalan cepat memasuki dalem usai mendengar kabar kedatangan mertuanya.“Bapak, Ibu,” celetuk Nadhif sembari memandang kedua orang tua istrinya yang tampak merangkul putri mereka itu.Harun tampak bangkit lalu menghadap ke arah sang menantu meskipun jarak di antara mereka cukup terbentang sekarang. Pria paruh baya itu tampak memejamkan matanya sebentar sembari menarik panjang napasnya.“Bapak akan membawa pulang istrimu. Bapak tidak ingin putri bapak menjadi istri durhaka karena meninggalkan rumahmu tanpa izin. Jadi tolong izinkan Nadina pergi bersama kami.”Nadhif tampak cukup tercengang dengan apa yang Harun katakan terkait pernikahannya itu. Ia sedikit bingung mengapa Harun tiba-tiba membawa Nadina pulang. Ia takut jika mertuanya telah mengetahui masalah mereka.“Jika kamu bingung, bapak sudah tahu semuanya. Bapak tahu apa