Jantung Nadina berpacu amat cepat, apa yang baru saja ia dengar tentu amat mengganggu hati dan pikirannya saat ini. Kakinya mulai melangkah mundur dan memegangi perutnya sembari sedikit mengerjap akibat kepalanya yang mulai pusing. “Jangan pingsan di sini, Nadina. Kau akan menyulitkanku! Pergilah! Aku tahu kau tak akan bisa membantuku dengan putraku apalagi membiarkan kami hidup dengan sosok suami dan ayah!” pekik Azalea sembari menunjuk pintu kamarnya. Nadina berusaha mengatur napasnya dan perlahan berjalan meninggalkan kamar Azalea. Meskipun dengan sedikit terhuyung, Nadina akhirnya dapat keluar dari lingkungan asrama. Langkahnya terhenti di salah satu dinding luar asrama dan tampak berusaha menenangkan dirinya. Nadhif yang saat itu melintas dan melihat Nadina sontak mendekati istrinya itu. “Nadina, ada apa? Kenapa kamu tampak tak baik-baik saja?!” sergah Nadhif sembari memegang kedua bahu Nadina dan mengamati wajah wanita itu. Perlahan Nadina mendongak dan melepaskan kedua tan
Wajah seluruh orang di sana terkejut kecuali Nadina. Nadina malah tampak semakin takut dan memegangi perutnya seolah khawatir dengan apa yang akan terjadi setelah ini. “Maksudmu pemuda dari pondok ini? Siapa? Dia masih ada di sini?” tanya Nadhif. “Tentu saja dia masih ada di sini, Gus. Dia bahkan sangat aktif.” Nadhif mengerutkan dahinya, ia merasa semakin tak beres dengan semua kalimat yang Azalea berikan sebagai jawaban atas setiap pertanyaannya. “Kau memiliki hubungan dengannya, Nak?” tanya Ali lagi. “Hampir saja Abi, kami nyaris membentuk hubungan yang serius.” Jawaban Azalea seketika membuat semua orang ragu terlebih Aminah yang langsung melirik ke arah Nadina. Wanita itu tampak memejamkan matanya dan memegang perutnya juga sofa lebih erat. Aminah yang melihat respons tak baik Nadina ini langsung meminta Nadina untuk beristirahat di kamar. Namun seperti yang diduga, Nadina menolaknya. “Jangan berputar-putar dan membuat kami bertanya-tanya, Aza. Katakan saja siapa dan bagaim
Nadina tampak berusaha menguatkan dirinya dan mengangkat kepalanya. “Katakan, Mas. Apa benar Mas membawa Putri Azalea masuk ke sana dan berada lama di dalam sana? Apa yang mas lakukan?” tanya Nadina dengan suara gemetarnya. “Nadina, saya mohon jangan salah paham. Saya memang mengantar dia masuk dan berada di sana. Tapi kejadiannya sudah cukup lama dan saat itu kondisinya sangat tidak terduga, saya bahkan tak ingat apa yang saya makan di sana!” pekik Nadhif. “Jadi mas tidak ingat malam itu melakukan apa di sana?” tanya Nadina. Aminah tampak mengeratkan rangkulan dan genggamannya pada tangan Nadina. Ia tak menyangka jika badai akan kembali hadir dalam rumah tangga putranya. “Nadina, jangan percaya begitu saja, Nadina.” “Nadina tidak percaya begitu saja, Mas. Nadina mencoba memahami apa yang terjadi. Mas tidak bisa membuktikan apapun di sini. Mas memang bilang mas tidur di kursi tunggu, tapi pastinitu terjadi setelahnya bukan?” ujar Nadina. “Jika memang saya yang melakukannya, men
“Bagaimana jika pada akhirnya saya tidak bisa membuktikan bahwa bukan saya yang melakukan hal itu kepada Putri Azalea, Nadina?” tanya Nadhif sembari memandang wajah istrinya. Nadina tampak menarik napas cukup panjang usai mendengar apa yang sang suami tanyakan. Tangannya perlahan mendekati tangan Nadhif dan meletakkan miliknya di atas. “Mas masih punya 30 hari. Jangan menyimpulkan sebelum waktu itu habis.” Nadina tampak memaksakan senyumnya pada Nadhif. “Kenapa ini harus terjadi? Semuanya sudah baik-baik saja selama ini dan kenapa tiba-tiba dia muncul kembali dengan tuduhan yang serius seperti ini?!” sergah Nadhif. “Mungkin kita masih harus menyelesaikan satu misi lagi. Nadina percaya pada mas, tetapi jika pun memang mas tidak bisa membuktikan, keputusan yang dibuat yang harus diikuti.” “Apa kamu benar-benar percaya jika itu bukan saya, Nadina?” Nadhif mendongakkan kepalanya memandang wajah Nadina yang sedikit menunduk. “Ya, Nadina percaya.” Wajah wanita itu jelas tak bisa berbo
Dua puluh tiga hari berjalan tanpa adanya sesuatu yang jelas terkait apa yang terjadi malam itu. Rekaman CCTV koridor rumah sakit seakan menjadikannya bumerang. Ia tak begitu ingat apa yang terjadi malam itu. Entah apa yang terjadi, ia melupakan segala. “Apa yang kau lakukan malam itu, Nadhif! Berapa lama lagi kau mesti mencari buktinya?! Jika kau bukan pelakunya, bukti itu akan ada di mana-mana! Tapi mana?!” “Apa kau yakin malam itu kau benar-benar sadar?! Atau kau benar melewatkan satu jam itu?!” batin Nadhif sembari berusaha fokus dengan berkas-berkas di meja kantor umum. Sejak dua puluh hari keputusan itu ditetapkan, ia sama sekali tak bisa tidur dengan benar, ia terus mencemaskan semua bukti, Nadina, juga anaknya di dalam perut Nadina. “Kenapa aku terlalu baik padanya makam itu?! Jika aku tahu membawanya masuk ke dalam akan membuatku dituduh seperti ini, lebih baik aku meninggalkannya di kursi tunggu!” batinnya lagi. “Assalamualaikum, Mas Nadhif!” pekik Azalea lalu tersenyum
Hari ke dua puluh sembilan. Nadina semakin meyakinkan dirinya, jika mulai besok malam ia harus berbagi suami dengan wanita lain yang juga tengah mengandung putra dari suaminya. “Apa kali ini aku salah telah percaya kepadanya? Apakah malam itu Mas Nadhif benar-benar telah melakukannya? Apakah ia melakukannya dengan sadar? Atau tidak? Tetapi apa pentingnya itu?” “Semua sudah terjadi. Bahkan hingga hari ini, Mas Nadhif tidak bisa membuktikan apapun. Semua yang dia katakan hanyalah pendapatnya tentang malam itu, bukan fakta dan buktinya.” Nadina menundukkan kepalanya dan menenggelamkannya di antara dua tangan yang berpangku pada lutut yang ia tekuk di atas ranjang. Aminah datang ke dalam kamar usai mengetuk pintu dan tak mendapat sahutan. Wanita paruh baya itu duduk di depan Nadina lalu mengelus tangan sang menantu pelan. “Umi! Kapan– kapan umi tiba? Maafkan Nadian, pasti Nadina melewatkan salam dari Umi!” pekik Nadina. “Bagaimana kabarmu, Nadina? Umi tak berani menemuimu sejak per
Di ruang keluarga dalem, Harun bersama Khoiri duduk di sebelah Nadina berhadapan dengan Ali dan Aminah. Keduanya tampak tengah diam membisu saat akhirnya Nadhif berjalan cepat memasuki dalem usai mendengar kabar kedatangan mertuanya.“Bapak, Ibu,” celetuk Nadhif sembari memandang kedua orang tua istrinya yang tampak merangkul putri mereka itu.Harun tampak bangkit lalu menghadap ke arah sang menantu meskipun jarak di antara mereka cukup terbentang sekarang. Pria paruh baya itu tampak memejamkan matanya sebentar sembari menarik panjang napasnya.“Bapak akan membawa pulang istrimu. Bapak tidak ingin putri bapak menjadi istri durhaka karena meninggalkan rumahmu tanpa izin. Jadi tolong izinkan Nadina pergi bersama kami.”Nadhif tampak cukup tercengang dengan apa yang Harun katakan terkait pernikahannya itu. Ia sedikit bingung mengapa Harun tiba-tiba membawa Nadina pulang. Ia takut jika mertuanya telah mengetahui masalah mereka.“Jika kamu bingung, bapak sudah tahu semuanya. Bapak tahu apa
“Ada apa, Melati? Kenapa mencari saya?” tanya Nadhif sembari berjalan ke ruang keluarga dalem untuk menemui Melati. “Gus, saya baru dengar kabar jika Mbak Nadina pulang. Kenapa, Gus? Semua baik-baik saja ‘kan, Gus? Hari itu saya lihat Mbak Nadina sudah bahagia bersama semuanya. Ada apa lagi ini, Gus??” cecar Melati. “Maaf, saya tidak bisa menjelaskan semuanya Melati. Saya tidak ingin masalah keluarga semakin melebar. Sudah cukup banyak yang tahu, kamu pun tak perlu tahu dari saya. Saya cukup sibuk, maaf saya harus pergi.” Nadhif mengucapkan salam lalu langsung pergi meninggalkan Melati di ruangan itu. Merasa ada yang janggal, Melati segera pergi menemui kawan satu kamarnya. Ia merasa masalah kali ini jauh lebih berat hingga membuat Nadina yang dianggapnya sebagai kakak mesti hengkang dari pondok. “Melati! Kukira kau cukup dekat dengan Mbak Nadina! Rupanya kabar ini belum kau dengar?! Kemana saja kau hmm?!” sergah santriwati kawan sekamar Melati. “Yang benar saja. Aku pulang satu
Melati memegang tangan Nadina dan membuat Nadina segera menoleh. “Benar, Mbak. Semuanya begitu cepat. InsyaAllah Abi Ali yang membantu kami juga, apa Mbak Nadina tidak keberatan?” tanya Melati. Wajah terkejut Nadina seketika berubah menjadi raut bahagia, wanita itu bahkan balas memegang tangan Melati dan menepuknya sebentar. “Untuk apa aku keberatan, Mel? Sudah pasti aku sangat senang!! Akhirnya sahabatku ini akan menikah juga! Aku turut bahagia untuk kalian berdua, ya! Kapan tanggal pernikahannya?” Nadina menoleh bergantian ke arah Melati dan Rayyan. Sepasang calon suami istri itupun tampak tersipu malu dengan ucapan yang Rayyan tuturkan. Sementara itu Nadina bisa melihat dengan jelas kebahahiaan di mata keduanya. Termasuk kebahagiaan lain yang tak Nadina lihat saat Rayyan mengatakan pemuda itu telah jatuh hati padanya. “Syukurlajh jika mereka benar-benar telah menemukan satu sama lain!” batin Nadina masih terus tersenyum tulis. “Insyaallah dalam waktu dekat, Mbak! Kami sekalia
Nadina terbangun di sebuah brankar rumah sakit, ia menoleh ke kiri dan melihat brankar lain yang menaungi putranya yang tak sadarkan diri. Ia kembali meneteskan air matanya. Baru saja ia tersadar, ingatannya kembali memutar apa yang terjadi, ia kembali mengingat kenyataan pahit Azif yang telah meninggalkan dunia ini. “Sayang, tenangkan dirimu. Semua sudah Allah takdirkan. Hidup dan mati hanya ada di tangan Allah. Azfi tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut, tidak lagi sakit dan sedih, dia pasti telah bahagia di sana.” Aminah mengelus pucuk kepala Nadina. “Putramu baik-baik saja, dokter bilang ia akan siuman tak lama lagi. Pertolongan datang tepat waktu sebelum Adnan harus lebih banyak menghirup gas beracun itu, Nadina.” Nadina tak bisa membalas, ia hanya terdiam sementara air matanya terus mengalir. Di satu sisi ia bersyukur karena putranya dapat selamat. Di sisi lain, ia sedih atas kematian Azif. Bahkan keajaiban Allah mengirimkan Azif untuk memberinya petunjuk agar bisa meng
Rayyan berlari ke arah Nadina dan segera mengambil alih Adnan dari pelukan Nadina. “Rayyan?!” pekik Nadina terkejut bercampur bingung. “Jangan banyak bertanya dan bicara dulu, Nadina! Kita harus bawa Adnan ke rumah sakit sekarang!” pekik Rayyan langsung membawa Adnan pergi. Nadina menoleh ke belakang berniat menggendong Azif untuk juga pergi dari sana. Namun anehnya, bocah itu menghilang. Tak ada di sana, Nadina dengan sedikit kebingungan mesti melanjutkan langkahnya menyusul Rayyan. Tempat itu telah digerebek polisi, semua antek Azalea ditangkap, begitu pula dengan Azalea. Namun sudut mata Nadina menangkap bayangan Rukmi tengah menangis mengikuti petugas medis membawa seseorang lain masuk ke dalam ambulans. “Nadina, ayo cepat!!” pekik Rayyan mengingatkan Nadina untuk segera naik ke ambulans lain. Petugas medis segera melakukan pertolongan pertama pada Adnan, Nadina terus memegang tangan Adnan dan mengusapnya berharap sang anak akan sadar dan selamat. Rumah sakit menjadi tempat
“Azalea, berhentilah. Kau terlalu jauh. Adnan hanya anak kecil yang tak tahu apapun!” pekik Nadina. Azalea berjalan berkeliling ruangan menuju kaca tempat mereka bisa memandang Adnan yang mulai kelelahan itu. “Muhammad Adnan Maulana, dia memang masih seorang anak kecil berusia tujuh tahun, tapi ketahuilah Nadina. Anak tujuh tahun itu telah membuatku diadili oleh putraku sendiri!” “Ya, aku memang mengatur Azif untuk menarik perhatian Adnan. Aku membuat mereka berdua sangat dekat hingga Adnanmu itu sangat mempercayai putraku sehingga secara tak langsung mempercayaiku untuk secara cuma-cuma masuk ke dalam mobilku dan menemui kematiannya.” Pengakuan Azalea tiba-tiba mengingatkan Nadina dengan pesan Rukmi untuk terus menjaga diri dan putranya terlebih untuk tak mudah percaya kepada orang baru. “Tapi sayangnya! Anak kecil itu terlalu polos! Azifpun juga begitu! Dia rupanya sangat bahagia memiliki teman seperti Adnan, dia bahkan menyukaimu! Kau tahu? Telingaku panas mendengarnya merenge
Jantung Nadina seakan berhenti berdetak. Foto yang ada benar-benar membuatnya kebingungan. Tampak di foto Azif bersama Adnan tengah bersiap memasuki mobil bersama seorang wanita yang tak lain dam tak bukan memili paras wajah yang sama dengan Putri Azalea. “Ya Allah! Jadi apa yang aku lihat kemarin ini benar? Foto dalam telepon itu benar Putri Azalea? Jadi dia dan putranya, Azif? Masih hidup? Ya Allah, dan Adnan! Bagaimana dengannya sekarang!” Tangisan Nadina tak bisa lagi terbendung ia gemetar bahkan amat lemas dan nyaris tak bisa mengendalikan dirinya. Namun tiba-tiba sebuah telepon video datang. Nadina getar hendak mengangkatnya. Baru saja panggilan itu terhubung, wajah Adnan berada di sana. “Adnan!! Ya Allah! Adnan!!” teriak Nadina histeris. Putranya tampak duduk lemas pada sebuah kursi dengan tangan dan tubuh yang terikat. Bocah itu tampak kelelahan dan menunduk setengah tak sadarkan diri. [“Hai, Nadina! Apa kau terkejut?”] Suara yang tujuh tahun lalu menghilang kini kembali
“Nadina?!” pekik Rayyan yang terkejut atas kehadiran seseorang di kamar penginapannya itu. Pemuda itu segera berjalan memasuki kamar itu, Nadina terus berteriak seolah kembali teringat dengan kejadian kala itu. Rayyan meletakkan tasnya ke ranjang lalu mendekati Nadina dengan berjongkok. “Jangan!! Jangan mendekat!” teriak Nadina terus histeris. “Nadina! Ada apa?! Kau? Nadina! Ini aku Rayan! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau di sini? Bagaimana bisa kau–” cecar Rayyan sembari menyentak pundak Nadina. Sentakan Rayyan seolah memberi membuat Nadina kembali tersadar. Wanita itu yang semula berteriak histeris ketakutan sekarang malah tampak menatap Rayyan tajam. Tangan Nadina dengan cepat mendorong Rayyan hingga pemuda itu tersungkur ke belakang. “Nadina? Apa yang kau la–” lirih Rayyan terputus. “Di mana, Adnan?!! Apa yang kau lakukan padanya, Ray!? Kenapa kau tega menyiksaku seperti ini?!! Kembalikan Adnan sekarang!! Di mana putraku?!” sergah Nadina segera bangkit dari posisinya. “
Nadina menyipitkan matanya, tepatnya ia tak menyangka jika Rayyan akan melakukan sesuatu senekat ini dengan mengambil Adnan dari sisinya dengan menggunakan kepercayaan yang telah diberikan ia dan keluarganya berikan. “Apa-apaan ini, Ray?! Jadi kau membawa Adnan dan mengancamku? Apa yang terjadi sebenarnya!?” sergah Nadina berusaha menelepon namun tetap saja Rayyan tak membalasnya. Tak mau semakin mengulur waktu apalagi Adnan yang menjadi taruhan, Nadina segera memeriksa share location yang Rayyan kirimkan. Tak menunggu kama, Nadina segera melakukan mobilnya dan mengikuti jalur yang ada pada petunjuk arah itu. Segala pujian, doa, serta dzikir terus keluar dari mulut Nadina. Dengan jelas raut kekhawatiran mewarnai wanita itu. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain fokus pada jalanan hingga bisa sampai secepat yang ia bisa. “Ya Allah, lindungi putraku. Jangan sampai ada sesuatu hal buruk menimpanya. Kumohin, ya Allah!” pekik Nadina. “Adnan, tunggu ibu ya, Nak! Ya Allah, bagai
Hari berganti hari, usia keputusan itu, Rayyan dan Nadina tak sesering dulu bertemu mungkin memang selayaknya pertemuan antara wali murid dan guru adalah seperti ini. Nadina yang semula ingin memutuskan kerja sama pada Rayyan untuk memberi kelas tambahan pada Adnan akhirnya mengurungkan niatnya. Ia sempat berbicara pada Adnan mengenai kekhawatirannya itu, dan jawaban yang sang putra berikan sangat membuatnya sadar. Ia tak perlu lagi menghindar. Ia tahu, Adnan mungkin sesekali merindukan ayahnya. Namun di dalam hati anak itu telah terpatri satu nama yang hanya akan menjadi aba untuknya. Muhammad Nadhif. Sejak kemarin Nadina, Adnan, dan Nadhin memutuskan untuk tinggal di rumah kedua orang tuanya, Harun dan Khoiri. Memang dalam satu bulan mereka akan ada waktu untuk tinggal bersama. Mengobati rasa rindu kepada anak cucu, serta orang tua dan kakek nenek. “Ibu senang kamu bisa lebih dewasa sekarang, Nadina. Ibu mendengar semuanya dari umi Aminah tentangmu dan pemuda itu. Apapun keputusa
Pertemuan itu diakhiri dengan penerimaan atas jawaban yang diutarakan dan maksud yang disampaikan. Usai meneguk habis teh dan mencicipi roti yang Nadina sajikan, akhirnya Rayyan memutuskan untuk pamit. Aminah maupun Nadina mengantar Rayyan hingga pemuda itu memasuki mobilnya. Sepertinya mobil itu beserta pengemudinya, Aminah menoleh ke pada Nadina. “Umi pasti sudah tahu jawabannya bukan?” celetuk Nadina. Aminah mengangguk paham. Memang benar wanita paruh baya itu paham jika entah bagaimana wanita itu menyampaikan alasannya, ia pasti akan tetap menyimpulkan penolakan atas niat lamaran yang hendak Rayyan berikan padanya. Aminah merangkul Nadina dan keduanya berbalik hendak kembali menuju dalem. “Maafkan Nadina jika keputusan Nadina mengecewakan abi dan umi. Tetapi maafkan Nadina umi, Nadina tidak mau sesuatu yang sama terjadi. Mas Nadhif telah merasakan banyak rasa sakit setelah menikah dengan Nadina hanya untuk meyakinkan Nadina pada cinta semata itu.” “Nadina tak akan bisa menan