“Ada apa, Melati? Kenapa mencari saya?” tanya Nadhif sembari berjalan ke ruang keluarga dalem untuk menemui Melati. “Gus, saya baru dengar kabar jika Mbak Nadina pulang. Kenapa, Gus? Semua baik-baik saja ‘kan, Gus? Hari itu saya lihat Mbak Nadina sudah bahagia bersama semuanya. Ada apa lagi ini, Gus??” cecar Melati. “Maaf, saya tidak bisa menjelaskan semuanya Melati. Saya tidak ingin masalah keluarga semakin melebar. Sudah cukup banyak yang tahu, kamu pun tak perlu tahu dari saya. Saya cukup sibuk, maaf saya harus pergi.” Nadhif mengucapkan salam lalu langsung pergi meninggalkan Melati di ruangan itu. Merasa ada yang janggal, Melati segera pergi menemui kawan satu kamarnya. Ia merasa masalah kali ini jauh lebih berat hingga membuat Nadina yang dianggapnya sebagai kakak mesti hengkang dari pondok. “Melati! Kukira kau cukup dekat dengan Mbak Nadina! Rupanya kabar ini belum kau dengar?! Kemana saja kau hmm?!” sergah santriwati kawan sekamar Melati. “Yang benar saja. Aku pulang satu
Nadina tiba-tiba melepas pelukannya dan mendorong Nadhif menjauh. “Mas kenapa di sini malam-malam? Mas harusnya ada di pondok. Mas kabur?” sergah Nadina menatap kelu sang suami. “Saya harus kemana jika bukan padamu, Nadina? Kita selalu melewati malam bersama ‘kan? Kenapa saya harus melewatkan malam ini tanpamu?” tutur Nadhif. “Mas! Adil, Mas! Istri mas bukan Nadina saja sekarang! Bagaimana mas bisa meninggalkannya di malam pernikahan kalian?!” Nadina membalik tubuh sang suami lalu mulai mendorongnya pergi. “Kita bicara besok saja! Mas pulang dan temani Putri Azalea. Akan menyakitkan untuknya karena mas tidak ada bersamanya sekarang,” ujar Nadina. “Saya tidak jadi menikahinya, Nadina. Sudah saya bilang bukan saya pelakunya. Dan Allah menunjukkan jalannya sendiri,” ujar Nadhif seketika membuat Nadina berhenti mendorong sang suami pergi. “Maksud, Mas? Bukannya mas sudah mengirim pesan itu sebagai tanda pernikahannya terjadi? Jangan berbohong, Mas!” bentak Nadina. “Saya tidak berbo
Wajah Nadina mendadak menjadi pucat, rasa kecewa yang semula tergambar atas pernikahan kedua sang suami kini berubah menjadi rasa belas kasih kepada sang korban. “Gimana keadaan Azalea sekarang, Mas?! Apa semuanya baik-baik saja??” sergah Nadina sambil menatap manik mata sang suami. “Dia ada di rumah sakit sekarang, besok saja kita temui. Sekarang sudah malam, kamu juga harus beristirahat, Nadina.” Nadhif sedikit mengangguk kecik berharap sang istri menuruti perkataannya kala itu. “Sekarang saja, Mas! Nadina mau bertemu Azalea sekarang. Nadina mohon, sekarang saja, ya!” pekik Nadina sembari mencengkeram lengan pakaian Nadhif. Keduanya kini berada di sebuah ruangan tempat Azalea terbaring dengan beberapa alat terpasang di tubuhnya. Keadaannya tampak cukup parah hingga Nadina terlihat meneteskan air matanya. Tangan wanita itu kini hendak meraba perut Azalea, namun perkataan Nadhif menghentikannya. “Bayinya sudah tidak ada, Nadina. Azalea keguguran karena kecelakaan itu. Nyawa kand
Hari dimana Nadina diperkirakan melahirkan putra pertamanya semakin dekat. Namun wanita itu tak gentar untuk tetap mendatangi beberapa rumah santri yang telah lulus untuk menyampaikan beberapa hal kala itu. Nadina yang pergi bersama seorang sopir saja merasa sedikit was-was jika tiba-tiba ia merasakan sesuatu pada kandungannya. Namun kesibukan Nadhif tak bisa membuatnya meminta atau sekadar menuturkan keinginan untuk sang suami turut hadir. Saat Nadina hendak kembali ke mobil, perutnya mulai keram. Ia mulai merintih sakit hingga membuat sang sopir sedikit panik. Sayangnya, mobil mereka macet dan tak bisa segera menyala. “Biar saya bantu membawanya ke rumah sakit. Bapak hubungi saja suaminya untuk segera datang!” pekik seorang pemuda yang langsung membantu Nadina pindah ke mobil miliknya. Meskipun dalam rasa sakitnya, Nadina masih bisa melihat siapa pemuda yang membawa tubuhnya ke mobil kain. Ia sedikit menolak namun tak ada hal lain yang bisa dilakukannya. “Tolong percaya kepada
Nadina dan Nadhif dalam perjalanan menuju rumah sakit dan memutuskan untuk menginap di sana karena Nadina telah merasakan beberapa hal pada kandungannya. Nadhif dengan sigap membantu Nadina masuk ke mobil usai semua perlengkapan ia letakkan di kursi belakang. Hari itu, sebelum berangkat, Nadhif tampak memandang lama wajah Nadina yang tampak kebingungan karena ditatap lama oleh sang suami. “Ehm, ada apa, Mas? Nadina jadi canggung karena mas menatap seperti itu,” lirih Nadina tampak malu-malu. Nadhif meletakkan tangannya di atas tangan Nadina yang tengah mengelus pelan calon putri mereka. “Terima kasih sudah menjadi yang terbaik dalam hidup saya, Nadina. Apapun yang terjadi, kamu harus bahagia. Semoga setelah ini hanya kebahagiaan yang datang kepadamu, Sayang.” Nadhif lanjut mengecup bibir Nadina. Selama sekian detik itu, Nadina merasakan ada sesuatu yang aneh pada sang suami. Nadhif memang kerap menunjukkan cintanya, namun kali ini hatinya berkata lain. Seolah ada sesuatu yang men
Dokter segera membawa Nadhif keluar ruang bersalin sementara Nadina tampak panik namun tak bisa turut mengejar sang suami. Beberapa detik kemudian, ia jatuh pingsan. Nadina terbangun di ruang inap yang sunyi saat itu, saat dirinya menoleh ke samping dilihatnya Khoiri tengah menahan tangisnya. Teringat kembali pada sang suami, Nadina segera bangkit dan menghampiri Khoiri meskipun keadaannya belum cukup stabil. “Ibu,” lirih Nadina. “Nak, kamu sudah sadar. Jangan banyak bergerak dulu ya, Sayang! Kondisimu masih kemah, butuh banyak istirahat,” tutur Khoiri berusaha menuntun Nadina kembali. “Mas Nadhif di mana, Bu? Tadi mas pingsan, Nadina mau melihat Mas Nadhif. Ibu antar Nadina, ya!” pekik Nadina sembari memutar dirinya memeriksa sekitar. “Istirahat saja dulu ya, Sayang! Kamu masih lemah,” tutur Khoiri sambil kembali terisak. “Ibu, ibu kenapa nangis? Nadina baik-baik saja! Nadhin juga sudah lahir! Mas Nadhif juga baik-baik saja. Jangan membuat Nadina takut dengan tangisan ibu, ya!”
Tiga bulan setelah kematian Nadhif. Nadina duduk di taman pondok sembari menatap kursi lain yang pernah ia duduki bersama sang suami. Memori bahagia dimana ia bersama Nadhif tertawa tanpa henti seolah kembali terulang di hadapannya. “Mas lihat? Lagi-lagi Nadina melihat mas di sini. Semuanya. Tidak ada satu tempat pun yang Nadina datangi yang tidak memiliki kenangan bersama Mas Nadhif.” “Maafkan Nadina karena sudah banyak mengecewakan Mas Nadhif. Maaf jika Nadina sulit untuk berdiri sendiri sekarang. Maaf juga Nadina sangat kurang membalas besarnya cinta mas pada Nadina.” “Rupanya, hari itu mas tahu saat ini akan tiba? Mas tampak terus memeluk Nadina sebelum kita berangkat ke rumah sakit. Mas tampak bersih, rapi, wangi, tampan. Ternyata untuk bertemu dengan-Nya.” “Rupanya rasa takut Nadina saat itu benar, Nadina takut kehilangan mas. Dan sekarang, Nadina sendiri yang harus membesarkan putra putri kita. Bagaimana Nadina harus menjawab pertanyaan mereka saat bertanya dimana ayah mere
Empat tahun setelah kematian Muhammad Nadhif—suami Nadina, ayah Adnan dan Nadhin. “Umi, Nadina titip Nadhin sebentar ya, tadi masih bermain dengan para santriwati di halaman dalem—rumah inti keluarga pondok. Mungkin sebentar lagi ia kembali,” tutur Nadina sembari menyalami tangan Aminah—Ibu Nadhif, mertua Nadina. “Iya, Sayang. Setelah ini umi periksa ya! Kamu hati-hati menyetir mobilnya. Semoga Adnan suka dan nyaman dengan sekolah barunya, ya! Tidak terasa dia sekarang sudah sebesar ini,” tutur Aminah sembari tersenyum dan mengelus pucuk kepala Nadina. “Adnan tumbuh dengan baik berkat kasih sayang umi, abi dan seluruh warga pondok. Nadina yakin Adnan akan nyaman dengan sekolah barunya. Sedari tadi dia sangat bersemangat untuk datang ke sekolah pertamanya!” kekeh Nadina. Usai dari sana, Nadina meraih kotak makan di atas meja makan dapur dan memanggil sang putra yang telah menunggunya di ruang tamu dalem. Hari ini adalah hari pertama Adnan menduduki kelas satu sekolah dasar. Bocah b
Melati memegang tangan Nadina dan membuat Nadina segera menoleh. “Benar, Mbak. Semuanya begitu cepat. InsyaAllah Abi Ali yang membantu kami juga, apa Mbak Nadina tidak keberatan?” tanya Melati. Wajah terkejut Nadina seketika berubah menjadi raut bahagia, wanita itu bahkan balas memegang tangan Melati dan menepuknya sebentar. “Untuk apa aku keberatan, Mel? Sudah pasti aku sangat senang!! Akhirnya sahabatku ini akan menikah juga! Aku turut bahagia untuk kalian berdua, ya! Kapan tanggal pernikahannya?” Nadina menoleh bergantian ke arah Melati dan Rayyan. Sepasang calon suami istri itupun tampak tersipu malu dengan ucapan yang Rayyan tuturkan. Sementara itu Nadina bisa melihat dengan jelas kebahahiaan di mata keduanya. Termasuk kebahagiaan lain yang tak Nadina lihat saat Rayyan mengatakan pemuda itu telah jatuh hati padanya. “Syukurlajh jika mereka benar-benar telah menemukan satu sama lain!” batin Nadina masih terus tersenyum tulis. “Insyaallah dalam waktu dekat, Mbak! Kami sekalia
Nadina terbangun di sebuah brankar rumah sakit, ia menoleh ke kiri dan melihat brankar lain yang menaungi putranya yang tak sadarkan diri. Ia kembali meneteskan air matanya. Baru saja ia tersadar, ingatannya kembali memutar apa yang terjadi, ia kembali mengingat kenyataan pahit Azif yang telah meninggalkan dunia ini. “Sayang, tenangkan dirimu. Semua sudah Allah takdirkan. Hidup dan mati hanya ada di tangan Allah. Azfi tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut, tidak lagi sakit dan sedih, dia pasti telah bahagia di sana.” Aminah mengelus pucuk kepala Nadina. “Putramu baik-baik saja, dokter bilang ia akan siuman tak lama lagi. Pertolongan datang tepat waktu sebelum Adnan harus lebih banyak menghirup gas beracun itu, Nadina.” Nadina tak bisa membalas, ia hanya terdiam sementara air matanya terus mengalir. Di satu sisi ia bersyukur karena putranya dapat selamat. Di sisi lain, ia sedih atas kematian Azif. Bahkan keajaiban Allah mengirimkan Azif untuk memberinya petunjuk agar bisa meng
Rayyan berlari ke arah Nadina dan segera mengambil alih Adnan dari pelukan Nadina. “Rayyan?!” pekik Nadina terkejut bercampur bingung. “Jangan banyak bertanya dan bicara dulu, Nadina! Kita harus bawa Adnan ke rumah sakit sekarang!” pekik Rayyan langsung membawa Adnan pergi. Nadina menoleh ke belakang berniat menggendong Azif untuk juga pergi dari sana. Namun anehnya, bocah itu menghilang. Tak ada di sana, Nadina dengan sedikit kebingungan mesti melanjutkan langkahnya menyusul Rayyan. Tempat itu telah digerebek polisi, semua antek Azalea ditangkap, begitu pula dengan Azalea. Namun sudut mata Nadina menangkap bayangan Rukmi tengah menangis mengikuti petugas medis membawa seseorang lain masuk ke dalam ambulans. “Nadina, ayo cepat!!” pekik Rayyan mengingatkan Nadina untuk segera naik ke ambulans lain. Petugas medis segera melakukan pertolongan pertama pada Adnan, Nadina terus memegang tangan Adnan dan mengusapnya berharap sang anak akan sadar dan selamat. Rumah sakit menjadi tempat
“Azalea, berhentilah. Kau terlalu jauh. Adnan hanya anak kecil yang tak tahu apapun!” pekik Nadina. Azalea berjalan berkeliling ruangan menuju kaca tempat mereka bisa memandang Adnan yang mulai kelelahan itu. “Muhammad Adnan Maulana, dia memang masih seorang anak kecil berusia tujuh tahun, tapi ketahuilah Nadina. Anak tujuh tahun itu telah membuatku diadili oleh putraku sendiri!” “Ya, aku memang mengatur Azif untuk menarik perhatian Adnan. Aku membuat mereka berdua sangat dekat hingga Adnanmu itu sangat mempercayai putraku sehingga secara tak langsung mempercayaiku untuk secara cuma-cuma masuk ke dalam mobilku dan menemui kematiannya.” Pengakuan Azalea tiba-tiba mengingatkan Nadina dengan pesan Rukmi untuk terus menjaga diri dan putranya terlebih untuk tak mudah percaya kepada orang baru. “Tapi sayangnya! Anak kecil itu terlalu polos! Azifpun juga begitu! Dia rupanya sangat bahagia memiliki teman seperti Adnan, dia bahkan menyukaimu! Kau tahu? Telingaku panas mendengarnya merenge
Jantung Nadina seakan berhenti berdetak. Foto yang ada benar-benar membuatnya kebingungan. Tampak di foto Azif bersama Adnan tengah bersiap memasuki mobil bersama seorang wanita yang tak lain dam tak bukan memili paras wajah yang sama dengan Putri Azalea. “Ya Allah! Jadi apa yang aku lihat kemarin ini benar? Foto dalam telepon itu benar Putri Azalea? Jadi dia dan putranya, Azif? Masih hidup? Ya Allah, dan Adnan! Bagaimana dengannya sekarang!” Tangisan Nadina tak bisa lagi terbendung ia gemetar bahkan amat lemas dan nyaris tak bisa mengendalikan dirinya. Namun tiba-tiba sebuah telepon video datang. Nadina getar hendak mengangkatnya. Baru saja panggilan itu terhubung, wajah Adnan berada di sana. “Adnan!! Ya Allah! Adnan!!” teriak Nadina histeris. Putranya tampak duduk lemas pada sebuah kursi dengan tangan dan tubuh yang terikat. Bocah itu tampak kelelahan dan menunduk setengah tak sadarkan diri. [“Hai, Nadina! Apa kau terkejut?”] Suara yang tujuh tahun lalu menghilang kini kembali
“Nadina?!” pekik Rayyan yang terkejut atas kehadiran seseorang di kamar penginapannya itu. Pemuda itu segera berjalan memasuki kamar itu, Nadina terus berteriak seolah kembali teringat dengan kejadian kala itu. Rayyan meletakkan tasnya ke ranjang lalu mendekati Nadina dengan berjongkok. “Jangan!! Jangan mendekat!” teriak Nadina terus histeris. “Nadina! Ada apa?! Kau? Nadina! Ini aku Rayan! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau di sini? Bagaimana bisa kau–” cecar Rayyan sembari menyentak pundak Nadina. Sentakan Rayyan seolah memberi membuat Nadina kembali tersadar. Wanita itu yang semula berteriak histeris ketakutan sekarang malah tampak menatap Rayyan tajam. Tangan Nadina dengan cepat mendorong Rayyan hingga pemuda itu tersungkur ke belakang. “Nadina? Apa yang kau la–” lirih Rayyan terputus. “Di mana, Adnan?!! Apa yang kau lakukan padanya, Ray!? Kenapa kau tega menyiksaku seperti ini?!! Kembalikan Adnan sekarang!! Di mana putraku?!” sergah Nadina segera bangkit dari posisinya. “
Nadina menyipitkan matanya, tepatnya ia tak menyangka jika Rayyan akan melakukan sesuatu senekat ini dengan mengambil Adnan dari sisinya dengan menggunakan kepercayaan yang telah diberikan ia dan keluarganya berikan. “Apa-apaan ini, Ray?! Jadi kau membawa Adnan dan mengancamku? Apa yang terjadi sebenarnya!?” sergah Nadina berusaha menelepon namun tetap saja Rayyan tak membalasnya. Tak mau semakin mengulur waktu apalagi Adnan yang menjadi taruhan, Nadina segera memeriksa share location yang Rayyan kirimkan. Tak menunggu kama, Nadina segera melakukan mobilnya dan mengikuti jalur yang ada pada petunjuk arah itu. Segala pujian, doa, serta dzikir terus keluar dari mulut Nadina. Dengan jelas raut kekhawatiran mewarnai wanita itu. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain fokus pada jalanan hingga bisa sampai secepat yang ia bisa. “Ya Allah, lindungi putraku. Jangan sampai ada sesuatu hal buruk menimpanya. Kumohin, ya Allah!” pekik Nadina. “Adnan, tunggu ibu ya, Nak! Ya Allah, bagai
Hari berganti hari, usia keputusan itu, Rayyan dan Nadina tak sesering dulu bertemu mungkin memang selayaknya pertemuan antara wali murid dan guru adalah seperti ini. Nadina yang semula ingin memutuskan kerja sama pada Rayyan untuk memberi kelas tambahan pada Adnan akhirnya mengurungkan niatnya. Ia sempat berbicara pada Adnan mengenai kekhawatirannya itu, dan jawaban yang sang putra berikan sangat membuatnya sadar. Ia tak perlu lagi menghindar. Ia tahu, Adnan mungkin sesekali merindukan ayahnya. Namun di dalam hati anak itu telah terpatri satu nama yang hanya akan menjadi aba untuknya. Muhammad Nadhif. Sejak kemarin Nadina, Adnan, dan Nadhin memutuskan untuk tinggal di rumah kedua orang tuanya, Harun dan Khoiri. Memang dalam satu bulan mereka akan ada waktu untuk tinggal bersama. Mengobati rasa rindu kepada anak cucu, serta orang tua dan kakek nenek. “Ibu senang kamu bisa lebih dewasa sekarang, Nadina. Ibu mendengar semuanya dari umi Aminah tentangmu dan pemuda itu. Apapun keputusa
Pertemuan itu diakhiri dengan penerimaan atas jawaban yang diutarakan dan maksud yang disampaikan. Usai meneguk habis teh dan mencicipi roti yang Nadina sajikan, akhirnya Rayyan memutuskan untuk pamit. Aminah maupun Nadina mengantar Rayyan hingga pemuda itu memasuki mobilnya. Sepertinya mobil itu beserta pengemudinya, Aminah menoleh ke pada Nadina. “Umi pasti sudah tahu jawabannya bukan?” celetuk Nadina. Aminah mengangguk paham. Memang benar wanita paruh baya itu paham jika entah bagaimana wanita itu menyampaikan alasannya, ia pasti akan tetap menyimpulkan penolakan atas niat lamaran yang hendak Rayyan berikan padanya. Aminah merangkul Nadina dan keduanya berbalik hendak kembali menuju dalem. “Maafkan Nadina jika keputusan Nadina mengecewakan abi dan umi. Tetapi maafkan Nadina umi, Nadina tidak mau sesuatu yang sama terjadi. Mas Nadhif telah merasakan banyak rasa sakit setelah menikah dengan Nadina hanya untuk meyakinkan Nadina pada cinta semata itu.” “Nadina tak akan bisa menan