Share

149. Tampak Berbeda

Penulis: Annisarz
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Nadina dan Nadhif dalam perjalanan menuju rumah sakit dan memutuskan untuk menginap di sana karena Nadina telah merasakan beberapa hal pada kandungannya. Nadhif dengan sigap membantu Nadina masuk ke mobil usai semua perlengkapan ia letakkan di kursi belakang.

Hari itu, sebelum berangkat, Nadhif tampak memandang lama wajah Nadina yang tampak kebingungan karena ditatap lama oleh sang suami.

“Ehm, ada apa, Mas? Nadina jadi canggung karena mas menatap seperti itu,” lirih Nadina tampak malu-malu.

Nadhif meletakkan tangannya di atas tangan Nadina yang tengah mengelus pelan calon putri mereka.

“Terima kasih sudah menjadi yang terbaik dalam hidup saya, Nadina. Apapun yang terjadi, kamu harus bahagia. Semoga setelah ini hanya kebahagiaan yang datang kepadamu, Sayang.” Nadhif lanjut mengecup bibir Nadina.

Selama sekian detik itu, Nadina merasakan ada sesuatu yang aneh pada sang suami. Nadhif memang kerap menunjukkan cintanya, namun kali ini hatinya berkata lain. Seolah ada sesuatu yang men
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   150. Jatuh

    Dokter segera membawa Nadhif keluar ruang bersalin sementara Nadina tampak panik namun tak bisa turut mengejar sang suami. Beberapa detik kemudian, ia jatuh pingsan. Nadina terbangun di ruang inap yang sunyi saat itu, saat dirinya menoleh ke samping dilihatnya Khoiri tengah menahan tangisnya. Teringat kembali pada sang suami, Nadina segera bangkit dan menghampiri Khoiri meskipun keadaannya belum cukup stabil. “Ibu,” lirih Nadina. “Nak, kamu sudah sadar. Jangan banyak bergerak dulu ya, Sayang! Kondisimu masih kemah, butuh banyak istirahat,” tutur Khoiri berusaha menuntun Nadina kembali. “Mas Nadhif di mana, Bu? Tadi mas pingsan, Nadina mau melihat Mas Nadhif. Ibu antar Nadina, ya!” pekik Nadina sembari memutar dirinya memeriksa sekitar. “Istirahat saja dulu ya, Sayang! Kamu masih lemah,” tutur Khoiri sambil kembali terisak. “Ibu, ibu kenapa nangis? Nadina baik-baik saja! Nadhin juga sudah lahir! Mas Nadhif juga baik-baik saja. Jangan membuat Nadina takut dengan tangisan ibu, ya!”

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   151. Nadhif untuk Nadina

    Tiga bulan setelah kematian Nadhif. Nadina duduk di taman pondok sembari menatap kursi lain yang pernah ia duduki bersama sang suami. Memori bahagia dimana ia bersama Nadhif tertawa tanpa henti seolah kembali terulang di hadapannya. “Mas lihat? Lagi-lagi Nadina melihat mas di sini. Semuanya. Tidak ada satu tempat pun yang Nadina datangi yang tidak memiliki kenangan bersama Mas Nadhif.” “Maafkan Nadina karena sudah banyak mengecewakan Mas Nadhif. Maaf jika Nadina sulit untuk berdiri sendiri sekarang. Maaf juga Nadina sangat kurang membalas besarnya cinta mas pada Nadina.” “Rupanya, hari itu mas tahu saat ini akan tiba? Mas tampak terus memeluk Nadina sebelum kita berangkat ke rumah sakit. Mas tampak bersih, rapi, wangi, tampan. Ternyata untuk bertemu dengan-Nya.” “Rupanya rasa takut Nadina saat itu benar, Nadina takut kehilangan mas. Dan sekarang, Nadina sendiri yang harus membesarkan putra putri kita. Bagaimana Nadina harus menjawab pertanyaan mereka saat bertanya dimana ayah mere

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   152. Waktu Berlalu

    Empat tahun setelah kematian Muhammad Nadhif—suami Nadina, ayah Adnan dan Nadhin. “Umi, Nadina titip Nadhin sebentar ya, tadi masih bermain dengan para santriwati di halaman dalem—rumah inti keluarga pondok. Mungkin sebentar lagi ia kembali,” tutur Nadina sembari menyalami tangan Aminah—Ibu Nadhif, mertua Nadina. “Iya, Sayang. Setelah ini umi periksa ya! Kamu hati-hati menyetir mobilnya. Semoga Adnan suka dan nyaman dengan sekolah barunya, ya! Tidak terasa dia sekarang sudah sebesar ini,” tutur Aminah sembari tersenyum dan mengelus pucuk kepala Nadina. “Adnan tumbuh dengan baik berkat kasih sayang umi, abi dan seluruh warga pondok. Nadina yakin Adnan akan nyaman dengan sekolah barunya. Sedari tadi dia sangat bersemangat untuk datang ke sekolah pertamanya!” kekeh Nadina. Usai dari sana, Nadina meraih kotak makan di atas meja makan dapur dan memanggil sang putra yang telah menunggunya di ruang tamu dalem. Hari ini adalah hari pertama Adnan menduduki kelas satu sekolah dasar. Bocah b

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   153. Hari Pertama

    Bel masuk berdenting, pemuda itu segera berjalan menjauh dari tempat Nadina nyaris menabraknya. Beberapa murid pun mulai berlarian masuk ke dalam kelas mereka masing-masing. Sementara itu, beberapa saat kemudian, saat Adnan telah duduk rapi di sebelah sebuah kawan barunya, seorang guru pun masuk ke dalam kelas. Seorang guru yang tampak muda dengan pakaian rapi dan senyum yang manis. “Assalamualaikum, Anak-Anak!” pekik sang guru dengan antusias. “Waalaikumussalam, Pak Guru!!” sahut seluruh kelas dengan kompak meskipun sedikit lambat temponya. Sementara Adnan dan kelasnya dengan sesi perkenalan dan lain hal, Nadina tampak sedang duduk di halaman dalem sembari mengamati Nadhin yang sedang bermain di hadapannya. Putrinya yang berusia empat tahun itu tampak memiliki mata yang mirip dengan mata Nadhif. Nadina sedikit melamun hingga tanpa sadar air matanya menetes membasahi hijab putih panjangnya saat itu. “Nadina, kamu melamun?” Aminah yang muncul dari dalam dalem menepuk pundak Nadin

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   154. Sosoknya

    “Mas Nadhif?” lirih Nadina kini menatap lurus pemuda yang berjalan di sebelah putranya itu. “Ibu!!” teriak Adnan lalu segera berlari ke arah Nadina usai melepaskan tangannya dari genggaman tangan pemuda itu dan meninggalkannya. Adnan memeluk Nadina yang masih terpaku melihat sosok yang kini berada di hadapannya itu, sosok itu tampak samar tersenyum sementara ia mengernyit tak percaya meskipun jantungnya berpacu amat kencang. “Assalamualaikum, Ibu! Adik Nadhin!” pekik Adnan langsung meraih tangan sang ibu dan menciumnya meskipun perhatian Nadina tak sedang ada padanya. “Kak Adnan! Aba!” pekik Nadhin. “Aba?” lirih langsung membuat Adnan tersadar dengan seseorang yang baru ia tinggalkan di belakangnya. “Oh iya! Ibu! Adik! Itu– itu bukan Aba!” pekik Adnan bersamaan dengan sang pemuda yang mendekati Nadina dan kedua anaknya itu. “Assalamualaikum, Ibu Nadina!” pekik pemuda itu sembari sedikit tersenyum. “Waalaikumussalam. Mas Nadhif?” lirih Nadina. Matanya kini mulai tampak berair.

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   155. Sosok Mengganggu Hati

    Hari berganti malam, Adnan tengah mengerjakan tugas sekaligus mengulang materi sekolah di kamarnya bersama Nadhin yang tampak telah tertidur pulas. Sementara itu, Nadina tampak sibuk di ruang tamu dengan satu laptop di meja dan beberapa berkas kepengurusan pondok. “Nadina, sudah malam, Nak! Lanjutkan saja besok.” Aminah berjalan mendekati Nadina lalu duduk di hadapan menantunya itu dan mengamati betapa sibuknya Nadina detik itu. “Tinggal sedikit lagi, Umi. Sekalian saja Nadina selesaikan sekarang. Takut besok tidak sempat mengerjakannya,” papar Nadina sebentar melirik Aminah lalu kembali fokus dengan pekerjaannya di meja itu. “Kamu dan putramu sama saja. Kalau tidak diperingatkan tetap berada di balik meja dan membaca buku juga deretan tulisan itu seolah tanpa rasa lelah!” pekik Aminah. Nadina segera mengangkat kepalanya memandang Aminah. “Lho, Adnan belum tidur, Umi? Tadi Adnan sudah pamit untuk tidur, bahkan Nadina sudah mengantarnya ke atas ranjang bahkan menunggu hingga Nadhi

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   156. Sebuah Tawaran

    Hari berganti, tepatnya jam pulang sekolah Adnan. Kali ini Nadina menjemput Adnan dengan tepat waktu namun sendirian tanpa Nadhin. Perasaannya sedikit cemas dengan berita yang akan ia bawa untuk sang guru itu. Beberapa saat kemudian, dari arah kelas satu, beberapa murid mulai berlari keluar kelas dan menuju orang tua mereka masing-masing. Nadina tahu, jam terakhir adalah jam matematika, dan karenanyalah, sebelum Adnan yang menghampirinya, ia berniat untuk menyusul ke kelas untuk menemui guru putranya itu. Saat ia berada di depan pintu, tampak seorang anak lelaki yang mencium tangan sang guru sebagai bentuk pamitnya, anak itu tampak bahagia dan memberikan ekstra pelukan. Begitupun dengan sang guru yang tampak tersenyum tulus dan mengelus pucuk kepala anak itu. “Assalamualaikum, Pak Rayyan!” pekik Nadina memecah ruang kelas kosong itu. Seketika Rayyan dan Adnan menoleh. Seperti para anak pada umumnya, Adnan segera berlari ke arah Nadina, memeluknya lalu juga bersalaman dengan sang i

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   157. Fakta Baru

    Waktu makan malam akhirnya tiba. Tepatnya, malam itu setelah maghrib, Nadina, Ali, Aminah, juga kedua bocah telah bersiap menyambut kedatangan Rayyan di dalem. “Apa kamu sudah memberikan alamat yang benar, Nadina? Kamu memberi tahu nama pondok kita bukan? Itu akan lebih memudahkannya!” tanya Ali. “Astagfirullah! Nadina lupa, Abi! Nadina tidak bilang jika tinggal di pondok. Tapi alamat pada data siswa itu jelas kok, Abi! Apa Nadina perlu menghubunginya?” tanya Nadina ragu. Sementara itu, Rayyan dengan mobilnya tampak sedikit terkejut saat alamat yang Nadina berikan pada data siswa adalah sebuah pondok besar di kota itu. “Apa ia dan keluarga besarnya adalah santri pondok ini? Bagaimana aku akan bertamu? Apakah seorang santri bisa dijenguk sembarangan?” batin Rayyan sembari mengetuk-ketuk stir mobilnya dan memandang pondok besar yang ada di hadapannya itu. “Tunggu, bagaimana mungkin satu keluarga besar tinggal di pondok? Apakah ini memang pondok untuk keluarga turun temurun? Tapi ta

Bab terbaru

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   228. Mencintai itu Mengikhlaskan

    Melati memegang tangan Nadina dan membuat Nadina segera menoleh. “Benar, Mbak. Semuanya begitu cepat. InsyaAllah Abi Ali yang membantu kami juga, apa Mbak Nadina tidak keberatan?” tanya Melati. Wajah terkejut Nadina seketika berubah menjadi raut bahagia, wanita itu bahkan balas memegang tangan Melati dan menepuknya sebentar. “Untuk apa aku keberatan, Mel? Sudah pasti aku sangat senang!! Akhirnya sahabatku ini akan menikah juga! Aku turut bahagia untuk kalian berdua, ya! Kapan tanggal pernikahannya?” Nadina menoleh bergantian ke arah Melati dan Rayyan. Sepasang calon suami istri itupun tampak tersipu malu dengan ucapan yang Rayyan tuturkan. Sementara itu Nadina bisa melihat dengan jelas kebahahiaan di mata keduanya. Termasuk kebahagiaan lain yang tak Nadina lihat saat Rayyan mengatakan pemuda itu telah jatuh hati padanya. “Syukurlajh jika mereka benar-benar telah menemukan satu sama lain!” batin Nadina masih terus tersenyum tulis. “Insyaallah dalam waktu dekat, Mbak! Kami sekalia

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   227. Menutup Lembar

    Nadina terbangun di sebuah brankar rumah sakit, ia menoleh ke kiri dan melihat brankar lain yang menaungi putranya yang tak sadarkan diri. Ia kembali meneteskan air matanya. Baru saja ia tersadar, ingatannya kembali memutar apa yang terjadi, ia kembali mengingat kenyataan pahit Azif yang telah meninggalkan dunia ini. “Sayang, tenangkan dirimu. Semua sudah Allah takdirkan. Hidup dan mati hanya ada di tangan Allah. Azfi tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut, tidak lagi sakit dan sedih, dia pasti telah bahagia di sana.” Aminah mengelus pucuk kepala Nadina. “Putramu baik-baik saja, dokter bilang ia akan siuman tak lama lagi. Pertolongan datang tepat waktu sebelum Adnan harus lebih banyak menghirup gas beracun itu, Nadina.” Nadina tak bisa membalas, ia hanya terdiam sementara air matanya terus mengalir. Di satu sisi ia bersyukur karena putranya dapat selamat. Di sisi lain, ia sedih atas kematian Azif. Bahkan keajaiban Allah mengirimkan Azif untuk memberinya petunjuk agar bisa meng

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   226. Malaikat Penolong

    Rayyan berlari ke arah Nadina dan segera mengambil alih Adnan dari pelukan Nadina. “Rayyan?!” pekik Nadina terkejut bercampur bingung. “Jangan banyak bertanya dan bicara dulu, Nadina! Kita harus bawa Adnan ke rumah sakit sekarang!” pekik Rayyan langsung membawa Adnan pergi. Nadina menoleh ke belakang berniat menggendong Azif untuk juga pergi dari sana. Namun anehnya, bocah itu menghilang. Tak ada di sana, Nadina dengan sedikit kebingungan mesti melanjutkan langkahnya menyusul Rayyan. Tempat itu telah digerebek polisi, semua antek Azalea ditangkap, begitu pula dengan Azalea. Namun sudut mata Nadina menangkap bayangan Rukmi tengah menangis mengikuti petugas medis membawa seseorang lain masuk ke dalam ambulans. “Nadina, ayo cepat!!” pekik Rayyan mengingatkan Nadina untuk segera naik ke ambulans lain. Petugas medis segera melakukan pertolongan pertama pada Adnan, Nadina terus memegang tangan Adnan dan mengusapnya berharap sang anak akan sadar dan selamat. Rumah sakit menjadi tempat

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   225. Nyamuk Harus Mati

    “Azalea, berhentilah. Kau terlalu jauh. Adnan hanya anak kecil yang tak tahu apapun!” pekik Nadina. Azalea berjalan berkeliling ruangan menuju kaca tempat mereka bisa memandang Adnan yang mulai kelelahan itu. “Muhammad Adnan Maulana, dia memang masih seorang anak kecil berusia tujuh tahun, tapi ketahuilah Nadina. Anak tujuh tahun itu telah membuatku diadili oleh putraku sendiri!” “Ya, aku memang mengatur Azif untuk menarik perhatian Adnan. Aku membuat mereka berdua sangat dekat hingga Adnanmu itu sangat mempercayai putraku sehingga secara tak langsung mempercayaiku untuk secara cuma-cuma masuk ke dalam mobilku dan menemui kematiannya.” Pengakuan Azalea tiba-tiba mengingatkan Nadina dengan pesan Rukmi untuk terus menjaga diri dan putranya terlebih untuk tak mudah percaya kepada orang baru. “Tapi sayangnya! Anak kecil itu terlalu polos! Azifpun juga begitu! Dia rupanya sangat bahagia memiliki teman seperti Adnan, dia bahkan menyukaimu! Kau tahu? Telingaku panas mendengarnya merenge

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   224. Dendam Terpendam

    Jantung Nadina seakan berhenti berdetak. Foto yang ada benar-benar membuatnya kebingungan. Tampak di foto Azif bersama Adnan tengah bersiap memasuki mobil bersama seorang wanita yang tak lain dam tak bukan memili paras wajah yang sama dengan Putri Azalea. “Ya Allah! Jadi apa yang aku lihat kemarin ini benar? Foto dalam telepon itu benar Putri Azalea? Jadi dia dan putranya, Azif? Masih hidup? Ya Allah, dan Adnan! Bagaimana dengannya sekarang!” Tangisan Nadina tak bisa lagi terbendung ia gemetar bahkan amat lemas dan nyaris tak bisa mengendalikan dirinya. Namun tiba-tiba sebuah telepon video datang. Nadina getar hendak mengangkatnya. Baru saja panggilan itu terhubung, wajah Adnan berada di sana. “Adnan!! Ya Allah! Adnan!!” teriak Nadina histeris. Putranya tampak duduk lemas pada sebuah kursi dengan tangan dan tubuh yang terikat. Bocah itu tampak kelelahan dan menunduk setengah tak sadarkan diri. [“Hai, Nadina! Apa kau terkejut?”] Suara yang tujuh tahun lalu menghilang kini kembali

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   223. Unjuk Gigi

    “Nadina?!” pekik Rayyan yang terkejut atas kehadiran seseorang di kamar penginapannya itu. Pemuda itu segera berjalan memasuki kamar itu, Nadina terus berteriak seolah kembali teringat dengan kejadian kala itu. Rayyan meletakkan tasnya ke ranjang lalu mendekati Nadina dengan berjongkok. “Jangan!! Jangan mendekat!” teriak Nadina terus histeris. “Nadina! Ada apa?! Kau? Nadina! Ini aku Rayan! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau di sini? Bagaimana bisa kau–” cecar Rayyan sembari menyentak pundak Nadina. Sentakan Rayyan seolah memberi membuat Nadina kembali tersadar. Wanita itu yang semula berteriak histeris ketakutan sekarang malah tampak menatap Rayyan tajam. Tangan Nadina dengan cepat mendorong Rayyan hingga pemuda itu tersungkur ke belakang. “Nadina? Apa yang kau la–” lirih Rayyan terputus. “Di mana, Adnan?!! Apa yang kau lakukan padanya, Ray!? Kenapa kau tega menyiksaku seperti ini?!! Kembalikan Adnan sekarang!! Di mana putraku?!” sergah Nadina segera bangkit dari posisinya. “

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   222. Trauma

    Nadina menyipitkan matanya, tepatnya ia tak menyangka jika Rayyan akan melakukan sesuatu senekat ini dengan mengambil Adnan dari sisinya dengan menggunakan kepercayaan yang telah diberikan ia dan keluarganya berikan. “Apa-apaan ini, Ray?! Jadi kau membawa Adnan dan mengancamku? Apa yang terjadi sebenarnya!?” sergah Nadina berusaha menelepon namun tetap saja Rayyan tak membalasnya. Tak mau semakin mengulur waktu apalagi Adnan yang menjadi taruhan, Nadina segera memeriksa share location yang Rayyan kirimkan. Tak menunggu kama, Nadina segera melakukan mobilnya dan mengikuti jalur yang ada pada petunjuk arah itu. Segala pujian, doa, serta dzikir terus keluar dari mulut Nadina. Dengan jelas raut kekhawatiran mewarnai wanita itu. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain fokus pada jalanan hingga bisa sampai secepat yang ia bisa. “Ya Allah, lindungi putraku. Jangan sampai ada sesuatu hal buruk menimpanya. Kumohin, ya Allah!” pekik Nadina. “Adnan, tunggu ibu ya, Nak! Ya Allah, bagai

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   221. Lembar Baru?

    Hari berganti hari, usia keputusan itu, Rayyan dan Nadina tak sesering dulu bertemu mungkin memang selayaknya pertemuan antara wali murid dan guru adalah seperti ini. Nadina yang semula ingin memutuskan kerja sama pada Rayyan untuk memberi kelas tambahan pada Adnan akhirnya mengurungkan niatnya. Ia sempat berbicara pada Adnan mengenai kekhawatirannya itu, dan jawaban yang sang putra berikan sangat membuatnya sadar. Ia tak perlu lagi menghindar. Ia tahu, Adnan mungkin sesekali merindukan ayahnya. Namun di dalam hati anak itu telah terpatri satu nama yang hanya akan menjadi aba untuknya. Muhammad Nadhif. Sejak kemarin Nadina, Adnan, dan Nadhin memutuskan untuk tinggal di rumah kedua orang tuanya, Harun dan Khoiri. Memang dalam satu bulan mereka akan ada waktu untuk tinggal bersama. Mengobati rasa rindu kepada anak cucu, serta orang tua dan kakek nenek. “Ibu senang kamu bisa lebih dewasa sekarang, Nadina. Ibu mendengar semuanya dari umi Aminah tentangmu dan pemuda itu. Apapun keputusa

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   220. Keputusan Terbaik

    Pertemuan itu diakhiri dengan penerimaan atas jawaban yang diutarakan dan maksud yang disampaikan. Usai meneguk habis teh dan mencicipi roti yang Nadina sajikan, akhirnya Rayyan memutuskan untuk pamit. Aminah maupun Nadina mengantar Rayyan hingga pemuda itu memasuki mobilnya. Sepertinya mobil itu beserta pengemudinya, Aminah menoleh ke pada Nadina. “Umi pasti sudah tahu jawabannya bukan?” celetuk Nadina. Aminah mengangguk paham. Memang benar wanita paruh baya itu paham jika entah bagaimana wanita itu menyampaikan alasannya, ia pasti akan tetap menyimpulkan penolakan atas niat lamaran yang hendak Rayyan berikan padanya. Aminah merangkul Nadina dan keduanya berbalik hendak kembali menuju dalem. “Maafkan Nadina jika keputusan Nadina mengecewakan abi dan umi. Tetapi maafkan Nadina umi, Nadina tidak mau sesuatu yang sama terjadi. Mas Nadhif telah merasakan banyak rasa sakit setelah menikah dengan Nadina hanya untuk meyakinkan Nadina pada cinta semata itu.” “Nadina tak akan bisa menan

DMCA.com Protection Status