Share

157. Fakta Baru

Author: Annisarz
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Waktu makan malam akhirnya tiba. Tepatnya, malam itu setelah maghrib, Nadina, Ali, Aminah, juga kedua bocah telah bersiap menyambut kedatangan Rayyan di dalem.

“Apa kamu sudah memberikan alamat yang benar, Nadina? Kamu memberi tahu nama pondok kita bukan? Itu akan lebih memudahkannya!” tanya Ali.

“Astagfirullah! Nadina lupa, Abi! Nadina tidak bilang jika tinggal di pondok. Tapi alamat pada data siswa itu jelas kok, Abi! Apa Nadina perlu menghubunginya?” tanya Nadina ragu.

Sementara itu, Rayyan dengan mobilnya tampak sedikit terkejut saat alamat yang Nadina berikan pada data siswa adalah sebuah pondok besar di kota itu.

“Apa ia dan keluarga besarnya adalah santri pondok ini? Bagaimana aku akan bertamu? Apakah seorang santri bisa dijenguk sembarangan?” batin Rayyan sembari mengetuk-ketuk stir mobilnya dan memandang pondok besar yang ada di hadapannya itu.

“Tunggu, bagaimana mungkin satu keluarga besar tinggal di pondok? Apakah ini memang pondok untuk keluarga turun temurun? Tapi ta
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   158.Hubungan Masa Lalu

    Kini semua orang duduk di ruang tamu, meskipun saat ini ruang tamu dalem telah disulap menjadi ruang makan darurat, namun ada satu sisi tempat sofa yang mereka gunakan untuk berbincang. “Abi, menunggu apa lagi? Abi mau membuat umi dan Nadina terus penasaran seperti ini?” tanya Aminah menoleh pada Ali yang masih diam dan tersenyum tak menyangka bahwa ia akan bertemu dengan pemuda itu. “Jadi begini, Umi, Nadina! Dulu, sewaktu Nadhif masih berusia tujuh sampai delapan tahun, abi pernah mengajak Nadhif jalan-jalan ke museum di luar kota. Nah waktu pulang, Nadhif ini minta dibelikan mie ayam, waktu abi sudah memesan, dan mau ambil dompet, dompet abi hilang!” “Abi panik, akhirnya jam tangan abi yang menjadi jaminan untuk tukang mie ayam itu. Waktu abi kembali ke tempat Nadhif dengan semangkuk mie ayam, Nadhif hilang!” Aminah dan Nadina tampak mendengarkan dengan saksama sementara Rayyan tampak tak hentinya menebar senyuman mengingat kembali kejadian itu. “Lalu?” sahut Aminah tak sabara

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   159. Sosok Ayah

    Sajian makan malam kini berderet di meja makan yang telah dikelilingi seluruh anggota keluarga juga tamu mereka malam itu. Makanan yang tampak lezat pun dengan lahap masuk ke dalam setiap mulut. Beberapa pujian kerap Rayyan berikan setiap menu masakan baru memasuki mulutnya. “Masakannya sangat lezat, Umi! Umi sangat pandai memasaknya!” pekik Rayyan. “Pak Rayyan salah! Semua ini Ibu yang masak! Adnan juga ikut bantu! Bantu mencicipi!” pekik Adnan menyela seketika membuat Nadina menoleh ke arahnya dan sedikit mengode agar tak lagi melanjutkan perkataannya. “Ah, begitu? Wah, maaf sudah salah sangka. Tapi siapa pun yang memasaknya, ini sangat enak! Saya serius! Terima kasih untuk makanannya, Ibu Nadina!” pekik Rayyan. Nadina tak begitu membalas selain hanya anggukan kecil dan senyum tipis sembari kembali menyuapi Nadhin untuk menghalau tatapan dengan Rayyan. Beberapa perbincangan kecil dilakukan oleh Ali dan Aminah bersama Rayyan, sementara Nadina memilih merapikan meja makan. Namu

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   160. Sendiri

    “Umi, Nadina mohon jangan kembali membahas ini, Umi,” pinta Nadina dengan wajah yang menunduk. Jarinya saling bertaut dan dimainkan sementara matanya tampak mulai berair. Aminah berjalan mendekati Nadina lalu duduk di sebelah sang menantu dan sebentar menarik napas sabar. “Mengapa tidak, Nadina? Putra umi, Nadhif benar! Kamu masihlah Nadina, seorang wanita yang cantik, muda, dan baik hati. Kamu berhak mendapatkan kehidupan baru. Umi rasa kehadiran Rayyan adalah sebuah simbol atau pertanda untuk lembaranmu yang baru,” “Umi sangat senang saat melihat Adnan menggandeng tangan kalian berdua tadi. Kamu pasti juga melihat sendiri bagaimana putramu yang amat pengertian itu bahagia berada di sekitar guru matematika itu, bukan?” lanjut Aminah. “Bagaimana bisa Umi mengatakan semua ini meskipun baru sekali bertemu dengannya, Umi?” ujar Nadina. “Lalu bagaimana denganmu dan Nadhif dulu? Abimu yang mengenalmu dan keluargamu. Bukan umi. Keyakinan itu datang tanpa basa-basi Nadina. Tidakkah kau

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   161. Adnan Kecil

    Berlatar sekolah Adnan, Rayyan tampak semakin memperhatikan Adnan dan memberikan perhatian lebih terhadap bocah lelaki itu baik saat proses mengajar maupun di luar kelas. Seperti yang diduga, Adnan pun senang dengan perhatian dan kasih sayang yang diberikan oleh guru berwajah mirip ayahnya itu. Menurutnya, setidaknya ia bisa membayangkan kenangan masa lalu bersama sang ayah dengan wajah Rayyan yang terkesan lebih nyata dibandingkan foto yang sering ibunya tunjukkan. Menyedihkan. “Adnan bawa makan siang? Mau makan di kantin, Nak?” tanya Rayyan yang menghentikan Adnan bersama kawannya keluar dari kelas saat jam istirahat itu telah berdenting. “Eh, ada Pak Rayyan! Iya, Pak! Adnan sama Ciko mau makan di kantin sama temen-temen juga! Bapak mau ikut? Hari ini Adnan bawa ikan bakar buatan ibu, lho!” pekik Adnan bangga. “Adnan makan saja dulu bersama teman-teman, ya! Setelah makan, boleh bapak bertemu Adnan? Bapak ada sedikit pertanyaan untuk Adnan!” tanya Rayyan dengan wajah harap-harap

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   162. Semakin Dekat

    “Adnan anak yang pinter! Harus baik-baik jaga ibu dan adik Nadhin, ya! Harus patuh dan nurut sama ibu, jangan bikin ibu sedih, okei?” tutur Rayyan. “Siap, Pak!” Adnan pun lanjut melahap makanannya. Usai kotak makanan itu kosong tak bersisa, Adnan tampak meneguk minumannya seolah rasa haus telah minggat dari tenggorokannya. Kini kedua terlibat sunyi kembali. Beberapa siswa dan siswi tampak berlarian ke sana kemari, beberapa memainkan bola sepak, bola basket, dan memakan jajan kantin meskipun dengan berjalan. Adnan meluruskan kakinya sembari menggerak-gerakkannya pelan. “Pak Rayyan kalau kangen sama ayah dan ibunya Pak Rayyan, bapak ngapain?” tanya Adnan tiba-tiba tanpa menatap ataupun menoleh ke arah Rayyan. Pemuda itu pun ikut menyelonjorkan kakinya sebelum akhirnya mendongakkan kepala dengan mata tertutup. “Waktu kecil, bapak cuma bisa nangis dan marah sama Allah, Adnan. Kalau tidak begitu datang ke makam beliau dan memainkan tanah kuburannya sambil sesenggukan. Pak Rayyan kec

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   163. Wanita dalam Telepon

    Rayyan berjalan guna kembali mencapai kantornya. Beberapa menit lagi ia mesti masuk ke dalam kelas untuk mulai kembali mengajar. Namun, dalam perjalanan menuju kantor itu, ponselnya terus saja bergetar. Bukan lagi pesan masuk melainkan panggilan telepon dari orang yang sama. “Baiklah, ini terakhir kalinya, Regina!” pekiknya lirih lalu menekan tombol terima untuk panggilan teleponnya itu. [“Halo, Sayang? Kenapa kamu jadi susah sekali aku hubungi? Kamu masih marah sama aku, Yang? Maafin aku ya, Sayang! Kamu masih sayang ‘kan sama aku, Yang?”] cerocos wanita bernama Regina dari seberang. Wajah Rayyan mengeras, ia mendengus keras berharap wanita yang meneleponnya itu menyadari suasana hatinya yang enggan diganggu itu. “Hubungan kita sudah berakhir sejak malam itu, Regina. Berhenti menghubungiku apalagi memanggilku dengan sapaan paling menjijikkan itu. Aku menyesal pernah mengenal wanita sepertimu!” sergah Rayyan. [“Rayyan! Aku tahu aku salah. Aku minta maaf. Malam itu hanya insiden,

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   164. Kelas Tambahan?

    Beralih dari Rayyan yang akhirnya meninggalkan Regina di tempat parkir itu, kini Adnan asik menata meja ruang tamu dengan beberapa buku matematika yang akan ia gunakan untuk bertemu Rayyan nanti malam. “Pak Guru jadi datang, Nak?” tanya Nadina sembari menurunkan beberapa map cokelat ke meja yang sama dengan meja Adnan. Adnan mengangguk semangat. Meskipun hari masih sore dan ia harus segera bersiap untuk kelas pondoknya, ia telah mempersiapkan semua peralatan untuk jam malamnya bersama Rayyan nanti. “Pak Rayyan datang jam berapa, Sayang? Adnan tetap ikut kelas? Hafalannya bagaimana?” tanya Nadina berusaha selembut mungkin berharap sang anak tak merasa terintimidasi. “Adnan tetap masuk kelas kok, Bu! Ini Adnan sudah siap mau berangkat! Nanti Adnan juga akan setoran ke Ustadz Abdul! Baru deh malamnya Pak Rayyan ke sini!” terang Adnan masih dengan semangat yang sama. Nadina mendekati putranya lalu memangkunya dan menyentuh ujung hidung anaknya serta sedikit tersenyum. “Adnan tidak c

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   165. Permintaan

    Nadina menghentikan kakinya yang telah bersiap melangkah untuk memasuki dalem. Dengan perasaan sedikit canggung dan kebingungan, Nadina sebentar melihat ke arah Rayyan sembari bertanya. “Apa, Pak?” Rayyan sebentar meneguk ludahnya lalu mengikat kedua tangannya di belakang punggung dan mencoba berdiri dengan terlihat tegap. “Jika saya dan almarhum Nadhif seumuran, itu artinya saya dan Ibu Nadina kurang lebih berusia sama. Bisakah jangan memanggil saya dengan sebutan ‘pak’? Saya juga tidak akan memanggil Ibu Nadina dengan sebutan ‘ibu’ lagi.” Nadina tampak sedikit mengerutkan dahinya, ia ragu dengan maksud tujuan Rayyan meminta hal itu padanya. Nadina mulai berpikir jika Rayyan mengira Nadina merasa Rayyan tua hingga mesti disebut sebagai ‘pak’ padahal kenyataannya, Nadina memanggil Rayyan dengan sebutan itu untuk menghormati posisi Rayyan sebagai guru dan wali kelas putranya, Adnan. “Maaf, Pak Rayyan jika sebutan saya ini sedikit kurang nyaman untuk anda. Tetapi hanya itu yang bis

Latest chapter

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   228. Mencintai itu Mengikhlaskan

    Melati memegang tangan Nadina dan membuat Nadina segera menoleh. “Benar, Mbak. Semuanya begitu cepat. InsyaAllah Abi Ali yang membantu kami juga, apa Mbak Nadina tidak keberatan?” tanya Melati. Wajah terkejut Nadina seketika berubah menjadi raut bahagia, wanita itu bahkan balas memegang tangan Melati dan menepuknya sebentar. “Untuk apa aku keberatan, Mel? Sudah pasti aku sangat senang!! Akhirnya sahabatku ini akan menikah juga! Aku turut bahagia untuk kalian berdua, ya! Kapan tanggal pernikahannya?” Nadina menoleh bergantian ke arah Melati dan Rayyan. Sepasang calon suami istri itupun tampak tersipu malu dengan ucapan yang Rayyan tuturkan. Sementara itu Nadina bisa melihat dengan jelas kebahahiaan di mata keduanya. Termasuk kebahagiaan lain yang tak Nadina lihat saat Rayyan mengatakan pemuda itu telah jatuh hati padanya. “Syukurlajh jika mereka benar-benar telah menemukan satu sama lain!” batin Nadina masih terus tersenyum tulis. “Insyaallah dalam waktu dekat, Mbak! Kami sekalia

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   227. Menutup Lembar

    Nadina terbangun di sebuah brankar rumah sakit, ia menoleh ke kiri dan melihat brankar lain yang menaungi putranya yang tak sadarkan diri. Ia kembali meneteskan air matanya. Baru saja ia tersadar, ingatannya kembali memutar apa yang terjadi, ia kembali mengingat kenyataan pahit Azif yang telah meninggalkan dunia ini. “Sayang, tenangkan dirimu. Semua sudah Allah takdirkan. Hidup dan mati hanya ada di tangan Allah. Azfi tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut, tidak lagi sakit dan sedih, dia pasti telah bahagia di sana.” Aminah mengelus pucuk kepala Nadina. “Putramu baik-baik saja, dokter bilang ia akan siuman tak lama lagi. Pertolongan datang tepat waktu sebelum Adnan harus lebih banyak menghirup gas beracun itu, Nadina.” Nadina tak bisa membalas, ia hanya terdiam sementara air matanya terus mengalir. Di satu sisi ia bersyukur karena putranya dapat selamat. Di sisi lain, ia sedih atas kematian Azif. Bahkan keajaiban Allah mengirimkan Azif untuk memberinya petunjuk agar bisa meng

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   226. Malaikat Penolong

    Rayyan berlari ke arah Nadina dan segera mengambil alih Adnan dari pelukan Nadina. “Rayyan?!” pekik Nadina terkejut bercampur bingung. “Jangan banyak bertanya dan bicara dulu, Nadina! Kita harus bawa Adnan ke rumah sakit sekarang!” pekik Rayyan langsung membawa Adnan pergi. Nadina menoleh ke belakang berniat menggendong Azif untuk juga pergi dari sana. Namun anehnya, bocah itu menghilang. Tak ada di sana, Nadina dengan sedikit kebingungan mesti melanjutkan langkahnya menyusul Rayyan. Tempat itu telah digerebek polisi, semua antek Azalea ditangkap, begitu pula dengan Azalea. Namun sudut mata Nadina menangkap bayangan Rukmi tengah menangis mengikuti petugas medis membawa seseorang lain masuk ke dalam ambulans. “Nadina, ayo cepat!!” pekik Rayyan mengingatkan Nadina untuk segera naik ke ambulans lain. Petugas medis segera melakukan pertolongan pertama pada Adnan, Nadina terus memegang tangan Adnan dan mengusapnya berharap sang anak akan sadar dan selamat. Rumah sakit menjadi tempat

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   225. Nyamuk Harus Mati

    “Azalea, berhentilah. Kau terlalu jauh. Adnan hanya anak kecil yang tak tahu apapun!” pekik Nadina. Azalea berjalan berkeliling ruangan menuju kaca tempat mereka bisa memandang Adnan yang mulai kelelahan itu. “Muhammad Adnan Maulana, dia memang masih seorang anak kecil berusia tujuh tahun, tapi ketahuilah Nadina. Anak tujuh tahun itu telah membuatku diadili oleh putraku sendiri!” “Ya, aku memang mengatur Azif untuk menarik perhatian Adnan. Aku membuat mereka berdua sangat dekat hingga Adnanmu itu sangat mempercayai putraku sehingga secara tak langsung mempercayaiku untuk secara cuma-cuma masuk ke dalam mobilku dan menemui kematiannya.” Pengakuan Azalea tiba-tiba mengingatkan Nadina dengan pesan Rukmi untuk terus menjaga diri dan putranya terlebih untuk tak mudah percaya kepada orang baru. “Tapi sayangnya! Anak kecil itu terlalu polos! Azifpun juga begitu! Dia rupanya sangat bahagia memiliki teman seperti Adnan, dia bahkan menyukaimu! Kau tahu? Telingaku panas mendengarnya merenge

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   224. Dendam Terpendam

    Jantung Nadina seakan berhenti berdetak. Foto yang ada benar-benar membuatnya kebingungan. Tampak di foto Azif bersama Adnan tengah bersiap memasuki mobil bersama seorang wanita yang tak lain dam tak bukan memili paras wajah yang sama dengan Putri Azalea. “Ya Allah! Jadi apa yang aku lihat kemarin ini benar? Foto dalam telepon itu benar Putri Azalea? Jadi dia dan putranya, Azif? Masih hidup? Ya Allah, dan Adnan! Bagaimana dengannya sekarang!” Tangisan Nadina tak bisa lagi terbendung ia gemetar bahkan amat lemas dan nyaris tak bisa mengendalikan dirinya. Namun tiba-tiba sebuah telepon video datang. Nadina getar hendak mengangkatnya. Baru saja panggilan itu terhubung, wajah Adnan berada di sana. “Adnan!! Ya Allah! Adnan!!” teriak Nadina histeris. Putranya tampak duduk lemas pada sebuah kursi dengan tangan dan tubuh yang terikat. Bocah itu tampak kelelahan dan menunduk setengah tak sadarkan diri. [“Hai, Nadina! Apa kau terkejut?”] Suara yang tujuh tahun lalu menghilang kini kembali

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   223. Unjuk Gigi

    “Nadina?!” pekik Rayyan yang terkejut atas kehadiran seseorang di kamar penginapannya itu. Pemuda itu segera berjalan memasuki kamar itu, Nadina terus berteriak seolah kembali teringat dengan kejadian kala itu. Rayyan meletakkan tasnya ke ranjang lalu mendekati Nadina dengan berjongkok. “Jangan!! Jangan mendekat!” teriak Nadina terus histeris. “Nadina! Ada apa?! Kau? Nadina! Ini aku Rayan! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau di sini? Bagaimana bisa kau–” cecar Rayyan sembari menyentak pundak Nadina. Sentakan Rayyan seolah memberi membuat Nadina kembali tersadar. Wanita itu yang semula berteriak histeris ketakutan sekarang malah tampak menatap Rayyan tajam. Tangan Nadina dengan cepat mendorong Rayyan hingga pemuda itu tersungkur ke belakang. “Nadina? Apa yang kau la–” lirih Rayyan terputus. “Di mana, Adnan?!! Apa yang kau lakukan padanya, Ray!? Kenapa kau tega menyiksaku seperti ini?!! Kembalikan Adnan sekarang!! Di mana putraku?!” sergah Nadina segera bangkit dari posisinya. “

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   222. Trauma

    Nadina menyipitkan matanya, tepatnya ia tak menyangka jika Rayyan akan melakukan sesuatu senekat ini dengan mengambil Adnan dari sisinya dengan menggunakan kepercayaan yang telah diberikan ia dan keluarganya berikan. “Apa-apaan ini, Ray?! Jadi kau membawa Adnan dan mengancamku? Apa yang terjadi sebenarnya!?” sergah Nadina berusaha menelepon namun tetap saja Rayyan tak membalasnya. Tak mau semakin mengulur waktu apalagi Adnan yang menjadi taruhan, Nadina segera memeriksa share location yang Rayyan kirimkan. Tak menunggu kama, Nadina segera melakukan mobilnya dan mengikuti jalur yang ada pada petunjuk arah itu. Segala pujian, doa, serta dzikir terus keluar dari mulut Nadina. Dengan jelas raut kekhawatiran mewarnai wanita itu. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain fokus pada jalanan hingga bisa sampai secepat yang ia bisa. “Ya Allah, lindungi putraku. Jangan sampai ada sesuatu hal buruk menimpanya. Kumohin, ya Allah!” pekik Nadina. “Adnan, tunggu ibu ya, Nak! Ya Allah, bagai

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   221. Lembar Baru?

    Hari berganti hari, usia keputusan itu, Rayyan dan Nadina tak sesering dulu bertemu mungkin memang selayaknya pertemuan antara wali murid dan guru adalah seperti ini. Nadina yang semula ingin memutuskan kerja sama pada Rayyan untuk memberi kelas tambahan pada Adnan akhirnya mengurungkan niatnya. Ia sempat berbicara pada Adnan mengenai kekhawatirannya itu, dan jawaban yang sang putra berikan sangat membuatnya sadar. Ia tak perlu lagi menghindar. Ia tahu, Adnan mungkin sesekali merindukan ayahnya. Namun di dalam hati anak itu telah terpatri satu nama yang hanya akan menjadi aba untuknya. Muhammad Nadhif. Sejak kemarin Nadina, Adnan, dan Nadhin memutuskan untuk tinggal di rumah kedua orang tuanya, Harun dan Khoiri. Memang dalam satu bulan mereka akan ada waktu untuk tinggal bersama. Mengobati rasa rindu kepada anak cucu, serta orang tua dan kakek nenek. “Ibu senang kamu bisa lebih dewasa sekarang, Nadina. Ibu mendengar semuanya dari umi Aminah tentangmu dan pemuda itu. Apapun keputusa

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   220. Keputusan Terbaik

    Pertemuan itu diakhiri dengan penerimaan atas jawaban yang diutarakan dan maksud yang disampaikan. Usai meneguk habis teh dan mencicipi roti yang Nadina sajikan, akhirnya Rayyan memutuskan untuk pamit. Aminah maupun Nadina mengantar Rayyan hingga pemuda itu memasuki mobilnya. Sepertinya mobil itu beserta pengemudinya, Aminah menoleh ke pada Nadina. “Umi pasti sudah tahu jawabannya bukan?” celetuk Nadina. Aminah mengangguk paham. Memang benar wanita paruh baya itu paham jika entah bagaimana wanita itu menyampaikan alasannya, ia pasti akan tetap menyimpulkan penolakan atas niat lamaran yang hendak Rayyan berikan padanya. Aminah merangkul Nadina dan keduanya berbalik hendak kembali menuju dalem. “Maafkan Nadina jika keputusan Nadina mengecewakan abi dan umi. Tetapi maafkan Nadina umi, Nadina tidak mau sesuatu yang sama terjadi. Mas Nadhif telah merasakan banyak rasa sakit setelah menikah dengan Nadina hanya untuk meyakinkan Nadina pada cinta semata itu.” “Nadina tak akan bisa menan

DMCA.com Protection Status