“Adnan anak yang pinter! Harus baik-baik jaga ibu dan adik Nadhin, ya! Harus patuh dan nurut sama ibu, jangan bikin ibu sedih, okei?” tutur Rayyan. “Siap, Pak!” Adnan pun lanjut melahap makanannya. Usai kotak makanan itu kosong tak bersisa, Adnan tampak meneguk minumannya seolah rasa haus telah minggat dari tenggorokannya. Kini kedua terlibat sunyi kembali. Beberapa siswa dan siswi tampak berlarian ke sana kemari, beberapa memainkan bola sepak, bola basket, dan memakan jajan kantin meskipun dengan berjalan. Adnan meluruskan kakinya sembari menggerak-gerakkannya pelan. “Pak Rayyan kalau kangen sama ayah dan ibunya Pak Rayyan, bapak ngapain?” tanya Adnan tiba-tiba tanpa menatap ataupun menoleh ke arah Rayyan. Pemuda itu pun ikut menyelonjorkan kakinya sebelum akhirnya mendongakkan kepala dengan mata tertutup. “Waktu kecil, bapak cuma bisa nangis dan marah sama Allah, Adnan. Kalau tidak begitu datang ke makam beliau dan memainkan tanah kuburannya sambil sesenggukan. Pak Rayyan kec
Rayyan berjalan guna kembali mencapai kantornya. Beberapa menit lagi ia mesti masuk ke dalam kelas untuk mulai kembali mengajar. Namun, dalam perjalanan menuju kantor itu, ponselnya terus saja bergetar. Bukan lagi pesan masuk melainkan panggilan telepon dari orang yang sama. “Baiklah, ini terakhir kalinya, Regina!” pekiknya lirih lalu menekan tombol terima untuk panggilan teleponnya itu. [“Halo, Sayang? Kenapa kamu jadi susah sekali aku hubungi? Kamu masih marah sama aku, Yang? Maafin aku ya, Sayang! Kamu masih sayang ‘kan sama aku, Yang?”] cerocos wanita bernama Regina dari seberang. Wajah Rayyan mengeras, ia mendengus keras berharap wanita yang meneleponnya itu menyadari suasana hatinya yang enggan diganggu itu. “Hubungan kita sudah berakhir sejak malam itu, Regina. Berhenti menghubungiku apalagi memanggilku dengan sapaan paling menjijikkan itu. Aku menyesal pernah mengenal wanita sepertimu!” sergah Rayyan. [“Rayyan! Aku tahu aku salah. Aku minta maaf. Malam itu hanya insiden,
Beralih dari Rayyan yang akhirnya meninggalkan Regina di tempat parkir itu, kini Adnan asik menata meja ruang tamu dengan beberapa buku matematika yang akan ia gunakan untuk bertemu Rayyan nanti malam. “Pak Guru jadi datang, Nak?” tanya Nadina sembari menurunkan beberapa map cokelat ke meja yang sama dengan meja Adnan. Adnan mengangguk semangat. Meskipun hari masih sore dan ia harus segera bersiap untuk kelas pondoknya, ia telah mempersiapkan semua peralatan untuk jam malamnya bersama Rayyan nanti. “Pak Rayyan datang jam berapa, Sayang? Adnan tetap ikut kelas? Hafalannya bagaimana?” tanya Nadina berusaha selembut mungkin berharap sang anak tak merasa terintimidasi. “Adnan tetap masuk kelas kok, Bu! Ini Adnan sudah siap mau berangkat! Nanti Adnan juga akan setoran ke Ustadz Abdul! Baru deh malamnya Pak Rayyan ke sini!” terang Adnan masih dengan semangat yang sama. Nadina mendekati putranya lalu memangkunya dan menyentuh ujung hidung anaknya serta sedikit tersenyum. “Adnan tidak c
Nadina menghentikan kakinya yang telah bersiap melangkah untuk memasuki dalem. Dengan perasaan sedikit canggung dan kebingungan, Nadina sebentar melihat ke arah Rayyan sembari bertanya. “Apa, Pak?” Rayyan sebentar meneguk ludahnya lalu mengikat kedua tangannya di belakang punggung dan mencoba berdiri dengan terlihat tegap. “Jika saya dan almarhum Nadhif seumuran, itu artinya saya dan Ibu Nadina kurang lebih berusia sama. Bisakah jangan memanggil saya dengan sebutan ‘pak’? Saya juga tidak akan memanggil Ibu Nadina dengan sebutan ‘ibu’ lagi.” Nadina tampak sedikit mengerutkan dahinya, ia ragu dengan maksud tujuan Rayyan meminta hal itu padanya. Nadina mulai berpikir jika Rayyan mengira Nadina merasa Rayyan tua hingga mesti disebut sebagai ‘pak’ padahal kenyataannya, Nadina memanggil Rayyan dengan sebutan itu untuk menghormati posisi Rayyan sebagai guru dan wali kelas putranya, Adnan. “Maaf, Pak Rayyan jika sebutan saya ini sedikit kurang nyaman untuk anda. Tetapi hanya itu yang bis
Beberapa hari setelahnya, Rayyan masih sesekali datang untuk mengajari Adnan. Kedekatan Adnan dan Nadina pun berangsur kian akrab meskipun Nadina masih saja dingin. Namun sikapnya sudah lebih melembut daripada pertama kali bertemu dengan pemuda itu. Suatu hari, Nadina berencana untuk pergi ke salah satu swalayan untuk membeli beberapa keperluan tambahan dan belanja bulanan untuk dapur dalem. Berbeda dengan bukan lalu, kali ini Nadina memilih untuk pergi sendiri. Aminah menjaga Nadhin bersama Adnan di dalem. Menurutnya itu akan lebih aman untuk kedua anaknya daripada mengajak mereka ke swalayan yang ramai, bising, dan penuh risiko jika terpisah dari salah satunya. “Kilas berita! Jalan utama Merdeka mengalami macet total dikarenakan sebuah kampanye oleh salah satu komunitas pencinta lingkungan hidup. Oleh karenanya aparat kepolisian membuka jalur baru untuk menghindari semakin membengkaknya kemacetan!” Suara radio mobil itu membuat Nadina seketika mendengus. “Astaga, kenapa harus ha
Pemuda yang baru saja memekikkan nama Nadina itu berlari mendekat, sementara itu Rayyan apak kebingungan melihat ke arah Nadian yang mencoba mengamati siapa yang memanggilnya. “Mas Dewa?” lirih Nadina. “Dewa? Siapa dia, Nadina?” sahut Rayyan lalu turut mengubah arah pandangannya ke arah pemuda yang berlari ke arah mereka itu. “Mas Dewa?” ulang Nadina lagi saat Arif Sadewa, seseorang yang pernah ia cintai itu berada di hadapannya. Dewa menoleh ke arah Rayyan dan sedikit melotot. “Nadina, maaf jika memotong, tetapi apa aku salah mendengar kabar tentang Nadhif?” bisik Dewa. Nadina seketika tersadar akan hadirnya Rayyan di sebelahnya. Ia segera menghembuskan napas yang sedari tadi ia tahan lalu sedikit menggeser tubuhnya menghadap Rayyan. “Ini, ini Rayyan! Beliau guru di sekolah Adnan,” tutur Nadina memperkenalkan. “Dan Rayyan, kenalkan, ini Arif Sadewa, kawan saya dan almarhum Mas Nadhif!” terang Nadina. Kedua pemuda itu kini saling berjabat tangan dan mulai berkenalan satu sama
Nadina tercekat lagi mendengar tambahan pertanyaan yang baru saja dituturkan oleh Rayyan. Entah apa yang pemuda itu pikirkan, namun kini menurutnya, pertemuan antara dirinya juga sedikit terkesan aneh. Nadina tak langsung menjawab, bahkan wanita itu terkesan tutup mulut dan tak berniat menjawab pertanyaan Rayyan yang membuat pemuda itu penasaran setengah mati. “Nadina?” ulang Rayyan membuat Nadina sedikit tersentak dari lamunannya. “Kenapa tiba-tiba kamu bertanya tentang itu? Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” Nadina balik bertanya. Rayyan mengencangkan tangannya pada kemudi lalu menatap jalanan di depannya sembari menarik napas dan ancang-ancang untuk kembali menjelaskan. “Aku tak yakin apa kamu melihatnya. Tetapi jika kamu melihatnya, ada sesuatu yang aneh pada mata pemuda itu. Dan saat dia bilang kembali untuk menyelesaikan sesuatu yang rupanya belum berakhir, suaranya sedikit bergetar. Tidakkah kau menyadarinya, Nadina?” papar Rayyan sembari sesekali melirik ke arah Nadi
Raut wajah Aminah seketika berubah. Senyuman yang awalnya masih terselip kecil di antara wajah sayunya itu kini memudar. Wajahnya berganti terkejut dan terkesan tak percaya. “Pemuda itu? Pemuda yang–” “Iya, Umi benar. Pemuda yang pernah membuat Nadina menolak Mas Nadhif dan nyaris membuat Nadina menghancurkan segalanya.” Nadina menunduk. Aminah seketika bangkit dari kursinya dan memburu Nadina. Dipegangnya kedua bahu sang menantu lalu tampak seolah memeriksa keadaan Nadina saat itu. “Apa? Apa yang pemuda itu lakukan padamu!? Semua– semua baik-baik saja ‘kan, Nadina?! Katakan! Katakan pada umi!” sergah Aminah menatap tajam intens pada Nadina. Nadina mengelus pundak sang mertua lalu membuat kedua tangan Aminah yang awalnya mencengkeram cukup kuat merenggang. Nadina tersenyum tipis sembari mengangguk lalu meminta sang ketua kembali duduk. “Nadina tidak tahu apa yang sebenarnya tengah diputar takdir Nadina saat ini. Kedatangan seseorang yang mirip dengan Mas Nadhif, juga masa lalu y