Mata Azalea amat terkejut saat melihat apa yang Aminah tunjukkan. Ia tak menyangka jika permainannya yang dirasa cukup bersih itu masih saja memiliki celah. “Kabar baiknya, hanya saya yang tahu tentang ini, Aza. Jadi Nadhif tidak akan semakin membencimu. Kenapa kamu melakukannya, Aza?” “Kenapa kau bekerja sama dengan pemuda lain untuk menjebak seorang wanita lain? Dengan jelas itu kau yang ada di balik dinding dan menyaksikan tubuh Nadina di bawa oleh Sadewa. Tidakkah merasa ibu dengannya?” tutur Aminah. Azalea tampak bisu seribu bahasa. Ia hanya bisa menunduk sembari memainkan jemarinya. “Katakan, Aza! Kenapa kau melakukannya!!” pekik Aminah. “Umi, ini semua Aza lakukan untuk Umi. Umi sendiri yang bilang mengeluh tentang Nadina. Umi tidak ingin menantu sepertinya, dan bukankah apa yang Aza lakukan sesuai dengan apa yang terjadi? Dengan adanya kejadian itu, umi bisa mengusir Nadina dengan alasan yang kuat!” pekik Azalea yakin. Aminah kini tampak menggelengkan kepalanya dan tampa
“Baiklah, kalau begitu ikutlah. Tapi duduk di barisan paling depan agar saya tetap bisa memantaumu, okei?” ujar Nadhif. “Tidak enak duduk di depan, Mas. Umi ahkan lebih suka duduk di belakang! Meskipun tidak pernah mendapatkan tempat di belakang! Tapi Nadina bisa! Nadina duduk di belakang saja, ya!!” rengek Nadina sambil memegang tangan Nadhif seperti seorang anak kecil yang meminta jajan kepada ayahnya. Nadhif terkekeh kecil lalu menghentikan Nadina menggerak-gerakkan tangannya lalu memegang kepala wanita itu dan menatapnya intens. “Tidak boleh!” pekiknya mantap sementara wajah sang istri malah cemberut. “Kenapa tidak boleh? Nadina akan lebih nyaman berada di belakang karena bisa bersandar!” pekik Nadina. “Tidak boleh, Sayang!” Nadhif mencubit ujung pipi Nadina sembari sedikit tersenyum. “Kalau kamu duduk di belakang dan terjadi sesuatu saya tidak akan bisa langsung tahu. Kalau kamu merasa belum cukup kuat untuk ikut kajian, maka tinggallah di sini dulu. Saya tak masalah untuk m
Nadhif kini melipat tangannya di depan dada lalu menundukkan tubuhnya dan menatap lurus Nadina. “Kamu lihat mata saya supaya kamu semakin percaya.” “Saya sudah jarang berbicara dengannya terlebih tak ada event pondok akhir-akhir ini. Materi yang mesti saya cek juga ia tinggalkan di meja kantor dan ia ambil tanpa bertemu dengan saya. Kamu percaya?” papar Nadhif. Nadina tampak mendatarkan bibirnya lalu mengangkat alisnya. “Baiklah, Nadina percaya dan berhentilah memandang Nadina seperti itu, Mas! Mas bukan saja membuat Nadina yakin tetapi malah membuat Nadina nyaris pingsan!” pekik Nadina. Nadhif menyipitkan matanya lalu menegakkan tubuhnya tetapi masih menatap ke arah Nadina. “Kenapa begitu? Apa saya terlihat seperti hantu jika pada jarak dekat? Atau—” “Atau apa? Jangan mulai memotong pembicaraan, Mas. Mas sendiri yang bilang sedang tidak melihat drama series.” “Atau karena saya sangat tampan?” ujar Nadhif. “Mas terlalu pede!!” pekik Nadina lalu tampak segera berlari meninggalk
Salah satu santriwati mendekati Nadina saat wanita itu tampak masih tercengang dengan benda yang ia temukan di tempat sampah itu. “Mbak Nadina menemukan sesuatu?” tanya santriwati itu. Namun, Nadina malah dengan cepat menyembunyikan benda itu di balik hijab panjangnya dan menoleh ke belakang. “Tidak! Saya hanya salah melihat! Kalian menemukan sesuatu? Jika tidak kita bisa memeriksa lainnya?” tutur Nadina. Santriwati itu pun mengangguk setuju dan proses sidak pun kembali berlanjut. Meskipun Nadina mengikuti jalannya sidak dari awal hingga akhir, ia tak begitu bisa fokus sejak memeriksa kamar dan bagian Azalea. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk menenangkan dirinya di kantin dan memesan semangkuk mie ayam dan memakannya perlahan. Namun tak jauh dari sana, beberapa menit setelah Nadina menghabiskan makanannya, Nadina melihat Putri Azalea memasuki kantin bersama Sarah. Matanya terus memandang Azalea bahkan tanpa berkedip. “Haruskah aku menanyakan perihal benda itu? Tetapi bagaiman
Nadina dan Nadhif kini dalam perjalanan pulang saat keluarga sang anak telah menjaga bocah itu di rumah sakit. “Saya rasa perlu adanya pendataan ulang tentang kondisi perekonomian mereka. Pondok pasti bisa menyisihkan dana untuk para keluarga yang kurang mampu,” tutur Nadhif sembari fokus menyetir mobilnya. “Nadina setuju, kita tak bisa membiarkan ada anak lain yang kelaparan atau keracunan karena memakan makanan basi sebab mereka tak memiliki makanan yang layak di rumahnya.” Nadina turut memahami kekhawatiran apa yang suaminya rasakan. Nadhif tampak menghela napas panjang lalu melepas kopiah yang ada di kepalanya dan mengacak rambutnya sedikit. “Apa saya gagal mengurus pondok ini hingga ada warga saya yang menderita seperti ini, Nadina?” tuturnya. “Mas, kenapa bicara seperti itu. Pondok amat besar, mereka juga tinggal di rumah hunian bukan di asrama keluarga, patutlah jika kita kurang memperhatikannya. Kita jadikan ini sebagai pelajaran saja untuk semakin perhatian,” tutur Nadin
Malam itu, saat seluruh santriwati datang menghadiri kajian malam rutin di masjid, Azalea tampak berada di kamar bersama Sarah. “Sebenarnya kamu ini kenapa Mbak Aza? Kenapa jadi sering muak begini? Jadi sering marah juga!” omel Sarah pada Azalea. “Kau tak tahu apapun!” sergah Azalea. “Soal saranku kemarin, Mbak Aza sudah lakukan? Sudah membeli benda itu dan memeriksanya? Yaa, aku tahu semestinya itu tidak mungkin terjadi, tetapi semua yang mbak keluhkan mengarah ke sana. Apalagi mual itu. Semua orang pasti bertanya-tanya tapi ragu menanyakannya karena tak fakta status Mbak Aza!” pekik Sarah sambil membantu Azalea mengemasi barang-barang di mejanya. “Jika kau semakin membuatku marah, lebih baik kau pergi, Sarah!” pekik Azalea. “Kalau aku pergi, ketua kamar ini akan mengamuk karena meninggalkan Mbak Aza sendirian dalam kondisi sakit!” sergah Sarah lalu tampak meraih sebuah kotak yang menurutnya cukup asing dan baru ia lihat di sana. “Sejak kapan kotak ini ada di sini? Aku tak pern
Jantung Nadina berpacu amat cepat, apa yang baru saja ia dengar tentu amat mengganggu hati dan pikirannya saat ini. Kakinya mulai melangkah mundur dan memegangi perutnya sembari sedikit mengerjap akibat kepalanya yang mulai pusing. “Jangan pingsan di sini, Nadina. Kau akan menyulitkanku! Pergilah! Aku tahu kau tak akan bisa membantuku dengan putraku apalagi membiarkan kami hidup dengan sosok suami dan ayah!” pekik Azalea sembari menunjuk pintu kamarnya. Nadina berusaha mengatur napasnya dan perlahan berjalan meninggalkan kamar Azalea. Meskipun dengan sedikit terhuyung, Nadina akhirnya dapat keluar dari lingkungan asrama. Langkahnya terhenti di salah satu dinding luar asrama dan tampak berusaha menenangkan dirinya. Nadhif yang saat itu melintas dan melihat Nadina sontak mendekati istrinya itu. “Nadina, ada apa? Kenapa kamu tampak tak baik-baik saja?!” sergah Nadhif sembari memegang kedua bahu Nadina dan mengamati wajah wanita itu. Perlahan Nadina mendongak dan melepaskan kedua tan
Wajah seluruh orang di sana terkejut kecuali Nadina. Nadina malah tampak semakin takut dan memegangi perutnya seolah khawatir dengan apa yang akan terjadi setelah ini. “Maksudmu pemuda dari pondok ini? Siapa? Dia masih ada di sini?” tanya Nadhif. “Tentu saja dia masih ada di sini, Gus. Dia bahkan sangat aktif.” Nadhif mengerutkan dahinya, ia merasa semakin tak beres dengan semua kalimat yang Azalea berikan sebagai jawaban atas setiap pertanyaannya. “Kau memiliki hubungan dengannya, Nak?” tanya Ali lagi. “Hampir saja Abi, kami nyaris membentuk hubungan yang serius.” Jawaban Azalea seketika membuat semua orang ragu terlebih Aminah yang langsung melirik ke arah Nadina. Wanita itu tampak memejamkan matanya dan memegang perutnya juga sofa lebih erat. Aminah yang melihat respons tak baik Nadina ini langsung meminta Nadina untuk beristirahat di kamar. Namun seperti yang diduga, Nadina menolaknya. “Jangan berputar-putar dan membuat kami bertanya-tanya, Aza. Katakan saja siapa dan bagaim
Melati memegang tangan Nadina dan membuat Nadina segera menoleh. “Benar, Mbak. Semuanya begitu cepat. InsyaAllah Abi Ali yang membantu kami juga, apa Mbak Nadina tidak keberatan?” tanya Melati. Wajah terkejut Nadina seketika berubah menjadi raut bahagia, wanita itu bahkan balas memegang tangan Melati dan menepuknya sebentar. “Untuk apa aku keberatan, Mel? Sudah pasti aku sangat senang!! Akhirnya sahabatku ini akan menikah juga! Aku turut bahagia untuk kalian berdua, ya! Kapan tanggal pernikahannya?” Nadina menoleh bergantian ke arah Melati dan Rayyan. Sepasang calon suami istri itupun tampak tersipu malu dengan ucapan yang Rayyan tuturkan. Sementara itu Nadina bisa melihat dengan jelas kebahahiaan di mata keduanya. Termasuk kebahagiaan lain yang tak Nadina lihat saat Rayyan mengatakan pemuda itu telah jatuh hati padanya. “Syukurlajh jika mereka benar-benar telah menemukan satu sama lain!” batin Nadina masih terus tersenyum tulis. “Insyaallah dalam waktu dekat, Mbak! Kami sekalia
Nadina terbangun di sebuah brankar rumah sakit, ia menoleh ke kiri dan melihat brankar lain yang menaungi putranya yang tak sadarkan diri. Ia kembali meneteskan air matanya. Baru saja ia tersadar, ingatannya kembali memutar apa yang terjadi, ia kembali mengingat kenyataan pahit Azif yang telah meninggalkan dunia ini. “Sayang, tenangkan dirimu. Semua sudah Allah takdirkan. Hidup dan mati hanya ada di tangan Allah. Azfi tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut, tidak lagi sakit dan sedih, dia pasti telah bahagia di sana.” Aminah mengelus pucuk kepala Nadina. “Putramu baik-baik saja, dokter bilang ia akan siuman tak lama lagi. Pertolongan datang tepat waktu sebelum Adnan harus lebih banyak menghirup gas beracun itu, Nadina.” Nadina tak bisa membalas, ia hanya terdiam sementara air matanya terus mengalir. Di satu sisi ia bersyukur karena putranya dapat selamat. Di sisi lain, ia sedih atas kematian Azif. Bahkan keajaiban Allah mengirimkan Azif untuk memberinya petunjuk agar bisa meng
Rayyan berlari ke arah Nadina dan segera mengambil alih Adnan dari pelukan Nadina. “Rayyan?!” pekik Nadina terkejut bercampur bingung. “Jangan banyak bertanya dan bicara dulu, Nadina! Kita harus bawa Adnan ke rumah sakit sekarang!” pekik Rayyan langsung membawa Adnan pergi. Nadina menoleh ke belakang berniat menggendong Azif untuk juga pergi dari sana. Namun anehnya, bocah itu menghilang. Tak ada di sana, Nadina dengan sedikit kebingungan mesti melanjutkan langkahnya menyusul Rayyan. Tempat itu telah digerebek polisi, semua antek Azalea ditangkap, begitu pula dengan Azalea. Namun sudut mata Nadina menangkap bayangan Rukmi tengah menangis mengikuti petugas medis membawa seseorang lain masuk ke dalam ambulans. “Nadina, ayo cepat!!” pekik Rayyan mengingatkan Nadina untuk segera naik ke ambulans lain. Petugas medis segera melakukan pertolongan pertama pada Adnan, Nadina terus memegang tangan Adnan dan mengusapnya berharap sang anak akan sadar dan selamat. Rumah sakit menjadi tempat
“Azalea, berhentilah. Kau terlalu jauh. Adnan hanya anak kecil yang tak tahu apapun!” pekik Nadina. Azalea berjalan berkeliling ruangan menuju kaca tempat mereka bisa memandang Adnan yang mulai kelelahan itu. “Muhammad Adnan Maulana, dia memang masih seorang anak kecil berusia tujuh tahun, tapi ketahuilah Nadina. Anak tujuh tahun itu telah membuatku diadili oleh putraku sendiri!” “Ya, aku memang mengatur Azif untuk menarik perhatian Adnan. Aku membuat mereka berdua sangat dekat hingga Adnanmu itu sangat mempercayai putraku sehingga secara tak langsung mempercayaiku untuk secara cuma-cuma masuk ke dalam mobilku dan menemui kematiannya.” Pengakuan Azalea tiba-tiba mengingatkan Nadina dengan pesan Rukmi untuk terus menjaga diri dan putranya terlebih untuk tak mudah percaya kepada orang baru. “Tapi sayangnya! Anak kecil itu terlalu polos! Azifpun juga begitu! Dia rupanya sangat bahagia memiliki teman seperti Adnan, dia bahkan menyukaimu! Kau tahu? Telingaku panas mendengarnya merenge
Jantung Nadina seakan berhenti berdetak. Foto yang ada benar-benar membuatnya kebingungan. Tampak di foto Azif bersama Adnan tengah bersiap memasuki mobil bersama seorang wanita yang tak lain dam tak bukan memili paras wajah yang sama dengan Putri Azalea. “Ya Allah! Jadi apa yang aku lihat kemarin ini benar? Foto dalam telepon itu benar Putri Azalea? Jadi dia dan putranya, Azif? Masih hidup? Ya Allah, dan Adnan! Bagaimana dengannya sekarang!” Tangisan Nadina tak bisa lagi terbendung ia gemetar bahkan amat lemas dan nyaris tak bisa mengendalikan dirinya. Namun tiba-tiba sebuah telepon video datang. Nadina getar hendak mengangkatnya. Baru saja panggilan itu terhubung, wajah Adnan berada di sana. “Adnan!! Ya Allah! Adnan!!” teriak Nadina histeris. Putranya tampak duduk lemas pada sebuah kursi dengan tangan dan tubuh yang terikat. Bocah itu tampak kelelahan dan menunduk setengah tak sadarkan diri. [“Hai, Nadina! Apa kau terkejut?”] Suara yang tujuh tahun lalu menghilang kini kembali
“Nadina?!” pekik Rayyan yang terkejut atas kehadiran seseorang di kamar penginapannya itu. Pemuda itu segera berjalan memasuki kamar itu, Nadina terus berteriak seolah kembali teringat dengan kejadian kala itu. Rayyan meletakkan tasnya ke ranjang lalu mendekati Nadina dengan berjongkok. “Jangan!! Jangan mendekat!” teriak Nadina terus histeris. “Nadina! Ada apa?! Kau? Nadina! Ini aku Rayan! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau di sini? Bagaimana bisa kau–” cecar Rayyan sembari menyentak pundak Nadina. Sentakan Rayyan seolah memberi membuat Nadina kembali tersadar. Wanita itu yang semula berteriak histeris ketakutan sekarang malah tampak menatap Rayyan tajam. Tangan Nadina dengan cepat mendorong Rayyan hingga pemuda itu tersungkur ke belakang. “Nadina? Apa yang kau la–” lirih Rayyan terputus. “Di mana, Adnan?!! Apa yang kau lakukan padanya, Ray!? Kenapa kau tega menyiksaku seperti ini?!! Kembalikan Adnan sekarang!! Di mana putraku?!” sergah Nadina segera bangkit dari posisinya. “
Nadina menyipitkan matanya, tepatnya ia tak menyangka jika Rayyan akan melakukan sesuatu senekat ini dengan mengambil Adnan dari sisinya dengan menggunakan kepercayaan yang telah diberikan ia dan keluarganya berikan. “Apa-apaan ini, Ray?! Jadi kau membawa Adnan dan mengancamku? Apa yang terjadi sebenarnya!?” sergah Nadina berusaha menelepon namun tetap saja Rayyan tak membalasnya. Tak mau semakin mengulur waktu apalagi Adnan yang menjadi taruhan, Nadina segera memeriksa share location yang Rayyan kirimkan. Tak menunggu kama, Nadina segera melakukan mobilnya dan mengikuti jalur yang ada pada petunjuk arah itu. Segala pujian, doa, serta dzikir terus keluar dari mulut Nadina. Dengan jelas raut kekhawatiran mewarnai wanita itu. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain fokus pada jalanan hingga bisa sampai secepat yang ia bisa. “Ya Allah, lindungi putraku. Jangan sampai ada sesuatu hal buruk menimpanya. Kumohin, ya Allah!” pekik Nadina. “Adnan, tunggu ibu ya, Nak! Ya Allah, bagai
Hari berganti hari, usia keputusan itu, Rayyan dan Nadina tak sesering dulu bertemu mungkin memang selayaknya pertemuan antara wali murid dan guru adalah seperti ini. Nadina yang semula ingin memutuskan kerja sama pada Rayyan untuk memberi kelas tambahan pada Adnan akhirnya mengurungkan niatnya. Ia sempat berbicara pada Adnan mengenai kekhawatirannya itu, dan jawaban yang sang putra berikan sangat membuatnya sadar. Ia tak perlu lagi menghindar. Ia tahu, Adnan mungkin sesekali merindukan ayahnya. Namun di dalam hati anak itu telah terpatri satu nama yang hanya akan menjadi aba untuknya. Muhammad Nadhif. Sejak kemarin Nadina, Adnan, dan Nadhin memutuskan untuk tinggal di rumah kedua orang tuanya, Harun dan Khoiri. Memang dalam satu bulan mereka akan ada waktu untuk tinggal bersama. Mengobati rasa rindu kepada anak cucu, serta orang tua dan kakek nenek. “Ibu senang kamu bisa lebih dewasa sekarang, Nadina. Ibu mendengar semuanya dari umi Aminah tentangmu dan pemuda itu. Apapun keputusa
Pertemuan itu diakhiri dengan penerimaan atas jawaban yang diutarakan dan maksud yang disampaikan. Usai meneguk habis teh dan mencicipi roti yang Nadina sajikan, akhirnya Rayyan memutuskan untuk pamit. Aminah maupun Nadina mengantar Rayyan hingga pemuda itu memasuki mobilnya. Sepertinya mobil itu beserta pengemudinya, Aminah menoleh ke pada Nadina. “Umi pasti sudah tahu jawabannya bukan?” celetuk Nadina. Aminah mengangguk paham. Memang benar wanita paruh baya itu paham jika entah bagaimana wanita itu menyampaikan alasannya, ia pasti akan tetap menyimpulkan penolakan atas niat lamaran yang hendak Rayyan berikan padanya. Aminah merangkul Nadina dan keduanya berbalik hendak kembali menuju dalem. “Maafkan Nadina jika keputusan Nadina mengecewakan abi dan umi. Tetapi maafkan Nadina umi, Nadina tidak mau sesuatu yang sama terjadi. Mas Nadhif telah merasakan banyak rasa sakit setelah menikah dengan Nadina hanya untuk meyakinkan Nadina pada cinta semata itu.” “Nadina tak akan bisa menan