Annisa masih berada di ruangannya. Hari ini akan ada rapat untuk evaluasi perusahaan serta membahas proyek baru. Namun kepalanya terasa pening. Zidane yang melihat istrinya terus memegang kepala pun menyuruh sang istri untuk duduk sejenak. Dari rumah Annisa sudah mengatakan pada Zidane kalau kepalanya sedikit pusing. Tadi pagi Zidane juga sudah istrinya untuk beristirahat 1 hari. Namun Annisa tetap memaksa untuk tetap berangkat. Karena pagi ini ada rapat penting yang tidak dapat ditunda. “Pusing banget, ya?” tanya Zidane. “Udah sedikit mendingan kok,” jawab Annisa yang sebenarnya kepalanya masih terasa pusing. Annisa bangun dari duduknya. Dia tidak enak pada karyawannya yang telah berkumpul di ruang rapat. Dibantu dengan Zidane yang menggandeng tangan Annisa ke ruang rapat. Mereka pun berjalan beriringan. Sampai di ruang rapat. Ia duduk paling ujung. Moderator memulai rapatnya kemudian Annisa memaparkan beberapa data perkembangan perusahaan ini. Anisa menggerakkan pad
Ternyata benar, dalam kondisi hamil muda ini. Tubuh Annisa jadi sering kelelahan. Iya mudah lelah walaupun hanya bergerak sedikit. Seperti saat ini, menyapu kamarnya pun sudah membuatnya kewalahan. Ia duduk di bibir ranjang sembari mengatur nafasnya. Zidane yang baru keluar dari kamar mandi pun melihat istrinya yang napasnya tersengal-sengal. Ia begitu khawatir kemudian bertanya kepada Annisa. “Kamu kenapa?” tanyanya. “Aku habis nyapu lantai, Mas,” jawabnya. Zidane berdecak kesal. “Udah aku bilang jangan terlalu capek. Kamu tinggal nurutin omongan aku aja susah banget. Kalau ada apa-apa bilang aja sama aku. Jangan terlalu maksain diri kamu nanti kalau ada apa-apa sama aku gimana? Ingat ya kamu itu sedang hamil. Harus pintar-pintar menjaga tubuhmu sendiri.” Zidane menceramahi istrinya panjang lebar. Sedangkan Annisa hanya menundukkan kepala. Semenjak dirinya hamil, Zidane memang sangat posesif padanya. Annisa yang sangat sensitif pun menangis. Air matanya meluruh begit
Tiara dan Rizky menghentikan kegiatan mereka di dalam mobil. Keduanya saling tatap. Rizky menangkap kedua pipi Tiara. “Maafkan aku ya. Aku benar-benar kacau,” ucap Rizky pada Tiara. Tiara menganggukan kepala ia memaklumi kekasihnya yang sibuk akhir-akhir ini. Walaupun sebenarnya Rizky mengacuhkan Tiara bukan karena pekerjaan. Namun karena ada suatu masalah yang tidak bisa ia ceritakan kepada Tiara. Rizky kemudian menjalankan mobil kembali ke restoran terdekat. Di dekat pantai tersebut terdapat sebuah villa yang memiliki restoran. Rizky mengajak Tiara makan di restoran tersebut. Pada restoran itu terdapat beberapa minuman yang mengandung alkohol dengan kadar rendah. Rizky mengambil beberapa botol minuman tersebut. Rizky lebih memilih take away daripada makan di tempat. Ia kemudian membawa beberapa bungkus makanan ke dalam mobilnya. Tiara menerima makanan dari Rizky. Keduanya makan makanan tersebut di dalam mobil. Rizky kembali memarkirkan mobilnya di pantai. Rizky mem
Tiara tidak berangkat ke kantor hari ini. Ia mengambil cuti dadakan karena badannya terasa lemas dan tidak bertenaga sama sekali. Hari ini ia mengurung diri di dalam kamar. Merenungi kejadian semalam. Ia begitu menyesal karena telah memberikan mahkotanya sebelum menikah. Ia mengelus perut ratanya. Pikiran Tiara selalu mengarah pada kehamilan. “Bagaimana kalau aku hamil? Apa dia bisa tanggung jawab dan mau berkomitmen dalam hubungan yang lebih serius?” Saat tadi pagi pulang saja Rizky terlihat frustasi. Dia sama sekali tidak mengatakan sepatah kata pun padanya. Mereka berdua masih sama-sama syok dengan apa yang telah dilakukan oleh keduanya. Walaupun mereka sama-sama suka, tetap saja Tiara khawatir apakah nanti cinta mereka akan bertahan atau akan luntur dimakan waktu? Tiara mengambil ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Ponsel Tiara kehabisan daya. Iya pun mengecas ponselnya terlebih dahulu. Pintu kamarnya diketuk oleh sang ibu. Tok tok tok! Ruby memanggil-mangg
Tiara bangun dari rebahannya. Ia melihat ke ambang pintu. Kekasihnya tengah berdiri dengan wajahnya yang tampak lesu. Tiara menetralkan ekspresi wajahnya yang terkejut. Dia menghela nafas panjang untuk menenangkan diri. “Masuk aja, Mama udah izinin ‘kan?” tanya Tiara. Rizky pun memasuki kamar Tiara yang didominasi oleh warna lilac. Rizky berjalan dan duduk di samping Tiara yang kini duduk memeluk bantal. Ia menatap wajah kekasihnya yang sudah lebih segar dari saat ia mengantarnya pulang. “Kamu sakit?” tanya Rizky. “Kamu mau ngapain ke sini?” Tiara malah tidak menjawab pertanyaan dari Rizky. Ia malah melontarkan pertanyaan lain. “Emang kalau mau datang ke rumah pacar harus ada sesuatu? Aku ke sini buat jenguk kamu. Mau lihat kamu baik-baik saja atau tidak soalnya hp kamu juga nggak aktif,” jelas Rizky menatap kedua mata Tiara. Tiara melihat kantung mata Rizky yang tercetak jelas. Ia juga baru sadar kalau kekasihnya masih menggunakan pakaian kantor. “Hp aku mat
Mual, itulah yang dirasakan Annisa sekarang. Pekerjaannya sangat terganggu dengan rasa mual yang terus membuat tubuhnya lemas. Annisa bolak-balik ke kamar mandi untuk memuntahkan cairan bening. Dalam mualnya sama sekali tidak mengeluarkan sisa makanan seperti mual pada umumnya. Annisa pun berkumur-kumur. Hari ini setiap menyentuh laptop, imrasa mualnya selalu muncul. Melihat banyak tulisan ia sudah tidak sanggup lagi. Annisa pun memilih untuk pergi ke dapur. Lidahnya terasa pahit sedari tadi. Ia butuh yang asam untuk menetralisir enzim dalam mulut. Ada buah lemon di dalam kulkas. Ia mengambilnya dan membuat jus untuk dirinya sendiri. Rasa masam lemon itu membuatnya segar. Annisa tidak melanjutkan pekerjaannya. Ia sudah tidak mampu lagi untuk menatap layar laptop. Ia pun menghubungi sang suami kalau dirinya hari ini tidak akan mengerjakan pekerjaannya. Karena tadi kata sang suami, sekretarisnya sedang mengambil cuti. Jadi ia laporan pada Zidane. Saat hendak memasuki
Alfian dan Vivi terkejut dengan kedatangan Zidane yang tiba-tiba. Mereka mendadak diam seribu bahasa. “Siapa yang parasit? Coba ulangi lagi perkataan itu dan ulangi lagi semua ucapan kalian yang menghina istriku,” ucap Zidane penuh penekanan. Alfian semakin terkejut dengan pertanyaan Zidane. Apakah dia telah mendengar semua apa yang ia ucapkan kepada Annisa. “Mas ....” Annisa memanggil suaminya. Ia melihat laut marah pada wajah Zidane yang tercetak jelas. Ia takut kalau Zidane akan kelepasan dengan emosinya yang sudah tersulut. “Kayson, kamu pulang kapan, Sayang? Kemarin mama sakit, kenapa kamu tidak menjenguk mama?” Vivi mengalihkan pembicaraan. Pengalihan topik ibunya tidak membuat Zidane melupakan apa yang telah kedua orang tuanya ucapkan pada sang istri. Zidane pun menoleh kepada Annisa. “Kamu diapain, Sayang?” tanyanya. Kedua mata Annisa begitu sembab. Zidane menangkup pipi istrinya. Ia terluka melihat istrinya menangis seperti ini. Annisa hanya diam saja i
Zidane masih belum beranjak dari tempat duduknya. Ia masih ingin berada di dekat istrinya. “Mas, kamu kenapa belum berangkat juga? Udah mau siang loh. Mau ninggalin pekerjaan?” tanya Annisa. Zidane masih memikirkan kedua orang tuanya yang tidak bosan memancing keributan. Ia masih berusaha tenang di depan istrinya. Kini Zidane merebahkan kepalanya di atas paha sang istri. Annisa pun mengusap kepala suaminya. “Kenapa, Sayang?” tanya Annisa dengan lembut. Zidane kini tengah meredam kesalnya. Annisa melihat dahi suaminya berkerut pun paham kalau suaminya sedang emosi. Tangan Annisa mengelus dahi Zidane. “Masih kesal sama mama papa?” tanyanya. Zidane menjawabnya dengan gumaman lirih. “Udah nggak apa-apa, Mas. Nggak baik juga kalau terus kesal sama orang tua.” “Kamu, kok, gampang banget maafin orang tuaku? Padahal mereka udah ngasarin kamu,” ujar Zidane. “Orang tua kamu juga orang tua aku. Jadi aku harus hormatin mereka seperti orang tua kandungku. Jadi aku nggak