“Baiklah. Ini uangnya." Gara mengulurkan uang kepada Farhan.Setelah Farhan turun dan terlihat memasuki restoran, Gara menceritakan tentang bagaimana dia bisa bertemu dengan Farhan dan masalah ketika makan di restoran tadi.Mata Mia berkaca-kaca, dia menangis lagi.Gara menepuk halus kepala istrinya."Sebentar lagi kita akan bertemu mereka. Kita akan membantu mereka. Jangan menangis lagi."Mia mengangguk dan meraih tangan Gara, menciumnya beberapa kali dan membawa ke pipinya."Terimakasih, Gara. Terima Kasih atas pengertianmu. Kamu suami yang terbaik."Gara tersenyum, dan meraih tisu untuk menyeka air mata Mia.Tak lama Farhan telah kembali dengan membawa beberapa kantong makanan."Sudah?" Tanya Gara."Iya, sudah.”Setelah Farhan duduk dengan baik, Gara kembali melaju ke arah yang ditunjuk oleh Farhan.Mobil tidak bisa masuk karena kontrakan mereka ada di dalam gang yang cukup sempit. Terpaksa Gara memarkirkan mobilnya di depan sebuah Toko setelah meminta izin kepada Pemilik toko. Tid
Gara mengangguk, lalu mengajak Farhan untuk menyusul ayah mertua.mereka. Dua pria itu berdiri dan kemudian keluar. Ketika di teras, Farhan memukul keningnya. “Oh iya, ada yang lupa.” Matanya menangkap kantong plastik makanan yang tergeletak di sana, dia cepat-cepat mengambilnya.“Kenapa, Mas?” Tanya Gara.“Makanannya lupa, pantesan, dari tadi kok seperti ada yang kurang? Untung tidak dimakan kucing.” Gerutunya sambil kembali masuk. “Sebentar ya.”“Sil, ada makanan dari Mia. Tadi aku lupa.” Farhan menaruh makanan itu di depan mereka. Wajah Silvia langsung terlihat ceria. “Ya ampun, Mia tahu saja sih kalau aku laper banget. Sudah lima hari nggak makan.” Silvia langsung membuka kantong makanan.“Lebay kamu! Baru setengah hari enggak makan, ngomongnya lima hari!” Sahut Farhan. “Bagiku setengah hari itu sama seperti lima hari rasanya. “Jawab Silvia, sambil memeriksa makanan.“Wah makanannya sangat lezat.” Silvia sumringah saat melihat makanan enak di depannya.“Eh, tunggu ayah. Jangan
“Ayah..” Kedua mata Mia sudah berkaca-kaca, dia berdiri menatap ayahnya. Lelaki yang sudah mulai keriput dengan rambut yang hampir berubah menjadi putih semua itu. Ayah yang sudah cukup tua, seharusnya tidak boleh bekerja keras lagi. Seharusnya sudah duduk manis di rumah menikmati masa tuanya dengan tenang. Tapi ini, Mia melihat sang ayah baru kembali dari pasar, bukan dari belanja tetapi menjadi kuli panggul disana.Entah bagaimana perasaannya saat ini ketika sekelebat bayangan ayahnya yang sedang memanggul beban berat di pundaknya terlintas di pikirannya. Hatinya mendadak seperti teriris, perih.Wibowo juga sama halnya dengan Mia, matanya memerah menahan air mata ketika menatap putrinya itu. Putri yang dulu tersisihkan dan dia bahkan tidak pernah membayangkan jika akan bernasib sebaik ini.Mia menghampiri ayahnya, dia meraih tangannya untuk menciumnya. Tapi Mia yang ingin menahan tidak bisa menahan diri lagi. Dia menubruk bapaknya dan kembali menangis. Kali ini tangisannya sangat k
Mereka semua terdiam, mereka sebenarnya paham dengan kekhawatiran Mia. Paham dengan kebaikan Mia yang sangat peduli dengan keluarganya. Itu semua bukan membuat Ibu ataupun Silvia senang, justru malah semakin membuat mereka malu dan merasa bersalah.Melihat istrinya gelisah, Gara kemudian angkat bicara untuk sebuah saran, “Begini saja. Bagaimana kalau untuk sementara ini kalian ikut kami dan tinggal di sana dahulu sementara. Nanti aku dan Mas Farhan akan mencari jalan keluar. Aku akan membantu Mas Farhan mendapatkan pekerjaan yang tepat, agar dia bisa menafkahi keluarga dengan baik. Aku dan Mia juga sudah pernah berjanji jika menemukan kalian maka kami akan membantu kalian. Jadi biarkan kami membantu kalian.”Mereka terdiam, begitu terharu dengan kebaikan hati Gara.Mia pada akhirnya bertanya pada suaminya dengan gelisah, “Kamu akan mendapatkan rumah ibu lagi kan, Gara?” Gara mengangguk, dia berkata dengan lembut. “Tentu saja, aku akan mendapat di rumah ibu lagi. Setelah itu mereka
“Ada banyak pelayan di sini, Ayah. Kata Gara, mereka sudah ada sejak beberapa tahun sebelum kakeknya meninggal dunia.”Ibu menepuk lembut lengan Mia, “Cepat hamil ya, Nak? Biar rumah ini ramai dengan canda tawa dan tangis anak kalian.” Ucap Rita.Mendengar ucapan ibunya mata Mia berkaca-kaca. “bu benar-benar sudah berubah, dulu dia tidak ingin dirinya hamil. Sekarang justru ibu menyuruhnya untuk hamil.“Apa Ibu senang kalau aku hamil?” Tanya Mia dengan ragu-ragu.Bu Rita menunduk. Dia mengira Mia masih menyimpan kekecewaan karena dia pernah melarangnya untuk hamil.“Mia,maafkan ibu pernah kesal saat mengira kamu dulu itu hamil. Sebenarnya ibu hanya khawatir dengan kehidupan kalian. Ibu tidak pernah tahu kalau suamimu semapan ini. Ibu hanya takut hidup kita yang masih susah akan semakin susah. Maafkan ibu ya?” Bu Rita kembali menangis.“Tidak mengapa, Bu. Aku mengerti apa yang dikhawatirkan Ibu saat itu. Skarang kan semua sudah berbeda. Aku dan Gara juga sedang berusaha. Doakan saja,
Pagi ini, Mia sudah bangun pagi-pagi sekali Dia sedikit terkejut saat mendapati dirinya sudah berada di kamarnya. Dia mengingat-ngingat, bukankah semalam dia sedang berada di kamar ibu bersama dengan ibu dan Kak Silvia? Apa tengah malam dia pindah ke kamar ini tanpa dia sadari? Gara yang baru saja membuka matanya tersenyum melihat ekspresi bingung istrinya. “Kamu kenapa?” Dia bertanya. “Perasaan, semalam aku tidur bersama Kak Silvia di kamar ibu. Kok bisa ada di sini? Apa aku bermimpi ya, tidur bersama mereka?” Gara sebenarnya ingin berbohong ingin mengatakan, mungkin kamu hanya sedang bermimpi tidur dengan mereka. Tapi melihat wajah bahagia Mia semalam, dia tidak tega. Semalam setelah dia selesai mengobrol bersama Farhan dan ayah, inu menyusul mereka. Mengatakan kalau Mia sudah tertidur bersama Silvia. Karena itu tidak tega membangunkannya, maka Ibu mengatakan padanya agar membiarkan mereka tidur di sana saja malam ini. Tapi Gara tidak mungkin membiarkan ayah mertuanya tidur
Sementara itu di kampung,Seperti hari-hari biasa, bu Marni setiap pagi akan pergi buruh memetik Sahang di kebun orang.Dia akan berangkat pagi dan pulang menjelang sore hari. Nita dan kakak laki-lakinya telah pergi bersekolah dan hanya menyisakan Dinda dan Fiah saja di rumah itu.Seperti biasanya, Dinda akan bangun lebih terlambat daripada penghuni lain. Setelah matahari lebih tinggi, Dinda baru akan keluar dari kamar untuk mandi, setelah itu baru dia akan sarapan.Tapi akhir-akhir ini, hari-hari yang dilalui Dinda sudah cukup baik. Meskipun mereka semakin terpuruk dalam masalah ekonomi tapi setidaknya Dinda yang sekarang sudah dapat menerima sedikit demi sedikit kenyataan hidupnya. Dinda saat ini sudah berada di kamar mandi dan mulai mengguyur tubuhnya dengan air, dia mencari-cari sabun mandi tapi tidak ketemu juga.Dia berseru pada Fiah. “Fiah,.. kita nggak ada sabun mandi ya?”“Nggak punya memang, Mbak. Tadi terakhir aku mandi saja, hanya ada secuil. Itu malah jatuh ke comberan.
Dinda meringis kembali."Fiah. Memang bapak kerjanya nggak lancar ya?" Tanya Dinda."Nggak tahu, mbak. Katanya sih begitu. Buktinya, beli rokok sama bensin aja masih sering minta ibu. Nggak tahu, tapi Fiah pernah denger, bapak sering makan-makan sama temen-temennya. Aneh kan bapak, padahal udah tua tapi perilaku kayak anak muda aja. Pakai acara makan-makan bareng sama temen-yemen. Keluarga sendiri, beli beras aja masih payah. Tapi jangan bilang ibu ya, mbak. Fiah takut, nanti mereka berantem."Dinda semakin curiga sekarang."Mbak.. Aku tempat Bude ya. Pinjem beras di sana saja. Kasian Nita nanti, pulang pasti laper. Kasihan ibu juga." Ucap Fiah."Tapi, nanti ditagih pas belum ada gimana?""Ibu kan besok gajian. Nggak apa lah." Fiah beranjak dan pergi ke rumah budenya untuk meminjam beras.Dinda juga ikut beranjak untuk ke kamar. Tapi baru saja dia berjalan beberapa meter, Seseorang mengucapkan salam dari teras rumah.Dinda menjawab salam dan melongo."Nita?" Dinda bergegas menghampir
Tidak ada tetangga yang datang karena mereka sengaja, lamaran malam ini dengan sederhana saja. Tidak ada yang dibawa oleh Dodi karena memang mereka sudah berunding untuk tidak memaksakan diri dan tidak membawa apapun. Ini adalah pesan Gita, jadi Dodi datang hanya membawa ucapan niat dan cincin seberat 2 gram saja sebagai tanda pengikat antara mereka. Acara lamaran berlangsung sederhana namun penuh keseriusan dari kedua belah pihak. Pakde Gita tak banyak bicara, sebab di sini ia hanya menjadi saksi, bukan untuk dimintai pendapat. Sebelumnya, Bu Mila sudah berpesan demikian. Sebelum lamaran ini, Pakde sempat menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pernikahan Gita dengan Dodi. Alasannya, masa depan Dodi kurang cerah dan hanya akan membebani Gita, terlebih Gita kini sudah sukses. Pakde khawatir banyak orang berbiat buruk, lalu menjadikan alasan ingin menikahi Gita. Bu Mila menegaskan untuk tidak perlu ikut campur urusan mereka . Dodi memandang Heru dengan mata terbelalak, seperti kura
Sebagai orang tua, mereka hanya perlu menyetujui, memberi restu, dan dukungan. Meski tak suka, Pakde tak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan.Mungkin ia sadar bahwa selama ini ia tak pernah membantu atau ikut memberi makan Gita dan Anisa sejak mereka lahir, lalu mereka ditinggal orang tua mereka, dan kini telah tumbuh dewasa.Acara lamaran selesai, disambung dengan obrolan ringan, basa-basi sebelum waktunya pulang.Tidak ada yang istimewa di acara malam ini, tetapi bagi Gita dan Dodi, acara ini sangat spesial dan membekas di hati. Karena malam ini, mereka resmi menjadi sepasang tunangan dan berencana menikah bulan depan. Awalnya, ketika ditanya oleh Pak De kapan mereka akan menikah, Dodi masih ragu untuk menjawab. Bukan karena ragu, tetapi dia ingin benar-benar siap. Namun, Gita yang langsung menjawab, "Rencana kami adalah bulan depan, Pak De. Setelah bulan ini habis, kami akan berunding lagi untuk menentukan hari yang tepat."Dodi tidak bisa berkomentar karena takut Gita tersinggu
Dodi menarik nafas resah. Tadinya, dia sudah cukup senang, khayalannya melambung tinggi, menikahi Gita dan hidup bahagia penuh cinta. Namun, setelah obrolan dengan ibunya, perasaannya berubah menjadi kacau.Jika nanti dia menikah, bagaimana mungkin dia bisa tinggal bersama Gita? Bagaimana dengan ibu dan dik-adiknya? Tapi jika dia mengajak Gita untuk tinggal bersamanya, tentu saja itu juga tidak mungkin. Dia tidak bisa membawa Gita untuk tinggal di pondok mereka dan mengurus keluarganya.Tiba-tiba, sebuah pesan singkat dari Gita masuk. "Dodi, sedang apa? Apa kamu sudah pulang kerja?""Iya, Gita. Aku sudah pulang dari tadi." Mulai hari ini dan seterusnya, Dodi memang sudah mau belajar untuk memanggil Gita dengan nama saja. Mereka sudah sepakat."Bisa gak nanti malam ke rumah? Ada hal yang ingin aku bicarakan."Karena Dodi juga ingin membicarakan suatu hal dengan Gita, dia pun setuju. "Iya, aku akan ke sana nanti malam."Gita tersenyum, selain memang ada sesuatu yang ingin dibicarakan se
Yang di sana menutup mulutnya dengan satu tangan menahan agar tidak tertawa keras karena saking senangnya.Ya ampun… Ternyata Dodi romantis juga ya?Akhirnya sepanjang malam ini mereka sama-sama begadang, melanjutkan chat mesra dan rencana untuk kedepannya nanti. Sampai terlupa, ketiduran tanpa sengaja. Ponsel masing-masing terjatuh dari tangan dan paginya ponsel mereka sama-sama ngedrop!Dodi merasa sangat kesal karena tidak bisa mengirimi pesan atau melihat pesan chat dari Gita. Akhirnya berangkat kerja tanpa membawa ponsel.Gita juga demikian, terpaksa pergi mengajar meninggalkan ponselnya di rumah untuk dicas.Di tempat kerja, mereka tidak konsen.Saling memikirkan satu sama lain. Andai saja tadi ponsel bisa dibawa, setidaknya bisa berkirim chat, menanyakan kabar. Lagi ngapain? Udah makan belum?Duh, kasmaran!Sayangnya semalam lupa , seharusnya sambil di cas saja. Kan tidak sampai ngedrop?Saat Dodi pulang dari kerja, di jalan melihat kecelakaan. Sebuah mobil sedan menabrak seora
Anisa mengusir mereka dengan bercanda, "Sudah, jalan sana, nanti keburu magrib."Gita dan Dodi akhirnya berangkat menggunakan motor Anisa. Mereka berboncengan, menarik perhatian orang-orang di jalan karena penampilan mereka yang berbeda dari biasanya. Beberapa mencibir, tapi banyak juga yang memuji kecocokan mereka.Sesampainya di acara, suara musik orgen tunggal menyambut. Mereka disambut oleh tim penyambut tamu, dan beberapa orang langsung mengenali mereka, "Mbak Gita sama Mas Dodi? Wah, cocok banget!”Gita dan Dodi hanya tersenyum malu mendengar godaan-godaan itu. Setelah mengambil makanan, mereka duduk bersama dan menikmati hidangan. Sesekali mereka melirik satu sama lain dan tersenyum, tapi tidak bisa fokus karena hati mereka sama-sama berdebar.Setelah makan, Dodi mengajak Gita untuk memberikan amplop kepada pasangan pengantin. "Cepat menyusul kami ya!" ucap mempelai wanita, membuat Gita semakin tersipu."Kenapa semua orang berpikir kita pacaran?" tanya Gita saat mereka kembali
Penjelasan Gita diterima, dan beberapa siswa bahkan membuka platform novel online untuk memeriksa kebenarannya. Mereka akhirnya paham bahwa kehidupan Gita dan Anisa telah berubah berkat kerja keras Gita.Sejak saat itu, tak ada lagi yang menuduh atau membicarakan Anisa dan keluarganya. Kabar tentang Gita yang menjadi penulis menyebar, dan kehidupan mereka menjadi lebih damai. Tidak ada lagi tuduhan atau hinaan dari Cindy dan teman-temannya.Hari itu, Gita merasa sangat lelah setelah seharian membersihkan rumah bersama Anisa. Malam harinya, ia mengalami sakit kepala yang parah. Anisa khawatir melihat suhu tubuh kakaknya yang sangat panas."Mbak Gita sakit, ya? Badannya panas sekali!" seru Anisa.Gita mengeluh, "Kepala Mbak sakit, tubuh juga rasanya ngilu-ngilu."Anisa segera memberi tahu Bu Mila, yang panik. "Tunggu sebentar, Anisa. Biar nenek menemui Mbak Nita.""Biar Anisa saja, Nek. Nenek tungguin Mbak Gita," ujar Anisa, langsung berlari ke rumah Nita. Mendengar kabar itu, Nita dan
"Udah, jangan dilihat terus. Besok langsung dicoba aja," goda Nita, sambil tersenyum melihat Anisa yang terus memandangi motor barunya.Anisa tertawa kecil, benar-benar tidak menyangka dirinya bisa mendapatkan motor sebagus itu. Dia menoleh pada Gita, "Mbak Gita, terima kasih ya. Pasti mahal banget."Gita tersenyum dan menepuk tangan Anisa lembut, "Yang penting kamu senang, Anisa. Harga motor ini nggak ada apa-apanya dibanding kebahagiaan kamu.""Ya ampun, Mbak Gita! I love you deh!" Anisa memeluk kakaknya dengan rasa terima kasih."Makanya, jangan bandel. Kamu nggak kerja tapi dibeliin motor sama HP baru. Semangat belajar dan bantu-bantu di rumah, ya," Bu Mila mengingatkan."Siap, Nek! Anisa makin semangat," jawab Anisa riang, disambut tawa seluruh keluarga.Heru lalu berdiri, "Maaf, aku harus pulang. Toko nggak ada yang jaga lama-lama.""Aku juga pulang, nih," kata Nita sambil mengeluarkan kado kecil dari sakunya.Heru melihat kado itu dan tertawa, "Ya ampun, kado kamu kecil banget,
Karena Anisa memang adik yang pengertian, meskipun hatinya sedikit terluka oleh ucapan kakaknya, dia tidak berani menjawab. Anisa mencoba mengerti, mungkin kakaknya sedang banyak pikiran atau lelah, jadi dia memilih untuk diam saja.Kemudian, Anisa beranjak dari kamar Gita untuk mencari neneknya, tetapi tidak menemukannya. Dia lalu pergi ke dapur dan membuka tudung saji. Ternyata tidak ada makanan apapun di meja. Bahkan di magic com pun tidak ada nasi. Anisa mendengus kesal, lalu kembali ke kamar Gita."Mbak, nenek nggak masak ya? Nenek pergi kemana?" tanya Anisa lagi.Kakaknya terlihat kesal, lalu melemparkan guling ke arah Anisa."Kamu itu manja banget sih! Kamu kan bisa masak sendiri, masak mie, ceplok telor, atau apa gitu. Nggak usah terus ngandelin nenek. Nenek lagi pergi ke rumah Bude dari tadi pagi, jadi nggak sempat masak. Kamu aja yang masak nasi, sana!” ujar kakaknya.Anisa merasa sedih melihat perubahan kakaknya yang tiba-tiba menjadi pemarah. Namun, dia tidak berani memban
“Ya Allah, ternyata ini pekerjaan Mbak Gita yang jarang diketahui orang. Pantas saja Mbak bisa membeli ini itu dan mengubah ekonomi keluarga. Aku benar-benar tidak menyangka kalau Mbak bisa sehebat ini.”Gita mengangguk kemudian tersenyum kecil sambil melanjutkan untuk memberitahu Dodi tentang aplikasi-aplikasi novel miliknya.“Mungkin beberapa orang di kampung banyak yang membicarakan aku, tapi aku tidak mau peduli. Karena mereka juga tidak tahu apa yang aku lakukan sebenarnya. Yang terpenting bagiku adalah aku mencari pekerjaan secara halal dan ini merupakan anugerah serta rezeki dari Allah yang diberikan padaku. Aku telah diberi jalan untuk bisa mengubah ekonomi keluargaku.”Dodi mendongak, "Mungkin sebagian orang membicarakan keluarga Mbak karena mereka tidak tahu yang sebenarnya. Tapi benar kata Mbak, tidak usah dipedulikan. Bukankah Mbak tidak merugikan siapa-siapa? Mbak menulis dengan ide sendiri tanpa mengganggu orang lain.""Itulah yang sering dikatakan oleh Mbak Nita. Makany