"Mbak pakai aplikasi baking nggak? Kalau pakai, langsung transfer aja ke nomor rekening kami. Nggak perlu ambil uang cash." Jawab satu Sales."Oh, bisa ya?" Tanya Rani, sumringah, melupakan jika uang itu untuk membayar hutang."Bisa, bisa."'Yang penting pakai dulu. Mumpung ada produk kecantikan hebat seperti ini. Besok besok, belum tentu ada.' Rani berpikir demikian, kemudian mengulik ponselnya. Membuka aplikasi Livin miliknya dan mentransfer sejumlah uang sesuai dengan harga produk skincare tadi pada nomor rekening yang disebutkan oleh Sales itu.Dengan wajah ceria dan bangga dia menentang satu kotak besar produk tadi. Masih sempat menyenggol Susi, "Kamu gak beli?""Gak tau Ran, Gimana ya? Aku nggak punya duit.""Tapi masa tangan kamu begitu, satu putih satu hitam. Beli lah. Wajah juga putih, leher hitam. Kan lucu. Sana usaha dulu." Ucap Rani, mengompori."Aduh, iya. Gimana ya?" Susi juga bingung. Pasalnya, kuiit lengan kanannya memang terlihat lebih putih, Sementara yang kiri masih
"Alhamdulillah, Pak RT. Mungkin sudah jalan yang diberi Allah pada kami. Awalnya kesusahan mau usaha apa, mas Heru juga kesusahan cari kerja. Eh, aku iseng-iseng nyalurin bakat dan hobi. Gak tahunya malah menjanjikan." Jawab Nita."Iya betul itu, Pak. Berkat istri saya inilah, semua keadaan bisa sedikit demi sedikit membaik." Heru ikut bicara, dengan perasaan penuh bangga pada istrinya."Benar-benar luar biasa. Saya kagum, sungguh. Mbak Nita ini bisa menjadi inspirasi bagi para wanita dan ibu rumah tangga." Pak RT berkata lagi penuh kagum.Kemudian setelah berbasa-basi sambil menyeruput kopi suguhan dari Nita, pak RT berpamitan untuk pulang. Begitu juga dengan Ak' Rudi. Hanya Adi yang masih tertinggal disana.Rudi pulang ke rumah, di sambut si Rani yang kepo juga beberapa wanita yang sepertinya sengaja main ke teras rumah Ainun karena tadi tak sengaja melihat Ak' Rudi diundang ke rumah Nita. Ada pak RT dan Irul juga datang kesana."Eh, Ak’ Rudi. Ada apa sih itu diundang ke rumah Nita?
"Tapi, Nak, bagaimana dengan keluargamu? Apa mereka setuju jika seperti itu?""Kek, kita tidak bisa memaksa Arumi. Mungkin benar, Arumi memang belum nyaman dengan kehidupannya yang sekarang. Tidak apa-apa Kek. Yang aku inginkan adalah menikahi Arumi. Menjadikan istriku tanpa perlu dikenali publik. Setelah bersamaku nanti, mungkin Arumi akan terbiasa dan kita bisa mengadakan pesta tahun depan. Keluargaku juga pasti akan mengerti." ucap Azam pada Kakek.Kakek hanya bisa mengangguk pasrah."Jika kalian tidak keberatan, baiklah. Kalau begitu, tidak akan ada pesta." Kakek menghela berat."Lalu kapan kalian akan menikah?" Kini Al' yang bertanya."Besok saja." sahut Arumi, membuat semua menoleh padanya."Besok?" Azam menganga."Lebih cepat lebih baik, kan? Kamu bilang sendiri kemarin. Bila perlu besok." sahut Arumi."Ah iya. Kamu benar. Lebih cepat lebih baik." balas Azam.Semua tertawa, dan pada akhirnya setuju. Pernikahan mereka akan dilaksanakan besok tanpa pesta.Waktu pun bergulir teras
"Hehe, ya begitulah. Tapi kan adik ipar. Pokoknya, ribet lah. Tapi ya, Alhamdulillah.. semua bahagia. Aman, damai dan sentosa."Dua orang itu tertawa, meskipun dalam otak Arumi cukup pusing memikirkan ikatan persaudaraan keluarga Azam.Kok bisa? Istri paman Riko, adik mama mertua. Sedangkan adik mereka dinikahi oleh paman Rendi?Sementara Calia setelah ini langsung ingin pulang ke rumah, meskipun baik Dinda dan Mia masih ingin menahannya disini."Calia pulang lah ya, Ma, Pa?""Hem.. dengan siapa tapi? Pesta belum usai. Tunggulah sebentar." Riko yang menjawab."Laura yang mau mengantar, Pa.""Oh, ya udah. Hati-hati. Sebentar lagi kami menyusul." Jawab Riko, juga Dinda mengangguk kecil. Anak gadis mereka ini memang lain. Tidak terlalu suka dengan keramaian. Mereka memaklumi.Calia kemudian melangkah, mengikuti Laura yang berjalan mendahului."Aku antar sampai ke rumah. Tapi aku tidak bisa mampir ya? Aku lagi mau tidur dari awal." Ucap Laura setelah melajukan mobilnya.Dua gadis ini terd
Setelah pertempuran malam panjang yang panas dan membara itu, akhirnya pagi datang juga.Sinar matahari menerobos melewati celah kaca jendela. Angin semilir menyibak sedikit tirai. Terlihat awan putih berarak menandakan jika malam sudah terlewati dengan baik.Azam masuk ke dalam kamar itu. Membawa nampan sarapan, ada jus dan buah segar juga. Semua makanan yang sudah disiapkan khusus oleh nama mertua sendiri untuk menantunya.Matanya langsung tertuju pada Arumi yang masih bermalas-malasan di atas ranjang. Sudah memakai baju, Rambutnya terlihat masih basah. Rupanya dia sudah bangun dan sudah mandi.Hati Azam merasa senang melihat ada seorang wanita di atas ranjangnya sekarang. Semalam tidur bersamanya juga.'Eh, bukan tidur, melainkan bergerak bersama.'Padahal hanya bertambah satu anggota keluarga baru dalam rumah ini, tapi rasanya rumah ini langsung berubah begitu indah.Sedikit pun gerakan Arumi begitu terlihat indah di matanya.Azam menghampiri Arumi yang hanya melirik kedatanganny
"Karena kamu terlalu kasar, Azam! Kamu tidak ada lembutnya." Arumi masih dengan suara keras."Dimananya yang kasar? Coba sebutkan."Rimbun kali ini tidak menjawab."Yang semalam ya?"Arumi belum menjawab, hanya memutar bola matanya saja."Kalau yang semalam,.""Sudah diam, jangan mengungkitnya lagi!"Arumi jadi geram."Tidak ada yang mendengarnya sayang. Hanya kita berdua ini.""Meskipun, aku tetap malu. Sudah. Aku mau sarapan." Arumi tidak ingin Azam membahas hal semalam. Walaupun hanya didengar berdua, tetap itu sangat memalukan bagi Arumi."Tapi kamu suka, kan?" Azam masih saja bertanya."Stop Azam!" Dia menutup bibir Azam dengan telunjuknya.Azam menarik tangan Arumi lalu mendekatkan wajahnya. "Semalam kamu terus memanggil namaku terus lho.""Astaga. Sudah, kataku!"Azam tergelak, kemudian beranjak setelah beberapa kali menyambar bibir Arumi."Makanlah. Aku harus keluar dulu." Dia menyodorkan piring sarapan untuk Arumi."Kamu sudah sarapan?" Arumi menerima piring itu."Maaf ya. Ak
Azam menghentikan mobilnya, kemudian meloncat turun.Setelah seorang pelayan membukakan pintu, Azam terburu menaiki tangga menuju kamar.Ingin cepat melihat si Jelek yang sudah dirindukannya."Jelekku.. Apa kamu masih tidur?" menghampiri ranjang.Arumi yang masih tergeletak menoleh."Kamu sudah pulang?" Dia duduk ditepi ranjang."Tentu saja. Mana bisa aku berlama-lama meninggalkanmu sendirian." Azam jugaduduk di tepian ranjang. Meraih tengkuk Arumi untuk menghadiahi kecupan."Kamu sudah menghabiskan sarapanmu?""Sudah. Aku bahkan sudah lapar lagi."Azam melirik jam. "Kita akan makan siang bersama mama. Kamu belum bertemu mama, kan?" Dia mendekap Arumi."Belum. Aku masih malu.""Tidak mengapa. Mama mengerti. Lagian mama juga pergi ke rumah nenek, belum pulang. Dia tidak mau mengganggumu dulu. Dia pengertian."Arumi hanya mengangguk."Apa sudah bisa berjalan?""Kamu kira aku lumpuh!" Jawab Arumi, kesal."Mungkin sedikit kesusahan.""Itu tahu!""Maaf ya. Semua karena ulahku." Azam kemba
Saat sore hari, Heru mengatakan rencana Adi pada Nita. Nita tidak tau harus menjawab apa. Jujur saja, memang uang simpanan dia telah ludes untuk membeli tanah itu. Sementara modal untuk tokonya pun ikut ke pakai juga."Apa toko kita ditutup dulu aja ya? Jadi aku bisa ke kebun itu bersama Adi." Ucap Heru."Jangan dong Mas. Sayang, itu masih banyak barang yang belum ke jual." Bantah Nita."Tapi kalau Adi sendiri pasti akan sangat lama ngerjain kebun itu. Kasihan juga, mana gak di bayar, cuma bisa kasih beras sama rokok saja." Sahut Heru."Aku bisa jaga toko sembari nulis. Bagaimana? Kalian bisa ke kebun. Sambil tunggu aku gajian, ya meskipun masih satu bulan lagi."Heru menoleh pada Adi yang memang ada disitu."Jangan lah Her, istri kamu nanti tidak akan fokus. Aku tau nulis itu memang gak butuh tenaga dan gak capek badannya. Tapi otak main, dan jangan main-main. Main otak itu malah bikin lemes. Kalau sambil jaga toko, belum lagi jaga Gemilang, duh.. yang ada nanti istri kamu KO."Dua o
Tidak ada tetangga yang datang karena mereka sengaja, lamaran malam ini dengan sederhana saja. Tidak ada yang dibawa oleh Dodi karena memang mereka sudah berunding untuk tidak memaksakan diri dan tidak membawa apapun. Ini adalah pesan Gita, jadi Dodi datang hanya membawa ucapan niat dan cincin seberat 2 gram saja sebagai tanda pengikat antara mereka. Acara lamaran berlangsung sederhana namun penuh keseriusan dari kedua belah pihak. Pakde Gita tak banyak bicara, sebab di sini ia hanya menjadi saksi, bukan untuk dimintai pendapat. Sebelumnya, Bu Mila sudah berpesan demikian. Sebelum lamaran ini, Pakde sempat menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pernikahan Gita dengan Dodi. Alasannya, masa depan Dodi kurang cerah dan hanya akan membebani Gita, terlebih Gita kini sudah sukses. Pakde khawatir banyak orang berbiat buruk, lalu menjadikan alasan ingin menikahi Gita. Bu Mila menegaskan untuk tidak perlu ikut campur urusan mereka . Dodi memandang Heru dengan mata terbelalak, seperti kura
Sebagai orang tua, mereka hanya perlu menyetujui, memberi restu, dan dukungan. Meski tak suka, Pakde tak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan.Mungkin ia sadar bahwa selama ini ia tak pernah membantu atau ikut memberi makan Gita dan Anisa sejak mereka lahir, lalu mereka ditinggal orang tua mereka, dan kini telah tumbuh dewasa.Acara lamaran selesai, disambung dengan obrolan ringan, basa-basi sebelum waktunya pulang.Tidak ada yang istimewa di acara malam ini, tetapi bagi Gita dan Dodi, acara ini sangat spesial dan membekas di hati. Karena malam ini, mereka resmi menjadi sepasang tunangan dan berencana menikah bulan depan. Awalnya, ketika ditanya oleh Pak De kapan mereka akan menikah, Dodi masih ragu untuk menjawab. Bukan karena ragu, tetapi dia ingin benar-benar siap. Namun, Gita yang langsung menjawab, "Rencana kami adalah bulan depan, Pak De. Setelah bulan ini habis, kami akan berunding lagi untuk menentukan hari yang tepat."Dodi tidak bisa berkomentar karena takut Gita tersinggu
Dodi menarik nafas resah. Tadinya, dia sudah cukup senang, khayalannya melambung tinggi, menikahi Gita dan hidup bahagia penuh cinta. Namun, setelah obrolan dengan ibunya, perasaannya berubah menjadi kacau.Jika nanti dia menikah, bagaimana mungkin dia bisa tinggal bersama Gita? Bagaimana dengan ibu dan dik-adiknya? Tapi jika dia mengajak Gita untuk tinggal bersamanya, tentu saja itu juga tidak mungkin. Dia tidak bisa membawa Gita untuk tinggal di pondok mereka dan mengurus keluarganya.Tiba-tiba, sebuah pesan singkat dari Gita masuk. "Dodi, sedang apa? Apa kamu sudah pulang kerja?""Iya, Gita. Aku sudah pulang dari tadi." Mulai hari ini dan seterusnya, Dodi memang sudah mau belajar untuk memanggil Gita dengan nama saja. Mereka sudah sepakat."Bisa gak nanti malam ke rumah? Ada hal yang ingin aku bicarakan."Karena Dodi juga ingin membicarakan suatu hal dengan Gita, dia pun setuju. "Iya, aku akan ke sana nanti malam."Gita tersenyum, selain memang ada sesuatu yang ingin dibicarakan se
Yang di sana menutup mulutnya dengan satu tangan menahan agar tidak tertawa keras karena saking senangnya.Ya ampun… Ternyata Dodi romantis juga ya?Akhirnya sepanjang malam ini mereka sama-sama begadang, melanjutkan chat mesra dan rencana untuk kedepannya nanti. Sampai terlupa, ketiduran tanpa sengaja. Ponsel masing-masing terjatuh dari tangan dan paginya ponsel mereka sama-sama ngedrop!Dodi merasa sangat kesal karena tidak bisa mengirimi pesan atau melihat pesan chat dari Gita. Akhirnya berangkat kerja tanpa membawa ponsel.Gita juga demikian, terpaksa pergi mengajar meninggalkan ponselnya di rumah untuk dicas.Di tempat kerja, mereka tidak konsen.Saling memikirkan satu sama lain. Andai saja tadi ponsel bisa dibawa, setidaknya bisa berkirim chat, menanyakan kabar. Lagi ngapain? Udah makan belum?Duh, kasmaran!Sayangnya semalam lupa , seharusnya sambil di cas saja. Kan tidak sampai ngedrop?Saat Dodi pulang dari kerja, di jalan melihat kecelakaan. Sebuah mobil sedan menabrak seora
Anisa mengusir mereka dengan bercanda, "Sudah, jalan sana, nanti keburu magrib."Gita dan Dodi akhirnya berangkat menggunakan motor Anisa. Mereka berboncengan, menarik perhatian orang-orang di jalan karena penampilan mereka yang berbeda dari biasanya. Beberapa mencibir, tapi banyak juga yang memuji kecocokan mereka.Sesampainya di acara, suara musik orgen tunggal menyambut. Mereka disambut oleh tim penyambut tamu, dan beberapa orang langsung mengenali mereka, "Mbak Gita sama Mas Dodi? Wah, cocok banget!”Gita dan Dodi hanya tersenyum malu mendengar godaan-godaan itu. Setelah mengambil makanan, mereka duduk bersama dan menikmati hidangan. Sesekali mereka melirik satu sama lain dan tersenyum, tapi tidak bisa fokus karena hati mereka sama-sama berdebar.Setelah makan, Dodi mengajak Gita untuk memberikan amplop kepada pasangan pengantin. "Cepat menyusul kami ya!" ucap mempelai wanita, membuat Gita semakin tersipu."Kenapa semua orang berpikir kita pacaran?" tanya Gita saat mereka kembali
Penjelasan Gita diterima, dan beberapa siswa bahkan membuka platform novel online untuk memeriksa kebenarannya. Mereka akhirnya paham bahwa kehidupan Gita dan Anisa telah berubah berkat kerja keras Gita.Sejak saat itu, tak ada lagi yang menuduh atau membicarakan Anisa dan keluarganya. Kabar tentang Gita yang menjadi penulis menyebar, dan kehidupan mereka menjadi lebih damai. Tidak ada lagi tuduhan atau hinaan dari Cindy dan teman-temannya.Hari itu, Gita merasa sangat lelah setelah seharian membersihkan rumah bersama Anisa. Malam harinya, ia mengalami sakit kepala yang parah. Anisa khawatir melihat suhu tubuh kakaknya yang sangat panas."Mbak Gita sakit, ya? Badannya panas sekali!" seru Anisa.Gita mengeluh, "Kepala Mbak sakit, tubuh juga rasanya ngilu-ngilu."Anisa segera memberi tahu Bu Mila, yang panik. "Tunggu sebentar, Anisa. Biar nenek menemui Mbak Nita.""Biar Anisa saja, Nek. Nenek tungguin Mbak Gita," ujar Anisa, langsung berlari ke rumah Nita. Mendengar kabar itu, Nita dan
"Udah, jangan dilihat terus. Besok langsung dicoba aja," goda Nita, sambil tersenyum melihat Anisa yang terus memandangi motor barunya.Anisa tertawa kecil, benar-benar tidak menyangka dirinya bisa mendapatkan motor sebagus itu. Dia menoleh pada Gita, "Mbak Gita, terima kasih ya. Pasti mahal banget."Gita tersenyum dan menepuk tangan Anisa lembut, "Yang penting kamu senang, Anisa. Harga motor ini nggak ada apa-apanya dibanding kebahagiaan kamu.""Ya ampun, Mbak Gita! I love you deh!" Anisa memeluk kakaknya dengan rasa terima kasih."Makanya, jangan bandel. Kamu nggak kerja tapi dibeliin motor sama HP baru. Semangat belajar dan bantu-bantu di rumah, ya," Bu Mila mengingatkan."Siap, Nek! Anisa makin semangat," jawab Anisa riang, disambut tawa seluruh keluarga.Heru lalu berdiri, "Maaf, aku harus pulang. Toko nggak ada yang jaga lama-lama.""Aku juga pulang, nih," kata Nita sambil mengeluarkan kado kecil dari sakunya.Heru melihat kado itu dan tertawa, "Ya ampun, kado kamu kecil banget,
Karena Anisa memang adik yang pengertian, meskipun hatinya sedikit terluka oleh ucapan kakaknya, dia tidak berani menjawab. Anisa mencoba mengerti, mungkin kakaknya sedang banyak pikiran atau lelah, jadi dia memilih untuk diam saja.Kemudian, Anisa beranjak dari kamar Gita untuk mencari neneknya, tetapi tidak menemukannya. Dia lalu pergi ke dapur dan membuka tudung saji. Ternyata tidak ada makanan apapun di meja. Bahkan di magic com pun tidak ada nasi. Anisa mendengus kesal, lalu kembali ke kamar Gita."Mbak, nenek nggak masak ya? Nenek pergi kemana?" tanya Anisa lagi.Kakaknya terlihat kesal, lalu melemparkan guling ke arah Anisa."Kamu itu manja banget sih! Kamu kan bisa masak sendiri, masak mie, ceplok telor, atau apa gitu. Nggak usah terus ngandelin nenek. Nenek lagi pergi ke rumah Bude dari tadi pagi, jadi nggak sempat masak. Kamu aja yang masak nasi, sana!” ujar kakaknya.Anisa merasa sedih melihat perubahan kakaknya yang tiba-tiba menjadi pemarah. Namun, dia tidak berani memban
“Ya Allah, ternyata ini pekerjaan Mbak Gita yang jarang diketahui orang. Pantas saja Mbak bisa membeli ini itu dan mengubah ekonomi keluarga. Aku benar-benar tidak menyangka kalau Mbak bisa sehebat ini.”Gita mengangguk kemudian tersenyum kecil sambil melanjutkan untuk memberitahu Dodi tentang aplikasi-aplikasi novel miliknya.“Mungkin beberapa orang di kampung banyak yang membicarakan aku, tapi aku tidak mau peduli. Karena mereka juga tidak tahu apa yang aku lakukan sebenarnya. Yang terpenting bagiku adalah aku mencari pekerjaan secara halal dan ini merupakan anugerah serta rezeki dari Allah yang diberikan padaku. Aku telah diberi jalan untuk bisa mengubah ekonomi keluargaku.”Dodi mendongak, "Mungkin sebagian orang membicarakan keluarga Mbak karena mereka tidak tahu yang sebenarnya. Tapi benar kata Mbak, tidak usah dipedulikan. Bukankah Mbak tidak merugikan siapa-siapa? Mbak menulis dengan ide sendiri tanpa mengganggu orang lain.""Itulah yang sering dikatakan oleh Mbak Nita. Makany