Hana kembali sakit setelah tiga bulan terakhir tidak menjalani terapi karena sang malaikat telah pergi untuk selama-lamanya. Stevia dan Anindya memutus biaya terapi pengobatan Hana sehingga mau tidak mau, Vincent harus bekerja ekstra dengan menjadi pelayan di klub malam demi bisa membelikan obat untuk ibu angkatnya.
Cukuplah batuk berdarah dan adanya infeksi kelenjar itu jadi tanda jika ibu angkatnya butuh uang untuk segera operasi!
Vincent kembali menyemangati dirinya sendiri, menanamkan tekad kalau dia harus bisa menahan siksa demi siksa yang dilakukan Keluarga Tatumia, lebih-lebih Stevia.
Usai membanting ponsel, Vincent ingat, dia tadi diberi sebuah kartu hitam berlogokan sesuatu yang disepuh menggunakan tinta emas di ujung kirinya.
“Kartu emas ini,” lirih Vincent, tak henti-hentinya dia menatap kartu itu. “Sebentar, misal ini benar-benar prank dari Raul, tidak mungkin Raul memberi kartu mewah ini secara cuma-cuma. Mungkin apa yang diucap Raul ada benarnya, aku memang pewaris seluruh harta kekayaan Keluarga Ananta."
“Sial, kenapa aku bisa hilang ingatan seperti ini?!”
Namun, tak berselang lama, Stevia tiba-tiba keluar dari hotel, jalan cepat menuju mobil. “Cepat keluar! Nenek Rika minta kau masuk ke dalam hotel!”
Vincent gelagapan, kartu naga itu ada di tangannya. Cepat-cepat dia menyembunyikan kartu itu dari Stevia, tapi sepertinya Stevia sempat memperhatikannya dari pintu villa.
“Apa yang kau sembunyikan? Cepat jawab!”
“Ti-tidak ada, cuma sapu tangan bekas ngelap mobil tadi.” Vincent harus berbohong agar Stevia tidak curiga.
Vincent tidak langsung membukakan pintu mobil karena terlena dengan kecantikan Stevia.
“Oi, buka pintunya!” Stevia menggedor kaca mobil.
Baru saja menginjakkan kaki di hall utama hotel, tempat pesta berlangsung, Vincent langsung ditertawakan seluruh tamu undangan, tak terkecuali Anindya, ibu kandung Stevia.
“Eh, itu siapa? Tukang cuci piring, atau cleaning service bagian bersih-bersih lantai?”
“Lihat pakaiannya, kaos oblong putih sama celana hitam komprang! Dih, orang miskin emang bisa dilihat dari cara dia berpakaian.”
“Dia ganteng, lho, kekar pula! Hebat sekali Keluarga Tatumia punya tukang cuci piring seperti pria itu. Tapi ya, setampan apapun laki-laki, kalau tidak punya harta, ya percuma... sama saja sampah!”
Vincent tidak peduli dengan cemoohan, dia tetap melangkah, mengikuti ke mana Stevia pergi.
Sesampainya di salah satu ruangan mewah di ujung hall utama hotel, Vincent melihat seorang perempuan paruh baya duduk di atas kursi. Perempuan itu memandang tajam ke arahnya.
“Stevia, ini suamimu?!” Rika terbelalak begitu melihat Vincent.
“Cih ... mau ditaruh mana muka Keluarga Tatumia ketika semua miliarder tahu kau milih suami burik dan dekil sepertinya. Aku tidak mau tahu, ceraikan dia malam ini juga!”
Vincent diminta pulang jalan kaki, padahal jarak antara hotel dan villa keluarga Tatumia sangatlah jauh, butuh waktu satu jam lebih. Namun, karena tidak mau cari masalah dan masih ingin mengambil gaji terakhirnya jadi kontraktor, Vincent terpaksa menerima hal itu.
Malam ini, dia mengambil jatah libur di karaoke karena tubuhnya butuh istirahat.
Baru sempat memejamkan mata di villa, tiba-tiba Anindya datang dan menyiram Vincent dengan satu ember penuh air.
“Apa-apaan ini! Aku bilang apa, bersihin seluruh villa dari lantai satu sampai lantai tiga. Kamu malah bersihin lantai satu aja! Kamu ini, niat nggak sih buat jadi pembantu di keluarga Tatumia?!”
“Ma-maaf, Bu,” lirih Vincent.
“Ba Bu Ba Bu, jangan panggil aku Ibu, risih aku! Mending cepet bersihin, deh, sebelum Stevia sama pacar barunya datang. Bisa-bisa pacar baru Stevia beli kamu buat dijadiin budak seumur hidup!”
Vincent ingin marah, tapi tidak bisa.
Dengan tubuh yang hampir remuk, Vincent terpaksa membersihkan villa tiga lantai itu, lantas tidur pulas sampai matahari terbit.
Bangun pagi-pagi, Vincent langsung merapikan sisa-sisa makanan sekaligus mencuci piring yang habis digunakan pesta tadi malam. Ada beberapa orang sedang tidur di sofa ruang tengah, beberapa menggunakan rok mini dan para lelaki sudah mencopot kaosnya.
Vincent tidak mau berpikiran buruk.
Usai mencuci piring dan membereskan itu semua, Vincent mengambil semua botol wine yang tergeletak di mana-mana, mengepel lantai, lantas memotong rumput di halaman rumah. Semua itu dia lakukan karena terpaksa, demi bisa pergi dari villa itu sambil membawa gajinya sebagai pekerja kontraktor.
Sesaat kemudian, seorang lelaki keluar dari kamar Stevia.
“Oh, jadi kamu suami Stevia? Hmm, menarik juga. Tampan dan atletis. Tapi, percuma, wajah tampan kalau nggak punya uang bisa apa juga? Mending kamu cepat-cepat ceraiin Stevia, deh. Kasihan dia sama kamu, nggak bahagia sama sekali. Bisamu cuma apa? Kerja kontraktor sama pelayan klub malam, kan?”
“Bahagia perempuan itu hanya soal uang,” timpal Vincent.
“Heh, jaga mulutmu!?” Levy mencengkeram kerah baju Vincent karena telah berani menghina pacarnya. “Mulutmu bisa aku beli. Jangankan mulutmu, semua anggota badanmu bisa aku beli cash! Sekarang, cepat pergi, aku muak melihat wajahmu!”
“Ada apa, Sayang?” tanya Stevia dengan muka bantalnya. Tubuh gadis itu cuma terlilit handuk putih tebal, pertanda mereka telah melakukannya semalam.
“Oh, gembel ini bikin kamu marah pagi-pagi, emang ga punya malu, ga punya harga diri! Masih untung Papa mau bayarin operasi dia. Coba enggak, dia bisa mati kehabisan darah tiga tahun lalu! Cepat menyingkir! Pagi-pagi sudah bikin ribut, dasar miskin!?”
“Ta-tapi, kan, kita masih berstatus suami-istri sah...”
“Hah? Jangan bercanda! Sesuai perjanjian, kamu diizinkan tinggal di sini sampai pergantian bulan dengan catatan kamu bukan lagi anggota keluarga kami, melainkan pembantu yang gantiin tugas Bi Lijah sampai Bi Lijah balik ke sini!”
“Udah, nggak ada waktu urusin orang satu ini, mending kita mandi terus pergi ke bank buat urus pembayaran mobil Fortuner kamu. Buang-buang waktu aja!” ajak Levy, lantas menarik tangan Stevia masuk ke kamar.
Menyebut kata bank, Vincent teringat tentang kartu yang diberikan Raul sebelum perempuan cantik itu pergi meninggalkannya di depan kantor.
Cepat-cepat Vincent ganti pakaian dan berangkat menuju tempat kerjanya, lantas bersiap datang ke Bank Platina, sesuai arahan Raul. Tapi, dia harus siap mental karena pagi ini, dia pergi ke tempat kerja untuk mengambil gaji terakhir.
Vincent meneguk ludah, "Semoga ada kabar baik di tempat kerja nanti. Semoga tidak ada lagi cacian, cukup pagi ini saja!"
Di tempat kerja, seperti biasa, dia selalu direndahkan, dan di anak-tirikan. Berbeda dengan pegawai lain, Vincent selalu diperlakukan tidak layak.“Angkat sekopmu dan pindahkan semen yang berserakan! Gara-gara kamu, semua pekerja di sini ikut repot. Dasar tidak tahu diri, mending kamu kerja di bar jadi pelayan tante-tante!” seorang pekerja nampak memaki Vincent karena tidak fokus mengangkat sak semen hingga salah satunya jatuh.“Aku tidak mau tahu, jangan sampai gara-gara semenmu yang jatuh, kami juga ikut ganti rugi! Cepat, bayar 150 ribu untuk harga satu sak semen! Masih untung kami mau bantu kamu beresin, coba nggak, kamu bisa dipecat dari pekerjaan ini!”Vincent hanya diam. Dia masih berpikir keras apakah dirinya memang anak seorang bangsawan terkemuka, atau hanya seorang kuli bangunan kumuh.Usai menyelesaikan semuanya, Vincent tidak ambil jatah makan siang dan langsung pergi ke Bank Platina, berharap, dia bisa menemukan lokasi bank itu sebelum hari beranjak sore.“Aneh. Tumben-t
“Urusan?” satpam itu memandang Vincent sambil tersenyum. “Apa kamu tahu Bank Platina itu bank macam apa?” pandangannya menyorot penampilan Vincent yang sangat tidak senonoh. “Kamu bisa ada urusan apa di sini?”Sebagai penjaga keamanan Bank Platina, pria itu telah melihat berbagai macam nasabah bank tersebut. Ada yang datang ke bank untuk melakukan setoran, melakukan transfer, dan banyak lagi. Kesamaan yang dimiliki orang-orang tersebut adalah … pakaian mereka yang glamor serta kendaraan mewah yang mereka pakai. Tak ada barang tak bermerek yang melekat di tubuh para nasabah itu.Lalu, bagaimana dengan Vincent?Vincent baru saja keluar dari lokasi konstruksi, seluruh tubuhnya kotor, rambutnya berlumuran abu semen dan wajahnya terlihat kusam. Lihat saja pakaiannya! Rompi putih terlihat termakan usia dan mulai menghitam, sepatu yang dia pakai saja sudah begitu usang! Kalau ada yang bilang Vincent adalah seorang pengemis, maka penjaga keamanan itu akan percaya! Lalu, bisakah orang semacam
“Kerja itu yang becus, jangan cuma bengong terus ngeliatin temen-temenmu angkatin semen!?”“Ta-tapi, Pak, saya sudah bekerja dari jam tujuh tadi dan belum ambil jatah istirahat makan siang sama sekali. Sedangkan mereka, sudah ambil lebih dulu jam satu siang tadi. Saya belum makan, Pak, saya capek.”“Masabodo! Cepat kerja, dari pada kamu dipecat!?”Vincent, pria jangkung nan tampan, nampak mengelap peluh keringatnya setelah bekerja setengah hari penuh. Tapi, bosnya tidak peduli ketika dia ingin ambil jatah istirahat makan siang. Dia terlihat menyedihkan. Topi capil yang sudah usang, juga rompi yang mulai koyak merupakan pakaiannya ketika bekerja.Otot kekar terpampang jelas di tangannya yang sedikit terbuka menggunakan rompi, terlebih ketika dia berjalan menuju tumpukan semen dan mengangkatnya, lima sekaligus.Ini adalah tugas tim kontruksinya, memindahkan semen dari tiga truk besar ke dekat tempat kontruksi bangunan berlangsung. Setiap pekerja dijatah mengangkat 50 kantung semen, tapi
Vincent fokus menyelesaikan seluruh pekerjaannya dan mengambil jatah istirahat makan siang, lantas kembali dengan pakaian penuh debu dan bercak semen yang habis tercampur dengan air.Dalam hatinya, ada sedikit rasa percaya kalau apa yang dikatakan wanita itu adalah fakta. Pasalnya, dengan perawakan atletis dan wajah tampan, harusnya dia merupakan anak orang kaya. Apalagi saat dia pertama bekerja sebagai kuli bangunan, badannya gatal-gatal karena debu dan dempulan semen yang terciprat ke wajah.“Ah, sial. Ini membingungkan,” gerutunya.Sekembalinya dari kantor kontruksi, Vincent berjalan menuju sebuah komplek mewah di sekitaran kota JC.Seperti biasa, satpam komplek menghinanya karena menganggap Vincent beruntung telah jadi suami kontrak Keluarga Tatumia.“Cih, si miskin sudah pulang. Mampus, kamu cuma dimanfaatin di sana!? Cerai aja, deh, dari pada hidupmu makin tersiksa,” ujar Joko, sopir salah satu keluarga terkaya di komplek itu. Dia sedang bincang santai dengan para satpam.Vincen
“Masih mau nawar? Dasar tidak tahu diri!?” Anindya menampar Vincent.“Apapun akan kulakukan asal aku diberi jatah waktu sampai pergantian bulan untuk tinggal di sini.”“Hmm, tawaran yang menarik,” ujar Anindya sambil memanggutkan kepala. “Kamu boleh tinggal di sini selama pergantian bulan, toh asisten rumah tanggaku sedang ambil cuti karena harus pulang kampung seminggu. Tapi, dengan syarat, kamu harus tidur di gudang, bersihin satu villa sehari dua kali, buatin kami makan, juga memotong seluruh rumput di halaman. Aku tidak mau tahu, setelah Bi Yusna kembali ke villa, barang-barangmu harus sudah dikemas dan kamu harus pergi saat itu juga. Bagaimana, kamu sanggup?”“Tukang kebun ke mana? Kenapa harus aku yang memotong rumput?”“Sanggup apa nggak?!” Anindya kembali membentak. “Misal nggak sanggup, silakan tanda-tangani surat cerai dan pergi dari sini!”“Sepakat,” pungkas Vincent, yang tidak mau dipusingkan lagi dengan omelan Anindya.“Oke, aku tinggal ke kantor sebentar. Sampai aku bali
“Semua yang aku bilang barusan itu bukan bualan. Bukti nyatanya ada. Tim intel pusat Ananta sudah coba mencari berkas-berkas di tiap CCTV dan koran-koran selama tiga tahun terakhir. Dan, kita menemukan sebuah tragedi yang sangat persis seperti mobil yang kamu tumpangi.”“Aku ingat betul, waktu itu, kamu sedang mencari tumpangan untuk menghadiri meeting di Australia. Seseorang menjemputmu, dan ternyata itu cuma jebakan. Ada komplotan yang ingin bunuh kamu, mereka adalah organisasi Black Mamba. Selain bunuh kamu, mereka juga mengincar nyawa seorang gadis bernama Wendy, anak sulung dari Keluarga Bramasta. Bramasta juga rekan kerja ayahmu. Bramasta sempat membuat kegaduhan yang memancing amarah Black Mamba. Kumohon, kembalilah!"“Mereka sengaja menculikmu dan ingin membunuhmu, tapi untungnya, kamu berhasil kabur, lalu melarikan diri ke Indonesia. Tapi, pengejaran tidak cukup di situ...”Raul menarik nafas dalam, selaras kemudian, melanjutkan ceritanya.“Di pinggiran kota FY, mereka berhas
Stevia sempat mencekik leher Vincent hingga pria itu susah nafas. Mobil yang mereka tunggangi meliuk-liuk di jalan raya. Karena takut, Stevia akhirnya melepas cekikan itu.“Budak dekil, ingat ya, jika sampai perbincangan tadi diketahui salah satu pegawai kantor, aku tidak segan menendangmu keluar dari Keluarga Tatumia, mengusirmu secara tidak hormat, lalu membakar semua pakaian yang kau bawa!”“Aku bisa jelaskan semuanya...” Vincent menganggap Stevia cemburu dengan kelakuannya, padahal nyatanya tidak.Stevia sama sekali tidak cemburu, dia malah senang melihat Vincent berbincang dengan gadis tadi. Itu bisa dia jadikan alasan untuk menceraikan Vincent, lantas cepat-cepat menikahi Steve.Pletak!Stevia kembali mengayunkan ponselnya ke kepala belakang Vincent, membuat lelaki itu merintih hingga akhirnya diam tak berani bicara.Vincent berusaha tegar, matanya tetap fokus pada jalan raya, tapi hatinya rapuh, pecah jadi beberapa bagian. Bagai kaca yang dibanting ke tanah, kurang lebih sepert
“Urusan?” satpam itu memandang Vincent sambil tersenyum. “Apa kamu tahu Bank Platina itu bank macam apa?” pandangannya menyorot penampilan Vincent yang sangat tidak senonoh. “Kamu bisa ada urusan apa di sini?”Sebagai penjaga keamanan Bank Platina, pria itu telah melihat berbagai macam nasabah bank tersebut. Ada yang datang ke bank untuk melakukan setoran, melakukan transfer, dan banyak lagi. Kesamaan yang dimiliki orang-orang tersebut adalah … pakaian mereka yang glamor serta kendaraan mewah yang mereka pakai. Tak ada barang tak bermerek yang melekat di tubuh para nasabah itu.Lalu, bagaimana dengan Vincent?Vincent baru saja keluar dari lokasi konstruksi, seluruh tubuhnya kotor, rambutnya berlumuran abu semen dan wajahnya terlihat kusam. Lihat saja pakaiannya! Rompi putih terlihat termakan usia dan mulai menghitam, sepatu yang dia pakai saja sudah begitu usang! Kalau ada yang bilang Vincent adalah seorang pengemis, maka penjaga keamanan itu akan percaya! Lalu, bisakah orang semacam
Di tempat kerja, seperti biasa, dia selalu direndahkan, dan di anak-tirikan. Berbeda dengan pegawai lain, Vincent selalu diperlakukan tidak layak.“Angkat sekopmu dan pindahkan semen yang berserakan! Gara-gara kamu, semua pekerja di sini ikut repot. Dasar tidak tahu diri, mending kamu kerja di bar jadi pelayan tante-tante!” seorang pekerja nampak memaki Vincent karena tidak fokus mengangkat sak semen hingga salah satunya jatuh.“Aku tidak mau tahu, jangan sampai gara-gara semenmu yang jatuh, kami juga ikut ganti rugi! Cepat, bayar 150 ribu untuk harga satu sak semen! Masih untung kami mau bantu kamu beresin, coba nggak, kamu bisa dipecat dari pekerjaan ini!”Vincent hanya diam. Dia masih berpikir keras apakah dirinya memang anak seorang bangsawan terkemuka, atau hanya seorang kuli bangunan kumuh.Usai menyelesaikan semuanya, Vincent tidak ambil jatah makan siang dan langsung pergi ke Bank Platina, berharap, dia bisa menemukan lokasi bank itu sebelum hari beranjak sore.“Aneh. Tumben-t
Hana kembali sakit setelah tiga bulan terakhir tidak menjalani terapi karena sang malaikat telah pergi untuk selama-lamanya. Stevia dan Anindya memutus biaya terapi pengobatan Hana sehingga mau tidak mau, Vincent harus bekerja ekstra dengan menjadi pelayan di klub malam demi bisa membelikan obat untuk ibu angkatnya.Cukuplah batuk berdarah dan adanya infeksi kelenjar itu jadi tanda jika ibu angkatnya butuh uang untuk segera operasi!Vincent kembali menyemangati dirinya sendiri, menanamkan tekad kalau dia harus bisa menahan siksa demi siksa yang dilakukan Keluarga Tatumia, lebih-lebih Stevia.Usai membanting ponsel, Vincent ingat, dia tadi diberi sebuah kartu hitam berlogokan sesuatu yang disepuh menggunakan tinta emas di ujung kirinya.“Kartu emas ini,” lirih Vincent, tak henti-hentinya dia menatap kartu itu. “Sebentar, misal ini benar-benar prank dari Raul, tidak mungkin Raul memberi kartu mewah ini secara cuma-cuma. Mungkin apa yang diucap Raul ada benarnya, aku memang pewaris selur
Stevia sempat mencekik leher Vincent hingga pria itu susah nafas. Mobil yang mereka tunggangi meliuk-liuk di jalan raya. Karena takut, Stevia akhirnya melepas cekikan itu.“Budak dekil, ingat ya, jika sampai perbincangan tadi diketahui salah satu pegawai kantor, aku tidak segan menendangmu keluar dari Keluarga Tatumia, mengusirmu secara tidak hormat, lalu membakar semua pakaian yang kau bawa!”“Aku bisa jelaskan semuanya...” Vincent menganggap Stevia cemburu dengan kelakuannya, padahal nyatanya tidak.Stevia sama sekali tidak cemburu, dia malah senang melihat Vincent berbincang dengan gadis tadi. Itu bisa dia jadikan alasan untuk menceraikan Vincent, lantas cepat-cepat menikahi Steve.Pletak!Stevia kembali mengayunkan ponselnya ke kepala belakang Vincent, membuat lelaki itu merintih hingga akhirnya diam tak berani bicara.Vincent berusaha tegar, matanya tetap fokus pada jalan raya, tapi hatinya rapuh, pecah jadi beberapa bagian. Bagai kaca yang dibanting ke tanah, kurang lebih sepert
“Semua yang aku bilang barusan itu bukan bualan. Bukti nyatanya ada. Tim intel pusat Ananta sudah coba mencari berkas-berkas di tiap CCTV dan koran-koran selama tiga tahun terakhir. Dan, kita menemukan sebuah tragedi yang sangat persis seperti mobil yang kamu tumpangi.”“Aku ingat betul, waktu itu, kamu sedang mencari tumpangan untuk menghadiri meeting di Australia. Seseorang menjemputmu, dan ternyata itu cuma jebakan. Ada komplotan yang ingin bunuh kamu, mereka adalah organisasi Black Mamba. Selain bunuh kamu, mereka juga mengincar nyawa seorang gadis bernama Wendy, anak sulung dari Keluarga Bramasta. Bramasta juga rekan kerja ayahmu. Bramasta sempat membuat kegaduhan yang memancing amarah Black Mamba. Kumohon, kembalilah!"“Mereka sengaja menculikmu dan ingin membunuhmu, tapi untungnya, kamu berhasil kabur, lalu melarikan diri ke Indonesia. Tapi, pengejaran tidak cukup di situ...”Raul menarik nafas dalam, selaras kemudian, melanjutkan ceritanya.“Di pinggiran kota FY, mereka berhas
“Masih mau nawar? Dasar tidak tahu diri!?” Anindya menampar Vincent.“Apapun akan kulakukan asal aku diberi jatah waktu sampai pergantian bulan untuk tinggal di sini.”“Hmm, tawaran yang menarik,” ujar Anindya sambil memanggutkan kepala. “Kamu boleh tinggal di sini selama pergantian bulan, toh asisten rumah tanggaku sedang ambil cuti karena harus pulang kampung seminggu. Tapi, dengan syarat, kamu harus tidur di gudang, bersihin satu villa sehari dua kali, buatin kami makan, juga memotong seluruh rumput di halaman. Aku tidak mau tahu, setelah Bi Yusna kembali ke villa, barang-barangmu harus sudah dikemas dan kamu harus pergi saat itu juga. Bagaimana, kamu sanggup?”“Tukang kebun ke mana? Kenapa harus aku yang memotong rumput?”“Sanggup apa nggak?!” Anindya kembali membentak. “Misal nggak sanggup, silakan tanda-tangani surat cerai dan pergi dari sini!”“Sepakat,” pungkas Vincent, yang tidak mau dipusingkan lagi dengan omelan Anindya.“Oke, aku tinggal ke kantor sebentar. Sampai aku bali
Vincent fokus menyelesaikan seluruh pekerjaannya dan mengambil jatah istirahat makan siang, lantas kembali dengan pakaian penuh debu dan bercak semen yang habis tercampur dengan air.Dalam hatinya, ada sedikit rasa percaya kalau apa yang dikatakan wanita itu adalah fakta. Pasalnya, dengan perawakan atletis dan wajah tampan, harusnya dia merupakan anak orang kaya. Apalagi saat dia pertama bekerja sebagai kuli bangunan, badannya gatal-gatal karena debu dan dempulan semen yang terciprat ke wajah.“Ah, sial. Ini membingungkan,” gerutunya.Sekembalinya dari kantor kontruksi, Vincent berjalan menuju sebuah komplek mewah di sekitaran kota JC.Seperti biasa, satpam komplek menghinanya karena menganggap Vincent beruntung telah jadi suami kontrak Keluarga Tatumia.“Cih, si miskin sudah pulang. Mampus, kamu cuma dimanfaatin di sana!? Cerai aja, deh, dari pada hidupmu makin tersiksa,” ujar Joko, sopir salah satu keluarga terkaya di komplek itu. Dia sedang bincang santai dengan para satpam.Vincen
“Kerja itu yang becus, jangan cuma bengong terus ngeliatin temen-temenmu angkatin semen!?”“Ta-tapi, Pak, saya sudah bekerja dari jam tujuh tadi dan belum ambil jatah istirahat makan siang sama sekali. Sedangkan mereka, sudah ambil lebih dulu jam satu siang tadi. Saya belum makan, Pak, saya capek.”“Masabodo! Cepat kerja, dari pada kamu dipecat!?”Vincent, pria jangkung nan tampan, nampak mengelap peluh keringatnya setelah bekerja setengah hari penuh. Tapi, bosnya tidak peduli ketika dia ingin ambil jatah istirahat makan siang. Dia terlihat menyedihkan. Topi capil yang sudah usang, juga rompi yang mulai koyak merupakan pakaiannya ketika bekerja.Otot kekar terpampang jelas di tangannya yang sedikit terbuka menggunakan rompi, terlebih ketika dia berjalan menuju tumpukan semen dan mengangkatnya, lima sekaligus.Ini adalah tugas tim kontruksinya, memindahkan semen dari tiga truk besar ke dekat tempat kontruksi bangunan berlangsung. Setiap pekerja dijatah mengangkat 50 kantung semen, tapi