Stevia sempat mencekik leher Vincent hingga pria itu susah nafas. Mobil yang mereka tunggangi meliuk-liuk di jalan raya. Karena takut, Stevia akhirnya melepas cekikan itu.
“Budak dekil, ingat ya, jika sampai perbincangan tadi diketahui salah satu pegawai kantor, aku tidak segan menendangmu keluar dari Keluarga Tatumia, mengusirmu secara tidak hormat, lalu membakar semua pakaian yang kau bawa!”
“Aku bisa jelaskan semuanya...” Vincent menganggap Stevia cemburu dengan kelakuannya, padahal nyatanya tidak.
Stevia sama sekali tidak cemburu, dia malah senang melihat Vincent berbincang dengan gadis tadi. Itu bisa dia jadikan alasan untuk menceraikan Vincent, lantas cepat-cepat menikahi Steve.
Pletak!
Stevia kembali mengayunkan ponselnya ke kepala belakang Vincent, membuat lelaki itu merintih hingga akhirnya diam tak berani bicara.
Vincent berusaha tegar, matanya tetap fokus pada jalan raya, tapi hatinya rapuh, pecah jadi beberapa bagian. Bagai kaca yang dibanting ke tanah, kurang lebih seperti itulah gambaran hati Vincent. Dia masih menunggu Stevia menjabarkan tiga kesalahan yang baru saja dia lakukan.
Vincent merintih, dia tidak menyangka Stevia setega ini menyiksanya, bahkan memperlakukannya bagai budak belia. Tapi rasanya percuma dia merintih, Stevia tidak akan pernah menghentikan siksaan ini.
“Aku tidak butuh pembelaanmu, cukup diam dan dengarkan omonganku! Suami kontrak sepertimu tidak pantas mencari pembelaan. Diam kau, dasar budak keluarga!” Stevia terus-terusan berkicau, tapi Vincent tidak menghiraukannya.
Meski wajahnya risau, Vincent tetap melihat spion atas, menatap wajah Stevia lekat-lekat.
“Ternyata Stevia makin cantik kalau lagi marah,” gerutunya, lantas tersenyum.
Untuk kesekian kalinya, dia terpesona dengan kecantikan Stevia.
Sebelum mobil berbelok, Stevia kembali mencerca Vincent dengan suara lantangnya. “Dan ini adalah pelanggaran paling parah, kau bertingkah seolah kau adalah suami sahku. Sekarang aku minta cerai! Lebih baik kau nikahi perempuan tadi!”
“Tidak bisa!” Vincent seketika terpancing emosi.
Pletak!
Entah keberapa kalinya kepala Vincent dihantam ponsel Stevia, dia terus diam, meskipun hatinya panas, ingin membalas perlakuan Stevia yang sudah kelewat batas.
“Gembel dekil mending diam, deh!” Stevia terus memarahi Vincent sampai mobil masuk ke sebuah komplek villa mewah.
Vincent sudah terlanjur cinta dengan Stevia, dia bahkan rela disakiti fisik selama bisa jadi bagian dari Keluarga Tatumia.
Dibilang bodoh, Vincent memang bodoh, tapi begitulah cinta.
Cinta memang buta, dan salah satu yang dibutakan akibat cinta adalah Vincent. Meski berulang kali disakiti Keluarga Tatumia, lebih-lebih Stevia, dia tidak pernah sedikitpun memarahi Stevia karena terlampau menyayangi gadis cantik itu.
Rasa yang diberikan Vincent begitu tulus, meski balasan yang didapat tidak sesuai ekspektasi.
Sesampainya di villa mewah milik Keluarga Tatumia, Vincent ingin segera mandi dan ganti baju karena baju yang dia kenakan adalah baju bekas siraman air bah.
Baru saja dia menginjakkan kaki di halaman depan villa, Stevia langsung melempar parfum beserta kaos putih kasual. Jadi sopir keluarga kaya juga harus memperhatikan pakaian, tidak semata-mata menggunakan kaos oblong dan celana komprang.
“Nggak usah masuk rumah, bikin bau aja! Orang sepertimu cukup pakai parfum tiga puluh ribuan sama kaos oblong ini. Toh dirimu datang sebagai sopir, bukan tamu undangan pesta.” Stevia melempar kaos yang akan dikenakan Vincent.
Vincent merunduk, meratapi nasibnya sebagai suami kontrak sekaligus pembantu Keluarga Tatumia.
Andai dia menerima tawaran Raul tadi sore, dia sudah hengkang dari keluarga keji ini dan menjadi salah satu tentara paling disegani.
Tapi akal Vincent belum sepenuhnya menerima apa yang dikatakan Raul, dia masih yakin kalau itu cuma prank.
“Oh ya,” kata Stevia, langkahnya terhenti. “Itu rumput di halaman depan masih belum dipotong. Sebelum ganti baju, jangan lupa potong rumput di sana. Nggak enak dipandang, sama sepertimu!”
Dengan perasaan kesal, Vincent mengambil parfum, kaos oblong, dan mesin pemotong rumput yang ada di dekat pintu masuk villa.
Tidak perlu waktu lama Vincent menghabiskan rumput-rumput yang menjulang tinggi di halaman, dia lantas ganti pakaian di balik rimbunan semak halaman villa Keluarga Tatumia.
Bersama seluruh anggota Keluarga Tatumia, Vincent mengendarai mobil mercy putih dan berangkat menuju Hotel Lunar, salah satu hotel paling mewah di ibukota.
Vincent diminta parkir di parkiran VVIP hotel. Dia membuka pintu, tapi sepatu Stevia bergerak cepat menginjak kaki kanannya.
“Sshh,” Vincent mendesis, tapi Stevia tidak peduli.
“Kau tidak pernah diajarkan tentang sopan santun?! Tidak pernah ada dalam sejarah, pembantu jalan berdampingan dengan majikan! Saat ini kau harus bertingkah layaknya sopir pribadi Keluarga Tatumia, tidak lebih.”
Anindya mendekati Vincent, lalu mendorongnya sampai pria itu terbentur pintu atas mobil.
“Kau itu sopir, kau tidak perlu masuk ke dalam hotel! Sukanya bikin malu keluarga, masih untung kita mau bantu biaya operasimu dan perawatan ibumu. Kalau nggak, ibumu nggak lama lagi mati karena kau nggak punya uang buat biaya operasi!”
Vincent menunggu di dalam mobil, meratapi nasibnya yang begitu hina. Dia bingung harus bagaimana. Ucapan Anindya mengingatkannya pada Hana.
“Ibu gimana kabarnya?” lirih Vincent dari ujung telepon.
“Ibu baik-baik saja, Vin, kamu gimana di sana? Keluarga Tatumia menganggap kamu bagian dari keluarga, kan?”
“Mereka berting-” Vincent berhenti sejenak, memastikan suara yang ada di ujung telepon.
“Uhuk... uhuk...”
Vincent mendengar suara bantingan ponsel di ujung telepon. Dia berulang kali meneriaki Hana, tapi tak kunjung mendapat jawaban. Hingga akhirnya, ada wanita lain yang cepat-cepat mengambil telepon. Langkah kakinya berderap cepat meninggalkan ruangan.
Dalam harap-harap cemas, Vincent meneguk ludah sembari memastikan apakah telinganya tidak salah dengar.
"Saudara Vincent, benar?" tanya wanita itu.
"Benar, ini aku, anak angkat Ibu Hana. Ada apa dengan ibuku? Cepat katakan!"
"Sebelumnya, saya izin memperkenalkan diri. Nama saya Rima, dokter pribadi yang disewa mendiang Tuan Micky untuk menangani penyakit ibu Anda. Saya hanya ingin menjelaskan kalau ibu Anda sedang mengalami kondisi kritis dan kami harus melakukan operasi pengangkatan kelenjar penyakitnya."
"Dok, yang benar saja?! Ibuku kritis? Ini bukan candaan, kan?" Vincent gelagapan, matanya merah.
"Tenangkan diri Anda, Tuan, kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk ibu Anda. Namun, sebelum itu, kami hanya bisa melakukan pertolongan pertama. Operasi akan kami lakukan setelah Anda menyelesaikan biaya admininstrasi rumah sakit."
"Sialan!" Vincent tidak bisa berbuat banyak. "Jadi, Dokter lebih memilih uang dari pada menyelamatkan nyawa ibuku, ha?"
"Sekali lagi mohon maaf, Tuan, ini sudah prosedur."
"Baddjingan!!!" Vincent membanting ponselnya sampai layarnya rusak. Yang bisa dia harapkan hanyalah gaji terakhirnya sebagai kuli bangunan. Semoga, semoga saja uang itu cukup untuk melunasi biaya operasi ibu angkatnya.
Hana kembali sakit setelah tiga bulan terakhir tidak menjalani terapi karena sang malaikat telah pergi untuk selama-lamanya. Stevia dan Anindya memutus biaya terapi pengobatan Hana sehingga mau tidak mau, Vincent harus bekerja ekstra dengan menjadi pelayan di klub malam demi bisa membelikan obat untuk ibu angkatnya.Cukuplah batuk berdarah dan adanya infeksi kelenjar itu jadi tanda jika ibu angkatnya butuh uang untuk segera operasi!Vincent kembali menyemangati dirinya sendiri, menanamkan tekad kalau dia harus bisa menahan siksa demi siksa yang dilakukan Keluarga Tatumia, lebih-lebih Stevia.Usai membanting ponsel, Vincent ingat, dia tadi diberi sebuah kartu hitam berlogokan sesuatu yang disepuh menggunakan tinta emas di ujung kirinya.“Kartu emas ini,” lirih Vincent, tak henti-hentinya dia menatap kartu itu. “Sebentar, misal ini benar-benar prank dari Raul, tidak mungkin Raul memberi kartu mewah ini secara cuma-cuma. Mungkin apa yang diucap Raul ada benarnya, aku memang pewaris selur
Di tempat kerja, seperti biasa, dia selalu direndahkan, dan di anak-tirikan. Berbeda dengan pegawai lain, Vincent selalu diperlakukan tidak layak.“Angkat sekopmu dan pindahkan semen yang berserakan! Gara-gara kamu, semua pekerja di sini ikut repot. Dasar tidak tahu diri, mending kamu kerja di bar jadi pelayan tante-tante!” seorang pekerja nampak memaki Vincent karena tidak fokus mengangkat sak semen hingga salah satunya jatuh.“Aku tidak mau tahu, jangan sampai gara-gara semenmu yang jatuh, kami juga ikut ganti rugi! Cepat, bayar 150 ribu untuk harga satu sak semen! Masih untung kami mau bantu kamu beresin, coba nggak, kamu bisa dipecat dari pekerjaan ini!”Vincent hanya diam. Dia masih berpikir keras apakah dirinya memang anak seorang bangsawan terkemuka, atau hanya seorang kuli bangunan kumuh.Usai menyelesaikan semuanya, Vincent tidak ambil jatah makan siang dan langsung pergi ke Bank Platina, berharap, dia bisa menemukan lokasi bank itu sebelum hari beranjak sore.“Aneh. Tumben-t
“Urusan?” satpam itu memandang Vincent sambil tersenyum. “Apa kamu tahu Bank Platina itu bank macam apa?” pandangannya menyorot penampilan Vincent yang sangat tidak senonoh. “Kamu bisa ada urusan apa di sini?”Sebagai penjaga keamanan Bank Platina, pria itu telah melihat berbagai macam nasabah bank tersebut. Ada yang datang ke bank untuk melakukan setoran, melakukan transfer, dan banyak lagi. Kesamaan yang dimiliki orang-orang tersebut adalah … pakaian mereka yang glamor serta kendaraan mewah yang mereka pakai. Tak ada barang tak bermerek yang melekat di tubuh para nasabah itu.Lalu, bagaimana dengan Vincent?Vincent baru saja keluar dari lokasi konstruksi, seluruh tubuhnya kotor, rambutnya berlumuran abu semen dan wajahnya terlihat kusam. Lihat saja pakaiannya! Rompi putih terlihat termakan usia dan mulai menghitam, sepatu yang dia pakai saja sudah begitu usang! Kalau ada yang bilang Vincent adalah seorang pengemis, maka penjaga keamanan itu akan percaya! Lalu, bisakah orang semacam
“Kerja itu yang becus, jangan cuma bengong terus ngeliatin temen-temenmu angkatin semen!?”“Ta-tapi, Pak, saya sudah bekerja dari jam tujuh tadi dan belum ambil jatah istirahat makan siang sama sekali. Sedangkan mereka, sudah ambil lebih dulu jam satu siang tadi. Saya belum makan, Pak, saya capek.”“Masabodo! Cepat kerja, dari pada kamu dipecat!?”Vincent, pria jangkung nan tampan, nampak mengelap peluh keringatnya setelah bekerja setengah hari penuh. Tapi, bosnya tidak peduli ketika dia ingin ambil jatah istirahat makan siang. Dia terlihat menyedihkan. Topi capil yang sudah usang, juga rompi yang mulai koyak merupakan pakaiannya ketika bekerja.Otot kekar terpampang jelas di tangannya yang sedikit terbuka menggunakan rompi, terlebih ketika dia berjalan menuju tumpukan semen dan mengangkatnya, lima sekaligus.Ini adalah tugas tim kontruksinya, memindahkan semen dari tiga truk besar ke dekat tempat kontruksi bangunan berlangsung. Setiap pekerja dijatah mengangkat 50 kantung semen, tapi
Vincent fokus menyelesaikan seluruh pekerjaannya dan mengambil jatah istirahat makan siang, lantas kembali dengan pakaian penuh debu dan bercak semen yang habis tercampur dengan air.Dalam hatinya, ada sedikit rasa percaya kalau apa yang dikatakan wanita itu adalah fakta. Pasalnya, dengan perawakan atletis dan wajah tampan, harusnya dia merupakan anak orang kaya. Apalagi saat dia pertama bekerja sebagai kuli bangunan, badannya gatal-gatal karena debu dan dempulan semen yang terciprat ke wajah.“Ah, sial. Ini membingungkan,” gerutunya.Sekembalinya dari kantor kontruksi, Vincent berjalan menuju sebuah komplek mewah di sekitaran kota JC.Seperti biasa, satpam komplek menghinanya karena menganggap Vincent beruntung telah jadi suami kontrak Keluarga Tatumia.“Cih, si miskin sudah pulang. Mampus, kamu cuma dimanfaatin di sana!? Cerai aja, deh, dari pada hidupmu makin tersiksa,” ujar Joko, sopir salah satu keluarga terkaya di komplek itu. Dia sedang bincang santai dengan para satpam.Vincen
“Masih mau nawar? Dasar tidak tahu diri!?” Anindya menampar Vincent.“Apapun akan kulakukan asal aku diberi jatah waktu sampai pergantian bulan untuk tinggal di sini.”“Hmm, tawaran yang menarik,” ujar Anindya sambil memanggutkan kepala. “Kamu boleh tinggal di sini selama pergantian bulan, toh asisten rumah tanggaku sedang ambil cuti karena harus pulang kampung seminggu. Tapi, dengan syarat, kamu harus tidur di gudang, bersihin satu villa sehari dua kali, buatin kami makan, juga memotong seluruh rumput di halaman. Aku tidak mau tahu, setelah Bi Yusna kembali ke villa, barang-barangmu harus sudah dikemas dan kamu harus pergi saat itu juga. Bagaimana, kamu sanggup?”“Tukang kebun ke mana? Kenapa harus aku yang memotong rumput?”“Sanggup apa nggak?!” Anindya kembali membentak. “Misal nggak sanggup, silakan tanda-tangani surat cerai dan pergi dari sini!”“Sepakat,” pungkas Vincent, yang tidak mau dipusingkan lagi dengan omelan Anindya.“Oke, aku tinggal ke kantor sebentar. Sampai aku bali
“Semua yang aku bilang barusan itu bukan bualan. Bukti nyatanya ada. Tim intel pusat Ananta sudah coba mencari berkas-berkas di tiap CCTV dan koran-koran selama tiga tahun terakhir. Dan, kita menemukan sebuah tragedi yang sangat persis seperti mobil yang kamu tumpangi.”“Aku ingat betul, waktu itu, kamu sedang mencari tumpangan untuk menghadiri meeting di Australia. Seseorang menjemputmu, dan ternyata itu cuma jebakan. Ada komplotan yang ingin bunuh kamu, mereka adalah organisasi Black Mamba. Selain bunuh kamu, mereka juga mengincar nyawa seorang gadis bernama Wendy, anak sulung dari Keluarga Bramasta. Bramasta juga rekan kerja ayahmu. Bramasta sempat membuat kegaduhan yang memancing amarah Black Mamba. Kumohon, kembalilah!"“Mereka sengaja menculikmu dan ingin membunuhmu, tapi untungnya, kamu berhasil kabur, lalu melarikan diri ke Indonesia. Tapi, pengejaran tidak cukup di situ...”Raul menarik nafas dalam, selaras kemudian, melanjutkan ceritanya.“Di pinggiran kota FY, mereka berhas
“Urusan?” satpam itu memandang Vincent sambil tersenyum. “Apa kamu tahu Bank Platina itu bank macam apa?” pandangannya menyorot penampilan Vincent yang sangat tidak senonoh. “Kamu bisa ada urusan apa di sini?”Sebagai penjaga keamanan Bank Platina, pria itu telah melihat berbagai macam nasabah bank tersebut. Ada yang datang ke bank untuk melakukan setoran, melakukan transfer, dan banyak lagi. Kesamaan yang dimiliki orang-orang tersebut adalah … pakaian mereka yang glamor serta kendaraan mewah yang mereka pakai. Tak ada barang tak bermerek yang melekat di tubuh para nasabah itu.Lalu, bagaimana dengan Vincent?Vincent baru saja keluar dari lokasi konstruksi, seluruh tubuhnya kotor, rambutnya berlumuran abu semen dan wajahnya terlihat kusam. Lihat saja pakaiannya! Rompi putih terlihat termakan usia dan mulai menghitam, sepatu yang dia pakai saja sudah begitu usang! Kalau ada yang bilang Vincent adalah seorang pengemis, maka penjaga keamanan itu akan percaya! Lalu, bisakah orang semacam
Di tempat kerja, seperti biasa, dia selalu direndahkan, dan di anak-tirikan. Berbeda dengan pegawai lain, Vincent selalu diperlakukan tidak layak.“Angkat sekopmu dan pindahkan semen yang berserakan! Gara-gara kamu, semua pekerja di sini ikut repot. Dasar tidak tahu diri, mending kamu kerja di bar jadi pelayan tante-tante!” seorang pekerja nampak memaki Vincent karena tidak fokus mengangkat sak semen hingga salah satunya jatuh.“Aku tidak mau tahu, jangan sampai gara-gara semenmu yang jatuh, kami juga ikut ganti rugi! Cepat, bayar 150 ribu untuk harga satu sak semen! Masih untung kami mau bantu kamu beresin, coba nggak, kamu bisa dipecat dari pekerjaan ini!”Vincent hanya diam. Dia masih berpikir keras apakah dirinya memang anak seorang bangsawan terkemuka, atau hanya seorang kuli bangunan kumuh.Usai menyelesaikan semuanya, Vincent tidak ambil jatah makan siang dan langsung pergi ke Bank Platina, berharap, dia bisa menemukan lokasi bank itu sebelum hari beranjak sore.“Aneh. Tumben-t
Hana kembali sakit setelah tiga bulan terakhir tidak menjalani terapi karena sang malaikat telah pergi untuk selama-lamanya. Stevia dan Anindya memutus biaya terapi pengobatan Hana sehingga mau tidak mau, Vincent harus bekerja ekstra dengan menjadi pelayan di klub malam demi bisa membelikan obat untuk ibu angkatnya.Cukuplah batuk berdarah dan adanya infeksi kelenjar itu jadi tanda jika ibu angkatnya butuh uang untuk segera operasi!Vincent kembali menyemangati dirinya sendiri, menanamkan tekad kalau dia harus bisa menahan siksa demi siksa yang dilakukan Keluarga Tatumia, lebih-lebih Stevia.Usai membanting ponsel, Vincent ingat, dia tadi diberi sebuah kartu hitam berlogokan sesuatu yang disepuh menggunakan tinta emas di ujung kirinya.“Kartu emas ini,” lirih Vincent, tak henti-hentinya dia menatap kartu itu. “Sebentar, misal ini benar-benar prank dari Raul, tidak mungkin Raul memberi kartu mewah ini secara cuma-cuma. Mungkin apa yang diucap Raul ada benarnya, aku memang pewaris selur
Stevia sempat mencekik leher Vincent hingga pria itu susah nafas. Mobil yang mereka tunggangi meliuk-liuk di jalan raya. Karena takut, Stevia akhirnya melepas cekikan itu.“Budak dekil, ingat ya, jika sampai perbincangan tadi diketahui salah satu pegawai kantor, aku tidak segan menendangmu keluar dari Keluarga Tatumia, mengusirmu secara tidak hormat, lalu membakar semua pakaian yang kau bawa!”“Aku bisa jelaskan semuanya...” Vincent menganggap Stevia cemburu dengan kelakuannya, padahal nyatanya tidak.Stevia sama sekali tidak cemburu, dia malah senang melihat Vincent berbincang dengan gadis tadi. Itu bisa dia jadikan alasan untuk menceraikan Vincent, lantas cepat-cepat menikahi Steve.Pletak!Stevia kembali mengayunkan ponselnya ke kepala belakang Vincent, membuat lelaki itu merintih hingga akhirnya diam tak berani bicara.Vincent berusaha tegar, matanya tetap fokus pada jalan raya, tapi hatinya rapuh, pecah jadi beberapa bagian. Bagai kaca yang dibanting ke tanah, kurang lebih sepert
“Semua yang aku bilang barusan itu bukan bualan. Bukti nyatanya ada. Tim intel pusat Ananta sudah coba mencari berkas-berkas di tiap CCTV dan koran-koran selama tiga tahun terakhir. Dan, kita menemukan sebuah tragedi yang sangat persis seperti mobil yang kamu tumpangi.”“Aku ingat betul, waktu itu, kamu sedang mencari tumpangan untuk menghadiri meeting di Australia. Seseorang menjemputmu, dan ternyata itu cuma jebakan. Ada komplotan yang ingin bunuh kamu, mereka adalah organisasi Black Mamba. Selain bunuh kamu, mereka juga mengincar nyawa seorang gadis bernama Wendy, anak sulung dari Keluarga Bramasta. Bramasta juga rekan kerja ayahmu. Bramasta sempat membuat kegaduhan yang memancing amarah Black Mamba. Kumohon, kembalilah!"“Mereka sengaja menculikmu dan ingin membunuhmu, tapi untungnya, kamu berhasil kabur, lalu melarikan diri ke Indonesia. Tapi, pengejaran tidak cukup di situ...”Raul menarik nafas dalam, selaras kemudian, melanjutkan ceritanya.“Di pinggiran kota FY, mereka berhas
“Masih mau nawar? Dasar tidak tahu diri!?” Anindya menampar Vincent.“Apapun akan kulakukan asal aku diberi jatah waktu sampai pergantian bulan untuk tinggal di sini.”“Hmm, tawaran yang menarik,” ujar Anindya sambil memanggutkan kepala. “Kamu boleh tinggal di sini selama pergantian bulan, toh asisten rumah tanggaku sedang ambil cuti karena harus pulang kampung seminggu. Tapi, dengan syarat, kamu harus tidur di gudang, bersihin satu villa sehari dua kali, buatin kami makan, juga memotong seluruh rumput di halaman. Aku tidak mau tahu, setelah Bi Yusna kembali ke villa, barang-barangmu harus sudah dikemas dan kamu harus pergi saat itu juga. Bagaimana, kamu sanggup?”“Tukang kebun ke mana? Kenapa harus aku yang memotong rumput?”“Sanggup apa nggak?!” Anindya kembali membentak. “Misal nggak sanggup, silakan tanda-tangani surat cerai dan pergi dari sini!”“Sepakat,” pungkas Vincent, yang tidak mau dipusingkan lagi dengan omelan Anindya.“Oke, aku tinggal ke kantor sebentar. Sampai aku bali
Vincent fokus menyelesaikan seluruh pekerjaannya dan mengambil jatah istirahat makan siang, lantas kembali dengan pakaian penuh debu dan bercak semen yang habis tercampur dengan air.Dalam hatinya, ada sedikit rasa percaya kalau apa yang dikatakan wanita itu adalah fakta. Pasalnya, dengan perawakan atletis dan wajah tampan, harusnya dia merupakan anak orang kaya. Apalagi saat dia pertama bekerja sebagai kuli bangunan, badannya gatal-gatal karena debu dan dempulan semen yang terciprat ke wajah.“Ah, sial. Ini membingungkan,” gerutunya.Sekembalinya dari kantor kontruksi, Vincent berjalan menuju sebuah komplek mewah di sekitaran kota JC.Seperti biasa, satpam komplek menghinanya karena menganggap Vincent beruntung telah jadi suami kontrak Keluarga Tatumia.“Cih, si miskin sudah pulang. Mampus, kamu cuma dimanfaatin di sana!? Cerai aja, deh, dari pada hidupmu makin tersiksa,” ujar Joko, sopir salah satu keluarga terkaya di komplek itu. Dia sedang bincang santai dengan para satpam.Vincen
“Kerja itu yang becus, jangan cuma bengong terus ngeliatin temen-temenmu angkatin semen!?”“Ta-tapi, Pak, saya sudah bekerja dari jam tujuh tadi dan belum ambil jatah istirahat makan siang sama sekali. Sedangkan mereka, sudah ambil lebih dulu jam satu siang tadi. Saya belum makan, Pak, saya capek.”“Masabodo! Cepat kerja, dari pada kamu dipecat!?”Vincent, pria jangkung nan tampan, nampak mengelap peluh keringatnya setelah bekerja setengah hari penuh. Tapi, bosnya tidak peduli ketika dia ingin ambil jatah istirahat makan siang. Dia terlihat menyedihkan. Topi capil yang sudah usang, juga rompi yang mulai koyak merupakan pakaiannya ketika bekerja.Otot kekar terpampang jelas di tangannya yang sedikit terbuka menggunakan rompi, terlebih ketika dia berjalan menuju tumpukan semen dan mengangkatnya, lima sekaligus.Ini adalah tugas tim kontruksinya, memindahkan semen dari tiga truk besar ke dekat tempat kontruksi bangunan berlangsung. Setiap pekerja dijatah mengangkat 50 kantung semen, tapi