Marcel terjaga hampir sepanjang malam, dia masih tidak mengerti kenapa Lista dan Stefi berkeras memaksanya tinggal di rumah ini sedangkan Ronnie terlihat jelas tidak menyukainya.Tatapan Marcel menyisir ke seliling kamar untuk mencari keberadaan kamera pengawas. Setelah yakin bahwa kamar itu aman, dia mengambil ponsel lama yang pernah diretas oleh Ivan beberapa waktu yang lalu.Kenapa tidak ada tanda-tanda dari Pak Aldi atau Ivan, batin Marcel dalam hatinya. Dia tidak ingin terjebak lebih lama lagi di kediaman keluarga besar Delvino, meskipun ada rahasia besar entah apa yang dia tidak tahu.“Pertemukan aku sama orang tua aku,” kata Marcel ketika esok harinya bertemu dengan Lista.“Apa yang membuat kamu tiba-tiba ingin segera bertemu dengan orang tua kamu?” tanya Lista balik.“Bukankah wajar?” sahut Marcel ingin tahu. “Seorang anak yang ingin bertemu dengan orang tua kandungnya kembali, apakah salah?”Lista tersenyum samar.“Itu berarti kamu mengakui bahwa kamu adalah Marcelino, keturu
Aldi mengumpulkan sebagian besar anggota markas seusai sarapan.“Beberapa bulan sudah kita lalui dengan membangun lab yang disempurnakan,” ucap Aldi membuka pidatonya. “Untuk itu kita harus menggunakan lab ini untuk kepentingan umat manusia, dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia untuk alam ini.”Diko yang duduk di samping Ivan, ikut mendengarkan dengan saksama.“Pembangunan fasilitas dan pelatihan untuk orang-orang yang ingin bergabung dengan kita akan terus berlangsung, karena itu sudah saatnya kita mulai menunjukkan eksistensi kita.” Aldi melanjutkan. “Persaingan dengan keluarga besar Delvino pasti akan ada, karena tujuan kita memang ingin mengubah hidup sekaligus meruntuhkan kekuasaan keluarga Delvino yang memonopoli setiap aspek di wilayah yang tunduk pada mereka.”Aldi mengangkat kepalan tangannya ke atas kepala.“Apa kalian siap?” Dia bertanya dengan suara keras.“Siap!” Seluruh ruangan menyahut dengan suara tak kalah keras.“Ada yang mau kalian tanyakan?” Aldi
Marcel menggunakan mobil yang dia sewa menggunakan aplikasi ponselnya."Tujuan ke mana, Pak?" tanya sopir ketika Marcel dan yang lain sudah masuk mobil."Kantor Pak Aldi," jawab Marcel. "Ini alamatnya ...."Kedua orang tua Marcel dan ilmuwan tadi duduk berdempetan selama mobil melaju. Tidak berapa lama kemudian, terdengar mobil berguncang disusul decit rem yang memekakkan telinga.“Maaf!” “Apa yang terjadi?”Perempuan yang berdiri di dekat mobil sewaan Marcel itu terlihat raut putus asa ketika Marcel turun untuk memeriksa “Perbuatan kamu itu sangat membahayakan orang lain, termasuk kamu sendiri.” Marcel memberi teguran. Bagaimana tidak, beberapa orang yang kebetulan sedang duduk-duduk menunggu angkutan umum kini mulai memperhatikan mereka.“Saya hanya mau penderitaan saya segera berakhir,” ucap perempuan itu menahan tangis. “Tidak akan ada seorangpun yang kehilangan saya ... bahkan suami saya sendiri ....”Marcel tertegun. Khawatir jika orang-orang akan salah paham terhadap kejadia
“Kamar seperti ini buat apa?”Sementara itu orang-orang yang ditempatkan Nita di ruangan tersendiri kini tengah melayangkan protes.“Buat tidur saja tidak layak!”“Hanya ini tempat yang bisa kami sediakan,” ujar Nita berusaha ramah. “Setidaknya itu sebagai bentuk tanggung jawab kami sebagai rekan kerja Pak Marcel.”“Alah, kami ini orang tuanya Marcel!” cela wanita itu dengan alis terangkat sebelah. “Tunjukkan tanggung jawab kamu, kasih kami setidaknya tiga kamar senyaman hotel bintang lima! Bukan yang seperti ini? Parah!”Nita meradang, ingin sekali rasanya dia mengadukan sikap mereka kepada Marcel.Namun, dia berusaha bersikap profesional.“Saya sudah mencoba memberikan yang terbaik, tapi Ibu masih bisa bilang kalau kami tidak tanggung jawab?” ucap Nita halus.“Eh kamu, makanya mikir!” sentak si wanita semena-mena. “Kamu itu pegawai Marcel, anak saya! Jelas saja kelas kita beda, kamu yang bawahan ini mana paham kalau saya membutuhkan fasilitas lebih banyak daripada yang sudah kamu ka
Marcel menangkap basah Dirlan ketika dia membuntuti pria itu ke sebuah bangunan yang lokasinya cukup tersembunyi.“Jadi ternyata kamu bukan ayahku, kan?”“Begitulah,” angguk Dirlan.“Ikut kami sekarang,” kata salah seorang yang langsung menjebloskan Marcel ke dalam ruangan.Dengan tenang Marcel membiarkan dirinya digelandang ke sebuah rumah berlantai dua yang letaknya tidak terlalu jauh dari kantor.Di sana sudah ada beberapa pria yang menunggunya dengan tampang waspada. Tanpa banyak basa-basi memperkenalkan diri, satu di antara mereka langsung mengajak Marcel bicara.“Jadilah ahli medis di perusahaanku, maka kamu akan dapatkan kembali harta dan wanita sesuka hatimu.”Marcel mendongak dari posisinya yang tengah duduk diapit dua anggota gangster bersenjata api dan bertubuh kekar.“Kamu salah orang,” sahut Marcel datar, dengan kedua kata menatap lurus ke arah pria muda berompi yang duduk menghadapnya dengan aura mencekam. “Aku bukanlah orang yang kamu cari.”Pria jangkung dengan iris ma
Kemudian mendadak saja belasan hingga puluhan orang berseragam hitam-hitam muncul bertahap tapi cepat mengepung pergerakan Marcel yang sedang di atas angin.“Sampah,” gumam Marcel sembari mengangkat wajahnya dengan angkuh. “Maju kalian semua!”Hampir semua anak buah Dirlan melesat ke depan, dan Marcel menggerakkan satu kakinya untuk melontarkan satu senapan ke atas kemudian diraihnya dengan dua tangan.Segera dia membidik ke arah lantai, desingan peluru meluncur mulus menembaki kaki-kaki anak buah Dirlan yang langsung terkapar dan membuat orang di belakangnya terpeleset sementara sebagian lagi terinjak-injak kawan sesama mereka sendiri.“Maju kalian semua!” tantang Marcel dengan suara lantang sembari berbalik dan melompat terjun dari jendela kaca yang pecah berhamburan ketika terhantam tubuhnya dengan cepat.Tubuh Marcel terjun bebas ke bawah menuju kolam renang milik Dirlan sebelum siapa pun sempat menangkapnya.Marcel merasakan kesegaran yang luar biasa ketika wajahnya menghantam ai
“Ve, kamu ngapain?” Marcel mengerutkan keningnya ketika dia masuk mobil dan ternyata Venya yang menyetir. “Sopir kemarin ke mana?”Venya tersenyum lebar sebelum menjawab, “Khusus hari ini, Pak Diko baru saja selesai mengajariku menyetir mobil.”Marcel mengangguk singkat dan menyuruh Diko untuk mengantarnya ke gedung perkantoran cabang milik Aldi, salah satu perusahaan yang bernaung di bawah Aldians Group.Di tempat itulah pimpinan akan mengumumkan perusahaan mana saja yang berhak ikut serta dalam tender.“Pak Aldi bilang kalau Anda tidak boleh membuka proyek kerja sama kepada siapa pun yang Anda temui,” kata Diko mengingatkan ketika jarak mereka hanya tinggal beberapa meter saja dari kantor tujuan.“Tentu saja saya tetap tutup mulut, jadi tidak perlu khawatir ada orang yang tahu.” Marcel menegaskan.“Tapi ...” Diko terlihat masih ragu.“Tidak akan ada yang mengenali saya kecuali anggota keluarga Delvino,” potong Marcel sambil turun dari mobil. “Dan mereka juga tidak tahu apa persisnya
“Ayo lakukan,” kata Marcel sambil menatap Ronnie lurus.“Apa-apaan sih, Cel? Jangan kurang ajar sama kakak aku!” sergah Shirley tidak terima.Marcel tidak menanggapi, sementara Ronnie sibuk berdebat dengan dirinya sendiri.“Ya sudah kalau kamu berniat ingkar janji,” kata Marcel tenang. “Orang yang melanggar sumpahnya biasanya akan terkena sial seumur hidup.”Setelah mengucapkan kalimat pamungkasnya, Marcel berbalik dan berjalan pergi meninggalkan istri dan kakak iparnya.“Kakak sih, ngapain pakai bikin tantangan?” komentar Shirley sengit. “Sekarang kalau keluarga kita ikut sial seumur hidup gimana?”Ronnie mengepalkan tangannya, masih terjadi peperangan hebat di dalam pikirannya. Harga dirinya tentu dipertaruhkan jika dia mengelap sepatu Marcel.“Gimana, Kak?” desak Shirley kesal.“Kamu diam saja kalau tidak bisa kasih solusi!” sembur Ronnie emosional, bahunya naik-turun dan dia tangannya mengepal. “Cel, tunggu!”Marcel menghentikan langkahnya yang belum terlalu jauh, kemudian menoleh