“Kamar seperti ini buat apa?”Sementara itu orang-orang yang ditempatkan Nita di ruangan tersendiri kini tengah melayangkan protes.“Buat tidur saja tidak layak!”“Hanya ini tempat yang bisa kami sediakan,” ujar Nita berusaha ramah. “Setidaknya itu sebagai bentuk tanggung jawab kami sebagai rekan kerja Pak Marcel.”“Alah, kami ini orang tuanya Marcel!” cela wanita itu dengan alis terangkat sebelah. “Tunjukkan tanggung jawab kamu, kasih kami setidaknya tiga kamar senyaman hotel bintang lima! Bukan yang seperti ini? Parah!”Nita meradang, ingin sekali rasanya dia mengadukan sikap mereka kepada Marcel.Namun, dia berusaha bersikap profesional.“Saya sudah mencoba memberikan yang terbaik, tapi Ibu masih bisa bilang kalau kami tidak tanggung jawab?” ucap Nita halus.“Eh kamu, makanya mikir!” sentak si wanita semena-mena. “Kamu itu pegawai Marcel, anak saya! Jelas saja kelas kita beda, kamu yang bawahan ini mana paham kalau saya membutuhkan fasilitas lebih banyak daripada yang sudah kamu ka
Marcel menangkap basah Dirlan ketika dia membuntuti pria itu ke sebuah bangunan yang lokasinya cukup tersembunyi.“Jadi ternyata kamu bukan ayahku, kan?”“Begitulah,” angguk Dirlan.“Ikut kami sekarang,” kata salah seorang yang langsung menjebloskan Marcel ke dalam ruangan.Dengan tenang Marcel membiarkan dirinya digelandang ke sebuah rumah berlantai dua yang letaknya tidak terlalu jauh dari kantor.Di sana sudah ada beberapa pria yang menunggunya dengan tampang waspada. Tanpa banyak basa-basi memperkenalkan diri, satu di antara mereka langsung mengajak Marcel bicara.“Jadilah ahli medis di perusahaanku, maka kamu akan dapatkan kembali harta dan wanita sesuka hatimu.”Marcel mendongak dari posisinya yang tengah duduk diapit dua anggota gangster bersenjata api dan bertubuh kekar.“Kamu salah orang,” sahut Marcel datar, dengan kedua kata menatap lurus ke arah pria muda berompi yang duduk menghadapnya dengan aura mencekam. “Aku bukanlah orang yang kamu cari.”Pria jangkung dengan iris ma
Kemudian mendadak saja belasan hingga puluhan orang berseragam hitam-hitam muncul bertahap tapi cepat mengepung pergerakan Marcel yang sedang di atas angin.“Sampah,” gumam Marcel sembari mengangkat wajahnya dengan angkuh. “Maju kalian semua!”Hampir semua anak buah Dirlan melesat ke depan, dan Marcel menggerakkan satu kakinya untuk melontarkan satu senapan ke atas kemudian diraihnya dengan dua tangan.Segera dia membidik ke arah lantai, desingan peluru meluncur mulus menembaki kaki-kaki anak buah Dirlan yang langsung terkapar dan membuat orang di belakangnya terpeleset sementara sebagian lagi terinjak-injak kawan sesama mereka sendiri.“Maju kalian semua!” tantang Marcel dengan suara lantang sembari berbalik dan melompat terjun dari jendela kaca yang pecah berhamburan ketika terhantam tubuhnya dengan cepat.Tubuh Marcel terjun bebas ke bawah menuju kolam renang milik Dirlan sebelum siapa pun sempat menangkapnya.Marcel merasakan kesegaran yang luar biasa ketika wajahnya menghantam ai
“Ve, kamu ngapain?” Marcel mengerutkan keningnya ketika dia masuk mobil dan ternyata Venya yang menyetir. “Sopir kemarin ke mana?”Venya tersenyum lebar sebelum menjawab, “Khusus hari ini, Pak Diko baru saja selesai mengajariku menyetir mobil.”Marcel mengangguk singkat dan menyuruh Diko untuk mengantarnya ke gedung perkantoran cabang milik Aldi, salah satu perusahaan yang bernaung di bawah Aldians Group.Di tempat itulah pimpinan akan mengumumkan perusahaan mana saja yang berhak ikut serta dalam tender.“Pak Aldi bilang kalau Anda tidak boleh membuka proyek kerja sama kepada siapa pun yang Anda temui,” kata Diko mengingatkan ketika jarak mereka hanya tinggal beberapa meter saja dari kantor tujuan.“Tentu saja saya tetap tutup mulut, jadi tidak perlu khawatir ada orang yang tahu.” Marcel menegaskan.“Tapi ...” Diko terlihat masih ragu.“Tidak akan ada yang mengenali saya kecuali anggota keluarga Delvino,” potong Marcel sambil turun dari mobil. “Dan mereka juga tidak tahu apa persisnya
“Ayo lakukan,” kata Marcel sambil menatap Ronnie lurus.“Apa-apaan sih, Cel? Jangan kurang ajar sama kakak aku!” sergah Shirley tidak terima.Marcel tidak menanggapi, sementara Ronnie sibuk berdebat dengan dirinya sendiri.“Ya sudah kalau kamu berniat ingkar janji,” kata Marcel tenang. “Orang yang melanggar sumpahnya biasanya akan terkena sial seumur hidup.”Setelah mengucapkan kalimat pamungkasnya, Marcel berbalik dan berjalan pergi meninggalkan istri dan kakak iparnya.“Kakak sih, ngapain pakai bikin tantangan?” komentar Shirley sengit. “Sekarang kalau keluarga kita ikut sial seumur hidup gimana?”Ronnie mengepalkan tangannya, masih terjadi peperangan hebat di dalam pikirannya. Harga dirinya tentu dipertaruhkan jika dia mengelap sepatu Marcel.“Gimana, Kak?” desak Shirley kesal.“Kamu diam saja kalau tidak bisa kasih solusi!” sembur Ronnie emosional, bahunya naik-turun dan dia tangannya mengepal. “Cel, tunggu!”Marcel menghentikan langkahnya yang belum terlalu jauh, kemudian menoleh
Sejak keluar dari toko dan memutuskan bergabung dengan Aldi, Marcel jarang lagi menampakkan batang hidungnya di depan keluarga Delvino.Ponsel butut Marcel juga selalu berbunyi, tapi dia tidak pernah mau ambil pusing karena yang menghubunginya selalu Shirley atau mertuanya yang menuntut dia untuk kembali secepatnya.“Saya sudah menyelesaikan percobaan bersama Venya dan tim, apa boleh saya jalan-jalan ke luar sebentar?” tanya Marcel meminta izin kepada Aldi. “Saya bosan kalau terus terkurung di sini tanpa pekerjaan.”Aldi berpikir sebentar. Marcel pikir bahwa dirinya tidak akan mungkin diberikan izin, tapi ternyata dia salah!“Anda boleh pergi ke mana saja yang Anda mau,” kata Aldi yang ketika itu disibukkan dengan denah kediaman keluarga besar Delvino yang sangat luas.“Anda serius, Pak?” tanya Marcel, sangat mencurigakan ketika Aldi dengan mudah memberikan izin kepadanya.“Asalkan Anda tetap bertindak hati-hati,” jawab Aldi dengan wajah serius. “Dengan kita sudah mulai merebut pasar
Ketika seluruh besi sudah dilempar sepenuhnya, sepasang pria dan wanita melompat turun dan berjalan mendekat.“Bagaimana? Kamu yakin ini tidak akan bikin bos marah?” tanya Wina yang berdiri paling pinggir. “Padahal pria itu sempat kita akui sebagai anak ....”“Bukankah kita harus selangkah lebih maju?” sahut Dirlan dengan mata berkilat-kilat. “Kita bilang saja ini kecelakaan tunggal, bos kan yang penting ingin membuat Marcelino tidak jadi melanjutkan kerja sama dengan Pak Aldi.”Pria dengan rambut cepak itu mengangkat bahu.“Sebaiknya kita pergi sekarang,” ajaknya. “Biar ilmuwan gadungan yang membereskan kekacauan ini.”Pasangan suami istri itu segera masuk kembali ke dalam truk, tidak lama setelahnya mereka pergi meninggalkan lokasi kejadian sebelum orang-orang berdatangan karena kekacauan yang telah mereka buat.“Pikiranku rasanya plong setelah orang yang bernama Marcel itu berhasil musnah, Wina!”“Semoga saja apa yang kita lakukan ini tepat, Dirlan!”Sepasang suami istri itu tidak
Setibanya di markas, Marcel sukses memancing rasa ingin tahu Aldi karena melihat tangan penampilan mereka yang acak-acakan.“Saya kan sudah bilang untuk bertindak hati-hati!”Ivan mewakili rekan-rekannya segera menjelaskan kronologi kejadian yang sempat menimpa mereka. Aldi geleng-geleng kepala sebagai tanggapan atas musibah yang tidak disangka-sangka itu.“Bawa yang terluka ke lab,” perintah Aldi.“Saya tidak apa-apa, Pak ...” sahut Marcel pelan.“Kalau kalian sampai luka, itu artinya ada yang tidak beres.” Aldi menatap tegas Marcel. “Kalian berdua juga harus diperiksa terkait formula yang telah kalian konsumsi.”Diko dan yang lain mengangguk patuh ketika Aldi sudah berkehendak.Di dalam lab ....Marcel tiba-tiba merasakan kepalanya pusing dan tubuhnya lemas, karena itu dia nurut-nurut saja saat tim dokter memintanya untuk berbaring di tempat tidur sementara Diko dan Ivan diperiksa di ruangan lain.“Mau seajaib apa pun, formula ini tetap masih harus disempurnakan.”“Apalagi diminum p
Untuk meluapkan kemarahannya yang tertahan, Shirley memilih untuk mendatangi ruang kerja Herman detik itu juga.Sebenarnya Shirley tergoda sekali ingin menghakimi Marcel sendiri untuk pertama kali, tetapi dia mengurungkannya karena masih memikirkan nama baik sang ayah.Setibanya di ruang kerja, Shirley segera memberi tahu kedatangan Marcel.“Ayah dan Ibu sebaiknya cepat turun, Marcel menunggu.” “Ada Marcel? Ini benar-benar kejutan.” Herman segera berdiri dari duduknya.“Ayo kita semua turun, kita harus berbaik-baik kepada Marcel kalau tidak ingin tambang emas kita hilang untuk kesekian kalinya ....""Aku akan siapkan jamuan untuk Marcel," sahut Reina tidak sabar, dan wanita itupun segera berlalu pergi untuk memerintahkan pelayan menyiapkan teh.Selama menunggu, Marcel sibuk memainkan gawainya. Dia sempat berpikir untuk membahas perceraian dengan Shirley setelah menyelesaikan urusan orang tuanya. Setelah beberapa saat menunggu, Herman dan istrinya muncul bersama Shirley di hadapan Ma
Shirley bertopang dagu sambil memandang ke arah sahabatnya.“Aku malah mikirnya begini, bagaimana kalau ternyata Lino itu adalah Marcel yang menyamar?” ujar Shirley lambat-lambat. “Siapa yang tahu, kan? Dia sengaja pura-pura jadi orang lain karena mau balas dendam sama aku, dengan cara menggulingkan perusahaan ayah.”Elen terbengong-bengong saat mendengar ucapan Shirley yang mulai ke mana-mana.“Kamu ini Bu, kebanyakan nonton drama!” seloroh Elen sambil geleng-geleng kepala. “Saya jadi penasaran seperti apa wajah si Lino itu.”“Percaya deh sama aku, dia itu sebelas dua belas sama Marcel!” Shirley terus-menerus berusaha meyakinkan Elen.“Maaf ya Bu, tapi saya tidak percaya kalau belum bertemu sama orang yang kamu maksud itu.” Elen menghela napas. “Sudahlah, mungkin kamu terlalu sibuk kerja. Stres kan jadinya lama-lama.”“Enak aja, aku tidak stres!” sergah Shirley tidak terima. “Aku hanya gila kalau aku tidak segera tahu siapa Linocemar yang sebenarnya.”Elen melambaikan tangan kepada s
“Kamu tidak perlu bersandiwara di depanku, Cel. Jadi kamu sengaja bersembunyi?” kata Shirley tanpa mempersilakan pria itu duduk. “Terus tiba-tiba kamu datang lagi buat menghancurkan hidup aku?”“Kamu ini bicara apa, sih? Aku Lino, perwakilan dari Aldians untuk menemui Bu Shirley.” Pria itu menegaskan. “Baik, kalau memang tidak ada pembahasan yang penting, aku akan menghubungi sekretarisnya lain waktu.”Pria itu berbalik dan Shirley segera berdiri untuk mencegahnya pergi.“Tunggu dulu!” seru Shirley tertahan hingga pria itu menghentikan langkahnya dan berbalik.“Ada apa lagi?”“Maaf ... sepertinya aku ... kita lanjut,” kata Shirley terbata-bata. “Jadi kamu ini adalah ... Pak Lino yang rencananya bertemu sama aku?”Pria itu menatap Shirley lurus-lurus.“Ya,” sahutnya pendek.Shirley menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.“Silakan duduk Pak,” pinta Shirley sopan meskipun dia masih setengah shock. “Saya Shirley, CEO dari Delvinos yang mengundang kamu.”Pria bernama Lino itu menatap S
Semakin tinggi pohon, semakin kencang pula anginnya. Begitu juga dengan perusahaan Herman yang selama beberapa waktu ini dinobatkan sebagai perusahaan raksasa yang berkibar. "Bu Shirley, Pak Erlan membatalkan kerja sama kita dan memilih kontrak kerja dengan perusahaan lain." Fira melaporkan hasil pembicaraannya kepada Shirley menjelang waktu makan siang. "Apa? Batal?" Shirley mendongak dari pekerjaannya. "Kamu tahu siapa perusahaan yang menyaingi kita?"Fira menganggukkan kepalanya. "Perusahaan milik seorang pengusaha single dan pintar .... ""Fira, saya tanya nama perusahaan yang menyaingi kita. Bukan status pemilik perusahaannya," tukas Shirley yang telinganya paling sensitif jika mendengar kata single. "Maaf Bu, tapi saya sering mendengar orang-orang membahasnya," sahut Fira salah tingkah. "Membahas soal status pemiliknya?" tanya Shirley lagi. "Bukan Bu, mereka hanya sering menyebutnya bos single kaya." Fira menjelaskan. "Dia memimpin dua perusahaan besar dan salah satunya be
“Jangan memandang ibu saya seperti itu,” kata Elen, kali ini dengan nada yang begitu dingin sementara tatapan matanya tajam memperingatkan Shirley agar lebih menjaga sikap.“Hai, Bu ...?” sapa Shirley dengan mimik terpaksa. “Apa ... Ibu tinggal di sini?”Elen hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, sudah tahu kalau ini adalah kediaman orang tuanya ... masih juga dia bertanya.“Iya, sejak Elen masih bayi merah.” Ibu Elen menyahut sambil tersenyum. “Masuk dulu, Bu?”Shirley sebenarnya ingin menolak, tapi Elen mengingatkannya soal Pak Herman dari sudut bibirnya nyaris tanpa suara.“Di sini saja, Bu.” Shirley terpaksa menganggukkan kepala sambil berjalan mendekati bangku kayu panjang yang ada di depan warung lalu meniup-niup bangku kayu sebelum dia duduki, seakan ada debu setebal satu senti di atasnya.“Bisa tidak sih kamu tidak perlu seperti itu?” tanya Elen tersinggung. “Keluarga saya memang sangat sederhana, tapi kami selalu jaga kebersihan soal rumah.”Shirley tidak menanggapi dan senga
Kali ini, Jena tidak tertawa seperti biasanya jika mendengar Shirley menghujat orang.“Shierly, dia kan relasi bisnis kamu.” Jena mengingatkan. “Paling tidak, hormatilah dia sedikit.”Shirley mengangkat sebelah alisnya ke arah pantulan Jena di cermin besar yang ada di depannya.“Kamu belain Elen?” tanyanya sambil menyipit curiga.“Bukannya belain, tapi memang dia itu relasi bisnis kamu kan?” tanya Jena balik. “Ya aku kasihan saja sih lihat dia, aku lihat dia baik dan tidak aneh-aneh ....”“Terus?” pancing Shirley sinis.“Kasihan saja sih, lihat kamu galak sama dia terus.” Jena mengangkat bahu. “Tidak ada maksud apa-apa.”Shirley mengembuskan napas keras dan tidak berkata apa-apa.Beberapa saat kemudian ....Saat rambut Shirley selesai dibilas dan sedang dalam proses pengeringan, Elen muncul dengan rambut yang sudah tidak selepek sebelumnya. “Hei, ngapain kamu masuk-masuk tanpa izin?” hardik Shirley, mengagetkan beberapa pengunjung salon yang sedang menikmati layanan para kapster.Leb
“Karena saya cuma pegawai,” jawab Elen. “Tapi Shirley bukanlah atasan kamu,” kata Marcel menegaskan. “Di perusahaan itu kalian berdua sama-sama CEO, kamu sama Shirley sederajat di mata Pak Herman.”Elen tidak segera menjawab.“Tapi ... tetap saja bagi Bu Shirley, saya hanyalah pegawai kelas rendah dan akan selamanya seperti itu.” Dia memandang Marcel. “Seandainya Bu Shirley bukan putri bos, mungkin saya akan melawannya.”Marcel tersenyum singkat mendengar pengakuan Elen.“Jadi sebenarnya kamu punya kemampuan untuk melawan Shirley,” komentar Marcel lugas. “Tapi kamu sendiri yang menolak menggunakan kesempatan itu, padahal kamu bisa.”“Tapi ...” Elen tidak menemukan kata-kata yang pas untuk menanggapi.“Dengarkan saya, Elen. Kamu dan Shirley sudah dikasih kesempatan untuk kerja sama, jadi saya minta tolong.” Marcel menyela sambil menatap Elen dengan serius. “Tolong bantu saya untuk mencari tahu keseluruhan bisnis yang dikembangkan keluarga istri saya.”“Apa, Pak?” Elen membelalakkan ma
“Wah, wah, senang sekali melihat kalian berdua akrab seperti ini.” Tanpa diduga, Herman muncul saat ceramah Shirley masih berlangsung.“Pak?” Elen cepat-cepat berdiri untuk menyambutnya. “Yah, lihat deh. Elen mau beli mobil,” tunjuk Shirley sambil memandang ayahnya. “Calon sekretaris pilihan ayah sudah mulai naik kelas rupanya ....”“Shirley, biasakan menyebut nama orang dengan baik.” Herman menegur putrinya. “Soal mobil, tidak ada yang salah dengan hal itu kan?”Shirley mengangkat bahunya dan berpikir bahwa ayahnya sama sekali tidak sependapat dengannya.“Kenapa kamu tidak pergi ke ruangan kamu sendiri?” tanya Herman sambil memandang putrinya. “Atau kamu memang berniat mendekatkan diri sama sekretaris kamu? Ayah akan izinkan kalau itu tujuan kamu.”“Tidak deh, Yah.” Shirley menggelengkan kepalanya sambil berdiri dari kursinya. “Mungkin Ayah yang sebenarnya mau mengenal si kampung lebih dekat ....”“Shirley, berapa kali papa harus tegur kamu supaya menyebut nama orang dengan benar?”
Sekeras apa pun usaha Shirley untuk menolak rencana itu, tetap saja ayahnya tidak akan membatalkan rencana yang sudah dia susun sejak lama.“Apa sih Ayah lihat dari Elen?” tanya Shirley tidak habis pikir. “Kalau Ayah memang mau aku berkarir, biar aku yang cari sekretaris sendiri.”“Memangnya kamu bisa menjamin kalau sekretaris yang kamu pilih itu adalah orang baik-baik?” tanya Herman sambil memandang putrinya lekat-lekat. “Paling juga dia hanya mau sama kekayaan Ayah saja ....”“Apa Ayah pikir Elen juga tidak begitu?” sahut Shirley dengan napas memburu. “Dia kan dari keluarga pas-pasan, jelas saja dia tidak menolak jabatan ini.”“Elen menolak kok,” kata Herman tenang. “Apa?” Shirley terpaku. “Dia menolak ...? Sombong amat, tapi baguslah. Itu berarti Ayah tidak perlu lagi memaksakan kerja sama ini.”Herman menarik napas.“Justru karena Elen menolak, makanya ayah akan tetap meneruskan rencana kerja sama kalian.” Dia menyahut. “Justru ini yang ayah harapkan, kamu mendapatkan sekretaris