Setibanya di markas, Marcel sukses memancing rasa ingin tahu Aldi karena melihat tangan penampilan mereka yang acak-acakan.“Saya kan sudah bilang untuk bertindak hati-hati!”Ivan mewakili rekan-rekannya segera menjelaskan kronologi kejadian yang sempat menimpa mereka. Aldi geleng-geleng kepala sebagai tanggapan atas musibah yang tidak disangka-sangka itu.“Bawa yang terluka ke lab,” perintah Aldi.“Saya tidak apa-apa, Pak ...” sahut Marcel pelan.“Kalau kalian sampai luka, itu artinya ada yang tidak beres.” Aldi menatap tegas Marcel. “Kalian berdua juga harus diperiksa terkait formula yang telah kalian konsumsi.”Diko dan yang lain mengangguk patuh ketika Aldi sudah berkehendak.Di dalam lab ....Marcel tiba-tiba merasakan kepalanya pusing dan tubuhnya lemas, karena itu dia nurut-nurut saja saat tim dokter memintanya untuk berbaring di tempat tidur sementara Diko dan Ivan diperiksa di ruangan lain.“Mau seajaib apa pun, formula ini tetap masih harus disempurnakan.”“Apalagi diminum p
“Pak, ini gawat!”Damian mendongak ketika Dirlan menerobos masuk ke ruang kerjanya.“Kenapa kamu tidak ketuk pintu dulu?” tanya Damian tidak senang.“Maaf, Pak ... tapi ini gawat sekali!” seru Dirlan tertahan. “Saya baru dapat kabar dari Wina pagi tadi, dan aku langsung ke sini cari Bapak ....”“Duduk,” suruh Damian. “Memangnya ada masalah apa? Banyak pegawai keluar kah?”Dirlan menggeleng, dia duduk dan menatap atasannya.“Tidak ada satupun mayat yang ditemukan dari kejadian kemarin,” ucap Dirlan dengan ekspresi tegang di wajahnya. “Hanya ada bangkai mobil yang ringsek.”Damian merespons berita yang disampaikan Dirlan dengan tangan terkepal.“Bagaimana bisa? Bukannya kamu bilang kalau mobil itu seharusnya ada penumpangnya?” selidik Damian dengan raut wajah berkedut.Dirlan sedikit ngeri melihat wajah sang atasan, dengan ragu dia menyahut, “Tentu saja aku yakin, mobil itu tidak mungkin dikemudikan hantu—minimal ada sopir dan orang terduga Marcel ....”Damian menghela napas berat, “Mus
Sementara itu Shirley masih belum bisa terima tentang keputusan ayahnya mengangkat Elen sebagai CEO di perusahaan. Mana bisa dirinya yang berpendidikan tinggi disandingkan dengan pegawai yang riwayat pendidikannya tidak jelas.Itu namanya penghinaan, geram Shirley dalam hatinya.Segera saja dia menyuruh orang untuk mencari informasi tentang Elen termasuk riwayat pendidikannya. Setidaknya Shirley ingin memastikan sendiri bahwa pesaingnya itu adalah orang yang sangat sejajar dalam hal apa pun. "Ini berkas yang Anda minta, Bu." Seorang sekretaris mengulurkan satu map cokelat ke arah Shirley. "Tidak ada yang tahu kan kalau saya suruh kamu ambil data pribadi Elen?" tanya Shirley sambil mendongak menatap sekretarisnya. "Tidak ada, Bu." Sekretaris itu menggelengkan kepalanya dengan sopan. "Bagus," sahut Shirley dengan nada puas. "Kamu boleh pergi. Tapi ingat, jangan cerita sama siapa pun soal ini."Sekretaris itu mengangguk dan buru-buru pergi dari ruangan Shirley. Sepeninggal pegawain
Marcel memandang Venya dengan sorot mata serius setiap kali mereka membahas keluarga Delvino. "Aku harap keberadaan Elen di sana bisa membantu kita untuk mengorek rencana asli mertuaku dan keluarganya," kata Marcel lambat-lambat. "Aku tahu seperti apa ayah mertuaku itu ...." Venya menarik napas panjang. "Yang sabar," katanya. "Aku yakin Elen bisa melakukannya dengan baik sejak kamu cerita kalau dia dikhianati pasangannya." Marcel kelihatan lebih serius saat venya berjalan melewatinya untuk mengambil buku. "Orang yang dikhianati cenderung ingin membuktikan diri," komentar Marcel dengan bijak. "Aku sependapat," jawab Venya sambil mengangguk. "Kita memang harus memberinya kesempatan untuk membuktikan potensi Elen." "Aku bertemu sama dia saat mentalnya kacau," jawab Marcel. "Dia kelihatannya sedikit terbantu dengan apa yang kita lakukan." Marcel hanya menganggukkan kepalanya dan berlalu pergi ke ruangannya sendiri. Venya masih duduk terpekur di kursinya ketika Ivan muncul tanpa
"Elen, saya mau kamu yang mewakilkan pertemuan penting dengan klien dari Aldians Grup." Herman memanggil Elen ke ruangannya ketika dia baru saja memeriksa salah satu proposal."Saya, Pak?" tanya Elen sambil buru-buru mengangguk untuk menyambut bosnya. "Iya, kamu." Herman mengangguk."Saya ... tidak enak sama Bu Shirley, Pak." Elen mengaku. "Saya kan tidak sederajat pendidikannya ...."Herman justru tersenyum simpul mendengarnya. "Kamu bisa pergi sama Shirley," katanya ringan. "Sekalian kamu ajari putri saya agar dia memiliki attitude yang baik seperti kamu."Elen terpaku sejenak, dia teringat dengan Shirley yang pernah meremehkannya karena dirinya hanyalah tamatan pendidikan dasar saja. "Apa Bu Shirley bersedia pergi sama saya, Pak?" tanya Elen ragu. "Saya khawatir kalau ... seandainya Bu Shirley keberatan dan pertemuan itu malah akan terganggu dengan kehadiran saya ...."Herman menggelengkan kepalanya. "Tenang saja, ini hanya pertemuan ramah tamah biasa. Jadi ada baiknya kamu sama
Elen sendiri sudah tentu ingin menolak usul bos besarnya, tetapi dia tidak mungkin mengatakannya langsung di depan Shirley. Bagaimanapun dia masih menjaga perasaan putri Herman meskipun sikapnya sangat tidak menyenangkan hatinya. "Saya ..." Elen berusaha mencari kata-kata yang pas untuk menolak rencana Herman. "Apa ada yang kurang dari Shirley untuk jadi sekretaris kamu, Elen?" tanya Herman lagi. Elen melirik Shirley yang mendelik ke arahnya, seakan siap menelannya bulat-bulat kalau dia berani bilang yang jelek-jelek tentangnya. "Tidak ada Pak," geleng Elen. "Bu Shirley ... sempurna sekali, tapi tidak semestinya Bu Shirley yang jadi sekretaris saya."Herman tersenyum simpul sementara Shirley mendengus pelan. "Baiklah, tidak ada alasan bagi kamu untuk menolak putri saya kan?" tanya Herman lagi sambil memandang Elen. "Yah, apa-apaan ini?" sela Shirley gusar. "Aku tidak ....""Ayah tidak bicara sama kamu, Shirley." Herman mengingatkan tanpa memandang putrinya. "Saya tidak akan bur
Elen dan Shirley duduk di kursi yang telah tersedia. Sambil makan, sesekali mereka berdua terlibat obrolan singkat dengan Ivone dan Saga yang duduk berhadapan. "Hari yang sibuk untuk seorang CEO?" komentar Saga basa-basi. "Sangat, apalagi untuk orang baru seperti saya." Elen menganggukkan kepalanya. "Oh ya?" tanggap Saga dengan ekspresi terkejut. Shirley sendiri disibukkan dengan obrolan yang menurutnya tidak begitu penting dengan Ivone. "Kamu masih kelihatan muda, lulus sarjana umur berapa?" tanya Ivone ramah. "Dua tiga mungkin ... entahlah, sudah lupa," sahut Shirley, sesekali jemarinya asyik berselancar ria di layar ponselnya. Elen yang melihat kalau Shirley lebih sibuk dengan gawai di tangan, tidak tahan jika tidak menegurnya. "Bu Shirley?" panggil Elen sambil mendekatkan kepalanya ke arah Shirley. "Tolong simpan ponselnya dulu, kita sedang ada jamuan penting sekarang ....""Diam," desis Shirley sambil mendorong kepala Elen dengan terang-terangan. "Jangan mengatur saya."I
"Makan, Van?" Marcel menyambangi Ivan di belakang, tempat yang biasa digunakan para penanggung jawab lab untuk melepas penat setelah bekerja. "Pak Marcel, Anda ngapain sampai ke sini?" tanya Ivan terkejut. "Anda kan harus promosi ....""Cari udara segar," sahut Marcel sambil tersenyum kalem. "Tidak masalah kan, ini jam makan siang. Nanti saya bisa balik kalau sudah jam kerja."Ivan belum sempat menjawab karena saat itu ada beberapa orang yang melihat Marcel dan menyapanya. "Saya kira sedang ada pertemuan rahasia yang penting," canda Ivan ketika dia dan Marcel duduk satu meja di kafetaria. "Macam orang-orang yang sudah naik kelas.”Marcel menggeleng-gelengkan kepalanya. "Pertemuan rahasia untuk menguasai dunia medis." Marcel menjelaskan. "Belajar jadi ahli obat itu tidak semudah kelihatannya, harus teliti. Dan saya tidak mau mengecewakan Pak Aldi yang sudah kasih saya kesempatan."Ivan mengangguk paham, kemudian meminum teh hangatnya. "Pak Aldi baik," komentar Ivan takjub. "Betul,