"Makan, Van?" Marcel menyambangi Ivan di belakang, tempat yang biasa digunakan para penanggung jawab lab untuk melepas penat setelah bekerja. "Pak Marcel, Anda ngapain sampai ke sini?" tanya Ivan terkejut. "Anda kan harus promosi ....""Cari udara segar," sahut Marcel sambil tersenyum kalem. "Tidak masalah kan, ini jam makan siang. Nanti saya bisa balik kalau sudah jam kerja."Ivan belum sempat menjawab karena saat itu ada beberapa orang yang melihat Marcel dan menyapanya. "Saya kira sedang ada pertemuan rahasia yang penting," canda Ivan ketika dia dan Marcel duduk satu meja di kafetaria. "Macam orang-orang yang sudah naik kelas.”Marcel menggeleng-gelengkan kepalanya. "Pertemuan rahasia untuk menguasai dunia medis." Marcel menjelaskan. "Belajar jadi ahli obat itu tidak semudah kelihatannya, harus teliti. Dan saya tidak mau mengecewakan Pak Aldi yang sudah kasih saya kesempatan."Ivan mengangguk paham, kemudian meminum teh hangatnya. "Pak Aldi baik," komentar Ivan takjub. "Betul,
Ivan memandang Venya yang tengah terbaring lemah dengan jarum infus terpasang di salah satu punggung tangannya, sementara Marcel terlihat berdiri dengan wajah masam di sampingnya. "Pak Aldi, saya sangat berterima kasih." Marcel bergegas menemui Aldi yang masih berada di luar."Sama-sama Pak," sahut Aldi sambil buru-buru berdiri. "Bu Venya sudah tidak apa-apa kan, saya permisi kembali ke kantor dulu ...."Marcel menganggukkan kepalanya. "Sekali lagi terima kasih," sahut Marcel sambil tersenyum. "Saya akan kembali secepatnya.""Baik Pak," angguk Aldi sambil berbalik pergi. Ketika dalam perjalanan kembali ke ruangan Venya, Marcel sesekali menjawab pertanyaan dari sopir yang mengantarnya tentang apa yang baru saja dialami rekannya itu. "Saya tidak tahu persis, mungkin kecapekan." Marcel menjelaskan sebisanya. Setibanya di ruang Venya, Marcel kembali menekuni ponselnya dan sosok Venya yang tengah terbaring lemas langsung menghilang begitu saja dari pikirannya. Marcel tidak mengharapk
Baik Marcel maupun Venya terkejut bukan main saat mendengar berita bahwa Elen akan disandingkan sebagai sekretaris dengan putri Herman alias Shirley."Kamu serius, El?" tanya Venya, dengan wajah tidak percaya. "Iya, Kak." Elen mengangguk membenarkan. "Tapi keluarga Pak Herman itu keluarga terpandang," kata elen dengan suara lirih. "Apa aku bisa betah kerja sama dengan anaknya? Bu Shirley itu kan galak, tidak ramah sama sekali."Marcel dan Venya saling berpandangan, membuat tawa mereka jadi ikut tersembur tanpa bisa ditahan lagi. "Biar galak begitu, dia adalah istrinya Marcel." Venya buru-buru menimpali. "Aku sih tidak mempermasalahkan kamu berjodoh sama siapa, asalkan Shirley bisa menghargai kamu dengan segala keadaan kamu." Marcel menyahut. "Memangnya kenapa Pak Marcel harus sembunyi dari Bu Shirley terlalu lama?" tanya Elen ingin tahu. Venya menarik napas. "Jujur perangainya tidak terlalu bagus," ungkap Venya. "Dan Marcel punya alasan sendiri untuk tidak ingin menunjukkan dir
Sekeras apa pun usaha Shirley untuk menolak rencana itu, tetap saja ayahnya tidak akan membatalkan rencana yang sudah dia susun sejak lama.“Apa sih Ayah lihat dari Elen?” tanya Shirley tidak habis pikir. “Kalau Ayah memang mau aku berkarir, biar aku yang cari sekretaris sendiri.”“Memangnya kamu bisa menjamin kalau sekretaris yang kamu pilih itu adalah orang baik-baik?” tanya Herman sambil memandang putrinya lekat-lekat. “Paling juga dia hanya mau sama kekayaan Ayah saja ....”“Apa Ayah pikir Elen juga tidak begitu?” sahut Shirley dengan napas memburu. “Dia kan dari keluarga pas-pasan, jelas saja dia tidak menolak jabatan ini.”“Elen menolak kok,” kata Herman tenang. “Apa?” Shirley terpaku. “Dia menolak ...? Sombong amat, tapi baguslah. Itu berarti Ayah tidak perlu lagi memaksakan kerja sama ini.”Herman menarik napas.“Justru karena Elen menolak, makanya ayah akan tetap meneruskan rencana kerja sama kalian.” Dia menyahut. “Justru ini yang ayah harapkan, kamu mendapatkan sekretaris
“Wah, wah, senang sekali melihat kalian berdua akrab seperti ini.” Tanpa diduga, Herman muncul saat ceramah Shirley masih berlangsung.“Pak?” Elen cepat-cepat berdiri untuk menyambutnya. “Yah, lihat deh. Elen mau beli mobil,” tunjuk Shirley sambil memandang ayahnya. “Calon sekretaris pilihan ayah sudah mulai naik kelas rupanya ....”“Shirley, biasakan menyebut nama orang dengan baik.” Herman menegur putrinya. “Soal mobil, tidak ada yang salah dengan hal itu kan?”Shirley mengangkat bahunya dan berpikir bahwa ayahnya sama sekali tidak sependapat dengannya.“Kenapa kamu tidak pergi ke ruangan kamu sendiri?” tanya Herman sambil memandang putrinya. “Atau kamu memang berniat mendekatkan diri sama sekretaris kamu? Ayah akan izinkan kalau itu tujuan kamu.”“Tidak deh, Yah.” Shirley menggelengkan kepalanya sambil berdiri dari kursinya. “Mungkin Ayah yang sebenarnya mau mengenal si kampung lebih dekat ....”“Shirley, berapa kali papa harus tegur kamu supaya menyebut nama orang dengan benar?”
“Karena saya cuma pegawai,” jawab Elen. “Tapi Shirley bukanlah atasan kamu,” kata Marcel menegaskan. “Di perusahaan itu kalian berdua sama-sama CEO, kamu sama Shirley sederajat di mata Pak Herman.”Elen tidak segera menjawab.“Tapi ... tetap saja bagi Bu Shirley, saya hanyalah pegawai kelas rendah dan akan selamanya seperti itu.” Dia memandang Marcel. “Seandainya Bu Shirley bukan putri bos, mungkin saya akan melawannya.”Marcel tersenyum singkat mendengar pengakuan Elen.“Jadi sebenarnya kamu punya kemampuan untuk melawan Shirley,” komentar Marcel lugas. “Tapi kamu sendiri yang menolak menggunakan kesempatan itu, padahal kamu bisa.”“Tapi ...” Elen tidak menemukan kata-kata yang pas untuk menanggapi.“Dengarkan saya, Elen. Kamu dan Shirley sudah dikasih kesempatan untuk kerja sama, jadi saya minta tolong.” Marcel menyela sambil menatap Elen dengan serius. “Tolong bantu saya untuk mencari tahu keseluruhan bisnis yang dikembangkan keluarga istri saya.”“Apa, Pak?” Elen membelalakkan ma
Kali ini, Jena tidak tertawa seperti biasanya jika mendengar Shirley menghujat orang.“Shierly, dia kan relasi bisnis kamu.” Jena mengingatkan. “Paling tidak, hormatilah dia sedikit.”Shirley mengangkat sebelah alisnya ke arah pantulan Jena di cermin besar yang ada di depannya.“Kamu belain Elen?” tanyanya sambil menyipit curiga.“Bukannya belain, tapi memang dia itu relasi bisnis kamu kan?” tanya Jena balik. “Ya aku kasihan saja sih lihat dia, aku lihat dia baik dan tidak aneh-aneh ....”“Terus?” pancing Shirley sinis.“Kasihan saja sih, lihat kamu galak sama dia terus.” Jena mengangkat bahu. “Tidak ada maksud apa-apa.”Shirley mengembuskan napas keras dan tidak berkata apa-apa.Beberapa saat kemudian ....Saat rambut Shirley selesai dibilas dan sedang dalam proses pengeringan, Elen muncul dengan rambut yang sudah tidak selepek sebelumnya. “Hei, ngapain kamu masuk-masuk tanpa izin?” hardik Shirley, mengagetkan beberapa pengunjung salon yang sedang menikmati layanan para kapster.Leb
“Jangan memandang ibu saya seperti itu,” kata Elen, kali ini dengan nada yang begitu dingin sementara tatapan matanya tajam memperingatkan Shirley agar lebih menjaga sikap.“Hai, Bu ...?” sapa Shirley dengan mimik terpaksa. “Apa ... Ibu tinggal di sini?”Elen hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, sudah tahu kalau ini adalah kediaman orang tuanya ... masih juga dia bertanya.“Iya, sejak Elen masih bayi merah.” Ibu Elen menyahut sambil tersenyum. “Masuk dulu, Bu?”Shirley sebenarnya ingin menolak, tapi Elen mengingatkannya soal Pak Herman dari sudut bibirnya nyaris tanpa suara.“Di sini saja, Bu.” Shirley terpaksa menganggukkan kepala sambil berjalan mendekati bangku kayu panjang yang ada di depan warung lalu meniup-niup bangku kayu sebelum dia duduki, seakan ada debu setebal satu senti di atasnya.“Bisa tidak sih kamu tidak perlu seperti itu?” tanya Elen tersinggung. “Keluarga saya memang sangat sederhana, tapi kami selalu jaga kebersihan soal rumah.”Shirley tidak menanggapi dan senga