Baru tinggal sebentar di kediaman keluarga Delvino saja Marcel sudah merasa stres berkepanjangan. Dia yang telah menyatu dengan kehidupan di lab milik Aldi bahkan rela melakukan apa saja demi bisa kembali ke sana lagi.Di rumah, Alvon masih mengeluarkan sumpah serapahnya kepada sang adik ipar. Dia yang biasanya kalem dan tidak pernah menghujat Marcel, kini seakan menunjukkan sikap yang jauh lebih buruk lagi daripada biasanya.“Suami kamu itu benar-benar kurang ajar,” semburnya kepada Shirley yang baru saja membawakan satu pot krim untuknya.“Lagian Kakak lemah sekali,” komentar Shirley sambil menggosokkan krim itu ke pergelangan tangan Alvon yang nyeri seakan terkilir.Padahal Marcel hanya mencengkeramnya saja, tidak lebih.“Lihat nih, apa yang sudah dia lakukan ke tangan aku!” hujat Alvon dengan wajah murka.“Kenapa Kakak tidak balas tadi?” tanya Shirley sambil mengembuskan napas. “Masa hanya dipegang Marcel saja sudah biru begini?”Tatapan mata Alvon lantas terpaku pada bekas membir
“Kita tidak akan tahu kalau tidak mencobanya,” jawab Stefi, sepupu Shirley. “Kamu bilang kita harus coba menilai masalah ini dari sudut pandang yang lain.”Ciko mengedarkan pandangannya ke sekeliling mereka.“Dari mana kita tahu kalau Marcel atau Pak Aldi akan ikut seminar kesehatan ini?” tukas Ciko tidak antusias. “Ini cuma kegiatan biasa.”Stefi menerbitkan senyumnya yang merekah.“Itu karena kamu tidak tahu saja,” ucap Stefi anggun. “Apa rencana inti yang sebenarnya.”Ciko diam saja, dia masih menunggu keajaiban dari rencana Stefi yang digadang-gadang bisa membuat gebrakan baru setelah kakaknya melakukan tindakan ceroboh.“Bagaimana soal kakak kamu Ronnie?” tanya Stefi mengalihkan pembicaraan. “Kenapa aku tidak melihat keberadaan dia akhir-akhir ini?”Ciko menghela napas sebelum menjawab, “Kak Ronnie sedang dihukum ayahku.”“Kenapa?” tanya Stefi tidak mengerti. “Apakah yang dilakukan Ronnie sangat berakibat fatal?”“Tentu saja iya,” sahut Ciko dengan nada berat. “Ayahku tidak perna
Marcel tetap muncul di rumah Delvino meskipun sang ayah mertua berwajah masam ketika melihat keberadaannya.“Kamu tidak punya kerjaan sama sekali?” tanya Herman yang tidak terlalu antusias dengan kedatangan putranya.“Justru saya datang ke sini untuk mengerjakan sesuatu di lab lama,” jawab Marcel sambil memandang ayah mertuanya. “Di keluarga istri, saya tidak mendapatkan apa-apa selain perlakuan yang tidak semestinya.”“Kenapa kamu tidak coba meminta pekerjaan di perusahaan rekan bisnis kamu? Pak Aldi itu pengusaha yang memiliki banyak perusahaan katanya,” Herman mengusulkan.Marcel menarik napas. Dia hanya asal menjawab pertanyaan Herman saja supaya tidak terkesan bahwa dirinya memiliki pekerjaan yang penting.“Saya lebih memilih untuk tetap meneruskan mimpi-mimpi orang tua saya,” ujar Marcel dengan wajah serius. “Saya tidak akan berhenti sampai mimpi mereka terwujud entah sampai kapan.”Herman terdiam, Marcel sangat berharap supaya ayah mertuanya itu mampu mengerti.“Saya tidak yaki
“Apanya yang tidak bisa?” tanya Marcel tanpa memandang Shirley yang seperti cacing kepanasan.“Ya tidak bisa!” Shirley sampai rela meletakkan tas belanjaan di sembarang tempat dan mengejar Marcel sampai ke dapur. “Enak saja kamu tidak kasih aku uang bulanan ... kamu tidak ingat sama janji yang kamu ikrarkan di depan orang tua aku?”Marcel tidak mempedulikan protes yang didengungkan Shirley dan memilih untuk menyeduh kopi.Namun, tangan Shirley terulur dan sengaja merebut kopi itu.“Kamu mau bikinkan aku kopi? Tumben,” komentar Marcel sambil tersenyum datar. “Memang seharusnya kamu lakukan dulu kewajiban kamu, baru menuntut hak sebagai istri—bukan sebaliknya.”Shirley mengentakkan kakinya dan melempar kopi itu ke tempat sampah.“Kamu sengaja mempermainkan aku?” tanya Shirley tidak terima.“Mempermainkan apa sih maksud kamu?” balas Marcel sambil melipat kedua tangannya di dada.“Ingat janji kamu!” sergah Shirley seraya menunjuk-nunjuk wajah suaminya.“Aku tidak merasa pernah janji apa-a
Sopir taksi itu tetap menyarankan Marcel untuk turun di dekat orang-orang asing itu.“Anda tidak perlu membayar ongkos taksinya,” ujar sopir, membuat Marcel terheran-heran.“Saya ada uang kok, Pak ....”“Tidak apa-apa, hari ini gratis!” sopir taksi itu menunggu Marcel sampai dia terpaksa turun dengan ekspresi heran.“Semoga kita masih bisa bertemu lagi, hati-hati!” bisik sopir taksi itu, yang lantas melaju pergi dari hadapan Marcel begitu saja.“Memangnya penampilanku seperti pengemis?” gerutu Marcel sambil melihat lengan kemejanya sendiri. “Dikira aku tidak cukup mampu untuk bayar ongkos taksi?”Terdengar tawa pelan dan merdu dari belakang Marcel, asalnya dari beberapa orang yang sejak tadi berdiri.“Mau kami antar?”Marcel menoleh dan tatapannya tertumbuk pada seorang wanita muda berambut pendek yang tersenyum ke arahnya.“Maaf, terima kasih ... tapi tidak usah.” Marcel menggeleng sopan.“Tidak apa-apa, kami mau minum kopi setelah itu bisa antar kamu ke tempat tujuan.” Wanita itu me
Marcel mengernyit heran ketika mendengar pertanyaan yang dilontarkan Lista kepadanya.“Jangan sekarang,” desis Stefi sambil melempar pandangan memperingatkan ke arah Lista.“Terus kapan?” tukas Lista karena dia paling tidak suka bertele-tele. “Jadi bagaimana?”Dia memandang Marcel kembali dan menantikan jawabannya.“Saya rasa begitu,” ucap Marcel. “Karena dari kecil saya sudah hidup bersama orang tua.”Lista tampak kurang puas dengan jawaban yang Marcel lontarkan kepadanya.“Kita minum kopi saja dulu,” ajak Stefi buru-buru, tampak khawatir seandainya Marcel tidak nyaman dengan sikap dan juga pertanyaan Lista.“Terima kasih,” angguk Marcel, dalam hati sebenarnya dia merasa waspada dengan sambutan semacam ini.Namun, dia juga enggan untuk menunjukkan respons yang berlebihan.“Kopi yang kami sajikan di sini memiliki cita rasa yang berkualitas tinggi,” ujar stefi sembari menunjukkan cangkir kopinya. “Silakan diminum.”Marcel mengangkat cangkir itu dan meminum kopinya sedikit, dia agak-aga
Marcel mengerem langkahnya saat orang-orang yang tadi dia lihat berjaga kini kompak membentuk dinding untuk menghalangi jalannya.Dia lantas berbalik dan mendapati Lista yang melangkah perlahan mendekatinya.“Apa maksud semua ini?” tanya Marcel datar. “Kalian masih juga terobsesi dengan orang tuaku? Kalian curiga kalau aku mewarisi bakat meracik obat?”Stefi ikut mendatangi Marcel meskipun dengan wajah yang masih terlihat ramah dibandingkan Lista.“Kami tidak ada niat jahat sama kamu,” kata Stefi masih mencoba membujuk Marcel. “Tinggallah lebih lama lagi di sini, aku janji kamu tidak akan rugi sedikit pun.”Marcel beralih menatap Stefi.“Kalau kamu benar-benar putra mereka, maka tempatmu sudah betul di sini.” Lista menimpali. “Tapi kalau kamu bukan orang yang kami cari, maka kami akan melepaskan kamu.”Marcel menanggapi ucapan Lista dengan tatapan curiga. Dia urung melakukan perlawanan yang frontal karena tidak ingin memancing keributan yang semakin besar.“Aku yakin sekali kalau kali
“Kamu ada apa ke sini?” tanya Ciko ingin tahu, sementara Ronnie memilih diam karena khawatir dia akan kena semprot lagi oleh anggota keluarga besarnya.“Aku ke sini mau memastikan sesuatu,” jawab Lista dengan wajah serius seraya duduk di salah satu kursi.“Dari tadi kami ada di sini dan tidak ke mana-mana,” lapor Ciko, khawatir jika Lista mengawasi mereka diam-diam selama ini.“Bukan masalah itu,” tukas Lista sambil memandang Ciko dan Ronnie bergantian. “Aku mau menunjukkan sesuatu ke kalian.”Di saat itulah baru Ronnie berani memandang saudara jauhnya.“Apa kalian kenal orang ini?” tanya Lista sambil menunjukkan foto Marcel di layar ponselnya.“Itu ... itu kan Marcel?” Ciko menyipitkan matanya dan berusaha mengingat.“Orang yang terpantau tidak ikut acara seminar kesehatan selain Pak Aldi yang dibuat Stefi,” sahut Lista memberi tahu. “Kamu pastinya kenal kan, Ron?”“Itu betul, si Marcel.” Ronnie berpikir keras. “Dia adalah suami adikku, sama artinya dia adalah adik iparku, kan?”“Kam