Marcel baru saja selesai berganti pakaian ketika mendengar pintu kamarnya dibuka. Dia menoleh dan melihat Ronnie yang muncul di hadapannya sambil membawakan makanan.“Kamu!” ucap Marcel dan Ronnie bersamaan.Marcel menatap curiga ketika Ronnie melangkah masuk ke kamarnya dengan baki di atas tangan sementara ada dua orang penjaga yang mengawasi mereka.“Jadi selama ini kamu sengaja mengecohku?” tanya Ronnie dengan suara lirih sambil meletakkan nampan di atas meja. “Makan ini sampai habis, setelah itu aku mau bicara serius sama kamu.”Marcel bergeming dan tidak segera menanggapi. Melihatnya tidak merespons, Ronnie menoleh ke arah para penjaga.“Kalian berjaga di luar saja, tutup pintunya.” Dia memerintahkan.Awalnya, para penjaga itu saling tatap dengan ragu. Kekacauan yang diperbuat Ronnie ternyata sudah menyebar ke telinga mereka, karena itu perintah Ronnie tidak segera dilaksanakan.“Kenapa kalian malah melihatku seperti itu?” hardik Ronnie dengan ekspresi tersinggung. “Aku mau bicar
Marcel menurut saja karena dia ingin mengetahui rahasia di balik keluarga Delvino.“Kamu tidak takut kalau ketahuan Lista?” tanya Marcel sambil mengikuti langkah kaki Ronnie.“Tidak, asalkan kamu benar-benar ahli obat yang asli.” Ronnie menyahut.Marcel tersenyum sinis.“Itu juga kalau kamu beruntung,” sahutnya.Ronnie tidak menanggapi, dia celingukan ke sana kemari selama menempuh perjalanan menuju lab keluarga.“Di mana lab-nya, apakah masih jauh dari sini?” tanya Marcel, tergesa-gesa mengikuti langkah Ronnie yang terburu-buru.“Tinggal ikuti aku saja!” sahut Ronnie tanpa menoleh lagi ke belakang.Marcel tidak lagi mengajukan pertanyaan, di dalam kepalanya dia sudah membayangkan ada hal mengejutkan yang akan terjadi.Bagaimana kalau ternyata dia bukanlah ahli obat? Bisa saja Aldi dan yang lain hanya salah menebak saja dan Marcel tetaplah rakyat jelata yang nasibnya tergadai di tangan keluarga Delvino karena harus menanggung beban utang yang ditinggalkan kedua orang tuanya.“Masuk si
“Baik, Lis!” sahut Ciko dari ujung sana.Lista bergegas menutup ponselnya dan menunggu kedatangan orang-orang yang dipanggilnya.“Anak itu!” geram Lista dengan tangan terkepal. “Selalu saja bikin masalah!”Tidak berapa lama kemudian, Stefi muncul dengan dikawal beberapa orang.“Kenapa bisa jadi seperti ini, Lis?” tanya Stefi ingin tahu.“Itulah, saudara kita bikin ulah lagi!” jawab Lista gusar. “Aku rasa kita harus memeriksa lab di belakang sana.”“Tapi bukannya lab itu sudah tidak pernah dipakai lagi?” tukas Stefi, meskipun demikian dia tetap saja mengikuti langkah Lista disusul orang-orang yang baru saja bergabung dengan mereka.Begitu tiba di lab, Lista dan yang lain disambut pemandangan yang mengejutkan.“Ron, apa yang kamu lakukan?” pekik Stefi tertahan.Di hadapan mereka, darah sudah berceceran di mana-mana sementara Marcel terkapar di kaki Ronnie yang sibuk menampung darah itu di beberapa tabung berukuran kecil.“Ron!” tegur Lista sambil mengumpat dan mendatangi kerabatnya. “Ke
Di kediaman keluarga Delvino, Lista sempat mondar-mandir di depan rumah kerja pamannya. Dia masih berpikir bagaimana caranya memberi tahu kejadian ini kepada sang paman karena dia sudah tidak mungkin bisa menutupi kejadian besar ini.“Lista?” panggil Reina, sukses membuat wanita itu tersentak.“Bibi ... bikin kaget!” ucap Lista dengan wajah tegang.“Kenapa sih?” tanya Reina dengan kening berkerut. “Kamu mondar-mandir terus dari tadi di depan ruang kerja paman kamu, ada apa?”Lista memandang bibinya dengan ragu.“Aku mau menemui paman, Bi. Ada hal penting yang mau aku bicarakan sama dia ....”“Terus kenapa kamu tidak langsung masuk?” tanya Reina dengan kening berkerut. “Malah mondar-mandir tidak jelas begini, sana masuk.”Lista masih berdiri ragu. Sebelum dia sempat menyusun kata-kata yang tepat, Reina sudah membuka pintu dan mendorongnya masuk ke dalam ruangan Herman.“Permisi!” ucap Reina dengan suara yang sengaja dikeraskan, membuat Herman mendongak dari pekerjaannya.“Reina? Ada ap
Sementara itu di rumah inti keluarga Delvino ....“Di mana suami aku?” tanya Shirley yang baru pulang dari perjalanan luar kota. “Apa mungkin Kak Ronnie melakukan hal yang tidak benar sama dia?”Alvon ikut celingukan ke sana kemari, tapi kondisi rumah tampak lengang dan tidak terlihat siapa pun di sana.“Mungkin Marcel pergi senang-senang sama Venya,” jawab Alvon. “Lebih baik kita langsung senang-senang, besok aku ada rapat pagi-pagi sekali ....”“Baiklah, kalau begitu.” Shirley mengangguk saja dan menduga bahwa Marcel memang sedang bersama Venya.Hampir tengah malam, Shirley dan Alvon tiba di rumah dalam keadaan limbung.Keduanya tertawa dan meracau tidak jelas dengan wajah memerah.“Cel! Marcel!” panggil Shirley dengan mata setengah mengantuk. “Cel! Ke mana sih itu orang?”“Kan dia tidak ada di rumah!” celetuk Alvon yang sama telernya. “Suami kamu itu ... minggat lagi!”“Ha ha, iya kah?” sahut Shirley sambil menggaruk-garuk rambutnya. “Duh ... punya suami kok tukang minggat begini,
Marcel segera mengikuti langkah kedua orang itu untuk pergi meninggalkan ruangan. Mereka berjalan layaknya petugas medis, melewati lorong panjang yang sepi dan terkadang hanya bertemu satu-dua orang yang kebetulan melintas. Begitu tiba di dekat pos satpam, Marcel melihat salah satu dari sosok itu memberikan uang kepada petugas yang sedang berjaga. “Bisa minta tolong belikan perban, Pak? Saya capek habis praktek operasi!” “Bisa, Dokter! Saya akan belikan ....” “Ini uangnya!” Marcel diam saja ketika petugas itu dengan mudahnya pergi untuk membelikan mereka perban. “Ambil mobil sekarang!” “Oke!” Satu sosok pergi ke arah parkiran sementara Marcel tetap berdiri di tempatnya. Tidak berapa lama kemudian, suara decit ban mobil terdengar di belakang mereka. “Cepat naik semua!” Marcel merasakan bahunya ditarik dengan keras dan sesaat berikutnya dia sudah berada di dalam mobil yang kemudian langsung tancap gas meninggalkan kawasan rumah sakit. Ketika jarak mobil yang mereka tumpangi s
Saking kerasnya suara Shirley, Bik Nana bahkan sampai terlonjak kaget.“Sa—sabar, Nyonya ... Pak Marcel sedang kena musibah ...” kata Bik Nana terbata-bata.Shirley mendengus, kedua matanya mengamati Marcel dari atas rambut hingga ke ujung kaki dengan tatapan menyelidik.“Ngapain kamu pakai baju itu?” tanya Shirley ketus.“Ini baju dari rumah sakit,” jawab Marcel datar. “Aku dirawat semalaman lebih, makanya aku tidak pulang ....”“Salah siapa kamu minggat?” tukas Shirley galak.“Aku tidak minggat, jangan menuduh tanpa bukti!” Marcel balik menukas. “Aku pergi kerja, terus ....”“Terus apa? Kena musibah? Dirampok? Dibegal?” Shirley justru semakin menggila. “Lagu lama, Cel! Kamu pura-pura sakit, biar aku kasihan sama kamu. Iya kan? Punya suami begini amat, tukang sandiwara!”Marcel menghela napas. Dengan takut-takut, Bik Nana meletakkan secangkir teh panas di atas meja.“Silakan diminum dulu, Pak.”“Terima kasih, Bik.” Marcel mengangguk, tapi Shirley langsung menepis cangkir itu hingga i
“Tuh, orangnya sudah datang! Kamu tanya langsung saja sama dia,” kata Shirley sambil menunjuk Marcel dengan dagunya.“Ada apa?” tanya Marcel jengah.“Kapan kamu akan membayar seluruh utang orang tua kamu?” tanya Dito balik dengan gaya seperti menagih utang.“Aku sama mertua sudah sepakat kalau pelunasan utang akan aku selesaikan secepatnya begitu aku dapat uang lagi,”jawab Marcel datar. “Lagipula apa urusannya sama kamu dan kenapa aku harus menjelaskannya sama kamu?”Dito sontak diam.“Kalaupun keluarga mertua aku keberatan, seharusnya dia langsung menghubungi aku untuk membahas masalah ini lebih jauh.” Marcel menambahkan.“Tidak bisa begitu,” geleng Dito. “Aku ini salah satu pegawai kantor Pak Herman, jadi aku berhak untuk mengetahui kapan pembayaran itu kamu selesaikan.”Marcel mengangkat bahu dan menyahut, “Aku akan langsung menghubungi mertuaku kalau mau melakukan pembayaran.”“Kenapa tidak kamu selesaikan urusannya sekarang sih, Cel?” tanya Shirley menyela. “Malu-maluin saja kamu