“Kamu ada apa ke sini?” tanya Ciko ingin tahu, sementara Ronnie memilih diam karena khawatir dia akan kena semprot lagi oleh anggota keluarga besarnya.“Aku ke sini mau memastikan sesuatu,” jawab Lista dengan wajah serius seraya duduk di salah satu kursi.“Dari tadi kami ada di sini dan tidak ke mana-mana,” lapor Ciko, khawatir jika Lista mengawasi mereka diam-diam selama ini.“Bukan masalah itu,” tukas Lista sambil memandang Ciko dan Ronnie bergantian. “Aku mau menunjukkan sesuatu ke kalian.”Di saat itulah baru Ronnie berani memandang saudara jauhnya.“Apa kalian kenal orang ini?” tanya Lista sambil menunjukkan foto Marcel di layar ponselnya.“Itu ... itu kan Marcel?” Ciko menyipitkan matanya dan berusaha mengingat.“Orang yang terpantau tidak ikut acara seminar kesehatan selain Pak Aldi yang dibuat Stefi,” sahut Lista memberi tahu. “Kamu pastinya kenal kan, Ron?”“Itu betul, si Marcel.” Ronnie berpikir keras. “Dia adalah suami adikku, sama artinya dia adalah adik iparku, kan?”“Kam
Marcel baru saja selesai berganti pakaian ketika mendengar pintu kamarnya dibuka. Dia menoleh dan melihat Ronnie yang muncul di hadapannya sambil membawakan makanan.“Kamu!” ucap Marcel dan Ronnie bersamaan.Marcel menatap curiga ketika Ronnie melangkah masuk ke kamarnya dengan baki di atas tangan sementara ada dua orang penjaga yang mengawasi mereka.“Jadi selama ini kamu sengaja mengecohku?” tanya Ronnie dengan suara lirih sambil meletakkan nampan di atas meja. “Makan ini sampai habis, setelah itu aku mau bicara serius sama kamu.”Marcel bergeming dan tidak segera menanggapi. Melihatnya tidak merespons, Ronnie menoleh ke arah para penjaga.“Kalian berjaga di luar saja, tutup pintunya.” Dia memerintahkan.Awalnya, para penjaga itu saling tatap dengan ragu. Kekacauan yang diperbuat Ronnie ternyata sudah menyebar ke telinga mereka, karena itu perintah Ronnie tidak segera dilaksanakan.“Kenapa kalian malah melihatku seperti itu?” hardik Ronnie dengan ekspresi tersinggung. “Aku mau bicar
Marcel menurut saja karena dia ingin mengetahui rahasia di balik keluarga Delvino.“Kamu tidak takut kalau ketahuan Lista?” tanya Marcel sambil mengikuti langkah kaki Ronnie.“Tidak, asalkan kamu benar-benar ahli obat yang asli.” Ronnie menyahut.Marcel tersenyum sinis.“Itu juga kalau kamu beruntung,” sahutnya.Ronnie tidak menanggapi, dia celingukan ke sana kemari selama menempuh perjalanan menuju lab keluarga.“Di mana lab-nya, apakah masih jauh dari sini?” tanya Marcel, tergesa-gesa mengikuti langkah Ronnie yang terburu-buru.“Tinggal ikuti aku saja!” sahut Ronnie tanpa menoleh lagi ke belakang.Marcel tidak lagi mengajukan pertanyaan, di dalam kepalanya dia sudah membayangkan ada hal mengejutkan yang akan terjadi.Bagaimana kalau ternyata dia bukanlah ahli obat? Bisa saja Aldi dan yang lain hanya salah menebak saja dan Marcel tetaplah rakyat jelata yang nasibnya tergadai di tangan keluarga Delvino karena harus menanggung beban utang yang ditinggalkan kedua orang tuanya.“Masuk si
“Baik, Lis!” sahut Ciko dari ujung sana.Lista bergegas menutup ponselnya dan menunggu kedatangan orang-orang yang dipanggilnya.“Anak itu!” geram Lista dengan tangan terkepal. “Selalu saja bikin masalah!”Tidak berapa lama kemudian, Stefi muncul dengan dikawal beberapa orang.“Kenapa bisa jadi seperti ini, Lis?” tanya Stefi ingin tahu.“Itulah, saudara kita bikin ulah lagi!” jawab Lista gusar. “Aku rasa kita harus memeriksa lab di belakang sana.”“Tapi bukannya lab itu sudah tidak pernah dipakai lagi?” tukas Stefi, meskipun demikian dia tetap saja mengikuti langkah Lista disusul orang-orang yang baru saja bergabung dengan mereka.Begitu tiba di lab, Lista dan yang lain disambut pemandangan yang mengejutkan.“Ron, apa yang kamu lakukan?” pekik Stefi tertahan.Di hadapan mereka, darah sudah berceceran di mana-mana sementara Marcel terkapar di kaki Ronnie yang sibuk menampung darah itu di beberapa tabung berukuran kecil.“Ron!” tegur Lista sambil mengumpat dan mendatangi kerabatnya. “Ke
Di kediaman keluarga Delvino, Lista sempat mondar-mandir di depan rumah kerja pamannya. Dia masih berpikir bagaimana caranya memberi tahu kejadian ini kepada sang paman karena dia sudah tidak mungkin bisa menutupi kejadian besar ini.“Lista?” panggil Reina, sukses membuat wanita itu tersentak.“Bibi ... bikin kaget!” ucap Lista dengan wajah tegang.“Kenapa sih?” tanya Reina dengan kening berkerut. “Kamu mondar-mandir terus dari tadi di depan ruang kerja paman kamu, ada apa?”Lista memandang bibinya dengan ragu.“Aku mau menemui paman, Bi. Ada hal penting yang mau aku bicarakan sama dia ....”“Terus kenapa kamu tidak langsung masuk?” tanya Reina dengan kening berkerut. “Malah mondar-mandir tidak jelas begini, sana masuk.”Lista masih berdiri ragu. Sebelum dia sempat menyusun kata-kata yang tepat, Reina sudah membuka pintu dan mendorongnya masuk ke dalam ruangan Herman.“Permisi!” ucap Reina dengan suara yang sengaja dikeraskan, membuat Herman mendongak dari pekerjaannya.“Reina? Ada ap
Sementara itu di rumah inti keluarga Delvino ....“Di mana suami aku?” tanya Shirley yang baru pulang dari perjalanan luar kota. “Apa mungkin Kak Ronnie melakukan hal yang tidak benar sama dia?”Alvon ikut celingukan ke sana kemari, tapi kondisi rumah tampak lengang dan tidak terlihat siapa pun di sana.“Mungkin Marcel pergi senang-senang sama Venya,” jawab Alvon. “Lebih baik kita langsung senang-senang, besok aku ada rapat pagi-pagi sekali ....”“Baiklah, kalau begitu.” Shirley mengangguk saja dan menduga bahwa Marcel memang sedang bersama Venya.Hampir tengah malam, Shirley dan Alvon tiba di rumah dalam keadaan limbung.Keduanya tertawa dan meracau tidak jelas dengan wajah memerah.“Cel! Marcel!” panggil Shirley dengan mata setengah mengantuk. “Cel! Ke mana sih itu orang?”“Kan dia tidak ada di rumah!” celetuk Alvon yang sama telernya. “Suami kamu itu ... minggat lagi!”“Ha ha, iya kah?” sahut Shirley sambil menggaruk-garuk rambutnya. “Duh ... punya suami kok tukang minggat begini,
Marcel segera mengikuti langkah kedua orang itu untuk pergi meninggalkan ruangan. Mereka berjalan layaknya petugas medis, melewati lorong panjang yang sepi dan terkadang hanya bertemu satu-dua orang yang kebetulan melintas. Begitu tiba di dekat pos satpam, Marcel melihat salah satu dari sosok itu memberikan uang kepada petugas yang sedang berjaga. “Bisa minta tolong belikan perban, Pak? Saya capek habis praktek operasi!” “Bisa, Dokter! Saya akan belikan ....” “Ini uangnya!” Marcel diam saja ketika petugas itu dengan mudahnya pergi untuk membelikan mereka perban. “Ambil mobil sekarang!” “Oke!” Satu sosok pergi ke arah parkiran sementara Marcel tetap berdiri di tempatnya. Tidak berapa lama kemudian, suara decit ban mobil terdengar di belakang mereka. “Cepat naik semua!” Marcel merasakan bahunya ditarik dengan keras dan sesaat berikutnya dia sudah berada di dalam mobil yang kemudian langsung tancap gas meninggalkan kawasan rumah sakit. Ketika jarak mobil yang mereka tumpangi s
Saking kerasnya suara Shirley, Bik Nana bahkan sampai terlonjak kaget.“Sa—sabar, Nyonya ... Pak Marcel sedang kena musibah ...” kata Bik Nana terbata-bata.Shirley mendengus, kedua matanya mengamati Marcel dari atas rambut hingga ke ujung kaki dengan tatapan menyelidik.“Ngapain kamu pakai baju itu?” tanya Shirley ketus.“Ini baju dari rumah sakit,” jawab Marcel datar. “Aku dirawat semalaman lebih, makanya aku tidak pulang ....”“Salah siapa kamu minggat?” tukas Shirley galak.“Aku tidak minggat, jangan menuduh tanpa bukti!” Marcel balik menukas. “Aku pergi kerja, terus ....”“Terus apa? Kena musibah? Dirampok? Dibegal?” Shirley justru semakin menggila. “Lagu lama, Cel! Kamu pura-pura sakit, biar aku kasihan sama kamu. Iya kan? Punya suami begini amat, tukang sandiwara!”Marcel menghela napas. Dengan takut-takut, Bik Nana meletakkan secangkir teh panas di atas meja.“Silakan diminum dulu, Pak.”“Terima kasih, Bik.” Marcel mengangguk, tapi Shirley langsung menepis cangkir itu hingga i
Untuk meluapkan kemarahannya yang tertahan, Shirley memilih untuk mendatangi ruang kerja Herman detik itu juga.Sebenarnya Shirley tergoda sekali ingin menghakimi Marcel sendiri untuk pertama kali, tetapi dia mengurungkannya karena masih memikirkan nama baik sang ayah.Setibanya di ruang kerja, Shirley segera memberi tahu kedatangan Marcel.“Ayah dan Ibu sebaiknya cepat turun, Marcel menunggu.” “Ada Marcel? Ini benar-benar kejutan.” Herman segera berdiri dari duduknya.“Ayo kita semua turun, kita harus berbaik-baik kepada Marcel kalau tidak ingin tambang emas kita hilang untuk kesekian kalinya ....""Aku akan siapkan jamuan untuk Marcel," sahut Reina tidak sabar, dan wanita itupun segera berlalu pergi untuk memerintahkan pelayan menyiapkan teh.Selama menunggu, Marcel sibuk memainkan gawainya. Dia sempat berpikir untuk membahas perceraian dengan Shirley setelah menyelesaikan urusan orang tuanya. Setelah beberapa saat menunggu, Herman dan istrinya muncul bersama Shirley di hadapan Ma
Shirley bertopang dagu sambil memandang ke arah sahabatnya.“Aku malah mikirnya begini, bagaimana kalau ternyata Lino itu adalah Marcel yang menyamar?” ujar Shirley lambat-lambat. “Siapa yang tahu, kan? Dia sengaja pura-pura jadi orang lain karena mau balas dendam sama aku, dengan cara menggulingkan perusahaan ayah.”Elen terbengong-bengong saat mendengar ucapan Shirley yang mulai ke mana-mana.“Kamu ini Bu, kebanyakan nonton drama!” seloroh Elen sambil geleng-geleng kepala. “Saya jadi penasaran seperti apa wajah si Lino itu.”“Percaya deh sama aku, dia itu sebelas dua belas sama Marcel!” Shirley terus-menerus berusaha meyakinkan Elen.“Maaf ya Bu, tapi saya tidak percaya kalau belum bertemu sama orang yang kamu maksud itu.” Elen menghela napas. “Sudahlah, mungkin kamu terlalu sibuk kerja. Stres kan jadinya lama-lama.”“Enak aja, aku tidak stres!” sergah Shirley tidak terima. “Aku hanya gila kalau aku tidak segera tahu siapa Linocemar yang sebenarnya.”Elen melambaikan tangan kepada s
“Kamu tidak perlu bersandiwara di depanku, Cel. Jadi kamu sengaja bersembunyi?” kata Shirley tanpa mempersilakan pria itu duduk. “Terus tiba-tiba kamu datang lagi buat menghancurkan hidup aku?”“Kamu ini bicara apa, sih? Aku Lino, perwakilan dari Aldians untuk menemui Bu Shirley.” Pria itu menegaskan. “Baik, kalau memang tidak ada pembahasan yang penting, aku akan menghubungi sekretarisnya lain waktu.”Pria itu berbalik dan Shirley segera berdiri untuk mencegahnya pergi.“Tunggu dulu!” seru Shirley tertahan hingga pria itu menghentikan langkahnya dan berbalik.“Ada apa lagi?”“Maaf ... sepertinya aku ... kita lanjut,” kata Shirley terbata-bata. “Jadi kamu ini adalah ... Pak Lino yang rencananya bertemu sama aku?”Pria itu menatap Shirley lurus-lurus.“Ya,” sahutnya pendek.Shirley menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.“Silakan duduk Pak,” pinta Shirley sopan meskipun dia masih setengah shock. “Saya Shirley, CEO dari Delvinos yang mengundang kamu.”Pria bernama Lino itu menatap S
Semakin tinggi pohon, semakin kencang pula anginnya. Begitu juga dengan perusahaan Herman yang selama beberapa waktu ini dinobatkan sebagai perusahaan raksasa yang berkibar. "Bu Shirley, Pak Erlan membatalkan kerja sama kita dan memilih kontrak kerja dengan perusahaan lain." Fira melaporkan hasil pembicaraannya kepada Shirley menjelang waktu makan siang. "Apa? Batal?" Shirley mendongak dari pekerjaannya. "Kamu tahu siapa perusahaan yang menyaingi kita?"Fira menganggukkan kepalanya. "Perusahaan milik seorang pengusaha single dan pintar .... ""Fira, saya tanya nama perusahaan yang menyaingi kita. Bukan status pemilik perusahaannya," tukas Shirley yang telinganya paling sensitif jika mendengar kata single. "Maaf Bu, tapi saya sering mendengar orang-orang membahasnya," sahut Fira salah tingkah. "Membahas soal status pemiliknya?" tanya Shirley lagi. "Bukan Bu, mereka hanya sering menyebutnya bos single kaya." Fira menjelaskan. "Dia memimpin dua perusahaan besar dan salah satunya be
“Jangan memandang ibu saya seperti itu,” kata Elen, kali ini dengan nada yang begitu dingin sementara tatapan matanya tajam memperingatkan Shirley agar lebih menjaga sikap.“Hai, Bu ...?” sapa Shirley dengan mimik terpaksa. “Apa ... Ibu tinggal di sini?”Elen hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, sudah tahu kalau ini adalah kediaman orang tuanya ... masih juga dia bertanya.“Iya, sejak Elen masih bayi merah.” Ibu Elen menyahut sambil tersenyum. “Masuk dulu, Bu?”Shirley sebenarnya ingin menolak, tapi Elen mengingatkannya soal Pak Herman dari sudut bibirnya nyaris tanpa suara.“Di sini saja, Bu.” Shirley terpaksa menganggukkan kepala sambil berjalan mendekati bangku kayu panjang yang ada di depan warung lalu meniup-niup bangku kayu sebelum dia duduki, seakan ada debu setebal satu senti di atasnya.“Bisa tidak sih kamu tidak perlu seperti itu?” tanya Elen tersinggung. “Keluarga saya memang sangat sederhana, tapi kami selalu jaga kebersihan soal rumah.”Shirley tidak menanggapi dan senga
Kali ini, Jena tidak tertawa seperti biasanya jika mendengar Shirley menghujat orang.“Shierly, dia kan relasi bisnis kamu.” Jena mengingatkan. “Paling tidak, hormatilah dia sedikit.”Shirley mengangkat sebelah alisnya ke arah pantulan Jena di cermin besar yang ada di depannya.“Kamu belain Elen?” tanyanya sambil menyipit curiga.“Bukannya belain, tapi memang dia itu relasi bisnis kamu kan?” tanya Jena balik. “Ya aku kasihan saja sih lihat dia, aku lihat dia baik dan tidak aneh-aneh ....”“Terus?” pancing Shirley sinis.“Kasihan saja sih, lihat kamu galak sama dia terus.” Jena mengangkat bahu. “Tidak ada maksud apa-apa.”Shirley mengembuskan napas keras dan tidak berkata apa-apa.Beberapa saat kemudian ....Saat rambut Shirley selesai dibilas dan sedang dalam proses pengeringan, Elen muncul dengan rambut yang sudah tidak selepek sebelumnya. “Hei, ngapain kamu masuk-masuk tanpa izin?” hardik Shirley, mengagetkan beberapa pengunjung salon yang sedang menikmati layanan para kapster.Leb
“Karena saya cuma pegawai,” jawab Elen. “Tapi Shirley bukanlah atasan kamu,” kata Marcel menegaskan. “Di perusahaan itu kalian berdua sama-sama CEO, kamu sama Shirley sederajat di mata Pak Herman.”Elen tidak segera menjawab.“Tapi ... tetap saja bagi Bu Shirley, saya hanyalah pegawai kelas rendah dan akan selamanya seperti itu.” Dia memandang Marcel. “Seandainya Bu Shirley bukan putri bos, mungkin saya akan melawannya.”Marcel tersenyum singkat mendengar pengakuan Elen.“Jadi sebenarnya kamu punya kemampuan untuk melawan Shirley,” komentar Marcel lugas. “Tapi kamu sendiri yang menolak menggunakan kesempatan itu, padahal kamu bisa.”“Tapi ...” Elen tidak menemukan kata-kata yang pas untuk menanggapi.“Dengarkan saya, Elen. Kamu dan Shirley sudah dikasih kesempatan untuk kerja sama, jadi saya minta tolong.” Marcel menyela sambil menatap Elen dengan serius. “Tolong bantu saya untuk mencari tahu keseluruhan bisnis yang dikembangkan keluarga istri saya.”“Apa, Pak?” Elen membelalakkan ma
“Wah, wah, senang sekali melihat kalian berdua akrab seperti ini.” Tanpa diduga, Herman muncul saat ceramah Shirley masih berlangsung.“Pak?” Elen cepat-cepat berdiri untuk menyambutnya. “Yah, lihat deh. Elen mau beli mobil,” tunjuk Shirley sambil memandang ayahnya. “Calon sekretaris pilihan ayah sudah mulai naik kelas rupanya ....”“Shirley, biasakan menyebut nama orang dengan baik.” Herman menegur putrinya. “Soal mobil, tidak ada yang salah dengan hal itu kan?”Shirley mengangkat bahunya dan berpikir bahwa ayahnya sama sekali tidak sependapat dengannya.“Kenapa kamu tidak pergi ke ruangan kamu sendiri?” tanya Herman sambil memandang putrinya. “Atau kamu memang berniat mendekatkan diri sama sekretaris kamu? Ayah akan izinkan kalau itu tujuan kamu.”“Tidak deh, Yah.” Shirley menggelengkan kepalanya sambil berdiri dari kursinya. “Mungkin Ayah yang sebenarnya mau mengenal si kampung lebih dekat ....”“Shirley, berapa kali papa harus tegur kamu supaya menyebut nama orang dengan benar?”
Sekeras apa pun usaha Shirley untuk menolak rencana itu, tetap saja ayahnya tidak akan membatalkan rencana yang sudah dia susun sejak lama.“Apa sih Ayah lihat dari Elen?” tanya Shirley tidak habis pikir. “Kalau Ayah memang mau aku berkarir, biar aku yang cari sekretaris sendiri.”“Memangnya kamu bisa menjamin kalau sekretaris yang kamu pilih itu adalah orang baik-baik?” tanya Herman sambil memandang putrinya lekat-lekat. “Paling juga dia hanya mau sama kekayaan Ayah saja ....”“Apa Ayah pikir Elen juga tidak begitu?” sahut Shirley dengan napas memburu. “Dia kan dari keluarga pas-pasan, jelas saja dia tidak menolak jabatan ini.”“Elen menolak kok,” kata Herman tenang. “Apa?” Shirley terpaku. “Dia menolak ...? Sombong amat, tapi baguslah. Itu berarti Ayah tidak perlu lagi memaksakan kerja sama ini.”Herman menarik napas.“Justru karena Elen menolak, makanya ayah akan tetap meneruskan rencana kerja sama kalian.” Dia menyahut. “Justru ini yang ayah harapkan, kamu mendapatkan sekretaris