Saking kerasnya suara Shirley, Bik Nana bahkan sampai terlonjak kaget.“Sa—sabar, Nyonya ... Pak Marcel sedang kena musibah ...” kata Bik Nana terbata-bata.Shirley mendengus, kedua matanya mengamati Marcel dari atas rambut hingga ke ujung kaki dengan tatapan menyelidik.“Ngapain kamu pakai baju itu?” tanya Shirley ketus.“Ini baju dari rumah sakit,” jawab Marcel datar. “Aku dirawat semalaman lebih, makanya aku tidak pulang ....”“Salah siapa kamu minggat?” tukas Shirley galak.“Aku tidak minggat, jangan menuduh tanpa bukti!” Marcel balik menukas. “Aku pergi kerja, terus ....”“Terus apa? Kena musibah? Dirampok? Dibegal?” Shirley justru semakin menggila. “Lagu lama, Cel! Kamu pura-pura sakit, biar aku kasihan sama kamu. Iya kan? Punya suami begini amat, tukang sandiwara!”Marcel menghela napas. Dengan takut-takut, Bik Nana meletakkan secangkir teh panas di atas meja.“Silakan diminum dulu, Pak.”“Terima kasih, Bik.” Marcel mengangguk, tapi Shirley langsung menepis cangkir itu hingga i
“Tuh, orangnya sudah datang! Kamu tanya langsung saja sama dia,” kata Shirley sambil menunjuk Marcel dengan dagunya.“Ada apa?” tanya Marcel jengah.“Kapan kamu akan membayar seluruh utang orang tua kamu?” tanya Dito balik dengan gaya seperti menagih utang.“Aku sama mertua sudah sepakat kalau pelunasan utang akan aku selesaikan secepatnya begitu aku dapat uang lagi,”jawab Marcel datar. “Lagipula apa urusannya sama kamu dan kenapa aku harus menjelaskannya sama kamu?”Dito sontak diam.“Kalaupun keluarga mertua aku keberatan, seharusnya dia langsung menghubungi aku untuk membahas masalah ini lebih jauh.” Marcel menambahkan.“Tidak bisa begitu,” geleng Dito. “Aku ini salah satu pegawai kantor Pak Herman, jadi aku berhak untuk mengetahui kapan pembayaran itu kamu selesaikan.”Marcel mengangkat bahu dan menyahut, “Aku akan langsung menghubungi mertuaku kalau mau melakukan pembayaran.”“Kenapa tidak kamu selesaikan urusannya sekarang sih, Cel?” tanya Shirley menyela. “Malu-maluin saja kamu
Dito tidak bisa lagi menolak, dia tetap harus sadar posisinya siapa di hadapan ayah Shirley.“Saya permisi, Pak.” Dito berpamitan, tangannya langsung dipegang Shirley.Marcel memalingkan mukanya, merasa muak.“Tapi, Yah. Jangan percaya apa yang dikatakan Marcel tadi ya,” pinta Shirley memelas.“Bagaimana ayah akan percaya kalau tangan kamu mengatakan yang sebaliknya?” tanya Herman tegas. “Sini kamu, kita bicara baik-baik.”Dito menoleh ke arah Shirley dan menganggukkan kepala, lalu dengan terpaksa mereka berpisah ketika Herman yang menyuruh.“Saya izin kerja, Yah.” Marcel ikut pamit karena dia tidak berminat untuk ikut dalam percakapan antara ayah dan anak itu.“Tidak, Cel. Kamu juga harus ikut,” cegah Herman sambil menggeleng. “Kamu duduk saja dulu, ibu Shirley bilang kalau kamu habis dari rumah sakit?”Herman ikut bersandiwara, meski dalam hati dia cukup kagum karena Marcel yang berhasil kabur dari pengawasan Lista dan keluarga.“Baik, Yah.” Marcel mengangguk saja, dia tidak ingin m
“Ada apa, Bik?” tanya Marcel sambil melangkah menuruni anak tangga. Dia mengedarkan pandangannya lurus ke arah suara-suara yang terdengar.“Pak Marcel! Pak ...!” panggil Bik Nana lagi, tidak biasanya dia seperti itu kalau memanggil anggota keluarga Delvino.“Ada apa sih, teriak-teriak?”“Bik Nana bikin rapat virtual-ku berantakan saja!”Suara Shirley dan Alvon saling bersahutan, membuat suasana rumah keluarga Delvino semakin meriah.“Itu si Nana kenapa?” tanya Reina heran kepada Herman yang sedang mematikan laptop.“Kamu turun saja, sekalian mengecek apakah makanan sudah siap.” Herman menyuruh. “Marcel harus kita perlakukan dengan baik, supaya dia bisa dimanfaatkan lagi tenaganya.”Reina mengangguk dan cepat-cepat turun dari kamar. Dia berpapasan dengan Marcel yang sudah duluan mencapai bawah anak tangga.“Marcel!” panggil Reina.“Ya, Bu?” Marcel menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah sang mertua.“Itu ada apa anih ribut-ribut seperti itu?” tanya Reina sambil meneruskan langkahny
Herman menatap Marcel yang tidak segera menjawab pertanyaannya.“Saya—mereka yang mencari saya, Yah.” Marcel menjelaskan karena faktanya memang seperti itu.Dia tidak pernah tahu tentang ahli obat atau kerabat keluarga Delvino sebelum mereka muncul setelah Aldi berhasil menemukannya lebih dulu.“Apa sebelumnya kamu tahu soal ini?” tanya Herman lagi.Marcel menggeleng dan menjawab, “Masalahnya mereka mengakui saya sebagai ahli obat yang mereka cari-cari, jadi saya tidak berani tertarik lebih jauh soal masa lalu saya.”Herman kemudian saling pandang dengan Reina.“Tapi Marcel ini menantu kami,” ujar Reina pura-pura memberi pengertian. “Tidak mungkin kalian membawanya pergi begitu saja, bagaimana dengan putri kami?”Stefi melirik Marcel dan berkata, “Terserah Marcel, urusan kami hanya sebatas datang untuk menjemputnya pulang.”Marcel tahu apa makna dari tatapan Stefi itu, dia secara tersirat menyuruhnya untuk memilih.“Apa betul kalau mereka berdua ini adalah kerabat keluarga kita, Yah?”
“Jangan sembarangan bicara,” tegur Herman kepada Alvon. “Yang jelas keluarga besar kita bukanlah keluarga sembarangan.”Giliran Shirley yang menatap ayahnya dengan tampang tidak mengerti.“Kita ini keluarga apa sih, Yah? Bangsawan?” tanya Shirley antara penasaran dan juga bingung.“Semacam keluarga dengan status sosial yang tinggi,” angguk Herman dengan suara berat. “Ayah sama sekali tidak menyangka kalau Marcel adalah ahli obat yang selama ini kita cari-cari ... apa tanggapan kalian tentang ini kira-kira?”Shirley mengangkat bahu.“Kenapa kita tidak melacak keberadaan orang tua Marcel sekarang?” usul Reina cepat. “Kalau mereka tidak terkejut, itu artinya bakat asli Marcel selama ini telah ditutup-tutupi.”Alvon saling pandang dengan Shirley.“Kalau semua ini bukan mimpi dan Marcel adalah seorang ahli obat, itu artinya kita sudah membuang permata yang selama ini kita punya.”Shirley menghela napas.“Tapi dia pelit sama aku,” katanya ketus. “Masa aku hanya dikasih tiga juta, masa iya a
“Apa ini valid?” tanya Marcel sambil memandang Lista dengan ragu.“Apa maksud kamu?” balas Lista tersinggung. “Kamu meragukan kemampuan orang-orang kami yang mengecek sampel darah kamu?”Marcel mengangkat bahu.“Aku tidak pernah yakin biarpun kalian meyakini bahwa aku adalah ahli obat yang asli,” katanya lambat-lambat. “Yang aku tahu, sejak kecil aku sudah tinggal bersama orang tuaku. Dan mereka tidak pernah bilang kalau aku ini punya bakat di bidang medis.”Stefi segera mengisi kursi kosong yang ada di samping Marcel.“Tapi dengan adanya bukti surat ini, kamu harus yakin kalau kamu adalah ahli obat.” Stefi menengahi. “Orang yang selama ini kami cari sejak lama.”“Kenapa aku harus seyakin itu?” tanya Marcel sambil menoleh memandang Stefi. “Aku pribadi tidak benar-benar mengenal kalian selain berita tentang keluarga Delvino yang santer beredar.”“Wah, kami senang karena kamu sudah sempat mendengar tentang keluarga besar kami.” Stefi berkomentar. “Tapi mulai sekarang kamu harus yakin ka
"Ada apa, Pak?" tanya Ivan dengan wajah yang sudah kembali menjadi serius."Awasi lab ini supaya Bu Venya merasa aman selama melakukan penelitian," jawab Aldi tegas. "Kita tidak pernah tahu kapan persaingan antara kita dengan keluarga Delvino itu meletus, terlebih kalau Marcel sudah berada di sana."Diko menyipitkan matanya."Apa itu berarti Pak Marcel ada di pihak mereka?" Dia memastikan."Tergantung," sahut Aldi. "Tapi tidak apa-apa, saya percaya Marcel mewarisi bakat kedua orang tuanya.""Kenapa Anda bisa begitu yakin, Pak?" tanya Ivan dengan kening berkerut."Karena saya mengenal baik ayah dan ibu Marcel," jawab Aldi sambil meneruskan langkahnya. "Sesederhana itu."Diko dan Ivan saling pandang kemudian sama-sama mengangkat bahu tidak mengerti.Hari pertama tinggal bersama keluarga Lista, Marcel diperlakukan dengan sangat baik. dari situ dia mulai bimbang dengan segala cerita Aldi tentang kesuraman yang pernah terjadi dalam keluarga itu."Bagaimana tidurmu, Marcel?" sapa Stefi keti