"Ada apa, Pak?" tanya Ivan dengan wajah yang sudah kembali menjadi serius."Awasi lab ini supaya Bu Venya merasa aman selama melakukan penelitian," jawab Aldi tegas. "Kita tidak pernah tahu kapan persaingan antara kita dengan keluarga Delvino itu meletus, terlebih kalau Marcel sudah berada di sana."Diko menyipitkan matanya."Apa itu berarti Pak Marcel ada di pihak mereka?" Dia memastikan."Tergantung," sahut Aldi. "Tapi tidak apa-apa, saya percaya Marcel mewarisi bakat kedua orang tuanya.""Kenapa Anda bisa begitu yakin, Pak?" tanya Ivan dengan kening berkerut."Karena saya mengenal baik ayah dan ibu Marcel," jawab Aldi sambil meneruskan langkahnya. "Sesederhana itu."Diko dan Ivan saling pandang kemudian sama-sama mengangkat bahu tidak mengerti.Hari pertama tinggal bersama keluarga Lista, Marcel diperlakukan dengan sangat baik. dari situ dia mulai bimbang dengan segala cerita Aldi tentang kesuraman yang pernah terjadi dalam keluarga itu."Bagaimana tidurmu, Marcel?" sapa Stefi keti
Sarapan berlangsung lancar-lancar saja pagi itu, meskipun sedikit terlambat karena diwarnai dengan obrolan yang menurut mereka penting mengenai Marcel.“Kalian berdua yakin kalau tes darah itu menunjukkan data yang sebenarnya, kan?” tanya Naya, sosok yang terlihat paling ragu mengenai kebenaran apakah Marcel betul ahli obat yang asli atau bukan.“Tentu saja, Tante ....”“Maaf, saya pribadi masih ragu soal tes itu.” Marcel menyela, membuat Stefi dan Lista menoleh ke arahnya.“Apa maksud kamu bicara begitu?” hardik Lista dalam bisikan rendah.“Ini ada apa?” tukas Naya. “Mana ada ahli obat yang meragukan kalau dirinya adalah seorang ahli obat?”Stefi menyunggingkan senyum sebelum menanggapi ucapan ibunya.“Apa yang aneh? Kita harus maklum untuk sementara, wajar saja kalau Marcelino banyak yang tidak tahu apa-apa, dia kan dibesarkan tanpa tahu apa-apa soal medis.”“Tidak masalah,” sela Damian menengahi. “Mana ada anak yang sanggup mengingat seluruh perjalanan dalam hidupnya, jadi kita tid
"Ya suka-suka kamu lah," sahut Shirley dengan nada cuek.“Maaf, aku mengganggu kebersamaan kalian. Ayah mertua mana, aku mau bertemu.” Marcel berkata, masih dengan bahasa yang formal.Ketika itulah Dito berbalik ke arahnya.“Kamu!” tunjuk Dito dengan wajah tak percaya.“Dit, kamu tetap harus sopan sedikit!” tegur Shirley sambil melirik teman dekatnya. “Ada perlu apa kamu datang ke sini, Cel?”“Terima kasih,” ucap Marcel seraya duduk di kursi yang telah disediakan.“Kamu sengaja menunda-nunda cicilan ya?" tanya Dito sambil memandang Marcel dengan sorot mata menuduh.“Bukan, aku tidak pernah sengaja menunda.” Marcel menegaskan. “Lagipula aku pernah bilang kalau biar Pak Herman sendiri yang menghubungi aku kalau beliau keberatan dengan ....”“Alah, kamu saja tidak bisa dihubungi selama ini,” tepis Dito yang tidak terima dengan alasan Marcel.“Tidak perlu mempedulikan dia, Cel.” Shirley menyela seraya membuka laci meja kerjanya. “Aku mencoba percaya sama kamu, apalagi kamu sudah memberi a
Shirley tiba-tiba muncul dan melihat suasana emosional yang tengah berlangsung di hadapannya, Reina berbisik kepada Herman.“Ini kesempatan kita untuk membujuk Marcel,” katanya di telinga sang suami. “Kamu tidak boleh kehilangan menantu kamu, Sayang. Mereka belum bercerai.”Herman bergeming.“Itu betul, kita harus bujuk Marcel bagaimana pun caranya.” Dia menimpali.“Tapi aku ...” ucap Shirley ragu-ragu.“Apa lagi yang kamu pikirkan?” desis Reina. “Marcel itu adalah ahli obat sangat legendaris! Sekali dia mendapatkan hak paten, dia akan kaya raya!”Shirley tetap bergeming.“Marcel, tunggu!” Reina mengejar sang menantu. “Kamu tidak harus meninggalkan istri kamu kan?”“Saya tidak akan melupakan kalian,” ucap Marcel sambil menatap wanita yang selama ini telah menjadi mertuanya. “Tapi saya harus tetap kembali ke tempat Pak Aldi, Bu.”“Kami akan sangat kehilangan kamu,” sahut Herman. “Bertahun-tahun kami bersama kamu, banyak momen yang kita lewati bersama-sama ....”“Aku tahu, Yah.” Marcel
Shirley dan Alvon saling lirik dengan kening berkerut.“Kamu ke kantor, tidak?” tanya Reina ingin tahu. “Shirley kan sudah di sini, biarkan dia memikirkan cara untuk bisa membujuk Marcel supaya tidak bercerai.”“Tapi, Bu ....” Shirley sudah akan membantah, tapi Alvon buru-buru menyenggol kakinya dengan keras.“Oke, kita harus kerja lebih keras karena tambang emas kita sudah pergi akibat kecerobohan anak-anak kita.” Herman memandang Shirley dan Alvon sejenak, setelah itu dia mengajak Reina pergi meninggalkan rumah.“Argh! Semua ini gara-gara Marcel!” gerutu Shirley sambil mengembuskan napas keras.“Tenang dulu, sabar!” sahut Alvon. “Memangnya gimana sih ceritanya? Si Marcel memang jadi ahli obat betulan ya? Kok aku tidak bisa percaya kalau orang seperti suami kamu adalah keturunan ahli obat?”Shirley menarik napas panjang.“Aku sendiri sebetulnya juga tidak mau percaya, tapi ayah dan ibu memaksa aku untuk tetap membujuk Marcel supaya nggak bercerai.” Dia menjelaskan duduk permasalahann
Marcel memandang Ciko dengan mata menyipit.“Aku menunggu kamu mempertemukan kami,” ujar Marcel sambil mengangkat bahu. “Kamu tahu betul kalau aku sendiri kurang meyakini kalau aku adalah ahli obat yang kalian cari, makanya aku tidak buru-buru minta dipertemukan dengan orang tua aku.”Menarik, batin Ciko dalam hati.“Kamu tidak hilang ingatan kan?” tanya Ciko ingin tahu.“Aku bukannya hilang ingatan, tapi memang aku tidak bisa ingat apa saja yang sudah aku alami sejak kecil.” Marcel menjelaskan. “Ketika aku sudah bisa mengenal kehidupan, aku sudah dihadapkan keputusan untuk menikah dengan adik kamu. Jadi aku mana ingat dengan hal-hal atau anggota keluarga yang ada di sini.”Ciko tersenyum samar.“Oke, kita tidak perlu mempermasalahkan hal itu.” Dia menatap Marcel. “Kapanpun kamu siap, Lista akan mempertemukan kamu dengan orang tua kandungmu yang sebesar-besarnya. Tentu saja tidak sekarang, mereka tidak ingin buru-buru.”Marcel melirik Ciko dengan tatapan yang tidak kalah tajam.“Ngomo
Pertarungan berlangsung dengan sangat sengit, Marcel dan Ronnie saling serang tanpa henti.Ronnie yang memiliki dendam tersendiri karena merasa dipermainkan Marcel, cukup tangguh saat mencoba melumpuhkan sepupunya.“Keluarkan kemampuan terbaikmu, bangsat!” umpat Ronnie sambil meninju Marcel, tapi luput.Marcel tertawa mengejek dan melompat tinggi hingga membuat Ronnie terpana.“Aku belum ingin menggunakannya kalau hanya untuk melawan kamu,” kata Marcel sambil mendarat mulus dengan kedua kakinya di atas lantai.“Kamu terlalu percaya diri sekali,” cemooh Ronnie sambil mengejar Marcel yang mengangkat kedua tangannya.Baku hantam terus berlanjut dari mulai adu jotos, saling tendang, dan juga hampir saja saling menghabisi jika saja tidak ada orang lain yang lewat.Ciko yang kebetulan melintas saat hendak menuju ke ruang pengawas, kaget setengah mati saat mendapati Ronnie bisa keluar dari kurungan dan sedang berusaha menghajar Marcel.“Stop, berhenti!” teriak Ciko, dia menghentikan langkahn
Marcel terjaga hampir sepanjang malam, dia masih tidak mengerti kenapa Lista dan Stefi berkeras memaksanya tinggal di rumah ini sedangkan Ronnie terlihat jelas tidak menyukainya.Tatapan Marcel menyisir ke seliling kamar untuk mencari keberadaan kamera pengawas. Setelah yakin bahwa kamar itu aman, dia mengambil ponsel lama yang pernah diretas oleh Ivan beberapa waktu yang lalu.Kenapa tidak ada tanda-tanda dari Pak Aldi atau Ivan, batin Marcel dalam hatinya. Dia tidak ingin terjebak lebih lama lagi di kediaman keluarga besar Delvino, meskipun ada rahasia besar entah apa yang dia tidak tahu.“Pertemukan aku sama orang tua aku,” kata Marcel ketika esok harinya bertemu dengan Lista.“Apa yang membuat kamu tiba-tiba ingin segera bertemu dengan orang tua kamu?” tanya Lista balik.“Bukankah wajar?” sahut Marcel ingin tahu. “Seorang anak yang ingin bertemu dengan orang tua kandungnya kembali, apakah salah?”Lista tersenyum samar.“Itu berarti kamu mengakui bahwa kamu adalah Marcelino, keturu
Untuk meluapkan kemarahannya yang tertahan, Shirley memilih untuk mendatangi ruang kerja Herman detik itu juga.Sebenarnya Shirley tergoda sekali ingin menghakimi Marcel sendiri untuk pertama kali, tetapi dia mengurungkannya karena masih memikirkan nama baik sang ayah.Setibanya di ruang kerja, Shirley segera memberi tahu kedatangan Marcel.“Ayah dan Ibu sebaiknya cepat turun, Marcel menunggu.” “Ada Marcel? Ini benar-benar kejutan.” Herman segera berdiri dari duduknya.“Ayo kita semua turun, kita harus berbaik-baik kepada Marcel kalau tidak ingin tambang emas kita hilang untuk kesekian kalinya ....""Aku akan siapkan jamuan untuk Marcel," sahut Reina tidak sabar, dan wanita itupun segera berlalu pergi untuk memerintahkan pelayan menyiapkan teh.Selama menunggu, Marcel sibuk memainkan gawainya. Dia sempat berpikir untuk membahas perceraian dengan Shirley setelah menyelesaikan urusan orang tuanya. Setelah beberapa saat menunggu, Herman dan istrinya muncul bersama Shirley di hadapan Ma
Shirley bertopang dagu sambil memandang ke arah sahabatnya.“Aku malah mikirnya begini, bagaimana kalau ternyata Lino itu adalah Marcel yang menyamar?” ujar Shirley lambat-lambat. “Siapa yang tahu, kan? Dia sengaja pura-pura jadi orang lain karena mau balas dendam sama aku, dengan cara menggulingkan perusahaan ayah.”Elen terbengong-bengong saat mendengar ucapan Shirley yang mulai ke mana-mana.“Kamu ini Bu, kebanyakan nonton drama!” seloroh Elen sambil geleng-geleng kepala. “Saya jadi penasaran seperti apa wajah si Lino itu.”“Percaya deh sama aku, dia itu sebelas dua belas sama Marcel!” Shirley terus-menerus berusaha meyakinkan Elen.“Maaf ya Bu, tapi saya tidak percaya kalau belum bertemu sama orang yang kamu maksud itu.” Elen menghela napas. “Sudahlah, mungkin kamu terlalu sibuk kerja. Stres kan jadinya lama-lama.”“Enak aja, aku tidak stres!” sergah Shirley tidak terima. “Aku hanya gila kalau aku tidak segera tahu siapa Linocemar yang sebenarnya.”Elen melambaikan tangan kepada s
“Kamu tidak perlu bersandiwara di depanku, Cel. Jadi kamu sengaja bersembunyi?” kata Shirley tanpa mempersilakan pria itu duduk. “Terus tiba-tiba kamu datang lagi buat menghancurkan hidup aku?”“Kamu ini bicara apa, sih? Aku Lino, perwakilan dari Aldians untuk menemui Bu Shirley.” Pria itu menegaskan. “Baik, kalau memang tidak ada pembahasan yang penting, aku akan menghubungi sekretarisnya lain waktu.”Pria itu berbalik dan Shirley segera berdiri untuk mencegahnya pergi.“Tunggu dulu!” seru Shirley tertahan hingga pria itu menghentikan langkahnya dan berbalik.“Ada apa lagi?”“Maaf ... sepertinya aku ... kita lanjut,” kata Shirley terbata-bata. “Jadi kamu ini adalah ... Pak Lino yang rencananya bertemu sama aku?”Pria itu menatap Shirley lurus-lurus.“Ya,” sahutnya pendek.Shirley menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.“Silakan duduk Pak,” pinta Shirley sopan meskipun dia masih setengah shock. “Saya Shirley, CEO dari Delvinos yang mengundang kamu.”Pria bernama Lino itu menatap S
Semakin tinggi pohon, semakin kencang pula anginnya. Begitu juga dengan perusahaan Herman yang selama beberapa waktu ini dinobatkan sebagai perusahaan raksasa yang berkibar. "Bu Shirley, Pak Erlan membatalkan kerja sama kita dan memilih kontrak kerja dengan perusahaan lain." Fira melaporkan hasil pembicaraannya kepada Shirley menjelang waktu makan siang. "Apa? Batal?" Shirley mendongak dari pekerjaannya. "Kamu tahu siapa perusahaan yang menyaingi kita?"Fira menganggukkan kepalanya. "Perusahaan milik seorang pengusaha single dan pintar .... ""Fira, saya tanya nama perusahaan yang menyaingi kita. Bukan status pemilik perusahaannya," tukas Shirley yang telinganya paling sensitif jika mendengar kata single. "Maaf Bu, tapi saya sering mendengar orang-orang membahasnya," sahut Fira salah tingkah. "Membahas soal status pemiliknya?" tanya Shirley lagi. "Bukan Bu, mereka hanya sering menyebutnya bos single kaya." Fira menjelaskan. "Dia memimpin dua perusahaan besar dan salah satunya be
“Jangan memandang ibu saya seperti itu,” kata Elen, kali ini dengan nada yang begitu dingin sementara tatapan matanya tajam memperingatkan Shirley agar lebih menjaga sikap.“Hai, Bu ...?” sapa Shirley dengan mimik terpaksa. “Apa ... Ibu tinggal di sini?”Elen hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, sudah tahu kalau ini adalah kediaman orang tuanya ... masih juga dia bertanya.“Iya, sejak Elen masih bayi merah.” Ibu Elen menyahut sambil tersenyum. “Masuk dulu, Bu?”Shirley sebenarnya ingin menolak, tapi Elen mengingatkannya soal Pak Herman dari sudut bibirnya nyaris tanpa suara.“Di sini saja, Bu.” Shirley terpaksa menganggukkan kepala sambil berjalan mendekati bangku kayu panjang yang ada di depan warung lalu meniup-niup bangku kayu sebelum dia duduki, seakan ada debu setebal satu senti di atasnya.“Bisa tidak sih kamu tidak perlu seperti itu?” tanya Elen tersinggung. “Keluarga saya memang sangat sederhana, tapi kami selalu jaga kebersihan soal rumah.”Shirley tidak menanggapi dan senga
Kali ini, Jena tidak tertawa seperti biasanya jika mendengar Shirley menghujat orang.“Shierly, dia kan relasi bisnis kamu.” Jena mengingatkan. “Paling tidak, hormatilah dia sedikit.”Shirley mengangkat sebelah alisnya ke arah pantulan Jena di cermin besar yang ada di depannya.“Kamu belain Elen?” tanyanya sambil menyipit curiga.“Bukannya belain, tapi memang dia itu relasi bisnis kamu kan?” tanya Jena balik. “Ya aku kasihan saja sih lihat dia, aku lihat dia baik dan tidak aneh-aneh ....”“Terus?” pancing Shirley sinis.“Kasihan saja sih, lihat kamu galak sama dia terus.” Jena mengangkat bahu. “Tidak ada maksud apa-apa.”Shirley mengembuskan napas keras dan tidak berkata apa-apa.Beberapa saat kemudian ....Saat rambut Shirley selesai dibilas dan sedang dalam proses pengeringan, Elen muncul dengan rambut yang sudah tidak selepek sebelumnya. “Hei, ngapain kamu masuk-masuk tanpa izin?” hardik Shirley, mengagetkan beberapa pengunjung salon yang sedang menikmati layanan para kapster.Leb
“Karena saya cuma pegawai,” jawab Elen. “Tapi Shirley bukanlah atasan kamu,” kata Marcel menegaskan. “Di perusahaan itu kalian berdua sama-sama CEO, kamu sama Shirley sederajat di mata Pak Herman.”Elen tidak segera menjawab.“Tapi ... tetap saja bagi Bu Shirley, saya hanyalah pegawai kelas rendah dan akan selamanya seperti itu.” Dia memandang Marcel. “Seandainya Bu Shirley bukan putri bos, mungkin saya akan melawannya.”Marcel tersenyum singkat mendengar pengakuan Elen.“Jadi sebenarnya kamu punya kemampuan untuk melawan Shirley,” komentar Marcel lugas. “Tapi kamu sendiri yang menolak menggunakan kesempatan itu, padahal kamu bisa.”“Tapi ...” Elen tidak menemukan kata-kata yang pas untuk menanggapi.“Dengarkan saya, Elen. Kamu dan Shirley sudah dikasih kesempatan untuk kerja sama, jadi saya minta tolong.” Marcel menyela sambil menatap Elen dengan serius. “Tolong bantu saya untuk mencari tahu keseluruhan bisnis yang dikembangkan keluarga istri saya.”“Apa, Pak?” Elen membelalakkan ma
“Wah, wah, senang sekali melihat kalian berdua akrab seperti ini.” Tanpa diduga, Herman muncul saat ceramah Shirley masih berlangsung.“Pak?” Elen cepat-cepat berdiri untuk menyambutnya. “Yah, lihat deh. Elen mau beli mobil,” tunjuk Shirley sambil memandang ayahnya. “Calon sekretaris pilihan ayah sudah mulai naik kelas rupanya ....”“Shirley, biasakan menyebut nama orang dengan baik.” Herman menegur putrinya. “Soal mobil, tidak ada yang salah dengan hal itu kan?”Shirley mengangkat bahunya dan berpikir bahwa ayahnya sama sekali tidak sependapat dengannya.“Kenapa kamu tidak pergi ke ruangan kamu sendiri?” tanya Herman sambil memandang putrinya. “Atau kamu memang berniat mendekatkan diri sama sekretaris kamu? Ayah akan izinkan kalau itu tujuan kamu.”“Tidak deh, Yah.” Shirley menggelengkan kepalanya sambil berdiri dari kursinya. “Mungkin Ayah yang sebenarnya mau mengenal si kampung lebih dekat ....”“Shirley, berapa kali papa harus tegur kamu supaya menyebut nama orang dengan benar?”
Sekeras apa pun usaha Shirley untuk menolak rencana itu, tetap saja ayahnya tidak akan membatalkan rencana yang sudah dia susun sejak lama.“Apa sih Ayah lihat dari Elen?” tanya Shirley tidak habis pikir. “Kalau Ayah memang mau aku berkarir, biar aku yang cari sekretaris sendiri.”“Memangnya kamu bisa menjamin kalau sekretaris yang kamu pilih itu adalah orang baik-baik?” tanya Herman sambil memandang putrinya lekat-lekat. “Paling juga dia hanya mau sama kekayaan Ayah saja ....”“Apa Ayah pikir Elen juga tidak begitu?” sahut Shirley dengan napas memburu. “Dia kan dari keluarga pas-pasan, jelas saja dia tidak menolak jabatan ini.”“Elen menolak kok,” kata Herman tenang. “Apa?” Shirley terpaku. “Dia menolak ...? Sombong amat, tapi baguslah. Itu berarti Ayah tidak perlu lagi memaksakan kerja sama ini.”Herman menarik napas.“Justru karena Elen menolak, makanya ayah akan tetap meneruskan rencana kerja sama kalian.” Dia menyahut. “Justru ini yang ayah harapkan, kamu mendapatkan sekretaris