Shirley dan Alvon saling lirik dengan kening berkerut.“Kamu ke kantor, tidak?” tanya Reina ingin tahu. “Shirley kan sudah di sini, biarkan dia memikirkan cara untuk bisa membujuk Marcel supaya tidak bercerai.”“Tapi, Bu ....” Shirley sudah akan membantah, tapi Alvon buru-buru menyenggol kakinya dengan keras.“Oke, kita harus kerja lebih keras karena tambang emas kita sudah pergi akibat kecerobohan anak-anak kita.” Herman memandang Shirley dan Alvon sejenak, setelah itu dia mengajak Reina pergi meninggalkan rumah.“Argh! Semua ini gara-gara Marcel!” gerutu Shirley sambil mengembuskan napas keras.“Tenang dulu, sabar!” sahut Alvon. “Memangnya gimana sih ceritanya? Si Marcel memang jadi ahli obat betulan ya? Kok aku tidak bisa percaya kalau orang seperti suami kamu adalah keturunan ahli obat?”Shirley menarik napas panjang.“Aku sendiri sebetulnya juga tidak mau percaya, tapi ayah dan ibu memaksa aku untuk tetap membujuk Marcel supaya nggak bercerai.” Dia menjelaskan duduk permasalahann
Marcel memandang Ciko dengan mata menyipit.“Aku menunggu kamu mempertemukan kami,” ujar Marcel sambil mengangkat bahu. “Kamu tahu betul kalau aku sendiri kurang meyakini kalau aku adalah ahli obat yang kalian cari, makanya aku tidak buru-buru minta dipertemukan dengan orang tua aku.”Menarik, batin Ciko dalam hati.“Kamu tidak hilang ingatan kan?” tanya Ciko ingin tahu.“Aku bukannya hilang ingatan, tapi memang aku tidak bisa ingat apa saja yang sudah aku alami sejak kecil.” Marcel menjelaskan. “Ketika aku sudah bisa mengenal kehidupan, aku sudah dihadapkan keputusan untuk menikah dengan adik kamu. Jadi aku mana ingat dengan hal-hal atau anggota keluarga yang ada di sini.”Ciko tersenyum samar.“Oke, kita tidak perlu mempermasalahkan hal itu.” Dia menatap Marcel. “Kapanpun kamu siap, Lista akan mempertemukan kamu dengan orang tua kandungmu yang sebesar-besarnya. Tentu saja tidak sekarang, mereka tidak ingin buru-buru.”Marcel melirik Ciko dengan tatapan yang tidak kalah tajam.“Ngomo
Pertarungan berlangsung dengan sangat sengit, Marcel dan Ronnie saling serang tanpa henti.Ronnie yang memiliki dendam tersendiri karena merasa dipermainkan Marcel, cukup tangguh saat mencoba melumpuhkan sepupunya.“Keluarkan kemampuan terbaikmu, bangsat!” umpat Ronnie sambil meninju Marcel, tapi luput.Marcel tertawa mengejek dan melompat tinggi hingga membuat Ronnie terpana.“Aku belum ingin menggunakannya kalau hanya untuk melawan kamu,” kata Marcel sambil mendarat mulus dengan kedua kakinya di atas lantai.“Kamu terlalu percaya diri sekali,” cemooh Ronnie sambil mengejar Marcel yang mengangkat kedua tangannya.Baku hantam terus berlanjut dari mulai adu jotos, saling tendang, dan juga hampir saja saling menghabisi jika saja tidak ada orang lain yang lewat.Ciko yang kebetulan melintas saat hendak menuju ke ruang pengawas, kaget setengah mati saat mendapati Ronnie bisa keluar dari kurungan dan sedang berusaha menghajar Marcel.“Stop, berhenti!” teriak Ciko, dia menghentikan langkahn
Marcel terjaga hampir sepanjang malam, dia masih tidak mengerti kenapa Lista dan Stefi berkeras memaksanya tinggal di rumah ini sedangkan Ronnie terlihat jelas tidak menyukainya.Tatapan Marcel menyisir ke seliling kamar untuk mencari keberadaan kamera pengawas. Setelah yakin bahwa kamar itu aman, dia mengambil ponsel lama yang pernah diretas oleh Ivan beberapa waktu yang lalu.Kenapa tidak ada tanda-tanda dari Pak Aldi atau Ivan, batin Marcel dalam hatinya. Dia tidak ingin terjebak lebih lama lagi di kediaman keluarga besar Delvino, meskipun ada rahasia besar entah apa yang dia tidak tahu.“Pertemukan aku sama orang tua aku,” kata Marcel ketika esok harinya bertemu dengan Lista.“Apa yang membuat kamu tiba-tiba ingin segera bertemu dengan orang tua kamu?” tanya Lista balik.“Bukankah wajar?” sahut Marcel ingin tahu. “Seorang anak yang ingin bertemu dengan orang tua kandungnya kembali, apakah salah?”Lista tersenyum samar.“Itu berarti kamu mengakui bahwa kamu adalah Marcelino, keturu
Aldi mengumpulkan sebagian besar anggota markas seusai sarapan.“Beberapa bulan sudah kita lalui dengan membangun lab yang disempurnakan,” ucap Aldi membuka pidatonya. “Untuk itu kita harus menggunakan lab ini untuk kepentingan umat manusia, dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia untuk alam ini.”Diko yang duduk di samping Ivan, ikut mendengarkan dengan saksama.“Pembangunan fasilitas dan pelatihan untuk orang-orang yang ingin bergabung dengan kita akan terus berlangsung, karena itu sudah saatnya kita mulai menunjukkan eksistensi kita.” Aldi melanjutkan. “Persaingan dengan keluarga besar Delvino pasti akan ada, karena tujuan kita memang ingin mengubah hidup sekaligus meruntuhkan kekuasaan keluarga Delvino yang memonopoli setiap aspek di wilayah yang tunduk pada mereka.”Aldi mengangkat kepalan tangannya ke atas kepala.“Apa kalian siap?” Dia bertanya dengan suara keras.“Siap!” Seluruh ruangan menyahut dengan suara tak kalah keras.“Ada yang mau kalian tanyakan?” Aldi
Marcel menggunakan mobil yang dia sewa menggunakan aplikasi ponselnya."Tujuan ke mana, Pak?" tanya sopir ketika Marcel dan yang lain sudah masuk mobil."Kantor Pak Aldi," jawab Marcel. "Ini alamatnya ...."Kedua orang tua Marcel dan ilmuwan tadi duduk berdempetan selama mobil melaju. Tidak berapa lama kemudian, terdengar mobil berguncang disusul decit rem yang memekakkan telinga.“Maaf!” “Apa yang terjadi?”Perempuan yang berdiri di dekat mobil sewaan Marcel itu terlihat raut putus asa ketika Marcel turun untuk memeriksa “Perbuatan kamu itu sangat membahayakan orang lain, termasuk kamu sendiri.” Marcel memberi teguran. Bagaimana tidak, beberapa orang yang kebetulan sedang duduk-duduk menunggu angkutan umum kini mulai memperhatikan mereka.“Saya hanya mau penderitaan saya segera berakhir,” ucap perempuan itu menahan tangis. “Tidak akan ada seorangpun yang kehilangan saya ... bahkan suami saya sendiri ....”Marcel tertegun. Khawatir jika orang-orang akan salah paham terhadap kejadia
“Kamar seperti ini buat apa?”Sementara itu orang-orang yang ditempatkan Nita di ruangan tersendiri kini tengah melayangkan protes.“Buat tidur saja tidak layak!”“Hanya ini tempat yang bisa kami sediakan,” ujar Nita berusaha ramah. “Setidaknya itu sebagai bentuk tanggung jawab kami sebagai rekan kerja Pak Marcel.”“Alah, kami ini orang tuanya Marcel!” cela wanita itu dengan alis terangkat sebelah. “Tunjukkan tanggung jawab kamu, kasih kami setidaknya tiga kamar senyaman hotel bintang lima! Bukan yang seperti ini? Parah!”Nita meradang, ingin sekali rasanya dia mengadukan sikap mereka kepada Marcel.Namun, dia berusaha bersikap profesional.“Saya sudah mencoba memberikan yang terbaik, tapi Ibu masih bisa bilang kalau kami tidak tanggung jawab?” ucap Nita halus.“Eh kamu, makanya mikir!” sentak si wanita semena-mena. “Kamu itu pegawai Marcel, anak saya! Jelas saja kelas kita beda, kamu yang bawahan ini mana paham kalau saya membutuhkan fasilitas lebih banyak daripada yang sudah kamu ka
Marcel menangkap basah Dirlan ketika dia membuntuti pria itu ke sebuah bangunan yang lokasinya cukup tersembunyi.“Jadi ternyata kamu bukan ayahku, kan?”“Begitulah,” angguk Dirlan.“Ikut kami sekarang,” kata salah seorang yang langsung menjebloskan Marcel ke dalam ruangan.Dengan tenang Marcel membiarkan dirinya digelandang ke sebuah rumah berlantai dua yang letaknya tidak terlalu jauh dari kantor.Di sana sudah ada beberapa pria yang menunggunya dengan tampang waspada. Tanpa banyak basa-basi memperkenalkan diri, satu di antara mereka langsung mengajak Marcel bicara.“Jadilah ahli medis di perusahaanku, maka kamu akan dapatkan kembali harta dan wanita sesuka hatimu.”Marcel mendongak dari posisinya yang tengah duduk diapit dua anggota gangster bersenjata api dan bertubuh kekar.“Kamu salah orang,” sahut Marcel datar, dengan kedua kata menatap lurus ke arah pria muda berompi yang duduk menghadapnya dengan aura mencekam. “Aku bukanlah orang yang kamu cari.”Pria jangkung dengan iris ma