Marcel mengerem langkahnya saat orang-orang yang tadi dia lihat berjaga kini kompak membentuk dinding untuk menghalangi jalannya.Dia lantas berbalik dan mendapati Lista yang melangkah perlahan mendekatinya.“Apa maksud semua ini?” tanya Marcel datar. “Kalian masih juga terobsesi dengan orang tuaku? Kalian curiga kalau aku mewarisi bakat meracik obat?”Stefi ikut mendatangi Marcel meskipun dengan wajah yang masih terlihat ramah dibandingkan Lista.“Kami tidak ada niat jahat sama kamu,” kata Stefi masih mencoba membujuk Marcel. “Tinggallah lebih lama lagi di sini, aku janji kamu tidak akan rugi sedikit pun.”Marcel beralih menatap Stefi.“Kalau kamu benar-benar putra mereka, maka tempatmu sudah betul di sini.” Lista menimpali. “Tapi kalau kamu bukan orang yang kami cari, maka kami akan melepaskan kamu.”Marcel menanggapi ucapan Lista dengan tatapan curiga. Dia urung melakukan perlawanan yang frontal karena tidak ingin memancing keributan yang semakin besar.“Aku yakin sekali kalau kali
“Kamu ada apa ke sini?” tanya Ciko ingin tahu, sementara Ronnie memilih diam karena khawatir dia akan kena semprot lagi oleh anggota keluarga besarnya.“Aku ke sini mau memastikan sesuatu,” jawab Lista dengan wajah serius seraya duduk di salah satu kursi.“Dari tadi kami ada di sini dan tidak ke mana-mana,” lapor Ciko, khawatir jika Lista mengawasi mereka diam-diam selama ini.“Bukan masalah itu,” tukas Lista sambil memandang Ciko dan Ronnie bergantian. “Aku mau menunjukkan sesuatu ke kalian.”Di saat itulah baru Ronnie berani memandang saudara jauhnya.“Apa kalian kenal orang ini?” tanya Lista sambil menunjukkan foto Marcel di layar ponselnya.“Itu ... itu kan Marcel?” Ciko menyipitkan matanya dan berusaha mengingat.“Orang yang terpantau tidak ikut acara seminar kesehatan selain Pak Aldi yang dibuat Stefi,” sahut Lista memberi tahu. “Kamu pastinya kenal kan, Ron?”“Itu betul, si Marcel.” Ronnie berpikir keras. “Dia adalah suami adikku, sama artinya dia adalah adik iparku, kan?”“Kam
Marcel baru saja selesai berganti pakaian ketika mendengar pintu kamarnya dibuka. Dia menoleh dan melihat Ronnie yang muncul di hadapannya sambil membawakan makanan.“Kamu!” ucap Marcel dan Ronnie bersamaan.Marcel menatap curiga ketika Ronnie melangkah masuk ke kamarnya dengan baki di atas tangan sementara ada dua orang penjaga yang mengawasi mereka.“Jadi selama ini kamu sengaja mengecohku?” tanya Ronnie dengan suara lirih sambil meletakkan nampan di atas meja. “Makan ini sampai habis, setelah itu aku mau bicara serius sama kamu.”Marcel bergeming dan tidak segera menanggapi. Melihatnya tidak merespons, Ronnie menoleh ke arah para penjaga.“Kalian berjaga di luar saja, tutup pintunya.” Dia memerintahkan.Awalnya, para penjaga itu saling tatap dengan ragu. Kekacauan yang diperbuat Ronnie ternyata sudah menyebar ke telinga mereka, karena itu perintah Ronnie tidak segera dilaksanakan.“Kenapa kalian malah melihatku seperti itu?” hardik Ronnie dengan ekspresi tersinggung. “Aku mau bicar
Marcel menurut saja karena dia ingin mengetahui rahasia di balik keluarga Delvino.“Kamu tidak takut kalau ketahuan Lista?” tanya Marcel sambil mengikuti langkah kaki Ronnie.“Tidak, asalkan kamu benar-benar ahli obat yang asli.” Ronnie menyahut.Marcel tersenyum sinis.“Itu juga kalau kamu beruntung,” sahutnya.Ronnie tidak menanggapi, dia celingukan ke sana kemari selama menempuh perjalanan menuju lab keluarga.“Di mana lab-nya, apakah masih jauh dari sini?” tanya Marcel, tergesa-gesa mengikuti langkah Ronnie yang terburu-buru.“Tinggal ikuti aku saja!” sahut Ronnie tanpa menoleh lagi ke belakang.Marcel tidak lagi mengajukan pertanyaan, di dalam kepalanya dia sudah membayangkan ada hal mengejutkan yang akan terjadi.Bagaimana kalau ternyata dia bukanlah ahli obat? Bisa saja Aldi dan yang lain hanya salah menebak saja dan Marcel tetaplah rakyat jelata yang nasibnya tergadai di tangan keluarga Delvino karena harus menanggung beban utang yang ditinggalkan kedua orang tuanya.“Masuk si
“Baik, Lis!” sahut Ciko dari ujung sana.Lista bergegas menutup ponselnya dan menunggu kedatangan orang-orang yang dipanggilnya.“Anak itu!” geram Lista dengan tangan terkepal. “Selalu saja bikin masalah!”Tidak berapa lama kemudian, Stefi muncul dengan dikawal beberapa orang.“Kenapa bisa jadi seperti ini, Lis?” tanya Stefi ingin tahu.“Itulah, saudara kita bikin ulah lagi!” jawab Lista gusar. “Aku rasa kita harus memeriksa lab di belakang sana.”“Tapi bukannya lab itu sudah tidak pernah dipakai lagi?” tukas Stefi, meskipun demikian dia tetap saja mengikuti langkah Lista disusul orang-orang yang baru saja bergabung dengan mereka.Begitu tiba di lab, Lista dan yang lain disambut pemandangan yang mengejutkan.“Ron, apa yang kamu lakukan?” pekik Stefi tertahan.Di hadapan mereka, darah sudah berceceran di mana-mana sementara Marcel terkapar di kaki Ronnie yang sibuk menampung darah itu di beberapa tabung berukuran kecil.“Ron!” tegur Lista sambil mengumpat dan mendatangi kerabatnya. “Ke
Di kediaman keluarga Delvino, Lista sempat mondar-mandir di depan rumah kerja pamannya. Dia masih berpikir bagaimana caranya memberi tahu kejadian ini kepada sang paman karena dia sudah tidak mungkin bisa menutupi kejadian besar ini.“Lista?” panggil Reina, sukses membuat wanita itu tersentak.“Bibi ... bikin kaget!” ucap Lista dengan wajah tegang.“Kenapa sih?” tanya Reina dengan kening berkerut. “Kamu mondar-mandir terus dari tadi di depan ruang kerja paman kamu, ada apa?”Lista memandang bibinya dengan ragu.“Aku mau menemui paman, Bi. Ada hal penting yang mau aku bicarakan sama dia ....”“Terus kenapa kamu tidak langsung masuk?” tanya Reina dengan kening berkerut. “Malah mondar-mandir tidak jelas begini, sana masuk.”Lista masih berdiri ragu. Sebelum dia sempat menyusun kata-kata yang tepat, Reina sudah membuka pintu dan mendorongnya masuk ke dalam ruangan Herman.“Permisi!” ucap Reina dengan suara yang sengaja dikeraskan, membuat Herman mendongak dari pekerjaannya.“Reina? Ada ap
Sementara itu di rumah inti keluarga Delvino ....“Di mana suami aku?” tanya Shirley yang baru pulang dari perjalanan luar kota. “Apa mungkin Kak Ronnie melakukan hal yang tidak benar sama dia?”Alvon ikut celingukan ke sana kemari, tapi kondisi rumah tampak lengang dan tidak terlihat siapa pun di sana.“Mungkin Marcel pergi senang-senang sama Venya,” jawab Alvon. “Lebih baik kita langsung senang-senang, besok aku ada rapat pagi-pagi sekali ....”“Baiklah, kalau begitu.” Shirley mengangguk saja dan menduga bahwa Marcel memang sedang bersama Venya.Hampir tengah malam, Shirley dan Alvon tiba di rumah dalam keadaan limbung.Keduanya tertawa dan meracau tidak jelas dengan wajah memerah.“Cel! Marcel!” panggil Shirley dengan mata setengah mengantuk. “Cel! Ke mana sih itu orang?”“Kan dia tidak ada di rumah!” celetuk Alvon yang sama telernya. “Suami kamu itu ... minggat lagi!”“Ha ha, iya kah?” sahut Shirley sambil menggaruk-garuk rambutnya. “Duh ... punya suami kok tukang minggat begini,
Marcel segera mengikuti langkah kedua orang itu untuk pergi meninggalkan ruangan. Mereka berjalan layaknya petugas medis, melewati lorong panjang yang sepi dan terkadang hanya bertemu satu-dua orang yang kebetulan melintas. Begitu tiba di dekat pos satpam, Marcel melihat salah satu dari sosok itu memberikan uang kepada petugas yang sedang berjaga. “Bisa minta tolong belikan perban, Pak? Saya capek habis praktek operasi!” “Bisa, Dokter! Saya akan belikan ....” “Ini uangnya!” Marcel diam saja ketika petugas itu dengan mudahnya pergi untuk membelikan mereka perban. “Ambil mobil sekarang!” “Oke!” Satu sosok pergi ke arah parkiran sementara Marcel tetap berdiri di tempatnya. Tidak berapa lama kemudian, suara decit ban mobil terdengar di belakang mereka. “Cepat naik semua!” Marcel merasakan bahunya ditarik dengan keras dan sesaat berikutnya dia sudah berada di dalam mobil yang kemudian langsung tancap gas meninggalkan kawasan rumah sakit. Ketika jarak mobil yang mereka tumpangi s