“Apanya yang tidak bisa?” tanya Marcel tanpa memandang Shirley yang seperti cacing kepanasan.“Ya tidak bisa!” Shirley sampai rela meletakkan tas belanjaan di sembarang tempat dan mengejar Marcel sampai ke dapur. “Enak saja kamu tidak kasih aku uang bulanan ... kamu tidak ingat sama janji yang kamu ikrarkan di depan orang tua aku?”Marcel tidak mempedulikan protes yang didengungkan Shirley dan memilih untuk menyeduh kopi.Namun, tangan Shirley terulur dan sengaja merebut kopi itu.“Kamu mau bikinkan aku kopi? Tumben,” komentar Marcel sambil tersenyum datar. “Memang seharusnya kamu lakukan dulu kewajiban kamu, baru menuntut hak sebagai istri—bukan sebaliknya.”Shirley mengentakkan kakinya dan melempar kopi itu ke tempat sampah.“Kamu sengaja mempermainkan aku?” tanya Shirley tidak terima.“Mempermainkan apa sih maksud kamu?” balas Marcel sambil melipat kedua tangannya di dada.“Ingat janji kamu!” sergah Shirley seraya menunjuk-nunjuk wajah suaminya.“Aku tidak merasa pernah janji apa-a
Sopir taksi itu tetap menyarankan Marcel untuk turun di dekat orang-orang asing itu.“Anda tidak perlu membayar ongkos taksinya,” ujar sopir, membuat Marcel terheran-heran.“Saya ada uang kok, Pak ....”“Tidak apa-apa, hari ini gratis!” sopir taksi itu menunggu Marcel sampai dia terpaksa turun dengan ekspresi heran.“Semoga kita masih bisa bertemu lagi, hati-hati!” bisik sopir taksi itu, yang lantas melaju pergi dari hadapan Marcel begitu saja.“Memangnya penampilanku seperti pengemis?” gerutu Marcel sambil melihat lengan kemejanya sendiri. “Dikira aku tidak cukup mampu untuk bayar ongkos taksi?”Terdengar tawa pelan dan merdu dari belakang Marcel, asalnya dari beberapa orang yang sejak tadi berdiri.“Mau kami antar?”Marcel menoleh dan tatapannya tertumbuk pada seorang wanita muda berambut pendek yang tersenyum ke arahnya.“Maaf, terima kasih ... tapi tidak usah.” Marcel menggeleng sopan.“Tidak apa-apa, kami mau minum kopi setelah itu bisa antar kamu ke tempat tujuan.” Wanita itu me
Marcel mengernyit heran ketika mendengar pertanyaan yang dilontarkan Lista kepadanya.“Jangan sekarang,” desis Stefi sambil melempar pandangan memperingatkan ke arah Lista.“Terus kapan?” tukas Lista karena dia paling tidak suka bertele-tele. “Jadi bagaimana?”Dia memandang Marcel kembali dan menantikan jawabannya.“Saya rasa begitu,” ucap Marcel. “Karena dari kecil saya sudah hidup bersama orang tua.”Lista tampak kurang puas dengan jawaban yang Marcel lontarkan kepadanya.“Kita minum kopi saja dulu,” ajak Stefi buru-buru, tampak khawatir seandainya Marcel tidak nyaman dengan sikap dan juga pertanyaan Lista.“Terima kasih,” angguk Marcel, dalam hati sebenarnya dia merasa waspada dengan sambutan semacam ini.Namun, dia juga enggan untuk menunjukkan respons yang berlebihan.“Kopi yang kami sajikan di sini memiliki cita rasa yang berkualitas tinggi,” ujar stefi sembari menunjukkan cangkir kopinya. “Silakan diminum.”Marcel mengangkat cangkir itu dan meminum kopinya sedikit, dia agak-aga
Marcel mengerem langkahnya saat orang-orang yang tadi dia lihat berjaga kini kompak membentuk dinding untuk menghalangi jalannya.Dia lantas berbalik dan mendapati Lista yang melangkah perlahan mendekatinya.“Apa maksud semua ini?” tanya Marcel datar. “Kalian masih juga terobsesi dengan orang tuaku? Kalian curiga kalau aku mewarisi bakat meracik obat?”Stefi ikut mendatangi Marcel meskipun dengan wajah yang masih terlihat ramah dibandingkan Lista.“Kami tidak ada niat jahat sama kamu,” kata Stefi masih mencoba membujuk Marcel. “Tinggallah lebih lama lagi di sini, aku janji kamu tidak akan rugi sedikit pun.”Marcel beralih menatap Stefi.“Kalau kamu benar-benar putra mereka, maka tempatmu sudah betul di sini.” Lista menimpali. “Tapi kalau kamu bukan orang yang kami cari, maka kami akan melepaskan kamu.”Marcel menanggapi ucapan Lista dengan tatapan curiga. Dia urung melakukan perlawanan yang frontal karena tidak ingin memancing keributan yang semakin besar.“Aku yakin sekali kalau kali
“Kamu ada apa ke sini?” tanya Ciko ingin tahu, sementara Ronnie memilih diam karena khawatir dia akan kena semprot lagi oleh anggota keluarga besarnya.“Aku ke sini mau memastikan sesuatu,” jawab Lista dengan wajah serius seraya duduk di salah satu kursi.“Dari tadi kami ada di sini dan tidak ke mana-mana,” lapor Ciko, khawatir jika Lista mengawasi mereka diam-diam selama ini.“Bukan masalah itu,” tukas Lista sambil memandang Ciko dan Ronnie bergantian. “Aku mau menunjukkan sesuatu ke kalian.”Di saat itulah baru Ronnie berani memandang saudara jauhnya.“Apa kalian kenal orang ini?” tanya Lista sambil menunjukkan foto Marcel di layar ponselnya.“Itu ... itu kan Marcel?” Ciko menyipitkan matanya dan berusaha mengingat.“Orang yang terpantau tidak ikut acara seminar kesehatan selain Pak Aldi yang dibuat Stefi,” sahut Lista memberi tahu. “Kamu pastinya kenal kan, Ron?”“Itu betul, si Marcel.” Ronnie berpikir keras. “Dia adalah suami adikku, sama artinya dia adalah adik iparku, kan?”“Kam
Marcel baru saja selesai berganti pakaian ketika mendengar pintu kamarnya dibuka. Dia menoleh dan melihat Ronnie yang muncul di hadapannya sambil membawakan makanan.“Kamu!” ucap Marcel dan Ronnie bersamaan.Marcel menatap curiga ketika Ronnie melangkah masuk ke kamarnya dengan baki di atas tangan sementara ada dua orang penjaga yang mengawasi mereka.“Jadi selama ini kamu sengaja mengecohku?” tanya Ronnie dengan suara lirih sambil meletakkan nampan di atas meja. “Makan ini sampai habis, setelah itu aku mau bicara serius sama kamu.”Marcel bergeming dan tidak segera menanggapi. Melihatnya tidak merespons, Ronnie menoleh ke arah para penjaga.“Kalian berjaga di luar saja, tutup pintunya.” Dia memerintahkan.Awalnya, para penjaga itu saling tatap dengan ragu. Kekacauan yang diperbuat Ronnie ternyata sudah menyebar ke telinga mereka, karena itu perintah Ronnie tidak segera dilaksanakan.“Kenapa kalian malah melihatku seperti itu?” hardik Ronnie dengan ekspresi tersinggung. “Aku mau bicar
Marcel menurut saja karena dia ingin mengetahui rahasia di balik keluarga Delvino.“Kamu tidak takut kalau ketahuan Lista?” tanya Marcel sambil mengikuti langkah kaki Ronnie.“Tidak, asalkan kamu benar-benar ahli obat yang asli.” Ronnie menyahut.Marcel tersenyum sinis.“Itu juga kalau kamu beruntung,” sahutnya.Ronnie tidak menanggapi, dia celingukan ke sana kemari selama menempuh perjalanan menuju lab keluarga.“Di mana lab-nya, apakah masih jauh dari sini?” tanya Marcel, tergesa-gesa mengikuti langkah Ronnie yang terburu-buru.“Tinggal ikuti aku saja!” sahut Ronnie tanpa menoleh lagi ke belakang.Marcel tidak lagi mengajukan pertanyaan, di dalam kepalanya dia sudah membayangkan ada hal mengejutkan yang akan terjadi.Bagaimana kalau ternyata dia bukanlah ahli obat? Bisa saja Aldi dan yang lain hanya salah menebak saja dan Marcel tetaplah rakyat jelata yang nasibnya tergadai di tangan keluarga Delvino karena harus menanggung beban utang yang ditinggalkan kedua orang tuanya.“Masuk si
“Baik, Lis!” sahut Ciko dari ujung sana.Lista bergegas menutup ponselnya dan menunggu kedatangan orang-orang yang dipanggilnya.“Anak itu!” geram Lista dengan tangan terkepal. “Selalu saja bikin masalah!”Tidak berapa lama kemudian, Stefi muncul dengan dikawal beberapa orang.“Kenapa bisa jadi seperti ini, Lis?” tanya Stefi ingin tahu.“Itulah, saudara kita bikin ulah lagi!” jawab Lista gusar. “Aku rasa kita harus memeriksa lab di belakang sana.”“Tapi bukannya lab itu sudah tidak pernah dipakai lagi?” tukas Stefi, meskipun demikian dia tetap saja mengikuti langkah Lista disusul orang-orang yang baru saja bergabung dengan mereka.Begitu tiba di lab, Lista dan yang lain disambut pemandangan yang mengejutkan.“Ron, apa yang kamu lakukan?” pekik Stefi tertahan.Di hadapan mereka, darah sudah berceceran di mana-mana sementara Marcel terkapar di kaki Ronnie yang sibuk menampung darah itu di beberapa tabung berukuran kecil.“Ron!” tegur Lista sambil mengumpat dan mendatangi kerabatnya. “Ke