Jam telah menunjukkan pukul delapan pagi, biasanya kediaman keluarga Sean telah kompak diisi dengan para asisten rumah tangga. Tetapi Mama Sean meminta agar para ART libur pulang kampung dadakan dengan waktu tak diketahui. Kecuali apabila sang Nyonya telah menghubungi agar segera kembali. Tanpa satu petak pun terlewat apalagi satu ruang, seluruh rumah masih dipadati oleh debu-debu.
Bahkan suara mesin cuci piring masih sunyi, tak sinkron dengan tumpukan piring yang menanti. Meja makan biasanya telah tersaji aneka makanan sarapan, pun masih sunyi tanpa sepiring hidangan. Tak menyisakan satu ART pun membuat kondisi rumah kian mencekam dan horor. Rumah ini masih dihuni oleh orang-orang, tetapi tidak dengan suasana berubah karena seseorang.Hanya suara kipas angin yang mengisi keheningan ruangan sepetak kecil ini. Masih terbalut selimut tebal yang robek-robek dan sedikit mengempis, Theresia terlena walau keadaan yang tak sebanding dengan penghuni kamar lain. Ya, setidaknya dia harus bersyukur pada akhirnya memiliki selimut, merasakan sejuknya kipas angin, betapa empuk bantal, dan kasur lipat bukan beralaskan kardus. Kehangatan ruang bukan dingin dan panas pinggiran jalan, juga tak kalah membuat hati Theresia mengembungkan beribu-ribu kalimat syukur.Bak raksasa tengah mendobrak, engsel pintu sedikit bercecer di lantai. Daun pintu terpisah dari dinding, karena kuatnya kegilaan sang wanita paruh baya. Bak menatap mangsa, kobaran emosi terpancar jelas kala Theresia tak terusik. Dia s***k secara kasar lilitan selimut lalu mengguncang kuat-kuat tubuh gempal Theresia."Hei babi! Bangun kau!""Dasar babi pemalas!""Apakah kau tuli? Kubilang bangun hei babi!""Dalam hitungan ketiga kau tak bangun, maka kau akan ku kembalikan lagi ke gang pembuangan sampah."Berawal dari pekikan memekakkan telinga berujung ancaman, ntah sudah berapa persen tingkat terlena Theresia hingga tak terusik. Bahkan Theresia tak melenguh, merenggangkan tubuh, apalagi terduduk dengan setengah nyawa. Memutar bola mata jengah Mama Sean dibuatnya. Tumpukan baju Theresia dalam kardus lusuh, Mama Sean lempar secara asal. Theresia memekik sakit diperlakukan bak hewan.Mimpi indahnya ternyata tak mampu dirinya nikmati, padahal sang bunga tidur sangat manis menampilkan keharmonisan. Tetapi bukan dengan usapan lembut, tepukan kecil, bisikan teguran bangun, melainkan lemparan baju bersih miliknya lah yang membangunkan. Dengan penglihatan setengah berat Theresia memastikan. Bulu kuduk dibuat meremang dalam sedetik kala melihat kebengisan ekspresi sang mertua."Kenapa kau lihat-lihat saya?!""Ada apa kau menatap seperti itu?!""Apa maumu hingga tak tahu diri hah! Bangun bodoh! Kau bukan Cinderella yang tinggal di negeri dongeng, lalu diratukan oleh pangeran!""Cepat masak sarapan!""Babi pemalas harusnya dienyahkan preman kau!"Tak seperti kala masuk dimana melampiaskan emosi pada pintu, Mama Sean kali ini melampiaskan dengan hentakkan kaki. Sebelum keluar dari kamar Theresia, Mama Sean terlebih dahulu membuat barang-barang di ruang sempit itu bergetar. Theresia terpaku meresapi lelucon kehidupannya. Menghela nafas cukup lama sebelum beranjak ke dapur.Bak seorang anak tengah mencari orang tua di tengah keramaian, Theresia hanya menoleh ke sana kemari menatap kecanggihan rumah Sean. Dimana ember untuk mencuci piring? Dimana pula panci, wajan, dan perabot lain untuk memasak? Bagaimana cara membuka kulkas di rumah Sean? Apakah sama seperti di kulkas minimarket?Mendorong bahu secara kasar, bahkan tak memedulikan perikemanusiaan. Sean yang masih dengan penampilan rambut acak-acakan, mendorong sekuat tenaga bahu tebal milik Theresia. "Buruk rupa, lemah, bodoh, pemalas apa keunggulan hingga dilirik Oma?"Theresia mengusap bahunya terasa nyeri. Beruntunglah dia memiliki cukup tenaga, sehingga tak hingga mencium ubin. Theresia menepi memberikan jalan untuk Sean tengah membuka kulkas."Apabila kau tak mampu memasak yang enak, maka kau akan ku buang ke penampungan!" ancam Sean beranjak dari dapur.Tak menanyakan kepada sang tuan rumah, apalagi pada ART yang terdapat batang hidungnya. Theresia mengeledah seluruh sisi dapur demi menyiapkan sarapan. Suara kegaduhan tak henti-henti terjadi, sebelum Theresia mulai bersiap memasak. Papa Sean merasa rumahnya bak kedatangan perampok.Anak tangga demi anak tangga terlewat hingga netra terbelalak sempurna, melihat betapa tak rapinya keadaan dapur. Netra Papa Sean menahan tak lupa dengan kening mengernyit, memastikan siapa pelaku mengobrak-abrik salah satu sudut rumahnya. Rahang kokoh itu mengetat kala melihat tubuh Theresia. Kegeraman membuat kebengisan tak tertahan diluapkan.Uap-uap makanan hasil masakan Theresia menguap di udara. Tangan berkeriput itu mendorong hingga dahi Theresia mencium panasnya panci. Mendesis kala dahinya terasa panas dan nyeri, Theresia berbalik menatap siapa lagi kalau ini. "Pa--Paman?"Tak cukup memasukkan sekilas Theresia ke panci, Papa Sean menampar Theresia kuat-kuat hingga pipi terasa perih. "Jangan panggil saya! Bahkan saya tak sudi dipanggil hewan seperti anda!"Theresia menunduk menatap sendu kaki gempalnya. Dia memiliki kaki dan tangan masing-masing dua, yang artinya sepasang. Bukan seperti hewan yang hanya memiliki kaki empat. Lantas mengapa lagi-lagi dirinya disetarakan dengan hewan?"Ta--tapi saya bukan hewan."Bak gunung siap meledakkan lahar karena meletus, Papa Sean menahan getaran tangannya. Menatap bengis lalu membuang pandangan. Dia memilih berlalu demi kesehatan di usia tua. Theresia menatap kosong kepergian Papa Sean, mengusap dahi, lalu tersadar dengan nasib masakannya. Beruntunglah masakan Theresia tak gosong, mengingat menyalakan api kecil."Si--silakan dimakan." Menepi setelah menyusun makanan di ruang makan, Theresia hanya menyimak reaksi Sean beserta orang tuanya kala menyicipi hasil tangannya.Layaknya peralihan nada rendah ke tinggi secara bertahap dan perlahan. Dimulai dengan sang kepala keluarga mengernyit merasakan citarasa, disusul dengan sang istri dan putra tunggal mereka. Tak seperti sang suami dan putra yang datar, Mama Sean menjulurkan lidah merasa risih. Mama Sean menyapukan jari telunjuknya ke lidah secara kasar, mencari sumber kerisihan."Bodoh! Bagaimana bisa bulu babi bisa masuk ke hidangan?!""Benar Mi, sudah sampah justru menyajikan kita makanan berisikan sampah pula!""Dasar babi tolol pemakan limbah!"Derit kursi yang digeser bersaman membuat telinga terasa geli. Theresia menciutkan bahu kala melihat langkah sepasang mertua dan suaminya mendekat. Alarm bahaya berdering mengode meminta antisipasi keamanan. Terlambat. Seluruh hidangan Theresia tak bercampur, ketiganya secara bergantian menyiram Theresia."Kita yang bodoh karena limbah sepertimu justru kami suruh masak!""Limbah ya tentu saja menghidangkan kerabatnya yaitu limbah, Mi.""Sudahlah mari kita makan di luar saja."Theresia menatap kosong tempatnya berpijak dengan tubuh gemetar. Tangisan akhirnya pecah, ditemani dengan lutut melemas. Serendah inikah dirinya dimata orang-orang? Mengapa? Apa paras, badan, dan harta menjadi tolak ukur poin pertama hingga ketiga?"Wah Laura beruntung sekali kamu ke sini sebelum kita keluar, Nak," tutur Mama Sean dengan sangat girang.Theresia menegang di tempat kala merapikan makanan yang tak lagi berwujud. Hatinya berdenyut nyeri, tersisih rasa iri."Kok lama Mi, memang bibi-bibi dimana?""Kami memperkerjakan asisten rumah tangga baru yang sayangnya justru bak babi!" ejek Sean sembari melirik ke arah dapur.Bukan kilauan mata kecantikan bola mata terpancar. Bukan juga teriknya mentari membuat yang dipantul atau terpantul. Melainkan kilauan berlian berbagai negara, yang selalu berbaris di depan netra selalu menjadi topik pembahasan. Desain yang selalu berganti tiap bulan, dan harga yang bisa menembus saldo hingga sesak nafas kecuali pemilik kartu unlimited.Bukan di diskotik dengan gemerlap lampu remang-remang. Bukan ramainya ibu-ibu bernegosiasi di pasar. Bukan juga pertikaian dengan berbagai hal memacu emosi di pinggir jalan. Melainkan rumah Mama Sean mengalahkan keramaian diskotik dan pasar.Bagaimana tidak ramai apabila pemilik-pemilik lisan itu tak ada seorang pun lelah berbincang. Tak ada pula yang membuat topik pembahasan berhenti. Entah dengan topik pembahasan sama kala di panggillan, pesan, ataupun bulan lalu, ntah kenapa anehnya topik itu selalu dibahas selagi mulut belum terkena stroke total. Ntah membahas kepintaran cucu, kemampuan menantu, kesusksesan anak
Seminggu sudah suasana rumah terasa damai, tanpa kekerasan dilakukan oleh Sean dan orang tuanya. Bukan karena ketiga penghuni rumah yang sakit. Bukan pula sang samsak emosi terkapar, bebas kekerasan hanya berlaku tak lebih seminggu. Dikarenakan mereka pindah inap sementara ke hotel. Kembar beda usia itulah Sean dan sang Papa. Hotel mewah di jantung kota menjadi pilihan perayaan ulang tahun pria berusia 75 tahun dan 35 tahun. Ditemani dengan orang terkasih agar hari kian terasa istimewa, bahkan senyum dua pria itu tak henti terukir. Wanita yang rela menghamburkan saldo demi sang pria.Kedua orang tua Sean telah mempersiapkan cincin pernikahan untuk Sean dan Laura. Theresia? Gadis gempal itu ada di lantai paling bawah berbeda dengan mereka, satu lantai bersama para pelayan yang akan melayani acara. Acara tampaknya akan terasa damai dan meriah, mengingat Oma tengah menjalankan pengobatan di luar sedari bulan lalu."Apakah semuanya sudah aman?" Layaknya Nyonya pemilik acara yang mendanai
Mentari telah seutuhnya larut dalam kegelapan malam. Bukan terik mentari membuat terperanjat, melainkan kilatan petir yang menyambar tak kalah membuat terkejut. Agaknya berbeda dengan ramalan orang pintar sebatas keuntungan, dengan peluang kecil adalah kenyataan. Ramalan cuaca pada layar handphone jauh memiliki peluang sungguhan.Memang netranya tak melihat secara langsung. Lisan meminta izin untuk memastikan handphone tetangga pun, tak diizinkan oleh sang pemilik. Putaran jarum pendek dan panjang telah berulang kali bertemu pada titik yang sama. Si kecil nan lembut tak kasar mata penunjuk derik, menemani langit kian pekatnya malam.Kilatan petir belum juga membuat gadis gempal itu beranjak. Sang gadis masih terpaku di sebrang rumah mewah, naungan lebih baik tetapi juga tak begitu baik. Tidak-tidak. Bukannya dia tak bersyukur bertemu Oma, hanya saja rumah mewah ini membuatnya terlena mengharapkan hal lebih. Hal yang tetap saja tak Theresia dapatkan yaitu kasih dan
Jarum jam masih bergerak menuntut menit. Menit menemani pergerakan jarum pertanda jam, walau tak secepat si detik. Layaknya minggu dan bulan lalu. Hari berganti minggu, Minggu berganti hari. Sederhana tetapi menampar pemikiran.Jarum saja ditemani oleh jarum lain. Hari berganti minggu, hingga tergenapi 365 hari dalam setahun. Seseorang bisa berubah seiring waktu, ntah layaknya pergerakan jarum jam atau pergerakan hari. Baik mampu menjadi jahat, dan berlaku sebaliknya secara singkat. Bisa jadi bak sekedip mata, bisa jadi bak menyimak kura-kura berlari dari Indonesia ke Belanda.Konon kata orang menanti itu membosankan, bahkan jauh di level atasnya yaitu jenuh. Menanti atau menunggu selalu menjadi hal bak lomba. Bisa juga bagai les atau pelatihan, yaps kesabaran hal itulah yang dilibatkan. Ntah sekadar bosan atau hingga menyentuh si jenuh. Bosan memang masih mampu diulur atau dihilangkan, tetapi bagaimana kabar si jenuh? Selain menghilang tanpa kabar dengan alasan ke
Ntah mengapa si gelapnya kelabu selalu sukses membuat langkah ragu. Apalagi bila si kelabu yang keras ditusuk kilat dari sang sinar kuning. Terkesan janggal memang sekeras kelabu mampu ditusuk si kuning. Luas dan hampa jalan komplek perumahan, telah terasa sejak beberapa meter lampau jauhnya. Jalanan perumahan terasa lenggang kala siang hari, membuat sang mentari kian menantang. Di atas sana sang bundar menyilaukan, kian menusuk kulit dan netra bagi umat bawah. Benda dengan terselimuti baja dan aluminium, yang menjadi sedikit pemanis kesunyian tampak memantulkan mentari kala di dekati. Kulit spontan akan dibuat bak manula dengan keriput hanya pada satu titik saja. Atau bisa juga layaknya kulit jeruk yang terdapat keriput.Dahi bagian itulah yang menjadi korban tak langsung si mentari. Kerutan samar-samar menghilang kala menatap pinggiran jalan. Layaknya sihir menghipnotis netra dan lisan untuk menuturkan kekaguman. Perpaduan antara rindangnya pohon tanjung, berbau
Tanpa perlu disambung dengan melibatkan solasi agar memanjang bak ular. Kertas-kertas diberikan ke gadis bertelapak tangan lebar, itu asli dengan panjang bisa jadi mengalahkan rel kereta. Tebal dan panjang itulah selembar benda, agaknya sukar terbawa angin karena sepanjang jalan tol. Hampir saja harapan bodoh terbit, sebelum gulungan itu berbaik hati memutuskan pita tipis.Mengira berisi makanan mewah nan lezat rasanya, kertas pengisi apa yang diinginkan dan harapkan, atau setidaknya rentetan kalimat maaf. Bukan-bukan-- Bukan hal manis dalam khayalan terealisasikan. Khayalan tetaplah khayalan sebatas gumpalan tak kasat mata, bahkan walau telah mengembang sekian besarnya. Bodoh dan konyol rasanya berharap lebih ekspetasi sebanding dengan realita.Mana mungkin seseorang lebih layak menjadi sosok itu sadar. Mana bisa juga jiwa keras mengalahkan batu itu terpecah. Bukan dingin bisa mencair bak es tengah pada gurun, tidak pula psikopat mendapat hikmah tiba-tiba tersadar. Ntahlah Theresia p
Tak puas dengan panjangnya barisan belanja di pasar dengan ongkos minimalis. Hal serupa kembali dialami oleh Theresia dalam hitungan waktu ke depan. Barang-barang hasil pindahan orang tua Laura disimpan ke gudang, kian menyesakkan isi kamar Theresia. Semua perabot di kamar Laura akan diganti menjadi baru. Theresia diminta ke salah satu toko, yang terkenal dengan barang-barang kualitas tinggi, serta hasil dari tangan profesional luar negeri."Babi!""Woy pemalas!""Apa yang kau lakukan di dalam?!""Kau bodoh tadi aku suruh apa?!""Cepat cepat cepat!""Lemak saja menumpuk tetapi tenaga seuprit! Cih, apa gunanya jatah beras ART juga untukmu!"Theresia melengkungkan senyum kakunya, sembari melangkah perlahan karena sempitnya ruang. Ruang tak begitu longgar, kian terasa menyesakkan. Ranjang menjadi alas kasur tipis telah tak lagi mampu berada di gudang. Ntah kemana nasib jelas sang ranjang pun Theresia tak tahu.Ser
"Hei babi! Ayo cepat bergegas!""Cih, apa sih yang kau lakukan hingga lambat?!""Kau tuli kah?" "Tak tahukah bila di luar panas?""Babi bodoh!"Dengan langkah tergopoh-gopoh, nafas tersengal-sengal, dan peluh tak henti menetes. Peluh menetes merata dari tiap inci kulit. Baju yang lembab kian tampak lepek oleh keringat. Bukan melalui leher jenjang dengan keringat mengalir, melainkan dadalah menjelma menjadi bak kawah peluh.Mama Sean menatap penampilan gadis gempal di hadapannya. Dirinya membuang pandangan lalu menuntut kerjasama hidung dan mulut dengan mengerut. Mengalahkan abstraknya semerbak bau memusingkan di pasar bercampur, antara amis darah hewan dan daging hewan. Begitulah menurut Mama Sean kala bau tubuh Theresia menusuk indera penciumannya."Kau tak mandi berapa hari hah?! Busuk sekali baumu!"Theresia tersenyum sendu, hatinya berdenyut nyeri. Sakit nan sesak menyerang menyapa tiap sudut hati tanpa mel
Masih dalam keheningan sama, penindasan juga berlaku sama tiap menitnya. Hanya satu yang berbeda yaitu waktu berubah, tetapi tak kunjung membuat hati orang-orang dia kumpul berubah. Dengan pintu masih belum diperbaiki, membuat netra melintas ruang tersebut akan memanaskan hati.Apabila masakan tanpa garam kurang sedap rasanya. Maka apabila menurut orang sekitar Theresia tak geram dengan Theresia maka kurang sedap. Seperti Laura beralasan hendak menyusul sang suami. Namun langkahnya justru dibelokkan ke kamar Theresia. Senyum licik penuh kepuasan tercetak di pahatan wajah Laura.Engsel pintu telah diujung tanduk membuat, cukup dengan sekali sentuhan semata agar pintu seutuhnya terlepas. Bak mimpi buruk menyandang Theresia. Tubuh gempalnya seketika terlonjak terkejut"Hai babi!""Woy babi!"Theresia bukan bergeming karena terima diperlakukan lebih manusiawi dibanding hewan. Tetapi dia justru tengah menahan rasa geram menggebu-gebu. Kukunya meremas kuat walau sadar dia tak bisa meluapkan
Tak lagi bersama polusi udara bertebaran dimana-mana. Kebisingan masing-masing kendaraan juga tak menyapa telinga. Disiplinnya aturan lalu lintas terasa bebas. Padat nan bisingnya jalan tak lagi terasa, terganti dengan lenggangnya jalan area perumahan.Polusi suara dan udara membaur abstrak pun ikut berganti menjadi keheningan. Pepohonan berseragam sedari masuk area perumahan, menyejukkan netra sehabis penat dengan jalan raya. Mesin mobil mulai dimatikan oleh sang pengemudi. Sang pengemudi berputar ke arah kursi pintu sampingnya. Bak membantu orang berdarah kuning turun dari kendaraan.Kupu-kupu terasa berterbangan ke sana kemari. Bunga-bunga juga terasa bak ditabur untuk menyambut kedatangan keduanya. Aura pengantin baru masih mengguar dari keduanya. Sang lelaki dengan posesif merangkul pemilik pinggang kecil, hingga jarak keduanya tak tersisa sedikitpun.Lelah membuat keduanya merasa hendak menjadi pemakan antar sesama. Bel telah berulangkali ditekan, te
"Hei babi! Ayo cepat bergegas!""Cih, apa sih yang kau lakukan hingga lambat?!""Kau tuli kah?" "Tak tahukah bila di luar panas?""Babi bodoh!"Dengan langkah tergopoh-gopoh, nafas tersengal-sengal, dan peluh tak henti menetes. Peluh menetes merata dari tiap inci kulit. Baju yang lembab kian tampak lepek oleh keringat. Bukan melalui leher jenjang dengan keringat mengalir, melainkan dadalah menjelma menjadi bak kawah peluh.Mama Sean menatap penampilan gadis gempal di hadapannya. Dirinya membuang pandangan lalu menuntut kerjasama hidung dan mulut dengan mengerut. Mengalahkan abstraknya semerbak bau memusingkan di pasar bercampur, antara amis darah hewan dan daging hewan. Begitulah menurut Mama Sean kala bau tubuh Theresia menusuk indera penciumannya."Kau tak mandi berapa hari hah?! Busuk sekali baumu!"Theresia tersenyum sendu, hatinya berdenyut nyeri. Sakit nan sesak menyerang menyapa tiap sudut hati tanpa mel
Tak puas dengan panjangnya barisan belanja di pasar dengan ongkos minimalis. Hal serupa kembali dialami oleh Theresia dalam hitungan waktu ke depan. Barang-barang hasil pindahan orang tua Laura disimpan ke gudang, kian menyesakkan isi kamar Theresia. Semua perabot di kamar Laura akan diganti menjadi baru. Theresia diminta ke salah satu toko, yang terkenal dengan barang-barang kualitas tinggi, serta hasil dari tangan profesional luar negeri."Babi!""Woy pemalas!""Apa yang kau lakukan di dalam?!""Kau bodoh tadi aku suruh apa?!""Cepat cepat cepat!""Lemak saja menumpuk tetapi tenaga seuprit! Cih, apa gunanya jatah beras ART juga untukmu!"Theresia melengkungkan senyum kakunya, sembari melangkah perlahan karena sempitnya ruang. Ruang tak begitu longgar, kian terasa menyesakkan. Ranjang menjadi alas kasur tipis telah tak lagi mampu berada di gudang. Ntah kemana nasib jelas sang ranjang pun Theresia tak tahu.Ser
Tanpa perlu disambung dengan melibatkan solasi agar memanjang bak ular. Kertas-kertas diberikan ke gadis bertelapak tangan lebar, itu asli dengan panjang bisa jadi mengalahkan rel kereta. Tebal dan panjang itulah selembar benda, agaknya sukar terbawa angin karena sepanjang jalan tol. Hampir saja harapan bodoh terbit, sebelum gulungan itu berbaik hati memutuskan pita tipis.Mengira berisi makanan mewah nan lezat rasanya, kertas pengisi apa yang diinginkan dan harapkan, atau setidaknya rentetan kalimat maaf. Bukan-bukan-- Bukan hal manis dalam khayalan terealisasikan. Khayalan tetaplah khayalan sebatas gumpalan tak kasat mata, bahkan walau telah mengembang sekian besarnya. Bodoh dan konyol rasanya berharap lebih ekspetasi sebanding dengan realita.Mana mungkin seseorang lebih layak menjadi sosok itu sadar. Mana bisa juga jiwa keras mengalahkan batu itu terpecah. Bukan dingin bisa mencair bak es tengah pada gurun, tidak pula psikopat mendapat hikmah tiba-tiba tersadar. Ntahlah Theresia p
Ntah mengapa si gelapnya kelabu selalu sukses membuat langkah ragu. Apalagi bila si kelabu yang keras ditusuk kilat dari sang sinar kuning. Terkesan janggal memang sekeras kelabu mampu ditusuk si kuning. Luas dan hampa jalan komplek perumahan, telah terasa sejak beberapa meter lampau jauhnya. Jalanan perumahan terasa lenggang kala siang hari, membuat sang mentari kian menantang. Di atas sana sang bundar menyilaukan, kian menusuk kulit dan netra bagi umat bawah. Benda dengan terselimuti baja dan aluminium, yang menjadi sedikit pemanis kesunyian tampak memantulkan mentari kala di dekati. Kulit spontan akan dibuat bak manula dengan keriput hanya pada satu titik saja. Atau bisa juga layaknya kulit jeruk yang terdapat keriput.Dahi bagian itulah yang menjadi korban tak langsung si mentari. Kerutan samar-samar menghilang kala menatap pinggiran jalan. Layaknya sihir menghipnotis netra dan lisan untuk menuturkan kekaguman. Perpaduan antara rindangnya pohon tanjung, berbau
Jarum jam masih bergerak menuntut menit. Menit menemani pergerakan jarum pertanda jam, walau tak secepat si detik. Layaknya minggu dan bulan lalu. Hari berganti minggu, Minggu berganti hari. Sederhana tetapi menampar pemikiran.Jarum saja ditemani oleh jarum lain. Hari berganti minggu, hingga tergenapi 365 hari dalam setahun. Seseorang bisa berubah seiring waktu, ntah layaknya pergerakan jarum jam atau pergerakan hari. Baik mampu menjadi jahat, dan berlaku sebaliknya secara singkat. Bisa jadi bak sekedip mata, bisa jadi bak menyimak kura-kura berlari dari Indonesia ke Belanda.Konon kata orang menanti itu membosankan, bahkan jauh di level atasnya yaitu jenuh. Menanti atau menunggu selalu menjadi hal bak lomba. Bisa juga bagai les atau pelatihan, yaps kesabaran hal itulah yang dilibatkan. Ntah sekadar bosan atau hingga menyentuh si jenuh. Bosan memang masih mampu diulur atau dihilangkan, tetapi bagaimana kabar si jenuh? Selain menghilang tanpa kabar dengan alasan ke
Mentari telah seutuhnya larut dalam kegelapan malam. Bukan terik mentari membuat terperanjat, melainkan kilatan petir yang menyambar tak kalah membuat terkejut. Agaknya berbeda dengan ramalan orang pintar sebatas keuntungan, dengan peluang kecil adalah kenyataan. Ramalan cuaca pada layar handphone jauh memiliki peluang sungguhan.Memang netranya tak melihat secara langsung. Lisan meminta izin untuk memastikan handphone tetangga pun, tak diizinkan oleh sang pemilik. Putaran jarum pendek dan panjang telah berulang kali bertemu pada titik yang sama. Si kecil nan lembut tak kasar mata penunjuk derik, menemani langit kian pekatnya malam.Kilatan petir belum juga membuat gadis gempal itu beranjak. Sang gadis masih terpaku di sebrang rumah mewah, naungan lebih baik tetapi juga tak begitu baik. Tidak-tidak. Bukannya dia tak bersyukur bertemu Oma, hanya saja rumah mewah ini membuatnya terlena mengharapkan hal lebih. Hal yang tetap saja tak Theresia dapatkan yaitu kasih dan
Seminggu sudah suasana rumah terasa damai, tanpa kekerasan dilakukan oleh Sean dan orang tuanya. Bukan karena ketiga penghuni rumah yang sakit. Bukan pula sang samsak emosi terkapar, bebas kekerasan hanya berlaku tak lebih seminggu. Dikarenakan mereka pindah inap sementara ke hotel. Kembar beda usia itulah Sean dan sang Papa. Hotel mewah di jantung kota menjadi pilihan perayaan ulang tahun pria berusia 75 tahun dan 35 tahun. Ditemani dengan orang terkasih agar hari kian terasa istimewa, bahkan senyum dua pria itu tak henti terukir. Wanita yang rela menghamburkan saldo demi sang pria.Kedua orang tua Sean telah mempersiapkan cincin pernikahan untuk Sean dan Laura. Theresia? Gadis gempal itu ada di lantai paling bawah berbeda dengan mereka, satu lantai bersama para pelayan yang akan melayani acara. Acara tampaknya akan terasa damai dan meriah, mengingat Oma tengah menjalankan pengobatan di luar sedari bulan lalu."Apakah semuanya sudah aman?" Layaknya Nyonya pemilik acara yang mendanai