Mentari telah seutuhnya larut dalam kegelapan malam. Bukan terik mentari membuat terperanjat, melainkan kilatan petir yang menyambar tak kalah membuat terkejut. Agaknya berbeda dengan ramalan orang pintar sebatas keuntungan, dengan peluang kecil adalah kenyataan. Ramalan cuaca pada layar handphone jauh memiliki peluang sungguhan.
Memang netranya tak melihat secara langsung. Lisan meminta izin untuk memastikan handphone tetangga pun, tak diizinkan oleh sang pemilik. Putaran jarum pendek dan panjang telah berulang kali bertemu pada titik yang sama. Si kecil nan lembut tak kasar mata penunjuk derik, menemani langit kian pekatnya malam.Kilatan petir belum juga membuat gadis gempal itu beranjak. Sang gadis masih terpaku di sebrang rumah mewah, naungan lebih baik tetapi juga tak begitu baik. Tidak-tidak. Bukannya dia tak bersyukur bertemu Oma, hanya saja rumah mewah ini membuatnya terlena mengharapkan hal lebih. Hal yang tetap saja tak Theresia dapatkan yaitu kasih dan kemanusiaan.Rintik hujan mulai mengetuk-ngetuk fokus tiap insan. Buliran air merubah menjadi lebih besar ditemani petir. Kejadian tak asing kembali berputar, selagi dirinya menanti kedatangan Sean. Tangannya terulur menangkup air hendak jauh ke jalanan."Nak, mengapa kau dimari? Masuklah di sini dingin!"Theresia terperanjat hampir saja mengotori gaun santai, dibeli dadakan oleh sang mertua. Bukan karena sang mertua merentangkan tangan, menyambutnya hangat. Melainkan gaun ini dikarenakan sang Oma yang menginap di rumah. Cukup lama larut dalam lamunan, akhirnya Theresia menyunggingkan senyum tipis, lalu menggelengkan kepala perlahan."Tidak Nek, saya tengah menanti seseorang.""Putra rumah seberang sana, ya Nak?"Antara tercengang dan tidak sebenarnya. Mengingat bahwa kekayaan bertumpuk dimiliki lelaki berstatus suami paksanya. Theresia tersenyum kikuk, sembari lagi-lagi menganggukkan kepala."Betapa beruntung rumah ini mendapat gadis sepertimu sebagai menantu, Nak."Theresia mematung, benak dipenuhi aneka kata hingga jungkir-balik, lidahnya ikut kelu bimbang memilah kalimat mana untuk dikeluarkan. Beruntung dan antonim, hm... Kisah yang menarik beberapa orang, bagaikan misteri kaca pukul 12 malam dengan sajian bayangan berbeda. Beruntung? Kurang atau tidak beruntung? Mana yang menurut kalian sesuai untuk Theresia.Dia merasa beruntung mendapat naungan lebih tertutup segala sisi, bukan berada di pinggiran jalan dengan hanya ditutupi karton. Dia bersyukur lebih sering makan, walau harus makin paling terakhir. Mengingat menanti sisa makanan keluarga Sean atau para asisten rumah tangga. Di sisi lain juga merasa tak ada perubahan lebih, dikarenakan tetap tak mendapatkan hak kemanusiaan."Saya juga beruntung, Nek. Saya--"Wanita dengan pergerakan bergantung pada kursi roda, telah cukup lelah menahan penasaran menjadi pengamat karena tak mampu tidur. Bersama lelaki bak bertubuh raksasa yang tinggi nan kekar, Oma membelah hujan menghampiri sang cucu menantu berteduh di bawah pohon."Apa yang kau lakukan, Sayang? Kenapa justru hujan-hujanan di luar? Ayo masuk dan nyalakan penghangat kamarmu, There," tegur Oma Sean.Theresia membelalakkan mata bulatnya, mendengar suara Oma tiba-tiba menyapa indera pendengarannya. Menoleh ke sana kemari memastikan inderanya yang lain. Aneh, mengapa wanita lanjut usia menemaninya tadi cepat sekali pergerakannya? Kemana sang nenek? Bagaimana bisa mengetahui dia adalah menantu keluarga ini?"Theresia," ulang Oma Sean menegur Theresia."Sa--saya masuk nanti, Oma.""Ku bilang masuk, Sayang. Angin kala hujan tak sehat untuk tubuh."Senyuman terukir tak disadari, kala sudut hati Theresia terasa hangat. Theresia tak mengerti apa yang nenek moyangnya amalkan, hingga membuat dia di masa kin bertemu orang sebaik Oma Sean. Theresia menatap bimbang sepinya jalan perumahan, garasi mobil, lalu mendongak -- Lebih tepatnya menatap jendela kamar utama, dengan Mama Sean ternyata memantau dari atas sana. Theresia menunduk takut lalu menatap cemas Oma."Tidak bisa, Oma. Saya hendak menunggu Sean."Terenyuh dibuatnya Oma Sean, dia tak menyangka akhirnya mendapat menantu berhati jernih seperti Theresia akhirnya. Oma Sean menghela nafas kasar, membenarkan letak syal melilit leher, lalu menganggukkan kepala mengerti."Ya sudah, kalau sudah mengantuk kau harus masuk, ok? Jangan memaksakan tubuh, Nak."Senyum hangat berbalut hari Theresia berikan, sebelum pengawal menjaga Oma menjauh dari pandangan. Netra gadis gempal itu menatap kosong pohon sampingnya. Benaknya masih dominan dengan mempertanyakan perihal Sean, dan keberadaan nenek yang menemaninya tadi sebelum Oma datang.[Halo, Ma?]"Bagaimana bulan madunya, Sayang?"Memang tak diketahui wanita berusia 60 tahun seberang sana, yang mengajaknya melakukan panggilan suara. Tetapi gadis seberang sana tersenyum puas. Akhirnya dia resmi menjadi Nyonya Sean tadi pagi, tanpa hambatan dengan kehadiran Oma sang suami.[Duh, Mama ini.]"Jangan khawatir reaksi Oma setiba di tanah air, Lau. Fokus saja pada putra Mama," goda Mama Sean, dengan ekor mata menatap objek di bawah sana. Senyum miring tercetak kian jelas.[Iya Ma.]Mama Sean menarikan jemari ke arah berlawanan warna hijau. Panggillan telah terputus tanpa suara sedikitpun tersisa. Tatapan berang masih dia berikan, walau objek tak berada di dekatnya. Iba tak lagi menyelinap barang setengah dari satu persen. Kepuasan meluap-luap tiap kali mendapat kesuksesan, membuat ekspresi wanita gempal di bawah pohon sana."Tuhan, tolong turunkan petir sebesar mungkin ke arah si gempal itu." Kejam dan buta sisi kemanusiaan, harapan itu diucapkan dengan suara pelan agar sang suami tak terusik.Mama Sean melepaskan sandal tidur, menghangatkan kaki kala menapaki dinginnya ubin rumah. Senyuman puas dengan hati yakin akan bermimpi indah, kala tubuh menggigil gadis bawah sana."Di--dingin.""To--tolong.""Sa--saya mohon.""Saya ti--tidak kuat ber--berdiri.""Tu--Tuhan u--untuk se--sekarang sa--saya mohon kabulkanlah doa yang ini."Rintik-rintik hujan kian tak lelah berjatuhan, walau di bagian tempat lain sang teman telah diinjak-injak. Kilatan petir belum membisu di cakrawala sana. Tubuh gempal Theresia gemetar takut bercampur dingin. Bibir tak begitu merah muda tampak mulai memutih, dengan pinggir yang kebiruan. Netranya terpejam perlahan memberat dengan terpaan angin kencang.Tak selayak ranjang dengan kasur lipat tipis alasnya beristirahat. Tak selunak bantal tanpa kapas, dan tubuh sendiri membentuk gulingan bayangan memang. Bahkan bisa-bisa Theresia akan langsung terbangun, kala tubuhnya bergerak sedikit saja. Ntah pingsan atau terlelap bersama hujan, Theresia benar-benar merapatkan mata lelah menanti."Sean, Sean, Sean.""Sean.""Sean."Lisan pucat itu tampaknya belum benar-benar terlelap, layaknya pemilik bersandar lemas. Nama lelaki tak tahu diri menjadi sasaran bahan gumaman. Rambut ikal sang gadis tampak lepek nan kusut tak berwujud. Pria bertubuh kekar semula terlelap seketika kembali terjaga teringat pekerjaannya.Dia menatap lekat-lekat gadis bersandar di bawah pohon. Lisannya berucap bodoh, bagaimana bila pohon menjadi sandaran ambruk oleh petir? Atau bagaimana satpam komplek lalai memasukkan orang berniat jahat? Keraguan membuatnya bimbang memilah tolong atau abai.Jarum jam masih bergerak menuntut menit. Menit menemani pergerakan jarum pertanda jam, walau tak secepat si detik. Layaknya minggu dan bulan lalu. Hari berganti minggu, Minggu berganti hari. Sederhana tetapi menampar pemikiran.Jarum saja ditemani oleh jarum lain. Hari berganti minggu, hingga tergenapi 365 hari dalam setahun. Seseorang bisa berubah seiring waktu, ntah layaknya pergerakan jarum jam atau pergerakan hari. Baik mampu menjadi jahat, dan berlaku sebaliknya secara singkat. Bisa jadi bak sekedip mata, bisa jadi bak menyimak kura-kura berlari dari Indonesia ke Belanda.Konon kata orang menanti itu membosankan, bahkan jauh di level atasnya yaitu jenuh. Menanti atau menunggu selalu menjadi hal bak lomba. Bisa juga bagai les atau pelatihan, yaps kesabaran hal itulah yang dilibatkan. Ntah sekadar bosan atau hingga menyentuh si jenuh. Bosan memang masih mampu diulur atau dihilangkan, tetapi bagaimana kabar si jenuh? Selain menghilang tanpa kabar dengan alasan ke
Ntah mengapa si gelapnya kelabu selalu sukses membuat langkah ragu. Apalagi bila si kelabu yang keras ditusuk kilat dari sang sinar kuning. Terkesan janggal memang sekeras kelabu mampu ditusuk si kuning. Luas dan hampa jalan komplek perumahan, telah terasa sejak beberapa meter lampau jauhnya. Jalanan perumahan terasa lenggang kala siang hari, membuat sang mentari kian menantang. Di atas sana sang bundar menyilaukan, kian menusuk kulit dan netra bagi umat bawah. Benda dengan terselimuti baja dan aluminium, yang menjadi sedikit pemanis kesunyian tampak memantulkan mentari kala di dekati. Kulit spontan akan dibuat bak manula dengan keriput hanya pada satu titik saja. Atau bisa juga layaknya kulit jeruk yang terdapat keriput.Dahi bagian itulah yang menjadi korban tak langsung si mentari. Kerutan samar-samar menghilang kala menatap pinggiran jalan. Layaknya sihir menghipnotis netra dan lisan untuk menuturkan kekaguman. Perpaduan antara rindangnya pohon tanjung, berbau
Tanpa perlu disambung dengan melibatkan solasi agar memanjang bak ular. Kertas-kertas diberikan ke gadis bertelapak tangan lebar, itu asli dengan panjang bisa jadi mengalahkan rel kereta. Tebal dan panjang itulah selembar benda, agaknya sukar terbawa angin karena sepanjang jalan tol. Hampir saja harapan bodoh terbit, sebelum gulungan itu berbaik hati memutuskan pita tipis.Mengira berisi makanan mewah nan lezat rasanya, kertas pengisi apa yang diinginkan dan harapkan, atau setidaknya rentetan kalimat maaf. Bukan-bukan-- Bukan hal manis dalam khayalan terealisasikan. Khayalan tetaplah khayalan sebatas gumpalan tak kasat mata, bahkan walau telah mengembang sekian besarnya. Bodoh dan konyol rasanya berharap lebih ekspetasi sebanding dengan realita.Mana mungkin seseorang lebih layak menjadi sosok itu sadar. Mana bisa juga jiwa keras mengalahkan batu itu terpecah. Bukan dingin bisa mencair bak es tengah pada gurun, tidak pula psikopat mendapat hikmah tiba-tiba tersadar. Ntahlah Theresia p
Tak puas dengan panjangnya barisan belanja di pasar dengan ongkos minimalis. Hal serupa kembali dialami oleh Theresia dalam hitungan waktu ke depan. Barang-barang hasil pindahan orang tua Laura disimpan ke gudang, kian menyesakkan isi kamar Theresia. Semua perabot di kamar Laura akan diganti menjadi baru. Theresia diminta ke salah satu toko, yang terkenal dengan barang-barang kualitas tinggi, serta hasil dari tangan profesional luar negeri."Babi!""Woy pemalas!""Apa yang kau lakukan di dalam?!""Kau bodoh tadi aku suruh apa?!""Cepat cepat cepat!""Lemak saja menumpuk tetapi tenaga seuprit! Cih, apa gunanya jatah beras ART juga untukmu!"Theresia melengkungkan senyum kakunya, sembari melangkah perlahan karena sempitnya ruang. Ruang tak begitu longgar, kian terasa menyesakkan. Ranjang menjadi alas kasur tipis telah tak lagi mampu berada di gudang. Ntah kemana nasib jelas sang ranjang pun Theresia tak tahu.Ser
"Hei babi! Ayo cepat bergegas!""Cih, apa sih yang kau lakukan hingga lambat?!""Kau tuli kah?" "Tak tahukah bila di luar panas?""Babi bodoh!"Dengan langkah tergopoh-gopoh, nafas tersengal-sengal, dan peluh tak henti menetes. Peluh menetes merata dari tiap inci kulit. Baju yang lembab kian tampak lepek oleh keringat. Bukan melalui leher jenjang dengan keringat mengalir, melainkan dadalah menjelma menjadi bak kawah peluh.Mama Sean menatap penampilan gadis gempal di hadapannya. Dirinya membuang pandangan lalu menuntut kerjasama hidung dan mulut dengan mengerut. Mengalahkan abstraknya semerbak bau memusingkan di pasar bercampur, antara amis darah hewan dan daging hewan. Begitulah menurut Mama Sean kala bau tubuh Theresia menusuk indera penciumannya."Kau tak mandi berapa hari hah?! Busuk sekali baumu!"Theresia tersenyum sendu, hatinya berdenyut nyeri. Sakit nan sesak menyerang menyapa tiap sudut hati tanpa mel
Tak lagi bersama polusi udara bertebaran dimana-mana. Kebisingan masing-masing kendaraan juga tak menyapa telinga. Disiplinnya aturan lalu lintas terasa bebas. Padat nan bisingnya jalan tak lagi terasa, terganti dengan lenggangnya jalan area perumahan.Polusi suara dan udara membaur abstrak pun ikut berganti menjadi keheningan. Pepohonan berseragam sedari masuk area perumahan, menyejukkan netra sehabis penat dengan jalan raya. Mesin mobil mulai dimatikan oleh sang pengemudi. Sang pengemudi berputar ke arah kursi pintu sampingnya. Bak membantu orang berdarah kuning turun dari kendaraan.Kupu-kupu terasa berterbangan ke sana kemari. Bunga-bunga juga terasa bak ditabur untuk menyambut kedatangan keduanya. Aura pengantin baru masih mengguar dari keduanya. Sang lelaki dengan posesif merangkul pemilik pinggang kecil, hingga jarak keduanya tak tersisa sedikitpun.Lelah membuat keduanya merasa hendak menjadi pemakan antar sesama. Bel telah berulangkali ditekan, te
Masih dalam keheningan sama, penindasan juga berlaku sama tiap menitnya. Hanya satu yang berbeda yaitu waktu berubah, tetapi tak kunjung membuat hati orang-orang dia kumpul berubah. Dengan pintu masih belum diperbaiki, membuat netra melintas ruang tersebut akan memanaskan hati.Apabila masakan tanpa garam kurang sedap rasanya. Maka apabila menurut orang sekitar Theresia tak geram dengan Theresia maka kurang sedap. Seperti Laura beralasan hendak menyusul sang suami. Namun langkahnya justru dibelokkan ke kamar Theresia. Senyum licik penuh kepuasan tercetak di pahatan wajah Laura.Engsel pintu telah diujung tanduk membuat, cukup dengan sekali sentuhan semata agar pintu seutuhnya terlepas. Bak mimpi buruk menyandang Theresia. Tubuh gempalnya seketika terlonjak terkejut"Hai babi!""Woy babi!"Theresia bukan bergeming karena terima diperlakukan lebih manusiawi dibanding hewan. Tetapi dia justru tengah menahan rasa geram menggebu-gebu. Kukunya meremas kuat walau sadar dia tak bisa meluapkan
"Apalagi yang kau tunggu hah?! Kubilang tadi apa?! Apakah telingamu konslet?! Cepat dobrak pintunya!"Pria bertubuh kekar dengan balutan busana serba hitam, langsung mendobrak pintu tepat setelah perintah diucapkan oleh wanita yang duduk di kursi roda. Wanita ini memang sangatlah telah bau tanah. Tetapi walaupun telah berbau tanah, tak membuat posisi kekuasaannya goyah. TKB alias tua, kaya, dan berkuasa begitulah julukan dari para anak, menantu, serta para cucu maupun kolega menyebutnya.Benturan pintu mengenai dinding bukan karena angin besar, apalagi pintu tersebut dikunci namun tiba-tiba didobrak membuat seluruh atensi tertuju pada pintu ruang tamu. Tak sebatas sepasang ataupun dua pasang mata saja, melainkan seluruh pasang penghuni ruang tamu seketika menatap ke pintu. Keharmonisan dari pertunangan Sean dengan sang kekasih, seketika menghilang dalam sedetik setelah seluruh penghuni terperanjat. "O--Oma?""Loh Oma?""Oma?!"Oma omi ome omo hanya itu yang terucap dari menantu, anak
Masih dalam keheningan sama, penindasan juga berlaku sama tiap menitnya. Hanya satu yang berbeda yaitu waktu berubah, tetapi tak kunjung membuat hati orang-orang dia kumpul berubah. Dengan pintu masih belum diperbaiki, membuat netra melintas ruang tersebut akan memanaskan hati.Apabila masakan tanpa garam kurang sedap rasanya. Maka apabila menurut orang sekitar Theresia tak geram dengan Theresia maka kurang sedap. Seperti Laura beralasan hendak menyusul sang suami. Namun langkahnya justru dibelokkan ke kamar Theresia. Senyum licik penuh kepuasan tercetak di pahatan wajah Laura.Engsel pintu telah diujung tanduk membuat, cukup dengan sekali sentuhan semata agar pintu seutuhnya terlepas. Bak mimpi buruk menyandang Theresia. Tubuh gempalnya seketika terlonjak terkejut"Hai babi!""Woy babi!"Theresia bukan bergeming karena terima diperlakukan lebih manusiawi dibanding hewan. Tetapi dia justru tengah menahan rasa geram menggebu-gebu. Kukunya meremas kuat walau sadar dia tak bisa meluapkan
Tak lagi bersama polusi udara bertebaran dimana-mana. Kebisingan masing-masing kendaraan juga tak menyapa telinga. Disiplinnya aturan lalu lintas terasa bebas. Padat nan bisingnya jalan tak lagi terasa, terganti dengan lenggangnya jalan area perumahan.Polusi suara dan udara membaur abstrak pun ikut berganti menjadi keheningan. Pepohonan berseragam sedari masuk area perumahan, menyejukkan netra sehabis penat dengan jalan raya. Mesin mobil mulai dimatikan oleh sang pengemudi. Sang pengemudi berputar ke arah kursi pintu sampingnya. Bak membantu orang berdarah kuning turun dari kendaraan.Kupu-kupu terasa berterbangan ke sana kemari. Bunga-bunga juga terasa bak ditabur untuk menyambut kedatangan keduanya. Aura pengantin baru masih mengguar dari keduanya. Sang lelaki dengan posesif merangkul pemilik pinggang kecil, hingga jarak keduanya tak tersisa sedikitpun.Lelah membuat keduanya merasa hendak menjadi pemakan antar sesama. Bel telah berulangkali ditekan, te
"Hei babi! Ayo cepat bergegas!""Cih, apa sih yang kau lakukan hingga lambat?!""Kau tuli kah?" "Tak tahukah bila di luar panas?""Babi bodoh!"Dengan langkah tergopoh-gopoh, nafas tersengal-sengal, dan peluh tak henti menetes. Peluh menetes merata dari tiap inci kulit. Baju yang lembab kian tampak lepek oleh keringat. Bukan melalui leher jenjang dengan keringat mengalir, melainkan dadalah menjelma menjadi bak kawah peluh.Mama Sean menatap penampilan gadis gempal di hadapannya. Dirinya membuang pandangan lalu menuntut kerjasama hidung dan mulut dengan mengerut. Mengalahkan abstraknya semerbak bau memusingkan di pasar bercampur, antara amis darah hewan dan daging hewan. Begitulah menurut Mama Sean kala bau tubuh Theresia menusuk indera penciumannya."Kau tak mandi berapa hari hah?! Busuk sekali baumu!"Theresia tersenyum sendu, hatinya berdenyut nyeri. Sakit nan sesak menyerang menyapa tiap sudut hati tanpa mel
Tak puas dengan panjangnya barisan belanja di pasar dengan ongkos minimalis. Hal serupa kembali dialami oleh Theresia dalam hitungan waktu ke depan. Barang-barang hasil pindahan orang tua Laura disimpan ke gudang, kian menyesakkan isi kamar Theresia. Semua perabot di kamar Laura akan diganti menjadi baru. Theresia diminta ke salah satu toko, yang terkenal dengan barang-barang kualitas tinggi, serta hasil dari tangan profesional luar negeri."Babi!""Woy pemalas!""Apa yang kau lakukan di dalam?!""Kau bodoh tadi aku suruh apa?!""Cepat cepat cepat!""Lemak saja menumpuk tetapi tenaga seuprit! Cih, apa gunanya jatah beras ART juga untukmu!"Theresia melengkungkan senyum kakunya, sembari melangkah perlahan karena sempitnya ruang. Ruang tak begitu longgar, kian terasa menyesakkan. Ranjang menjadi alas kasur tipis telah tak lagi mampu berada di gudang. Ntah kemana nasib jelas sang ranjang pun Theresia tak tahu.Ser
Tanpa perlu disambung dengan melibatkan solasi agar memanjang bak ular. Kertas-kertas diberikan ke gadis bertelapak tangan lebar, itu asli dengan panjang bisa jadi mengalahkan rel kereta. Tebal dan panjang itulah selembar benda, agaknya sukar terbawa angin karena sepanjang jalan tol. Hampir saja harapan bodoh terbit, sebelum gulungan itu berbaik hati memutuskan pita tipis.Mengira berisi makanan mewah nan lezat rasanya, kertas pengisi apa yang diinginkan dan harapkan, atau setidaknya rentetan kalimat maaf. Bukan-bukan-- Bukan hal manis dalam khayalan terealisasikan. Khayalan tetaplah khayalan sebatas gumpalan tak kasat mata, bahkan walau telah mengembang sekian besarnya. Bodoh dan konyol rasanya berharap lebih ekspetasi sebanding dengan realita.Mana mungkin seseorang lebih layak menjadi sosok itu sadar. Mana bisa juga jiwa keras mengalahkan batu itu terpecah. Bukan dingin bisa mencair bak es tengah pada gurun, tidak pula psikopat mendapat hikmah tiba-tiba tersadar. Ntahlah Theresia p
Ntah mengapa si gelapnya kelabu selalu sukses membuat langkah ragu. Apalagi bila si kelabu yang keras ditusuk kilat dari sang sinar kuning. Terkesan janggal memang sekeras kelabu mampu ditusuk si kuning. Luas dan hampa jalan komplek perumahan, telah terasa sejak beberapa meter lampau jauhnya. Jalanan perumahan terasa lenggang kala siang hari, membuat sang mentari kian menantang. Di atas sana sang bundar menyilaukan, kian menusuk kulit dan netra bagi umat bawah. Benda dengan terselimuti baja dan aluminium, yang menjadi sedikit pemanis kesunyian tampak memantulkan mentari kala di dekati. Kulit spontan akan dibuat bak manula dengan keriput hanya pada satu titik saja. Atau bisa juga layaknya kulit jeruk yang terdapat keriput.Dahi bagian itulah yang menjadi korban tak langsung si mentari. Kerutan samar-samar menghilang kala menatap pinggiran jalan. Layaknya sihir menghipnotis netra dan lisan untuk menuturkan kekaguman. Perpaduan antara rindangnya pohon tanjung, berbau
Jarum jam masih bergerak menuntut menit. Menit menemani pergerakan jarum pertanda jam, walau tak secepat si detik. Layaknya minggu dan bulan lalu. Hari berganti minggu, Minggu berganti hari. Sederhana tetapi menampar pemikiran.Jarum saja ditemani oleh jarum lain. Hari berganti minggu, hingga tergenapi 365 hari dalam setahun. Seseorang bisa berubah seiring waktu, ntah layaknya pergerakan jarum jam atau pergerakan hari. Baik mampu menjadi jahat, dan berlaku sebaliknya secara singkat. Bisa jadi bak sekedip mata, bisa jadi bak menyimak kura-kura berlari dari Indonesia ke Belanda.Konon kata orang menanti itu membosankan, bahkan jauh di level atasnya yaitu jenuh. Menanti atau menunggu selalu menjadi hal bak lomba. Bisa juga bagai les atau pelatihan, yaps kesabaran hal itulah yang dilibatkan. Ntah sekadar bosan atau hingga menyentuh si jenuh. Bosan memang masih mampu diulur atau dihilangkan, tetapi bagaimana kabar si jenuh? Selain menghilang tanpa kabar dengan alasan ke
Mentari telah seutuhnya larut dalam kegelapan malam. Bukan terik mentari membuat terperanjat, melainkan kilatan petir yang menyambar tak kalah membuat terkejut. Agaknya berbeda dengan ramalan orang pintar sebatas keuntungan, dengan peluang kecil adalah kenyataan. Ramalan cuaca pada layar handphone jauh memiliki peluang sungguhan.Memang netranya tak melihat secara langsung. Lisan meminta izin untuk memastikan handphone tetangga pun, tak diizinkan oleh sang pemilik. Putaran jarum pendek dan panjang telah berulang kali bertemu pada titik yang sama. Si kecil nan lembut tak kasar mata penunjuk derik, menemani langit kian pekatnya malam.Kilatan petir belum juga membuat gadis gempal itu beranjak. Sang gadis masih terpaku di sebrang rumah mewah, naungan lebih baik tetapi juga tak begitu baik. Tidak-tidak. Bukannya dia tak bersyukur bertemu Oma, hanya saja rumah mewah ini membuatnya terlena mengharapkan hal lebih. Hal yang tetap saja tak Theresia dapatkan yaitu kasih dan
Seminggu sudah suasana rumah terasa damai, tanpa kekerasan dilakukan oleh Sean dan orang tuanya. Bukan karena ketiga penghuni rumah yang sakit. Bukan pula sang samsak emosi terkapar, bebas kekerasan hanya berlaku tak lebih seminggu. Dikarenakan mereka pindah inap sementara ke hotel. Kembar beda usia itulah Sean dan sang Papa. Hotel mewah di jantung kota menjadi pilihan perayaan ulang tahun pria berusia 75 tahun dan 35 tahun. Ditemani dengan orang terkasih agar hari kian terasa istimewa, bahkan senyum dua pria itu tak henti terukir. Wanita yang rela menghamburkan saldo demi sang pria.Kedua orang tua Sean telah mempersiapkan cincin pernikahan untuk Sean dan Laura. Theresia? Gadis gempal itu ada di lantai paling bawah berbeda dengan mereka, satu lantai bersama para pelayan yang akan melayani acara. Acara tampaknya akan terasa damai dan meriah, mengingat Oma tengah menjalankan pengobatan di luar sedari bulan lalu."Apakah semuanya sudah aman?" Layaknya Nyonya pemilik acara yang mendanai