Share

Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin
Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin
Penulis: Yenika Koesrini

1. Terpaksa Menikah

Penulis: Yenika Koesrini
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-22 15:54:48

"Cantik sekali."

Aku mengulum senyum mendengar pujian yang dilontarkan oleh MUA yang tengah merias wajah ini.

"Nafia dari kecil memang sudah cantik," timpal Bibi Ira.

Wanita itu tampak semringah. Lebih bahagia dari aku sebagai pengantin. Ya hari ini aku akan menikah. Namun, bukan dengan Mas Ibnu. Melainkan dengan Arzen. Pemuda kaya yang baru kutemui satu bulan lalu.

"Ayo, pengantin laki-lakinya sudah menunggu." MUA itu berbicara lagi sambil meremas pelan pundakku.

Aku mengangguk tanpa semangat. Karena memang bukan dengan Arzen aku ingin menikah. Andai waktu bisa diputar kembali.

"Ayo, Naf!"

Kali ini Bibi Ira yang mengajak. Perempuan itu membantuku untuk berdiri. Tangannya langsung mengamit lengan kiriku. Sementara lengan kanan ini diamit oleh MUA.

Kami melangkah pelan meninggalkan kamar. Kamar mewah milik calon suamiku yang terletak di lantai dua. Dengan hati-hati aku menuruni anak tangga masih dibimbing oleh Bibi Ira dan MUA. Semua pasang mata tertuju padaku.

Sampai di bawah Adik Arzen yang bernama Arsy sudah menunggu. Di bimbing Bibi Ira dan Arsy aku melangkah menuju pelaminan. Tempat Arzen duduk menghadap penghulu. Aku sudah tidak perlu memakai kruk lagi. Namun, langkahku tetap saja berbeda dari sebelum kecelakaan.

Beberapa pasang mata menatapku aneh. Mungkin iba atau juga justru tengah mengejek cara jalanku.. Ada juga beberapa yang saling berbisik.

Ini menyakitkan. Namun, harus kuat menjalani. Arzen hanya mengerling sejenak ketika aku sudah duduk di sampingnya.

Aku dan Arzen berada di bawah selendang putih sutera yang sama. Tangan pemuda itu menjabat penghulu. Arzen mengikrarkan janji suci dengan pelan, datar, dan tanpa semangat.

Sementara aku hanya mampu menunduk. Setelah semua orang berteriak sah, mau tidak mau aku harus berpura tersenyum. Ketika Arzen menyodorkan tangannya, aku meraih pelan. Namun, belum juga hidung ini menyentuh punggung tangannya, Arzen sudah terlebih dulu menariknya.

Sakit? Pasti. Tetapi, aku tidak boleh baper.

Acara pun berjalan sebagaimana mestinya. Pembacaan sighat taklik, foto bersama, makan-makan, ramah tamah dengan para tamu, hingga terjadilah insiden yang mencoreng mukaku.

Acara berada di penghujung waktu. Banyak tamu yang sudah pamit pulang. Arsy yang lapar mengajakku untuk makan. Ketika tengah menikmati soto Betawi, terdengar keributan di ujung sana.

Tampak Ibu Sita tengah menunjuk-nunjuk wajah Bibi Ira. Penasaran dengan apa yang terjadi, aku pun mendekat.

"Sungguh kamu gak punya sopan santun! Acara belum kelar saja sudah mau ngembat amplop kondangan," maki Ibu Sita geram.

Aku sendiri termangu mendengarnya. Apalagi saat melihat tangan Bibi Ira penuh dengan amplop. Kami memang tengah berdiri di kotak amplop pernikahan.

"Saya bukannya mau ngembat amplop kondangan, tapi saya cuma mengambil hak dari Nafia. Keponakan saya," elak Bibi Ira cuek.

"Ira?!" Paman Santosa mendelik pada sang istri. Namun, dia tidak digubris.

"Hak?" Mata Ibu Sita membola mendengar balasan Bibi Ira. "Kamu bilang itu hak Nafia?" Suaranya meninggi saat bertanya.

"Mama!" Bapak Ari dan Arsy kompak menegur.

"Iya." Bibi Ira mengangguk yakin. "Ini kan pernikahan dia. Jadi dia juga berhak atas amplop ini," tuturnya enteng.

"Tapi, kami yang memodali pernikahan ini semua," sergah Ibu Sita percaya diri.

"Ma, sudahlah!" Bapak Ari menengahi. "Masalah ini gak perlu dibesar-besarkan! Kasih saja separuhnya buat Mbak Ira ini."

"Gak bisa gitu dong!" tepis Ibu Sita tidak terima, "enak saja mau curi duit orang. Kita itu habis duit banyak buat ngurusin ini semua. Enak aja! Gak! Aku gak terima!"

"Acara sudah selesai. Aku pulang ke rumah sendiri."

Arzen yang sedari tadi diam, kini berpamitan. Dia sama sekali tidak mengindahkan keberadaanku. Matanya justru tertuju pada Bibi Ira. Menatapnya tajam, lalu menyeringai kecil. Lebih tepatnya ejekan.

"Kamu pulang bareng Diaz!"

Ekspresi dingin dari Arzen saat menyuruh membuat dadaku terasa sesak.

Zen! Jangan gitu dong! Masih ada tamu yang belum pulang." Bapak Ari menegur. Pria bijak yang rambutnya sudah beruban di beberapa sisi mendekati putra sulungnya. "Lagian Mama kamu sudah nyuruh orang buat desain kamar kamu di sini. Nikmati dulu biar gak mubasir."

"Dan itu mahal, Zen." Ibu Sita menimpali.

"Aku gak meminta itu kok, Ma," balas Arzen cuek.

"Tahu gitu Mama gak nyuruh orang buat desain. Buang-buang duit saja!" Ibu Sita menggerutu kesal.

"Ngomong apa sih, Ma?" Bapak Ari menegur. Ibu Sita mengendikan bahu, setelah itu dia pun berlalu.

"Ya sudah ... aku nginep semalam di sini," putus Arzen kemudian.

"Bagus itu." Bapak Ari mengacungkan jempol. Ketika ada temannya memanggil, lelaki paruh baya itu menghampiri sang kawan. Menemani sang tamu untuk mengobrol.

Ketika Arzen hendak melangkah menuju tangga rumah, Paman Santosa memanggil. Lelaki itu menghentikan langkah, lalu balik badan untuk menghadap Paman Santosa.

"Saya dan istri mau pulang." Paman Santosa berucap kalem. "Sebelum pergi dengan segala kerendahan hati, saya mohon pada Adik Arzen. Tolong jaga keponakan saya, Nafia," pinta Paman terlihat tulus. "Cintai Nafia sepenuh hati, walau kini saya yakin belum ada perasaan itu di hatimu." Tangan Paman ia katupkan di depan dada.

Arzen tersenyum tipis. Senyum yang kuyakini adalah keterpaksaan. "Insya Allah." Dia membalas lirih. "Eum ... oke, saya ke atas sebentar," pamit Arzen dengan tangan menunjuk loteng.

Setelah diamini oleh Paman Santosa, pemuda yang hanya berusia dua tahun lebih tua dariku itu kembali menaiki anak tangga. Bahkan setengah berlari.

"Naf!" Kini Paman melambai padaku. Aku melangkah pelan mendekat. "Paman dan Bibi akan pulang. Jaga dirimu baik-baik ya!" pesannya penuh perhatian, "jadilah istri, menantu, serta ipar yang baik pada keluarga barumu."

"Iya, Paman." Aku meringis kecil.

"Jika ada masalah dengan suamimu, bicaralah! Jangan cuma diam. Dipendam sendiri. Itu gak baik, Naf." Paman memberi wejangan dengan bijak. "Paman selalu mengatakan jika cinta akan tumbuh karena terbiasa. Jadi ... biasakan diri berbuat hal yang Arzen sukai, serta pahamilah apa-apa saja yang ia benci."

"Insya Allah, Paman."

"Paman yakin kamu pasti bisa." Kali ini Paman menarik tubuhku. Mendekapnya sebentar. "Sabar adalah kunci dari semua keberhasilan," ujarnya usai mengurai pelukan.

Aku kembali mengangguk kecil.

Bibi Ira pun mendekat. Wanita yang hanya beda sepuluh tahun dariku itu memeluk juga. "Jika mertua perempuanmu galak, lawan saja! Jangan pernah menjadi wanita yang lemah," bisiknya serius.

Aku tidak menanggapi. Hanya tersenyum samar saja.

"Kita memang lebih miskin dari mereka, tapi jangan pernah mau ditindas." Bibi Ira kembali menambahkan, "dan ingat pesanku. Jangan terlalu tunduk pada suamimu. Biar dia tidak memandang rendah kamu," pesannya berapi-api.

"Ngomong apa sih, Ir?!" tegur Paman Santosa mendelik.

"Aku lagi ngajarin Nafia biar jadi wanita yang kuat, Mas," jawab Bibi Ira enteng.

"Tapi, Mas dengarnya gak gitu."

"Ahhh ... udahlah, pulang saja yuk!" Bibi Ira menyambar. "Takut si Sara nangis. Kara kan belum pinter banget jaga adiknya," tuturnya dengan menyebut dua nama sang putri.

Ketika Bibi Ira berlalu, Paman Santosa mengikuti. Saat keduanya pergi, hati ini tiba-tiba dilanda sepi.

Bapak Ari tengah sibuk menemani tamunya yang masih betah mengobrol. Sementara Ibu Sita tampak repot mengatur para pekerjanya untuk membereskan sisa-sisa pesta. Sementara Arsy sudah tidak terlihat lagi batang hidungnya.

"Kok bengong?" Aku menoleh, ternyata Diaz yang menegur. Pemuda yang hari ini terlihat rapi dengan kemeja batiknya melukis senyum. "Arzen mana?" tanya dia kemudian.

"Dia di kamar." Aku menjawab pelan.

"Kok gak ikut ke kamar?"

Aku tersenyum kecut.

"Gak diajak Arzen?"

Kali ini aku tercekat mendengar tebakan jitu dari Diaz. "Eum ... gak enaklah. Yang lain masih pada sibuk kok aku malah diam di kamar," kilahku mengarang alasan. Padahal sebenarnya aku ingin sekali meluruskan kaki. Ingin merebahkan tubuh sejenak di kasur.

"Gak papa. Cuek aja lagi," tanggap Diaz memberi dukungan. "Lagian kan kamu butuh istirahat untuk menghadapi malam pertama kamu," ujarnya dengan alis yang terangkat.

Entah kenapa tiba-tiba pipi ini terasa sedikit hangat saat Diaz mengucap malam pertama. Tersipu membuatku menunduk.

"Diaaaz!" Di sebelah sana Ibu Sita memanggil.

"Si bos manggil." Matanya mengarah pada Ibu Sita, "udah ... kamu istirahat saja di kamar biar gak kecapekan!" Setelah menyuruh seperti itu, Diaz pun beranjak.

Entah kenapa aku justru lebih dekat dengan Diaz. Bagiku dia pemuda yang baik dan perhatian. Sementara Arsy, aku belum terlalu dekat dengannya. Setidaknya sikap dia tidak sedingin Arzen atau pun Ibu Sita.

Bingung karena tidak ada yang bisa dikerjakan, akhirnya aku putuskan untuk naik ke atas. Ya ... ke kamarnya Arzen. Koperku sudah ditaruh Diaz di sana pagi tadi. Sayangnya aku tidak tahu di mana letaknya.

Bod*h! Kenapa tadi tidak tanya Diaz saja? Aku berdecak dan sedikit merutuk.

Ada tiga buah kamar di sini. Dua bersebelahan dan satunya berada di seberang. Pasti yang terpisah itu kamar utama, alias kamarnya Bapak Ari dan sang istri.

Sementara kamar dengan gantungan pintu yang lucu, aku yakin punya itu Arsy. Aksesoris khas anak gadis. Berarti kamar Arzen yang di sebelah kanan ini.

Tiba-tiba hati ini dilanda gugup. Aku menarik napas panjang sebentar untuk menata hati. Bagaimana pun juga ini pertama kalinya, aku menginjakkan kaki di kamar laki-laki.

Bismillahirrahmanirrahim.

Pelan-pelan kudorong pintu kayu bercat putih ini. Begitu terbuka sebuah kamar yang luas tampak terpampang. Tidak ada sosok Arzen di sana. Mungkin kah dia tengah mandi?

Perlahan aku memasuki kamar. Ranjang besar berselimut putih. Serasi dengan kordennya. Semilir angin dari pendingin ruangan membelai kulit. Sementara pengharum ruangan beraroma lavender sangat memanjakan hidung. Aku memejam menikmati sensasi wangi yang menyeruak ini.

"Lagi ngapain kamu?"

Aku tercekat. Mata ini langsung terbuka. Begitu membalikkan badan, tampak Ibu Sita tengah menatapku tajam.

"E-e-eum ... saya--"

"Mau ngikutin jejak bibimu jadi maling?"

Hatiku tersayat mendengar tuduhan keji itu.

"Itulah kenapa saya tidak menginginkan punya menantu miskin seperti kamu!" tandasnya dalam.

Bab terkait

  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   2. Ibu Mertua yang Sinis

    "Lagi ngapain kamu?"Aku tercekat. Mata ini langsung terbuka. Begitu membalikkan badan, tampak Ibu Sita tengah menatapku tajam."E-e-eum ... saya--""Mau ngikutin jejak bibimu jadi maling?"Hatiku tersayat mendengar tuduhan keji itu."Itulah kenapa saya tidak menginginkan punya menantu miskin seperti kamu!" tandasnya dalam.Seperti ada sebuah belati yang menikam hati ini. Amat dalam sehingga terasa sangat menyakitkan. Aku tahu Ibu Sita tidak menyetujui perjodohan ini. Tetapi, dia tidak bisa seenaknya menuduhku."Karena biasanya orang miskin itu lancang." Makin sempurna Ibu Sita menghina.Aku tarik napas dalam-dalam. Aku harus kuat. Inilah babak baru hidupku. "Maaf, saya bukannya lancang. Tapi, sungguh saya tidak tahu kamar yang Arzen di mana," ucapku pelan. Untuk kesopanan aku menunduk Terdengar Ibu Sita mendengkus. "Gak usah bohong gitu! Masa iya gak bisa membedakan mana kamar pengantin mana kamar biasa," tukas Ibu Sita tajam."Saya benar-benar tidak tahu, Bu. Maaf." Kali ini aku m

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-22
  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   3. Malam Pertama

    "Arzen pergi diantar Diaz. Dia bilang mau keluar sebentar," lapor Bapak Ari seakan tahu isi hatiku.Kutanggapi laporan Bapak Ari dengan anggukan. Lalu mulai memakan hidangan yang ada di meja. Ada banyak makanan yang tersedia. Daging rendang, ayam goreng, sop iga, sayur lodeh, sambal, dan perkedel. Namun, semua makanan ini terasa hambar begitu melihat ekspresi Ibu Sita.Sepanjang acara makan mulut wanita itu tidak bersuara. Namun, matanya selalu mengawasi gerak-gerikku. Membuatku kikuk saat akan mengambil makanan yang ada. Dan aku cukup tahu diri dengan memakan makanan yang berada di jangkauan. Beruntung Arsy pengertian. Gadis itu mengambilkan daging rendang dan ayam goreng yang berada tepat di hadapan Bapak Ari dan Ibu Sita. Ada rona kekesalan yang kutangkap dari wajah Ibu Sita melihat Arsy perhatian padaku.Acara makan malam selesai. Aku dengan sigap membereskan meja makan. Kata Diaz, ibu dan ayahnya hanya bekerja dari pagi hingga petang saja. Jadi kalau malam begini rumah ini suda

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-22
  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   4. Mencoba Bersabar

    (Nafia)"Maaf," ucap Arzen begitu aku membuka mata. "Untuk saat ini aku belum bisa melaksanakan tugas itu, Naf," jujurnya sambil membuang muka.Aku menipiskan bibir, walau Arzen tidak melihatnya. Tiba-tiba dia menatapku lagi."Aku capek dan kamu juga. Iya kan?" tebaknya terlihat yakin.Aku hanya mengangguk kecil. Padahal sebenarnya badan ini lumayan bugar setelah di-charge dengan tidur sore selama dua jam tadi."Yodah ... sebaiknya kita tidur." Arzen menyuruh sambil merebahkan tubuh. Pria itu menarik selimut sampai ke dagu. "Selamat malam," ucapnya dingin. Setelah itu Arzen memutar badan.Aku termangu melihat Arzen tidur membelakangi. Punggung itu tidak bergerak lagi."Malam ...." Aku membalas lirih.Selanjutnya aku mengikuti gaya tidurnya. Masing-masing saling membelakangi. Hingga satu jam berlalu, mata ini belum juga mau diajak tidur.Sungguh ... tidur miring seperti ini terus membuat badanku terasa pegal. Sebenarnya ingin merubah posisi. Namun, aku malu. Malu karena tidak dianggap.

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-22
  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   5. Kesepian

    Aku hanya tinggal selama tiga hari di rumah Bapak Ari. Hari keempatnya Arzen memboyongku ke rumahnya sendiri. Itu pun Diaz yang menjemput. Arzen hanya menyuruh saja.Rumah Arzen lebih kecil dibanding rumah orang tuanya. Namun, terkesan lebih modern. Barang-barang di dalamnya juga tidak terlalu mewah.Kamar utama terletak di lantai atas ternyata. Begitu juga kamar Diaz."Biar aku usul ke Arzen kalo sebaiknya kamar kalian pindah di bawah saja," ujar Diaz ketika melihatku tanpa tertatih menapaki tangga. "Biar kamu gak turun naik tangga," lanjutnya sambil menatapku iba. Dan aku merasa terharu. Selama ini cuma Diaz saja yang perhatian padaku."Gak usah, Yaz!" Aku menggeleng pelan, "aku biasa kok turun naik tangga," tuturku meyakinkan pemuda."Gak!" Diaz juga menggeleng, "aku gak mau ambil resiko kamu kenapa-kenapa pas ditinggal di rumah sendiri," dalihnya begitu terlihat tulus. "Lagian di lantai bawah juga ada kamar yang ada kamar mandinya juga."Omongan Diaz bukan sekedar kelakar. Pemuda

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-22
  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   6. Takdir

    FlashbackSeharusnya waktu itu adalah hari yang membahagiakan. Karena Rafi adikku akan pulang dari Jogjakarta dengan menyandang gelar sarjana hukum. Dia akan menjadi pengacara sesuai cita-citanya.Akhirnya, pengorbananku selama ini tidak sia-sia. Tiga tahun lamanya, gaji dari menjadi pelayan di sebuah toko roti selalu kukirimkan pada adik semata wayang. Tidak mengapa aku tidak punya tabungan, asal Rafi bisa lulus kuliah."Kenapa dari tadi kok senyum-senyum terus?" tegur Tina. Teman seprofesi. "Lho ... kok udah siap-siap? Waktu pulang masih dua jam lagi, Naf. " Mata Tina menyipit melihatku tengah mengelap etalase yang memajang aneka kue dan roti."Hari ini aku ijin pulang cepet." Aku membalas sambil berlalu menuju ruang ganti. Tina mengekor. "Rafi pulang," terangku dengan senyum yang tersungging."Oh ya? Sudah jadi sarjana dia?""Alhamdulillah ... Rafi lulus dengan nilai terbaik." Aku mengambil blazer berwarna hitam untuk melapisi seragam. "Aku pergi ya," pamitku semringah."Hati-hati

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-22
  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   7. Syarat Dari Paman

    "Kalian harus bertanggung jawab!" Terdengar Paman menggertak. Bisa kurasakan amarah Paman, walau mata ini terpejam menahan sakit."Kalian yang telah membuat keponakan saya seketika menjadi yatim piatu dan kehilangan calon suami," ujar Paman dengan nada yang bergetar. "Tentu!" Sang Ayah dari pihak penubruk terdengar menyanggupi. Aku masih menyembunyikan wajah pada dada Bibi. "Pasti kami bertanggung jawab."Emosi Paman yang mulai meledak saat membicarakan keluargaku. Serta tangisanku yang tidak kunjung surut membuat keluarga tersebut berpamitan. Ketika sang gadis meraih tanganku untuk disalim, aku menyentaknya keras.Aku bukan tipe gadis yang kasar. Tidak juga lemah lembut. Biasa saja. Hanya saja sakit hati ini membuatku belum bisa memaafkan begitu saja perilaku gadis tersebut.Selepas kepergian keluarga tersebut, air mataku tidak berhenti mengalir. Napas terasa sesak. Merasa menjadi gadis yang paling malang sedunia. Bagaimana tidak? Hanya dalam waktu sekejap saja aku langsung kehilan

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-30
  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   8. Perjodohan

    "Apa syaratnya?" Suami istri itu kompak bertanya.Paman terdiam sejenak. "Masalah ini akan diselesaikan secara damai, jika kalian bersedia menjodohkan putra kalian dengan keponakan saya."Sontak aku dan si pemuda di hadapan langsung berpaling memandang Paman."Tidak!" Bahkan bibir kami kompak menolak. Sesaat refleks kami saling menoleh. Bersitatap sekian detik. Lalu sama-sama membuang pandangan."Kenapa syaratnya harus seperti itu?" Pemuda itu tampak sekali keberatan."Iya." Ibunya pun turut menimpali. "Kalian bisa minta apa saja dari kami, asal jangan menjodohkan mereka," pinta wanita itu menunjukku dan putranya, "kasihan. Mereka tidak saling mengenal. Sementara berumah tangga itu bukan hal yang main-main. Ibadah panjang. Seharusnya sekali dalam seumur hidup," papar sang ibu panjang. Kentara sekali dia tidak menyetujui. Sementara anaknya mengamini omongan ibunya dengan anggukan.Paman kembali menghela napas. "Kami memang berasal dari keluarga biasa. Sangat tidak pantas jika keponaka

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-30
  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   9. Arzen

    (POV Arzen)"Zen!"Aku yang tengah sibuk meracik minuman pesanan menoleh begitu mendengar Diaz memanggil. Pemuda itu tergopoh-gopoh mendekat."Arsy." Diaz menyebut nama adikku dengan napas tersengal."Kenapa dengan dia?" tanyaku cuek. Mata ini masih fokus pada cup di mesin peracik kopi."Arsy kecelakaan, Zen," balas Diaz dengan wajah yang pucat."Apaaah?!" Aku tersentak kaget. Tangan ini refleks mencopot celemek hitam yang menutup kemeja kotak-kotak di badan. Kugantung kain tersebut. Salah seorang karyawanku mendekat untuk meneruskan pekerjaan."Bagaimana bisa?" tanyaku panik saat ke luar dari bar."Papamu barusan telpon." Diaz menjawab, "beliau sempat marah karena hape kamu sulit dihubungi," imbuhnya serius."Hapeku lagi dicharger." Aku memberi tahu. Gegas kutuju ruang kerja. Mengambil ponsel cepat kemudian keluar lagi.Aku dan Diaz melangkah tergesa ke luar kafe. Kamu menuju mobil di parkiran. Diaz langsung tancap gas begitu aku selesai memasang sabuk pengaman.Ponsel yang mati kuny

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-30

Bab terbaru

  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   67. Bulan Madu

    Ditemani Arzen dan Diaz keesokan harinya, aku pulang ke rumah Bapak Ibu. Kami pamit pada mereka. Tangan Arzen yang masih sakit tidak memungkinkan dia untuk menyetir sendiri."Jaga Fia baik-baik ya," pesan Bapak sambil menepuk pundak Arzen, "dia sudah kuanggap seperti putri kandungku sendiri.""Insya Allah, Pak." Arzen membalas kalem, "dan saya sangat berterima kasih karena selama Nafia pergi dari rumah, Bapak dan Ibu telah merawatnya dengan baik.""Maaf, Ya Nak Arzen, kami sempat pernah berbohong dengan mengatakan tidak tahu keberadaan Fia," timpal Ibu."Gak papa, Bu. Itu kan memang kemauannya Nafia sendiri," jawab Arzen bijak.Setelah pamit dari rumah Bapak Aminuddin, aku mengajak Arzen berkunjung ke rumah Paman Santosa. Pada dirinya juga kami meminta doa restu."Pesan saya masih sama, Dek Arzen. Tolong jaga dan cintai Nafia dengan baik," ucap Paman kalem."Insya Allah, Paman." Arzen mengangguk ramah, "dan tolong jangan sungkan menegur jika saya lalai seperti kemarin," lanjutnya tulu

  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   66. Kembali Bersatu

    "Aku masih mencintai kamu, Zen. Masih." Tangan ini terus melingkari erat perutnya. Agar Arzen percaya jika aku memang benar-benar tidak menginginkan dia pergi.Arzen mengurai pelukan. Kami saling bertatapan. Maniknya menelisik mataku lekat. Seakan tengah mencari kejujurannya di dalamnya."Naf, aku tahu kamu tersiksa dengan pernikahan ini, makanya aku sadar diri dengan menjauh dari kamu," tutur Arzen lembut. Belum pernah kudengar dia selembut ini berbicara. "Jika perpisahan mampu memberimu kebahagiaan, aku rela pergi." Aku kembali menggeleng. "Tolong jangan katakan itu," mohonku seraya menempelkan telunjuk di bibir Arzen. "Karena kebahagiaanku adalah ketika kamu mencintai aku," tuturku serius.Arzen meraih jemariku. Dia mengecupnya lembut. "Aku mencintai kamu, Naf. Dan aku berjanji mulai detik ini akan selalu membuatmu bahagia."Aku tersenyum haru. Tanpa malu kupeluk pria ini lagi. "Kita rajut kembali mahligai rumah tangga yang sempat terkoyak kemarin.""Iya." Arzen balas mendekapku

  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   65. Kesungguhan

    "Aaa!" Aku menjerit histeris. Takut tertimpa benda puluhan kilogram itu."Nafiaaa ... Awaaas!" Terdengar teriakan banyak orang dengan lantang.Semua terjadi dengan begitu cepat. Seseorang menarik tubuhku menjauh.PRAAANK!Aku membuka mata. Dadaku masih berdetak kencang. Ketika tengadah ternyata aku berada dalam pelukan Arzen. Lelaki itu pun tengah terpejam dengan napas tersengal-sengal. Di seberang sana Deva melakukan hal yang sama pada Aliya.Mata ini terbelalak melihat lampu gantung kepunyaan Deva hancur berantakan. Lampu gantung dengan materi kristal dan besi emas yang berbentuk kubah yang begitu indah itu sudah tidak berbentuk lagi. Kini hanya meninggalkan serpihan beling yang berserakan di lantai.Tiba-tiba aku merasa merinding. Ngeri membayangkan lampu dengan berat lima puluh kilogram itu menghantam tubuhku.Aku menatap Arzen kembali. Tubuh kami yang saling menempel membuat detak jantungnya juga terdengar jelas."Kamu gak papa?" Arzen bertanya lirih. Dia balas memindaiku. Namun,

  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   64. Galau

    "Aaa!" Aku menjerit histeris. Takut tertimpa benda puluhan kilogram itu."Nafiaaa ... Awaaas!" Terdengar teriakan banyak orang dengan lantang.Semua terjadi dengan begitu cepat. Seseorang menarik tubuhku menjauh.PRAAANK!Aku membuka mata. Dadaku masih berdetak kencang. Ketika tengadah ternyata aku berada dalam pelukan Arzen. Lelaki itu pun tengah terpejam dengan napas tersengal-sengal. Di seberang sana Deva melakukan hal yang sama pada Aliya.Mata ini terbelalak melihat lampu gantung kepunyaan Deva hancur berantakan. Lampu gantung dengan materi kristal dan besi emas yang berbentuk kubah yang begitu indah itu sudah tidak berbentuk lagi. Kini hanya meninggalkan serpihan beling yang berserakan di lantai.Tiba-tiba aku merasa merinding. Ngeri membayangkan lampu dengan berat lima puluh kilogram itu menghantam tubuhku.Aku menatap Arzen kembali. Tubuh kami yang saling menempel membuat detak jantungnya juga terdengar jelas."Kamu gak papa?" Arzen bertanya lirih. Dia balas memindaiku. Namun,

  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   63. Pesta Ulang Tahun Deva

    Aku melepas pegangan Arzen. "Aku mau telpon Diaz buat jemput kamu."Ketika hendak berdiri, Arzen mencegah. "Jangan bohongi diri kamu, Naf.""Aku gak bohongi hati sendiri, Zen." Aku menjawab datar, "tapi, saat ini aku sudah mati rasa sama kamu. Entah besok atau lusa. Yang pasti saat ini, aku sedang tidak mau bersama kamu."Kutingalkan Arzen segera. Aku tidak mau terlarut akan bujuk rayuannya. Seperti niat sebelumnya Diaz pun kuhubungi. Dan sekitar setengah jam pemuda itu sudah menampakan diri."Kamu boleh saja marah sama Arzen, tapi jangan berlarut-larut. Karena itu sama saja kamu memelihara dendam. Percuma kamu beribadah jika masih saja mengikuti napsu setan itu," nasihat Diaz dengan tenang dan serius. "Arzen tidak pernah kasar sana kamu. Dia tidak pernah KDRT. Dia hanya masih terjebak kisah masa lalu, tapi kini dia sudah menyadari kekeliruannya. Jadi tolong jangan buat setan tertawa menang karena berhasil memisahkan kalian."Aku termangu. Wejangan Diaz terdengar begitu panjang. Aku

  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   62. Nasihat-nasihat

    Arzen akan menginap di sini," kata Bapak Aminuddin tenang."Tapi, Pak." Aku menyela tidak rela."Kasihan jika suamimu harus tidur di luar."Tanpa menunggu jawabanku, Bapak Aminuddin berlalu."Zennnn, kamu ...."Hachiii!Aku mendesah. Ingin rasanya berteriak, tapi kutahan. Walaupun Bapak Ibu sudah menganggap layaknya anak kandung, tetap saja aku harus bersikap sopan.Dengan menahan gondok, kubuka pintu lebar-lebar."Makasih." Arzen mengulum senyum.Lelaki itu memasuki kamar. Matanya menatap sekeliling. Aku sendiri berjalan tenang menuju lemari. Kuraih sebuah selimut."Ini udah ada selimut lho, Naf. Ha-hachiii." Arzen memberi tahu disertai bersin.Aku tidak membalas. Kini bantal pada ranjang pun aku ambil. Arzen mengernyit bingung karenanya."Lho ... kamu mau tidur di mana?" tegur Arzen begitu melihatku keluar kamar. Beberapa kali dia menggosok hidungnya yang merah. Bersinnya pun masih kerap menyerang."Aku tidur di sofa ruang keluarga saja," balasku kalem. "Biar kamu yang tidur di kama

  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   61. Pantang Mundur

    Aku kembali ke rumah Bapak Aminuddin. Kembali tidur di kamar yang dulu. Seperti yang sudah-sudah kedua orang tua ini begitu menyayangi aku. Segala kebutuhanku tercukupi di sini.Waktu berjalan begitu cepatnya. Tidak terasa sudah sepuluh hari aku tinggal di rumah Bapak Aminuddin ini. Setiap hari Arzen datang berkunjung. Kadang pagi sebelum berangkat kerja. Kadang malam hari setelah pulang kerja.Pernah juga dia datang ke sini seorang diri. Tujuannya tidak lain adalah membujuk aku untuk pulang. Ibu Sita dan sang suami juga tidak mau ketinggalan. Keduanya beberapa kali mampir dengan maksud membawaku kembali.Lama-lama bosan menghadapi rayuan Arzen yang terus saja meminta kembali. Akhirnya kedatangan dia aku abaikan. Namun, Arzen tidak kenal menyerah. Bahkan ketika hujan turun dengan derasnya, lelaki itu tetap berdiri di teras depan menungguku."Temui suamimu, Nafia. Kasihan dia kedinginan di luar," suruh Ibunya Mas Ibnu memohon."Biarin aja, Bu. Salah sendiri ngeyel," balasku malas. "Sud

  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   60. Usaha Arzen

    Kejadian itu begitu cepat. Setelah tiga bulan dalam persembunyian, akhirnya Arzen dan Diaz mampu menemukan aku. Sayangnya aku yang panik justru melakukan kecerobohan.Keegoisan mengalahkan kewarasan. Sudah tahu tengah mengandung kenapa aku mesti melarikan diri. Jika tidak ingin menjumpai Arzen, harusnya aku bicara baik-baik saja. Kenapa membahayakan diri sendiri dan kandungan ini?Bodoh! Aku pun menyesali kecerobohan kemarin. Tapi, aku lebih menyesali saat terbangun dari pingsan perut ini sudah kembali rata. Gerakan di dalam sana tidak lagi kurasakan.Aku telah kehilangan permata hati. Penantian selama lima bulan ini sia-sia sudah. Hidupku serasa hancur saat ini. Ketika Arzen datang, rasa benciku padanya bangkit lagi. Walaupun hati kecil ini menyalakan kecerobohan sendiri. Namun, Arzen juga turut andil atas kematian calon bayi kami.Aku yang masih berduka tidak menginginkan kedatangan Arzen. Ketika pria itu menampakan diri, sontak aku mengusirnya. Tidak peduli dia berkali mengucap ka

  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   59. Aliya yang Sesungguhnya

    Sudah empat hari Nafia dirawat. Keadaannya berangsur-angsur membaik. Namun, hingga sekarang wanita itu belum sudi dikunjungi olehku. Padahal ketika Aliya datang, Nafia menerima kedatangan gadis itu dengan baik. Walau pedih, tapi kuterima. Konsekuensi dari berbagai kesalahanku padanya.Namun, ada yang mengganjal hati. Sudah lebih dari sekali aku melihat Aliya datang menjenguk Nafia pasti bersama Deva. Aku tahu mereka berteman. Tetapi, cara pandang Aliya tampak berbeda pada Deva."Aku lihat-lihat, sekarang lengket banget sama bosnya Nafia," sindirku suatu sore. Aku sengaja main ke rumahnya. Masalahnya aku tidak bisa langsung menegurnya di rumah sakit. Itu karena Aliya tidak mau lepas dari Deva. Sementara aku, masalah berdebat lagi dengan pemuda beganjulan itu."Memangnya kenapa?" Aliya membalas tenang. "Kami sama-sama single," imbuhnya santai."Oh ... jadi sekarang kamu sudah ikhlas jika aku lepas?" Walau emosi, tetapi kuikuti permainannya. Tenang."Zen, sadar dong! Kamu baru saja ken

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status