"Lagi ngapain kamu?"
Aku tercekat. Mata ini langsung terbuka. Begitu membalikkan badan, tampak Ibu Sita tengah menatapku tajam.
"E-e-eum ... saya--"
"Mau ngikutin jejak bibimu jadi maling?"
Hatiku tersayat mendengar tuduhan keji itu.
"Itulah kenapa saya tidak menginginkan punya menantu miskin seperti kamu!" tandasnya dalam.
Seperti ada sebuah belati yang menikam hati ini. Amat dalam sehingga terasa sangat menyakitkan. Aku tahu Ibu Sita tidak menyetujui perjodohan ini. Tetapi, dia tidak bisa seenaknya menuduhku.
"Karena biasanya orang miskin itu lancang." Makin sempurna Ibu Sita menghina.
Aku tarik napas dalam-dalam. Aku harus kuat. Inilah babak baru hidupku.
"Maaf, saya bukannya lancang. Tapi, sungguh saya tidak tahu kamar yang Arzen di mana," ucapku pelan. Untuk kesopanan aku menunduk
Terdengar Ibu Sita mendengkus. "Gak usah bohong gitu! Masa iya gak bisa membedakan mana kamar pengantin mana kamar biasa," tukas Ibu Sita tajam.
"Saya benar-benar tidak tahu, Bu. Maaf." Kali ini aku menunduk lebih dalam.
"Kalo maling ngaku penjara penuh," balas Ibu Sita meremehkan.
Ada yang teremas di dalam sana. "Saya memang berasal dari keluarga miskin, tetapi kedua orang tua saya selalu mengajarkan kebaikan. Salah satunya mengajarkan untuk tidak mendendam."
"Kamu mau ngomong apa?" Kali ini Ibu Sita melipat kedua tangannya di dada.
"Tolong jangan pernah samakan sikap Bibi Ira dengan saya. Kami berbeda," pintaku tenang. Ibu Sita sendiri menanggapinya dengan seringai miring, "perlu Ibu tahu, menjadi menantu Ibu bukanlah impian saya. Tetapi, saya masih punya hati untuk membebaskan seorang gadis. Kesediaan saya menikahi Arzen tidak lain dan tidak bukan demi menyelamatkan masa depan Arsy," paparku tenang.
Ibu Sita sendiri tampak tercengang mendengar penuturanku. Dia terlihat gelagapan. Mungkin tidak menyangka jika aku mampu bicara.
"Mama? Mbak Naf?" Arsy masuk dengan tatapan heran padaku.
"Eum ... aku salah masuk kamar, Sy. Aku pikir ini kamarnya Mas Arzen," ujarku menjawab kernyitan pada dahi Arsy.
"Oh ... jadi belum tahu kamarnya Kak Arzen?" Mulut Arsy melongo lebar, "itu!" Dia menunjuk ruangan yang berseberangan dengan kamar ini.
"Aku lupa nanya ke Diaz tadi," jujurku kalem. Arsy manggut-manggut. "Wajahmu segar sekali, habis tidur?" tanyaku basa-basi. Aku melewati Ibu Sita untuk mendekati gadis itu.
"Ya." Arsy mengangguk cepat, "waktu di sel aku gak pernah bisa tidur. Banyak nyamuk dan tikus. Jadi sekarang aku mau balas dendam untuk sering tidur," jelas jujur.
Aku tersenyum, lalu melirik ke Ibu Sita. Wanita itu justru melengos.
"Makasih banyak sudah memaafkan kesalahanku ya, Mbak." Arsy berbicara sambil meraih tanganku. Lalu menggenggamnya kuat-kuat.
"Allah saja yang Maha kuasa sudi memaafkan hamba-Nya. Kenapa kita mahluk yang lemah justru sombong dengan tidak mau memberi maaf?"
Uhuk-uhuk!
Ibu Sita terbatuk-batuk. Entah sengaja atau memang tertampar mendengar penuturanku. Sengaja tadi aku tekankan kata sombong.
Semoga dia sadar. Bahwa aku bukanlah benalu yang akan membuat keluarganya menderita. Justru di sinilah aku yang lebih menderita. Seketika menjadi sebatang kara karena ulah putrinya.
Arsy mengantarku hingga depan pintu kamar Arzen. Gadis itu mengetuk-ngetuk pintu.
"Kak Arzeeen!" Dia memanggil. Namun, tidak ada sahutan. Gadis itu menarik handle pintu. Tidak ada sosok Arzen di dalam. "Mungkin Kak Arzen lagi mandi," sangka Arsy sambil mengangkat bahu, "yodah aku ke bawah buat nyari makanan ya."
Arsy menepuk pelan pundakku isyarat pamit. Gadis itu berlalu begitu mendapat anggukan kecil dariku. Mata ini menyapu sekeliling. Koperku ada bersandar pada dinding pojok ruangan.
Ruangan ini memang disulapnya layaknya kamar pengantin pada umumnya. Masih ada beberapa kelopak mawar di seprai putih. Sepertinya sudah dibersihkan oleh Arzen. Ada hiasan sepasang angsa yang membentuk tanda cinta dari kain. Lilin kecil yang dinyalakan menambah kesan temaram yang syahdu. Sementara bunga sedap malam di beberapa titik membuat ruangan ini terasa wangi.
CEKLEK!
Aku berpaling pada sumber suara. Tampak Arzen baru saja keluar dari kamar mandi. Lelaki itu hanya mengenakan handuk untuk menutupi bagian tubuh bawahnya. Pandangan kami berserobok untuk beberapa detik. Lalu sama-sama membuang muka.
Aku sendiri langsung balik badan. "Maaf," ucapku sambil menahan jengah. Sungguh tidak nyaman perasaan ini.
Arzen tidak menjawab. Namun, kurasakan dia mendekat. Ketika pantulan wajahnya berada di cermin, aku beringsut lagi. Posisi ini tetap membelakangi dia.
Pintu lemari terdengar berderit. Pastinya Arzen tengah mengambil baju. Kami pun terdiam satu sama lain.
"Aku mau ke bawah. Kamu mandi aja sana!"
Aku memutar badan. Ekspresi Arzen datar seperti biasa. "Baik," balasku kalem.
Arzen tidak menyahut lagi. Dia sudah cukup rapi dengan kemeja kotak-kotak dan celana jeans. Tanpa bicara Arzen pun berlalu dengan tenang meninggalkan kamar. Aku mengatur napas pelan, lantas melangkah untuk mengambil baju di koper.
Sebuah baju terusan aku ambil. Kemudian gegas menuju kamar mandi untuk membersihkan badan. Tampilan kamar mandi yang cukup mewah tidak membuat lena. Aku mandi secukupnya.
Badan yang segar membuatku merasa kantuk. Tidak kuat menahan beratnya mata, aku berbaring. Mungkin karena karena terlalu lelah, tidak menunggu waktu lama aku pun terlelap. Terjaga begitu ada telapak tangan yang menepuk pipi. Sosok imut Arsy menyungging senyum.
"Ditunggu makan malam yuk, Mbak!" ajaknya hangat.
Aku tersenyum. Merasa bersyukur karena hanya Ibu Sita yang tidak begitu menyukaiku. Sementara Arzen ... walau pun dingin, setidaknya dia tidak terlalu menunjukkan kebencian. Entah nanti.
"Ayok, Mbak! Kok malah bengong?" Arsy menegur dengan senyum manis.
"Ayuk!"
Aku pun bangkit. Kami berdua meninggalkan kamar. Ketika akan menuruni anak tangga, Arsy menuntutku. Bahagia merasuki kalbu mendapat perhatian darinya.
Di meja makan sudah ada Bapak Ari dan Ibu Sita yang duduk berdampingan. Tidak ada Arzen di depan mereka. Ke mana dia?
"Arzen pergi diantar Diaz. Dia bilang mau keluar sebentar," lapor Bapak Ari seakan tahu isi hatiku.Kutanggapi laporan Bapak Ari dengan anggukan. Lalu mulai memakan hidangan yang ada di meja. Ada banyak makanan yang tersedia. Daging rendang, ayam goreng, sop iga, sayur lodeh, sambal, dan perkedel. Namun, semua makanan ini terasa hambar begitu melihat ekspresi Ibu Sita.Sepanjang acara makan mulut wanita itu tidak bersuara. Namun, matanya selalu mengawasi gerak-gerikku. Membuatku kikuk saat akan mengambil makanan yang ada. Dan aku cukup tahu diri dengan memakan makanan yang berada di jangkauan. Beruntung Arsy pengertian. Gadis itu mengambilkan daging rendang dan ayam goreng yang berada tepat di hadapan Bapak Ari dan Ibu Sita. Ada rona kekesalan yang kutangkap dari wajah Ibu Sita melihat Arsy perhatian padaku.Acara makan malam selesai. Aku dengan sigap membereskan meja makan. Kata Diaz, ibu dan ayahnya hanya bekerja dari pagi hingga petang saja. Jadi kalau malam begini rumah ini suda
(Nafia)"Maaf," ucap Arzen begitu aku membuka mata. "Untuk saat ini aku belum bisa melaksanakan tugas itu, Naf," jujurnya sambil membuang muka.Aku menipiskan bibir, walau Arzen tidak melihatnya. Tiba-tiba dia menatapku lagi."Aku capek dan kamu juga. Iya kan?" tebaknya terlihat yakin.Aku hanya mengangguk kecil. Padahal sebenarnya badan ini lumayan bugar setelah di-charge dengan tidur sore selama dua jam tadi."Yodah ... sebaiknya kita tidur." Arzen menyuruh sambil merebahkan tubuh. Pria itu menarik selimut sampai ke dagu. "Selamat malam," ucapnya dingin. Setelah itu Arzen memutar badan.Aku termangu melihat Arzen tidur membelakangi. Punggung itu tidak bergerak lagi."Malam ...." Aku membalas lirih.Selanjutnya aku mengikuti gaya tidurnya. Masing-masing saling membelakangi. Hingga satu jam berlalu, mata ini belum juga mau diajak tidur.Sungguh ... tidur miring seperti ini terus membuat badanku terasa pegal. Sebenarnya ingin merubah posisi. Namun, aku malu. Malu karena tidak dianggap.
Aku hanya tinggal selama tiga hari di rumah Bapak Ari. Hari keempatnya Arzen memboyongku ke rumahnya sendiri. Itu pun Diaz yang menjemput. Arzen hanya menyuruh saja.Rumah Arzen lebih kecil dibanding rumah orang tuanya. Namun, terkesan lebih modern. Barang-barang di dalamnya juga tidak terlalu mewah.Kamar utama terletak di lantai atas ternyata. Begitu juga kamar Diaz."Biar aku usul ke Arzen kalo sebaiknya kamar kalian pindah di bawah saja," ujar Diaz ketika melihatku tanpa tertatih menapaki tangga. "Biar kamu gak turun naik tangga," lanjutnya sambil menatapku iba. Dan aku merasa terharu. Selama ini cuma Diaz saja yang perhatian padaku."Gak usah, Yaz!" Aku menggeleng pelan, "aku biasa kok turun naik tangga," tuturku meyakinkan pemuda."Gak!" Diaz juga menggeleng, "aku gak mau ambil resiko kamu kenapa-kenapa pas ditinggal di rumah sendiri," dalihnya begitu terlihat tulus. "Lagian di lantai bawah juga ada kamar yang ada kamar mandinya juga."Omongan Diaz bukan sekedar kelakar. Pemuda
FlashbackSeharusnya waktu itu adalah hari yang membahagiakan. Karena Rafi adikku akan pulang dari Jogjakarta dengan menyandang gelar sarjana hukum. Dia akan menjadi pengacara sesuai cita-citanya.Akhirnya, pengorbananku selama ini tidak sia-sia. Tiga tahun lamanya, gaji dari menjadi pelayan di sebuah toko roti selalu kukirimkan pada adik semata wayang. Tidak mengapa aku tidak punya tabungan, asal Rafi bisa lulus kuliah."Kenapa dari tadi kok senyum-senyum terus?" tegur Tina. Teman seprofesi. "Lho ... kok udah siap-siap? Waktu pulang masih dua jam lagi, Naf. " Mata Tina menyipit melihatku tengah mengelap etalase yang memajang aneka kue dan roti."Hari ini aku ijin pulang cepet." Aku membalas sambil berlalu menuju ruang ganti. Tina mengekor. "Rafi pulang," terangku dengan senyum yang tersungging."Oh ya? Sudah jadi sarjana dia?""Alhamdulillah ... Rafi lulus dengan nilai terbaik." Aku mengambil blazer berwarna hitam untuk melapisi seragam. "Aku pergi ya," pamitku semringah."Hati-hati
"Kalian harus bertanggung jawab!" Terdengar Paman menggertak. Bisa kurasakan amarah Paman, walau mata ini terpejam menahan sakit."Kalian yang telah membuat keponakan saya seketika menjadi yatim piatu dan kehilangan calon suami," ujar Paman dengan nada yang bergetar. "Tentu!" Sang Ayah dari pihak penubruk terdengar menyanggupi. Aku masih menyembunyikan wajah pada dada Bibi. "Pasti kami bertanggung jawab."Emosi Paman yang mulai meledak saat membicarakan keluargaku. Serta tangisanku yang tidak kunjung surut membuat keluarga tersebut berpamitan. Ketika sang gadis meraih tanganku untuk disalim, aku menyentaknya keras.Aku bukan tipe gadis yang kasar. Tidak juga lemah lembut. Biasa saja. Hanya saja sakit hati ini membuatku belum bisa memaafkan begitu saja perilaku gadis tersebut.Selepas kepergian keluarga tersebut, air mataku tidak berhenti mengalir. Napas terasa sesak. Merasa menjadi gadis yang paling malang sedunia. Bagaimana tidak? Hanya dalam waktu sekejap saja aku langsung kehilan
"Apa syaratnya?" Suami istri itu kompak bertanya.Paman terdiam sejenak. "Masalah ini akan diselesaikan secara damai, jika kalian bersedia menjodohkan putra kalian dengan keponakan saya."Sontak aku dan si pemuda di hadapan langsung berpaling memandang Paman."Tidak!" Bahkan bibir kami kompak menolak. Sesaat refleks kami saling menoleh. Bersitatap sekian detik. Lalu sama-sama membuang pandangan."Kenapa syaratnya harus seperti itu?" Pemuda itu tampak sekali keberatan."Iya." Ibunya pun turut menimpali. "Kalian bisa minta apa saja dari kami, asal jangan menjodohkan mereka," pinta wanita itu menunjukku dan putranya, "kasihan. Mereka tidak saling mengenal. Sementara berumah tangga itu bukan hal yang main-main. Ibadah panjang. Seharusnya sekali dalam seumur hidup," papar sang ibu panjang. Kentara sekali dia tidak menyetujui. Sementara anaknya mengamini omongan ibunya dengan anggukan.Paman kembali menghela napas. "Kami memang berasal dari keluarga biasa. Sangat tidak pantas jika keponaka
(POV Arzen)"Zen!"Aku yang tengah sibuk meracik minuman pesanan menoleh begitu mendengar Diaz memanggil. Pemuda itu tergopoh-gopoh mendekat."Arsy." Diaz menyebut nama adikku dengan napas tersengal."Kenapa dengan dia?" tanyaku cuek. Mata ini masih fokus pada cup di mesin peracik kopi."Arsy kecelakaan, Zen," balas Diaz dengan wajah yang pucat."Apaaah?!" Aku tersentak kaget. Tangan ini refleks mencopot celemek hitam yang menutup kemeja kotak-kotak di badan. Kugantung kain tersebut. Salah seorang karyawanku mendekat untuk meneruskan pekerjaan."Bagaimana bisa?" tanyaku panik saat ke luar dari bar."Papamu barusan telpon." Diaz menjawab, "beliau sempat marah karena hape kamu sulit dihubungi," imbuhnya serius."Hapeku lagi dicharger." Aku memberi tahu. Gegas kutuju ruang kerja. Mengambil ponsel cepat kemudian keluar lagi.Aku dan Diaz melangkah tergesa ke luar kafe. Kamu menuju mobil di parkiran. Diaz langsung tancap gas begitu aku selesai memasang sabuk pengaman.Ponsel yang mati kuny
(POV Arzen)Namanya Aliya. Dia adalah sepupu dari Diaz. Aku sudah mengenalnya selama bertahun-tahun.Dari kecil aku sering main ke rumah Diaz. Ketemulah dengan Aliya. Gadis pemalu yang punya mata indah.Ceruk di pipi membuatnya manis kala tersenyum.Aku, Diaz, dan Aliya akrab sedari kecil. Aku yang kaku sangat cocok berteman dengan Aliya yang lemah lembut. Jika sedang bad mood, Aliya adalah orang pertama yang kudatangi. Karena Aliya mampu menenangkan dengan ucapan. Di umur lima belas kami berikrar sebagai sepasang kekasih.Sebenarnya Mama melarang aku berdekatan dengan Diaz. Wanita itu memang masih berpikiran sempit. Katanya, jangan terlalu dekat dengan bawahan. Nanti mereka melunjak.Untung pikiran Papa seberangan dengan Mama. Prinsipnya bahwa semua orang itu sama derajatnya di hadapan Allah. Hanya ketakwaan yang membedakan.Tidak heran semua karyawan baik di kantor maupun rumah, sangat menghormati Papa.*Usai berpamitan pada keluarga korban yang bernama Nafia, aku, Mama, dan Papa p
Ditemani Arzen dan Diaz keesokan harinya, aku pulang ke rumah Bapak Ibu. Kami pamit pada mereka. Tangan Arzen yang masih sakit tidak memungkinkan dia untuk menyetir sendiri."Jaga Fia baik-baik ya," pesan Bapak sambil menepuk pundak Arzen, "dia sudah kuanggap seperti putri kandungku sendiri.""Insya Allah, Pak." Arzen membalas kalem, "dan saya sangat berterima kasih karena selama Nafia pergi dari rumah, Bapak dan Ibu telah merawatnya dengan baik.""Maaf, Ya Nak Arzen, kami sempat pernah berbohong dengan mengatakan tidak tahu keberadaan Fia," timpal Ibu."Gak papa, Bu. Itu kan memang kemauannya Nafia sendiri," jawab Arzen bijak.Setelah pamit dari rumah Bapak Aminuddin, aku mengajak Arzen berkunjung ke rumah Paman Santosa. Pada dirinya juga kami meminta doa restu."Pesan saya masih sama, Dek Arzen. Tolong jaga dan cintai Nafia dengan baik," ucap Paman kalem."Insya Allah, Paman." Arzen mengangguk ramah, "dan tolong jangan sungkan menegur jika saya lalai seperti kemarin," lanjutnya tulu
"Aku masih mencintai kamu, Zen. Masih." Tangan ini terus melingkari erat perutnya. Agar Arzen percaya jika aku memang benar-benar tidak menginginkan dia pergi.Arzen mengurai pelukan. Kami saling bertatapan. Maniknya menelisik mataku lekat. Seakan tengah mencari kejujurannya di dalamnya."Naf, aku tahu kamu tersiksa dengan pernikahan ini, makanya aku sadar diri dengan menjauh dari kamu," tutur Arzen lembut. Belum pernah kudengar dia selembut ini berbicara. "Jika perpisahan mampu memberimu kebahagiaan, aku rela pergi." Aku kembali menggeleng. "Tolong jangan katakan itu," mohonku seraya menempelkan telunjuk di bibir Arzen. "Karena kebahagiaanku adalah ketika kamu mencintai aku," tuturku serius.Arzen meraih jemariku. Dia mengecupnya lembut. "Aku mencintai kamu, Naf. Dan aku berjanji mulai detik ini akan selalu membuatmu bahagia."Aku tersenyum haru. Tanpa malu kupeluk pria ini lagi. "Kita rajut kembali mahligai rumah tangga yang sempat terkoyak kemarin.""Iya." Arzen balas mendekapku
"Aaa!" Aku menjerit histeris. Takut tertimpa benda puluhan kilogram itu."Nafiaaa ... Awaaas!" Terdengar teriakan banyak orang dengan lantang.Semua terjadi dengan begitu cepat. Seseorang menarik tubuhku menjauh.PRAAANK!Aku membuka mata. Dadaku masih berdetak kencang. Ketika tengadah ternyata aku berada dalam pelukan Arzen. Lelaki itu pun tengah terpejam dengan napas tersengal-sengal. Di seberang sana Deva melakukan hal yang sama pada Aliya.Mata ini terbelalak melihat lampu gantung kepunyaan Deva hancur berantakan. Lampu gantung dengan materi kristal dan besi emas yang berbentuk kubah yang begitu indah itu sudah tidak berbentuk lagi. Kini hanya meninggalkan serpihan beling yang berserakan di lantai.Tiba-tiba aku merasa merinding. Ngeri membayangkan lampu dengan berat lima puluh kilogram itu menghantam tubuhku.Aku menatap Arzen kembali. Tubuh kami yang saling menempel membuat detak jantungnya juga terdengar jelas."Kamu gak papa?" Arzen bertanya lirih. Dia balas memindaiku. Namun,
"Aaa!" Aku menjerit histeris. Takut tertimpa benda puluhan kilogram itu."Nafiaaa ... Awaaas!" Terdengar teriakan banyak orang dengan lantang.Semua terjadi dengan begitu cepat. Seseorang menarik tubuhku menjauh.PRAAANK!Aku membuka mata. Dadaku masih berdetak kencang. Ketika tengadah ternyata aku berada dalam pelukan Arzen. Lelaki itu pun tengah terpejam dengan napas tersengal-sengal. Di seberang sana Deva melakukan hal yang sama pada Aliya.Mata ini terbelalak melihat lampu gantung kepunyaan Deva hancur berantakan. Lampu gantung dengan materi kristal dan besi emas yang berbentuk kubah yang begitu indah itu sudah tidak berbentuk lagi. Kini hanya meninggalkan serpihan beling yang berserakan di lantai.Tiba-tiba aku merasa merinding. Ngeri membayangkan lampu dengan berat lima puluh kilogram itu menghantam tubuhku.Aku menatap Arzen kembali. Tubuh kami yang saling menempel membuat detak jantungnya juga terdengar jelas."Kamu gak papa?" Arzen bertanya lirih. Dia balas memindaiku. Namun,
Aku melepas pegangan Arzen. "Aku mau telpon Diaz buat jemput kamu."Ketika hendak berdiri, Arzen mencegah. "Jangan bohongi diri kamu, Naf.""Aku gak bohongi hati sendiri, Zen." Aku menjawab datar, "tapi, saat ini aku sudah mati rasa sama kamu. Entah besok atau lusa. Yang pasti saat ini, aku sedang tidak mau bersama kamu."Kutingalkan Arzen segera. Aku tidak mau terlarut akan bujuk rayuannya. Seperti niat sebelumnya Diaz pun kuhubungi. Dan sekitar setengah jam pemuda itu sudah menampakan diri."Kamu boleh saja marah sama Arzen, tapi jangan berlarut-larut. Karena itu sama saja kamu memelihara dendam. Percuma kamu beribadah jika masih saja mengikuti napsu setan itu," nasihat Diaz dengan tenang dan serius. "Arzen tidak pernah kasar sana kamu. Dia tidak pernah KDRT. Dia hanya masih terjebak kisah masa lalu, tapi kini dia sudah menyadari kekeliruannya. Jadi tolong jangan buat setan tertawa menang karena berhasil memisahkan kalian."Aku termangu. Wejangan Diaz terdengar begitu panjang. Aku
Arzen akan menginap di sini," kata Bapak Aminuddin tenang."Tapi, Pak." Aku menyela tidak rela."Kasihan jika suamimu harus tidur di luar."Tanpa menunggu jawabanku, Bapak Aminuddin berlalu."Zennnn, kamu ...."Hachiii!Aku mendesah. Ingin rasanya berteriak, tapi kutahan. Walaupun Bapak Ibu sudah menganggap layaknya anak kandung, tetap saja aku harus bersikap sopan.Dengan menahan gondok, kubuka pintu lebar-lebar."Makasih." Arzen mengulum senyum.Lelaki itu memasuki kamar. Matanya menatap sekeliling. Aku sendiri berjalan tenang menuju lemari. Kuraih sebuah selimut."Ini udah ada selimut lho, Naf. Ha-hachiii." Arzen memberi tahu disertai bersin.Aku tidak membalas. Kini bantal pada ranjang pun aku ambil. Arzen mengernyit bingung karenanya."Lho ... kamu mau tidur di mana?" tegur Arzen begitu melihatku keluar kamar. Beberapa kali dia menggosok hidungnya yang merah. Bersinnya pun masih kerap menyerang."Aku tidur di sofa ruang keluarga saja," balasku kalem. "Biar kamu yang tidur di kama
Aku kembali ke rumah Bapak Aminuddin. Kembali tidur di kamar yang dulu. Seperti yang sudah-sudah kedua orang tua ini begitu menyayangi aku. Segala kebutuhanku tercukupi di sini.Waktu berjalan begitu cepatnya. Tidak terasa sudah sepuluh hari aku tinggal di rumah Bapak Aminuddin ini. Setiap hari Arzen datang berkunjung. Kadang pagi sebelum berangkat kerja. Kadang malam hari setelah pulang kerja.Pernah juga dia datang ke sini seorang diri. Tujuannya tidak lain adalah membujuk aku untuk pulang. Ibu Sita dan sang suami juga tidak mau ketinggalan. Keduanya beberapa kali mampir dengan maksud membawaku kembali.Lama-lama bosan menghadapi rayuan Arzen yang terus saja meminta kembali. Akhirnya kedatangan dia aku abaikan. Namun, Arzen tidak kenal menyerah. Bahkan ketika hujan turun dengan derasnya, lelaki itu tetap berdiri di teras depan menungguku."Temui suamimu, Nafia. Kasihan dia kedinginan di luar," suruh Ibunya Mas Ibnu memohon."Biarin aja, Bu. Salah sendiri ngeyel," balasku malas. "Sud
Kejadian itu begitu cepat. Setelah tiga bulan dalam persembunyian, akhirnya Arzen dan Diaz mampu menemukan aku. Sayangnya aku yang panik justru melakukan kecerobohan.Keegoisan mengalahkan kewarasan. Sudah tahu tengah mengandung kenapa aku mesti melarikan diri. Jika tidak ingin menjumpai Arzen, harusnya aku bicara baik-baik saja. Kenapa membahayakan diri sendiri dan kandungan ini?Bodoh! Aku pun menyesali kecerobohan kemarin. Tapi, aku lebih menyesali saat terbangun dari pingsan perut ini sudah kembali rata. Gerakan di dalam sana tidak lagi kurasakan.Aku telah kehilangan permata hati. Penantian selama lima bulan ini sia-sia sudah. Hidupku serasa hancur saat ini. Ketika Arzen datang, rasa benciku padanya bangkit lagi. Walaupun hati kecil ini menyalakan kecerobohan sendiri. Namun, Arzen juga turut andil atas kematian calon bayi kami.Aku yang masih berduka tidak menginginkan kedatangan Arzen. Ketika pria itu menampakan diri, sontak aku mengusirnya. Tidak peduli dia berkali mengucap ka
Sudah empat hari Nafia dirawat. Keadaannya berangsur-angsur membaik. Namun, hingga sekarang wanita itu belum sudi dikunjungi olehku. Padahal ketika Aliya datang, Nafia menerima kedatangan gadis itu dengan baik. Walau pedih, tapi kuterima. Konsekuensi dari berbagai kesalahanku padanya.Namun, ada yang mengganjal hati. Sudah lebih dari sekali aku melihat Aliya datang menjenguk Nafia pasti bersama Deva. Aku tahu mereka berteman. Tetapi, cara pandang Aliya tampak berbeda pada Deva."Aku lihat-lihat, sekarang lengket banget sama bosnya Nafia," sindirku suatu sore. Aku sengaja main ke rumahnya. Masalahnya aku tidak bisa langsung menegurnya di rumah sakit. Itu karena Aliya tidak mau lepas dari Deva. Sementara aku, masalah berdebat lagi dengan pemuda beganjulan itu."Memangnya kenapa?" Aliya membalas tenang. "Kami sama-sama single," imbuhnya santai."Oh ... jadi sekarang kamu sudah ikhlas jika aku lepas?" Walau emosi, tetapi kuikuti permainannya. Tenang."Zen, sadar dong! Kamu baru saja ken