"Apa syaratnya?" Suami istri itu kompak bertanya.
Paman terdiam sejenak. "Masalah ini akan diselesaikan secara damai, jika kalian bersedia menjodohkan putra kalian dengan keponakan saya."
Sontak aku dan si pemuda di hadapan langsung berpaling memandang Paman.
"Tidak!" Bahkan bibir kami kompak menolak.
Sesaat refleks kami saling menoleh. Bersitatap sekian detik. Lalu sama-sama membuang pandangan.
"Kenapa syaratnya harus seperti itu?" Pemuda itu tampak sekali keberatan.
"Iya." Ibunya pun turut menimpali. "Kalian bisa minta apa saja dari kami, asal jangan menjodohkan mereka," pinta wanita itu menunjukku dan putranya, "kasihan. Mereka tidak saling mengenal. Sementara berumah tangga itu bukan hal yang main-main. Ibadah panjang. Seharusnya sekali dalam seumur hidup," papar sang ibu panjang. Kentara sekali dia tidak menyetujui. Sementara anaknya mengamini omongan ibunya dengan anggukan.
Paman kembali menghela napas. "Kami memang berasal dari keluarga biasa. Sangat tidak pantas jika keponakan saya bersanding dengan putra Ibu yang gagah dan terpelajar ini--"
"Bukan begitu maksud kami, Pak." Ibu itu menyela. Dia memanggil Paman dengan sebutan Bapak, padahal usia wanita terlihat jauh lebih tua dari Paman. "Pernikahan itu sesuatu yang sakral. Tidak main-main. Sementara mereka itu tidak saling mengenal," kilahnya mencoba meyakinkan.
Paman menatap lurus ibu tersebut dengan sendu. "Maaf jika syarat ini terlalu berlebihan," ucapnya pelan. "Tapi, tidak kah kalian kasihan melihat nasib keponakan saya?" Paman kembali menunjuk wajahku.
"Nafia, keponakan saya ini harus kehilangan seluruh keluarganya hanya dalam waktu sekejap." Paman bertutur dengan suara yang bergetar. Mendengar itu luka yang makasih menganga lebar ini kembali terasa terkoyak.
"Dan perlu kalian tahu!" Paman berujar sambil memandangi satu-persatu tamu di hadapannya. "Nafia sebentar lagi akan menikah dengan tunangannya. Dan semua itu harus kandas saat putri kalian merenggut nyawa tunangannya," kecam Paman mulai menggebu. Lelaki itu menyeka air matanya dengan kasar.
"Maaf ... tolong maafkan perbuatan anak saya." Sang suami kini yang berbicara.
"Perlu Bapak tahu alasan apa yang mendorong saya mengajukan syarat ini," ujar Paman sambil menatap serius pria paruh baya berwajah serius itu. "Nafia keponakan saya mengalami cedera pada kaki kirinya. Kalian tahu itu bukan? Dokter bilang walau pun sembuh Nafia tidak bisa berjalan seperti biasa. Dengan kata lain keponakan saya akan menjadi gadis yang pincang. Cacat." Di akhir kata air mata Paman luruh tidak tertahan.
Begitu juga denganku. Aku menunduk. Berusaha menahan isakan. Namun, semakin ditahan, justru isakan itu terdengar jelas. Bibi langsung menenangkan dengan pelukan.
"Sekali lagi ... tolong maafkan anak kami." Bapak bijak itu mengatupkan kedua tangannya. Sementara istri dan putranya hanya diam menunduk.
Paman meraih tisu yang tersedia di meja. Lelaki itu membesit hidungnya yang merah. "Kami sekeluarga sudah memaafkan tindakan putri Bapak. Tapi, tolong lihatlah keadaan keponakan saya ini. Kasihan dia." Paman menepuk pundakku pelan. "Coba kalian berada di posisi kami. Anak gadis satu-satunya tiba-tiba menjadi cacat--"
"Saya terima syarat dari Anda, Mas." Bapak itu memotong perkataan Paman. Lelaki itu terlihat menghormati Paman yang lebih muda dengan memanggil Mas. "Mereka akan kita nikahkan."
"Papa!" Ibu dan anaknya menginterupsi.
"Saya akan menganggap Nak Nafia ini seperti anak kandung sendiri," janji sang bapak tanpa memedulikan tatapan tidak setuju dari anak dan istrinya.
"Terima kasih," ucap Paman terlihat memaksakan diri untuk tersenyum.
"Papa, aku--"
"Kita bicarakan nanti di rumah, Zen!" Bapak itu menyela omongan sang putra. Tampak anak lelakinya membuang wajah kesalnya. "Baiklah ... karena sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, kami pamit pulang," izin lelaki bijak itu sopan.
Paman dan Bibi mengizinkan dengan anggukan. Sementara aku masih setia membisu.
"Kami permisi, ya." Sang istri ikut berbasa-basi. Sedangkan putranya hanya tersenyum tipis pada Paman dan Bibi. Lalu menatapku sekilas.
Paman ikut mengantarkan ketiga orang itu sampai halaman. Dari pintu yang terbuka ini kulihat Paman dan Bapak tadi masih saling berbasa-basi. Entah apa yang mereka bicarakan. Tampak Paman mengangguk-angguk menanggapi omongan sang Bapak.
Paman mengangguk lagi saat mobil mulai bergerak. Lalu gegas masuk rumah begitu mobil itu hilang ditelan jalan.
"Kenapa Paman mengajukan syarat seperti itu?" protesku begitu adik Ayah itu mendekat. "Aku gak suka!" tegasku langsung.
"Naf ...." Tangannya mengelus rambutku sekilas. "Apa yang Paman lakukan itu semua demi kebaikanmu," ujarnya lembut. Lelaki yang hanya berbeda lima belas tahun itu memandangku dengan penuh kasih sayang.
"Kebaikan apa?" Aku mengernyit bingung, "kami gak saling kenal. Bagaimana bisa kami menikah? Hidup bersama sepanjang waktu." Aku menggeleng skeptis.
"Ayah dan ibumu juga menikah karena dijodohkan, Naf," balas Paman memberi tahu, "tapi, mereka hidup akur hingga akhir hayat. Karena cinta pada dasarnya akan tumbuh dengan sendirinya."
"Itu beda cerita, Paman." Aku menukas pelan, "ayah dan ibu berasal dari kasta yang sama. Sementara kami ... kami terlahir dengan banyak perbedaan," tuturku kian pesimis.
"Nafia, lihat kondisimu sekarang." Kini Bibi angkat bicara, "kami bukannya tidak mau mengurus kamu, tapi mereka harus bertanggung jawab atas penderitaan yang kamu alami."
"Paman, Bibi." Kutatap suami istri itu dengan seksama, "aku pasti sembuh nanti. Aku juga bisa menjaga diri--"
"Tapi, kamu akan menjadi gadis yang pincang, Naf." Bibi memotong, "dan itu akan membuatmu susah untuk mencari pasangan."
Aku ternganga. Tega sekali Bibi bicara seperti itu. Embun di pelupuk mata ini kembali meleleh.
"Kami hanya berniat baik untukmu, Nafia." Setelah bicara seperti itu, Bibi pun berlalu. Rumahnya tepat di samping kanan rumahku.
"Berpikirlah untuk masa depanmu, Naf." Paman kembali mengusap pucuk rambutku. Setelah itu, dia pun beranjak mengikuti langkah istrinya.
Aku termangu.
"Tapi, kamu akan menjadi gadis yang pincang, Naf. Dan itu akan membuatmu susah untuk mencari pasangan."
Aku terisak pilu saat omongan Bibi berdengung kembali.
Next
Subscribe ya untuk update part terbaru 🙏
(POV Arzen)"Zen!"Aku yang tengah sibuk meracik minuman pesanan menoleh begitu mendengar Diaz memanggil. Pemuda itu tergopoh-gopoh mendekat."Arsy." Diaz menyebut nama adikku dengan napas tersengal."Kenapa dengan dia?" tanyaku cuek. Mata ini masih fokus pada cup di mesin peracik kopi."Arsy kecelakaan, Zen," balas Diaz dengan wajah yang pucat."Apaaah?!" Aku tersentak kaget. Tangan ini refleks mencopot celemek hitam yang menutup kemeja kotak-kotak di badan. Kugantung kain tersebut. Salah seorang karyawanku mendekat untuk meneruskan pekerjaan."Bagaimana bisa?" tanyaku panik saat ke luar dari bar."Papamu barusan telpon." Diaz menjawab, "beliau sempat marah karena hape kamu sulit dihubungi," imbuhnya serius."Hapeku lagi dicharger." Aku memberi tahu. Gegas kutuju ruang kerja. Mengambil ponsel cepat kemudian keluar lagi.Aku dan Diaz melangkah tergesa ke luar kafe. Kamu menuju mobil di parkiran. Diaz langsung tancap gas begitu aku selesai memasang sabuk pengaman.Ponsel yang mati kuny
(POV Arzen)Namanya Aliya. Dia adalah sepupu dari Diaz. Aku sudah mengenalnya selama bertahun-tahun.Dari kecil aku sering main ke rumah Diaz. Ketemulah dengan Aliya. Gadis pemalu yang punya mata indah.Ceruk di pipi membuatnya manis kala tersenyum.Aku, Diaz, dan Aliya akrab sedari kecil. Aku yang kaku sangat cocok berteman dengan Aliya yang lemah lembut. Jika sedang bad mood, Aliya adalah orang pertama yang kudatangi. Karena Aliya mampu menenangkan dengan ucapan. Di umur lima belas kami berikrar sebagai sepasang kekasih.Sebenarnya Mama melarang aku berdekatan dengan Diaz. Wanita itu memang masih berpikiran sempit. Katanya, jangan terlalu dekat dengan bawahan. Nanti mereka melunjak.Untung pikiran Papa seberangan dengan Mama. Prinsipnya bahwa semua orang itu sama derajatnya di hadapan Allah. Hanya ketakwaan yang membedakan.Tidak heran semua karyawan baik di kantor maupun rumah, sangat menghormati Papa.*Usai berpamitan pada keluarga korban yang bernama Nafia, aku, Mama, dan Papa p
(POV Arzen)Waktu besuk sudah berakhir. Arsy dipapah oleh dua orang sipir wanita. Gadis itu masuk lagi ke tempat tahanan anak-anak nakal. Wajah gadis enam belas tahun itu amat muram dan terlihat sekali tertekan.Arsy bukan remaja yang nakal. Dia hanya ingin segera bisa naik mobil. Agar nanti di usia tujuh belas tahun, dirinya bisa mendapatkan hadiah mobil sesuai janji Papa.Andai Arsy dapat menahan diri. Untuk tidak memaksa Pak Eko mengajarinya menyetir, mungkin kejadian buruk ini tidak akan menimpa. Dia masih bebas ceria bercengkerama dengan teman-teman sekolahnya. Aku tidak dibuat pusing karena harus menikahi Nafia. Dan gadis itu ... pastinya dia akan berbahagia karena sebentar lagi mau menikah."Huftt!" Aku menarik napas panjang."Ada apa?" tegur Diaz mendengar helaan napasku. Mata pemuda itu tetap fokus ke arah depan jalanan."Aku gak tega ngeliat keadaan Arsy, Yas," jujurku lemah. Pandangan ini kubuang ke arah jendela mobil. Gerimis sedang membungkus kota. Beberapa orang tampak t
"Jadi kamu mengizinkan aku menikahi gadis malang itu?" tanyaku dengan hati yang dipenuhi keraguan."Ya." Aliya menjawab dengan air mata yang kembali membanjir."Al?" Kutatap wajah sendu itu. Tidak kusangka Aliya sama sekali tidak melarang. "Kenapa kamu sebaik itu?" tanyaku sambil mengelap kedua pipinya yang basah dengan jemari.Aliya mencoba tersenyum. "Karena aku tidak mau menjadikanmu anak durhaka dengan tidak mematuhi perintah kedua orang tua." Suara Aliya terdengar serak saat berbicara, "walau ini amat menyakitkan, tapi aku terima. Aku terima keputusanmu menjadi anak yang berbakti." Lagi Aliya mencoba untuk tersenyum.Sikap pengertian dan bijak seperti inilah yang membuatku tidak pernah mampu melepaskannya. Aliya yang manis tidak pernah menuntut. Di setiap pertengkaran kami, selalu dia yang meminta maaf duluan. Padahal lebih sering aku yang berbuat salah."Ini gak adil!" Aku sedikit mengumpat. "Kenapa orang sebaik kamu harus mendapatkan kenyataan pahit seperti ini?" sesalku tidak
(Nafia)"Mas Ibnu?!"Mata ini terbeliak. Sungguhkah itu kekasih hatiku? Kekasih yang sudah hampir dua bulan ini pergi selamanya dari sisiku.Setelah sekian lama berpisah, aku kembali melihat sosok bijak itu. Mas Ibnu tampak duduk di sebuah bangku taman yang indah."Mas Ibnu!" Aku berseru.Pria itu menoleh. Senyum simpul ia sunggingkan untukku. Mas Ibnu terlihat amat menawan dengan koko putih yang ia kenakan. Sekarang tangan itu melambai.Aku berlari. Lantas menghambur memeluknya."Aku rindu, Mas. Aku merengek. "Kenapa pergi tiba-tiba tanpa pamit?" Kali ini aku merajuk. "Ke mana saja kamu selama ini, Mas?" cecarku haru. Ada rasa kesal, tetapi bahagia juga.Mas Ibnu memisahkan diri. "Maaf, jika aku pergi dengan sangat mendadak." Dia berucap pelan, "sekarang aku tinggal di sini. Di taman surga yang indah ini.""Kenapa tinggal di sini? Aku sangat kehilangan kamu, Mas.""Karena di sini menyenangkan. Begitu tenang dan damai." Mata Mas Ibnu terpejam saat mengucap kata damai. "Dan aku bersam
(Arzen)Hari yang paling kutakutkan tiba. Sejak tadi pagi perasaan ini dilanda sepi. Di saat rumah sudah mulai tampak oleh para tamu yang hadir serta ramainya ornamen khas pengantin, aku justru dilanda sepi.Papa dan Arsy terlihat begitu bahagia hari ini. Wajah keduanya semringah dan berbinar. Begitu juga Diaz dan kedua orang tuanya. Hanya Mama yang terlihat murung.Wanita itu memang tidak menyetujui perjodohan ini. Baginya Nafia tidak pantas bersanding denganku. Namun, demi melihat kebebasan Arsy, Mama tidak punya pilihan lain. Alasan yang sama denganku.Berkali-kali Papa memberi wejangan. Memberi semangat agar aku kuat menjalani. Serta menguatkan hati yang merapuh ini.Lalu gadis itu pun tiba. Aku sedikit dibuat pangling melihat penampilan Nafia. Gadis yang biasa natural tanpa riasan, kini menjelma menjadi wanita yang manis. Dia berdiri diapit oleh bibinya dan Ira.Dengan berbagai alasan Mama tidak bersedia membimbing gadis itu menuju pelaminan ini. Melihat cara jalannya hati ini di
Diaz mengatupkan rahang. Dia paham jika aku sudah menggunakan kata lo-gue, berarti aku sedang marah dan tidak ingin dibantah.Aku terdiam. Hingga sampai di rumah Aliya, Diaz masih mengunci mulut. Dia juga langsung masuk ke rumahnya yang berada tepat di samping rumah Aliya tanpa bicara padaku. Dan aku tidak peduli.Kaki ini melangkah menuju kediaman Aliya. Ibu Alya atau terperanjat melihat kehadiranku. Namun, wanita seusia Mama itu langsung melempar senyum manis untuk menyambut. Dia juga langsung memanggil Aliya ketika kutanyakan keberadaan gadis itu.Aliya keluar dari kamar dengan mata yang sembap. Aku yakin gadis itu habis menangis lama. "Kenapa datang ke sini? Bukankah ini malam pertamamu?" tegur Aliya dengan suara serak khas seorang yang habis menangis."Kamu menangisi pernikahanku dengan Nafia, Al?" Aku mengalihkan pertanyaan.Gadis itu terkekeh sumbang. "Jujur ... tadinya aku pikir, aku akan kuat memberikan ucapan selamat untukmu. Ternyata aku keliru." Aliya tersenyum getir. "Te
"Bangun!"Terdengar suara orang berbicara. Pelan. Kepala yang pusing membuatku mengabaikan."Naf."Suara itu terdengar lagi."Bangun, Naf!" Kali ini perintah itu disertai tepukan di pipi. Kupaksa mata berat ini untuk terbuka. Sosok Arzen sudah berdiri di hadapan. Matanya memincing. "Ngapain tidur di sini?" tanya Arzen datar. Seperti biasa.Aku mengedarkan pandangan. Astaga! Ternyata aku ketiduran di balkon. Langit yang pekat kini sudah sedikit terang. Sudah pagi rupanya."Jangan begini lagi! Orang yang gak tahu disangkanya aku suami dzolim." Arzen menitah pelan, setelah itu dia melangkah pergi.Aku bangkit duduk. Kepala yang berat membuat jalanku terseok. Tentu saja pusing karena aku baru bisa tidur menjelang pagi.Tertatih menapaki lantai yang terasa dingin, lalu mulai menuruni anak tangga. Bahkan anak tangga yang terbuat dari kayu pun tetap terasa dingin. Rumah tampak sepi. Di kamar Arzen pun tidak ada. Ke mana perginya? Cepat amat.Mata ini sedikit terbeliak melihat jam digital d
Ditemani Arzen dan Diaz keesokan harinya, aku pulang ke rumah Bapak Ibu. Kami pamit pada mereka. Tangan Arzen yang masih sakit tidak memungkinkan dia untuk menyetir sendiri."Jaga Fia baik-baik ya," pesan Bapak sambil menepuk pundak Arzen, "dia sudah kuanggap seperti putri kandungku sendiri.""Insya Allah, Pak." Arzen membalas kalem, "dan saya sangat berterima kasih karena selama Nafia pergi dari rumah, Bapak dan Ibu telah merawatnya dengan baik.""Maaf, Ya Nak Arzen, kami sempat pernah berbohong dengan mengatakan tidak tahu keberadaan Fia," timpal Ibu."Gak papa, Bu. Itu kan memang kemauannya Nafia sendiri," jawab Arzen bijak.Setelah pamit dari rumah Bapak Aminuddin, aku mengajak Arzen berkunjung ke rumah Paman Santosa. Pada dirinya juga kami meminta doa restu."Pesan saya masih sama, Dek Arzen. Tolong jaga dan cintai Nafia dengan baik," ucap Paman kalem."Insya Allah, Paman." Arzen mengangguk ramah, "dan tolong jangan sungkan menegur jika saya lalai seperti kemarin," lanjutnya tulu
"Aku masih mencintai kamu, Zen. Masih." Tangan ini terus melingkari erat perutnya. Agar Arzen percaya jika aku memang benar-benar tidak menginginkan dia pergi.Arzen mengurai pelukan. Kami saling bertatapan. Maniknya menelisik mataku lekat. Seakan tengah mencari kejujurannya di dalamnya."Naf, aku tahu kamu tersiksa dengan pernikahan ini, makanya aku sadar diri dengan menjauh dari kamu," tutur Arzen lembut. Belum pernah kudengar dia selembut ini berbicara. "Jika perpisahan mampu memberimu kebahagiaan, aku rela pergi." Aku kembali menggeleng. "Tolong jangan katakan itu," mohonku seraya menempelkan telunjuk di bibir Arzen. "Karena kebahagiaanku adalah ketika kamu mencintai aku," tuturku serius.Arzen meraih jemariku. Dia mengecupnya lembut. "Aku mencintai kamu, Naf. Dan aku berjanji mulai detik ini akan selalu membuatmu bahagia."Aku tersenyum haru. Tanpa malu kupeluk pria ini lagi. "Kita rajut kembali mahligai rumah tangga yang sempat terkoyak kemarin.""Iya." Arzen balas mendekapku
"Aaa!" Aku menjerit histeris. Takut tertimpa benda puluhan kilogram itu."Nafiaaa ... Awaaas!" Terdengar teriakan banyak orang dengan lantang.Semua terjadi dengan begitu cepat. Seseorang menarik tubuhku menjauh.PRAAANK!Aku membuka mata. Dadaku masih berdetak kencang. Ketika tengadah ternyata aku berada dalam pelukan Arzen. Lelaki itu pun tengah terpejam dengan napas tersengal-sengal. Di seberang sana Deva melakukan hal yang sama pada Aliya.Mata ini terbelalak melihat lampu gantung kepunyaan Deva hancur berantakan. Lampu gantung dengan materi kristal dan besi emas yang berbentuk kubah yang begitu indah itu sudah tidak berbentuk lagi. Kini hanya meninggalkan serpihan beling yang berserakan di lantai.Tiba-tiba aku merasa merinding. Ngeri membayangkan lampu dengan berat lima puluh kilogram itu menghantam tubuhku.Aku menatap Arzen kembali. Tubuh kami yang saling menempel membuat detak jantungnya juga terdengar jelas."Kamu gak papa?" Arzen bertanya lirih. Dia balas memindaiku. Namun,
"Aaa!" Aku menjerit histeris. Takut tertimpa benda puluhan kilogram itu."Nafiaaa ... Awaaas!" Terdengar teriakan banyak orang dengan lantang.Semua terjadi dengan begitu cepat. Seseorang menarik tubuhku menjauh.PRAAANK!Aku membuka mata. Dadaku masih berdetak kencang. Ketika tengadah ternyata aku berada dalam pelukan Arzen. Lelaki itu pun tengah terpejam dengan napas tersengal-sengal. Di seberang sana Deva melakukan hal yang sama pada Aliya.Mata ini terbelalak melihat lampu gantung kepunyaan Deva hancur berantakan. Lampu gantung dengan materi kristal dan besi emas yang berbentuk kubah yang begitu indah itu sudah tidak berbentuk lagi. Kini hanya meninggalkan serpihan beling yang berserakan di lantai.Tiba-tiba aku merasa merinding. Ngeri membayangkan lampu dengan berat lima puluh kilogram itu menghantam tubuhku.Aku menatap Arzen kembali. Tubuh kami yang saling menempel membuat detak jantungnya juga terdengar jelas."Kamu gak papa?" Arzen bertanya lirih. Dia balas memindaiku. Namun,
Aku melepas pegangan Arzen. "Aku mau telpon Diaz buat jemput kamu."Ketika hendak berdiri, Arzen mencegah. "Jangan bohongi diri kamu, Naf.""Aku gak bohongi hati sendiri, Zen." Aku menjawab datar, "tapi, saat ini aku sudah mati rasa sama kamu. Entah besok atau lusa. Yang pasti saat ini, aku sedang tidak mau bersama kamu."Kutingalkan Arzen segera. Aku tidak mau terlarut akan bujuk rayuannya. Seperti niat sebelumnya Diaz pun kuhubungi. Dan sekitar setengah jam pemuda itu sudah menampakan diri."Kamu boleh saja marah sama Arzen, tapi jangan berlarut-larut. Karena itu sama saja kamu memelihara dendam. Percuma kamu beribadah jika masih saja mengikuti napsu setan itu," nasihat Diaz dengan tenang dan serius. "Arzen tidak pernah kasar sana kamu. Dia tidak pernah KDRT. Dia hanya masih terjebak kisah masa lalu, tapi kini dia sudah menyadari kekeliruannya. Jadi tolong jangan buat setan tertawa menang karena berhasil memisahkan kalian."Aku termangu. Wejangan Diaz terdengar begitu panjang. Aku
Arzen akan menginap di sini," kata Bapak Aminuddin tenang."Tapi, Pak." Aku menyela tidak rela."Kasihan jika suamimu harus tidur di luar."Tanpa menunggu jawabanku, Bapak Aminuddin berlalu."Zennnn, kamu ...."Hachiii!Aku mendesah. Ingin rasanya berteriak, tapi kutahan. Walaupun Bapak Ibu sudah menganggap layaknya anak kandung, tetap saja aku harus bersikap sopan.Dengan menahan gondok, kubuka pintu lebar-lebar."Makasih." Arzen mengulum senyum.Lelaki itu memasuki kamar. Matanya menatap sekeliling. Aku sendiri berjalan tenang menuju lemari. Kuraih sebuah selimut."Ini udah ada selimut lho, Naf. Ha-hachiii." Arzen memberi tahu disertai bersin.Aku tidak membalas. Kini bantal pada ranjang pun aku ambil. Arzen mengernyit bingung karenanya."Lho ... kamu mau tidur di mana?" tegur Arzen begitu melihatku keluar kamar. Beberapa kali dia menggosok hidungnya yang merah. Bersinnya pun masih kerap menyerang."Aku tidur di sofa ruang keluarga saja," balasku kalem. "Biar kamu yang tidur di kama
Aku kembali ke rumah Bapak Aminuddin. Kembali tidur di kamar yang dulu. Seperti yang sudah-sudah kedua orang tua ini begitu menyayangi aku. Segala kebutuhanku tercukupi di sini.Waktu berjalan begitu cepatnya. Tidak terasa sudah sepuluh hari aku tinggal di rumah Bapak Aminuddin ini. Setiap hari Arzen datang berkunjung. Kadang pagi sebelum berangkat kerja. Kadang malam hari setelah pulang kerja.Pernah juga dia datang ke sini seorang diri. Tujuannya tidak lain adalah membujuk aku untuk pulang. Ibu Sita dan sang suami juga tidak mau ketinggalan. Keduanya beberapa kali mampir dengan maksud membawaku kembali.Lama-lama bosan menghadapi rayuan Arzen yang terus saja meminta kembali. Akhirnya kedatangan dia aku abaikan. Namun, Arzen tidak kenal menyerah. Bahkan ketika hujan turun dengan derasnya, lelaki itu tetap berdiri di teras depan menungguku."Temui suamimu, Nafia. Kasihan dia kedinginan di luar," suruh Ibunya Mas Ibnu memohon."Biarin aja, Bu. Salah sendiri ngeyel," balasku malas. "Sud
Kejadian itu begitu cepat. Setelah tiga bulan dalam persembunyian, akhirnya Arzen dan Diaz mampu menemukan aku. Sayangnya aku yang panik justru melakukan kecerobohan.Keegoisan mengalahkan kewarasan. Sudah tahu tengah mengandung kenapa aku mesti melarikan diri. Jika tidak ingin menjumpai Arzen, harusnya aku bicara baik-baik saja. Kenapa membahayakan diri sendiri dan kandungan ini?Bodoh! Aku pun menyesali kecerobohan kemarin. Tapi, aku lebih menyesali saat terbangun dari pingsan perut ini sudah kembali rata. Gerakan di dalam sana tidak lagi kurasakan.Aku telah kehilangan permata hati. Penantian selama lima bulan ini sia-sia sudah. Hidupku serasa hancur saat ini. Ketika Arzen datang, rasa benciku padanya bangkit lagi. Walaupun hati kecil ini menyalakan kecerobohan sendiri. Namun, Arzen juga turut andil atas kematian calon bayi kami.Aku yang masih berduka tidak menginginkan kedatangan Arzen. Ketika pria itu menampakan diri, sontak aku mengusirnya. Tidak peduli dia berkali mengucap ka
Sudah empat hari Nafia dirawat. Keadaannya berangsur-angsur membaik. Namun, hingga sekarang wanita itu belum sudi dikunjungi olehku. Padahal ketika Aliya datang, Nafia menerima kedatangan gadis itu dengan baik. Walau pedih, tapi kuterima. Konsekuensi dari berbagai kesalahanku padanya.Namun, ada yang mengganjal hati. Sudah lebih dari sekali aku melihat Aliya datang menjenguk Nafia pasti bersama Deva. Aku tahu mereka berteman. Tetapi, cara pandang Aliya tampak berbeda pada Deva."Aku lihat-lihat, sekarang lengket banget sama bosnya Nafia," sindirku suatu sore. Aku sengaja main ke rumahnya. Masalahnya aku tidak bisa langsung menegurnya di rumah sakit. Itu karena Aliya tidak mau lepas dari Deva. Sementara aku, masalah berdebat lagi dengan pemuda beganjulan itu."Memangnya kenapa?" Aliya membalas tenang. "Kami sama-sama single," imbuhnya santai."Oh ... jadi sekarang kamu sudah ikhlas jika aku lepas?" Walau emosi, tetapi kuikuti permainannya. Tenang."Zen, sadar dong! Kamu baru saja ken