Share

6. Takdir

Penulis: Yenika Koesrini
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-22 16:01:10

Flashback

Seharusnya waktu itu adalah hari yang membahagiakan. Karena Rafi adikku akan pulang dari Jogjakarta dengan menyandang gelar sarjana hukum. Dia akan menjadi pengacara sesuai cita-citanya.

Akhirnya, pengorbananku selama ini tidak sia-sia. Tiga tahun lamanya, gaji dari menjadi pelayan di sebuah toko roti selalu kukirimkan pada adik semata wayang. Tidak mengapa aku tidak punya tabungan, asal Rafi bisa lulus kuliah.

"Kenapa dari tadi kok senyum-senyum terus?" tegur Tina. Teman seprofesi. "Lho ... kok udah siap-siap? Waktu pulang masih dua jam lagi, Naf. " Mata Tina menyipit melihatku tengah mengelap etalase yang memajang aneka kue dan roti.

"Hari ini aku ijin pulang cepet." Aku membalas sambil berlalu menuju ruang ganti. Tina mengekor. "Rafi pulang," terangku dengan senyum yang tersungging.

"Oh ya? Sudah jadi sarjana dia?"

"Alhamdulillah ... Rafi lulus dengan nilai terbaik." Aku mengambil blazer berwarna hitam untuk melapisi seragam. "Aku pergi ya," pamitku semringah.

"Hati-hati di jalan." Tina berpesan.

"Iya," balasku bahagia.

Keluar dari ruang ganti, aku mengangguk ramah pada si bos pemilik toko sebagai tanda pamit. Karena aku telah meminta izin dari tadi pagi. Wanita cantik bermata sipit yang tengah duduk di meja kasir itu membalas dengan anggukan pelan.

Kaki ini bergerak cepat. Ketika membuka pintu kaca toko, dari sebuah taksi tangan Mas Ibnu melambai. Lelaki itu adalah tunanganku. Dia seorang guru honorer, tetapi nyambi sebagai sopir taksi. 

Ayah dan Ibu pergi ke Jogjakarta untuk menghadiri acara wisuda Rafi. Aku dan Mas Ibnu berniat menjemput mereka di stasiun. Begitu masuk mobil, aku duduk di tepat di sebelah Mas Ibnu.

Wajah Mas Ibnu pun sama semringahnya denganku. Sama-sama merasa bahagia. Karena akhirnya keinginan untuk meminangku lekas terwujud. Aku memang sempat menunda pernikahan. Karena ingin fokus membantu biaya kuliah Rafi.

Mas Ibnu melajukan taksinya dengan tenang. Pria berkulit tembaga itu memang selalu taat pada peraturan. Tidak pernah ugal-ugalan. 

Orangnya tidak banyak bicara. Namun, sangat perhatian. Aku merasa beruntung dicintai Mas Ibnu. Selain santun, ilmu agamanya pun lebih baik dariku. 

Dua puluh menit kemudian, kami telah tiba di tujuan. Aku dan Mas Ibnu turun dari taksi, usai pria berumur dua puluh tujuh tahun itu memarkir kendaraan. Kami gegas menuju ke peron. Menunggu kedatangan kereta api Progo.

Setengah jam berlalu. Akhirnya penantian kami berakhir. Kereta yang kami tunggu datang. Seketika aku dan Mas Ibnu berdiri dari bangku tunggu. Memanjangkan leher ketika pintu kereta terbuka.

Banyak sekali penumpang yang turun. Pria-wanita, tua dan muda. Bibirku seketika melukis senyum saat melihat wajah Ayah, Ibu, serta adik kebanggaan di antara kerumunan orang-orang.

"Ayaaah!" Aku berseru. Tangan ini melambai dengan sedikit berloncat-loncat kecil.

"Mbak Nafia!" Ternyata justru Rafi yang mendengar panggilanku. Pemuda yang usianya berjarak empat tahun dariku itu lantas memberi tahu keberadaan kami pada Ayah dan Ibu.

"Bagaimana wisudanya, Fi?" sapa Mas Ibnu begitu keluargaku mendekati.

"Alhamdulillah lancar, Mas." Rafi menjawab usai menjabat tangan Mas Ibnu. Tidak lupa dia juga menyalamiku.

Tanpa menunggu lagi, kami berlima gegas menuju taksinya Mas Ibnu. Lagi-lagi aku harus duduk di depan mendampingi Mas Ibnu.

"Ayah masih ingin duduk di samping Rafi. Masih kangen," kilah Ayah menyatakan alasannya.

Aku hanya mengangguk saja. Wajar Ayah berbicara demikian. Rafi hanya pulang ke rumah saat lebaran saja. Jika libur, pemuda itu menghabiskan waktunya untuk bekerja. Mencari tambahan buat biaya kebutuhan sehari-hari.

Maklum kami terlahir dari keluarga sederhana. Ayah sopir angkot, sedangkan Ibu adalah buruh gosok baju. Otak encer Rafi serta kemauannya yang keras, membuat kami sekeluarga bahu membahu mewujudkan impiannya.

Dalam perjalanan, Rafi terus bercerita. Tentang keseharian, tentang teman-temannya. Hingga tentang pekerjaan yang akan ia lakukan setelah lulus. Aku, Ayah, Ibu, dan Mas Ibnu diam menyimak.

Ada rasa kagum yang menyergap. Mendengar betapa kerasnya Rafi memperjuangkan impiannya. Pemuda yang kecilnya suka sakit-sakitan itu ternyata bisa dibanggakan.

"Pokoknya besok kita buat syukuran, Bu," suruh Ayah kemudian. "Acara kecil-kecilan atas kelulusan Rafi dengan nilai yang terbaik. Undang semua tetangga. Biar pada tahu kalo anak kita sudah jadi sarjana," tutur Ayah lagi. Senyuman bangga menghiasi bibir agak kehitaman itu.

Ibu tampak mengangguk setuju. Sementara Rafi juga tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.

Taksi terus melaju menuju kediaman kami. Kami masih terus berbincang. Mas Ibnu walaupun menimpali pembicaran, tetapi pandangannya tetap fokus ke arah depan.

Namun, tanpa diduga ada sebuah sedan dari arah berlawanan melaju dengan cukup kencang. Mobil tersebut menubruk taksi yang kami tumpangi. Saking cepatnya Mas Ibnu tidak bisa menghindar. 

Terjadi benturan yang amat kencang. Amat keras hingga memekakan telinga. Aku merasakan jika kendaraan kami seperti terseret mobil tersebut. Kami semua hanya bisa menjerit dan menyebut nama Allah. 

Kemudian aku merasakan jika kepala ini terantuk dasboard dengan begitu keras. Seketika kepala ini terasa pecah. Darah membanjiri mata. 

Masih kurasakan jika mobil ini terbalik. Aku berada di atas. Namun, kaki ini seperti terjepit sesuatu. Sa-kiiit luar biasa.

Sementara Mas Ibnu tampak berada di bawahku. Wajahnya penuh darah dan kepingan bening. Melihat kondisinya seketika bulu kuduk ini meremang.

Lalu telinga ini mendengar suara berisik. Terlihat orang-orang menggedor taksi kami. Berteriak-teriak. Mungkin akan menolong.

"To-to-tolong ...." Suara lirih ini karena aku mulai tidak sadarkan diri.

*

Entah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Begitu siuman aku sudah berada di ruangan yang serba putih. Pertama kali membuka mata yang terlihat adalah Paman. Adik dari Ayah. Lelaki itu tampak duduk mengantuk tepat di brankarku.

Ketika aku mencoba untuk bergerak seluruh badan ini terasa remuk. Dan yang paling parah adalah kaki sebelah kiri.

"Arghhh!" Aku mengerang. Merasakan sakit yang teramat pada kaki.

"Nafia ... kamu sudah bangun?" Paman langsung mendekat begitu menyadari aku telah sadarkan diri.

"Sa-sakiiit, Paman!" Aku mendesis. Meringis. Menahan ngilu yang teramat.

"Tahan ya, Naf!" bujuk Paman lembut. "Paman akan panggilkan perawat!" Lelaki itu pun lekas memencet tombol

Nurse call yang menempel di dinding.

Menit selanjutnya, datang perawat. Paman memberi tahu keadaanku. Perawat memeriksa keadaanku. Tidak lama datang dokter juga. Kembali aku diperiksa. Terdengar dokter memerintah sang perawat. Setelah itu keduanya pergi.

Keesokan harinya pun sama. Hanya dokter, perawat, serta Paman yang singgah di kamarku. Pernah sekali bibi. Wanita itu baru punya bayi. Wajar jika selama empat hari di rumah sakit hanya sekali membesuk.

Kemudia aku teringat Ibu, Ayah, Rafi, dan Mas Ibnu. Ketika kutanyakan keadaan mereka, Paman mengatakan jika semua dalam keadaan baik. Mereka dirawat di ruangan yang berbeda. 

Tepat seminggu berada di rumah sakit, aku merasa sudah cukup pulih. Aku ingin menemui keluargaku. Namun, Paman dan Bibi hanya bisa menunduk mendengar permintaanku.

Aku kian dibuat bingung dengan kehadiran satu keluarga. Keluarga yang terdiri atas seorang ayah, ibu, dan kedua anaknya. Pemuda seumuran Mas Ibnu dan gadis belia. Gadis itu duduk di kursi roda dengan perban yang terlilit di kepala. Ada lecet-lecet pada wajah dan tangannya. Kakinya pun tampak digips sepertiku. Mereka mengaku jika putri mereka adalah si penabrak mobil yang kami tumpangi. 

"Maafkan saya, Mbak," ucap gadis yang terlihat masih SMA itu dengan menunduk. Matanya tampak berkaca-kaca menahan rasa salah. Sang Ibu yang mendorong kursi rodanya mengelus rambutnya pelan. "Maafkan saya karena ... sudah ... sudah merenggut nyawa keluarga, Mbak."

Sontak aku ternganga dibuatnya. Ketika kulirik Paman. Lelaki itu mengangguk dengan genangan di kelopak matanya.

"Paman ... to-tolong jelaskan!" pintaku dengan tersendat. Dada yang teramat sesak membuat napasku tersengal.

"Yang sabar, Naf." Bibi memelukku erat.

"Paman?" Aku menegur dengan rasa takut yang mencekam. Takut akan jawaban Paman.

Tampak Paman menarik napas. "Ayah, Ibu, dan Rafi ...." Paman menunduk. Setetes air bening luruh dari manik hitam kelaki itu.

"Mereka baik-baik saja kan?!" Aku menyambar cepat, "mereka sehat kan?" cecarku dengan perasaan yang was-was.

"Mereka ... mereka ... sudah dimakamkan dua hari yang lalu," ucap Paman lirih. Lelaki perkasa itu kini tergugu dalam tangis.

Aku sendiri mematung mendengar penuturannya. Tidak percaya dengan apa yang Paman ucapkan, aku menggeleng tegas. "Paman bohong kan?" Rasa sedih, takut, dan amarah membuatku mencengkeram baju Paman. "Oh ya? Di mana Mas Ibnuku?" tanyaku begitu mengingat lelaki tercintaku itu.

"Yang sabar, Nafia." Kembali Bibi memeluk.

"Jawab, Paman!" Aku menggertak.

Tampak keluarga penabrak menunduk semua. Bahkan gadis yang tadi mengucapkan maaf, menangis dalam pelukan sang ibu.

"Ibnu ..." Paman membesit hidungnya yang merah dan mampat karena tangis. "Ibnu meninggal di tempat kejadian."

"Tidaaaak!" Aku menjerit histeris. Ambyar pertahanku.

Next 

Bab terkait

  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   7. Syarat Dari Paman

    "Kalian harus bertanggung jawab!" Terdengar Paman menggertak. Bisa kurasakan amarah Paman, walau mata ini terpejam menahan sakit."Kalian yang telah membuat keponakan saya seketika menjadi yatim piatu dan kehilangan calon suami," ujar Paman dengan nada yang bergetar. "Tentu!" Sang Ayah dari pihak penubruk terdengar menyanggupi. Aku masih menyembunyikan wajah pada dada Bibi. "Pasti kami bertanggung jawab."Emosi Paman yang mulai meledak saat membicarakan keluargaku. Serta tangisanku yang tidak kunjung surut membuat keluarga tersebut berpamitan. Ketika sang gadis meraih tanganku untuk disalim, aku menyentaknya keras.Aku bukan tipe gadis yang kasar. Tidak juga lemah lembut. Biasa saja. Hanya saja sakit hati ini membuatku belum bisa memaafkan begitu saja perilaku gadis tersebut.Selepas kepergian keluarga tersebut, air mataku tidak berhenti mengalir. Napas terasa sesak. Merasa menjadi gadis yang paling malang sedunia. Bagaimana tidak? Hanya dalam waktu sekejap saja aku langsung kehilan

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-30
  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   8. Perjodohan

    "Apa syaratnya?" Suami istri itu kompak bertanya.Paman terdiam sejenak. "Masalah ini akan diselesaikan secara damai, jika kalian bersedia menjodohkan putra kalian dengan keponakan saya."Sontak aku dan si pemuda di hadapan langsung berpaling memandang Paman."Tidak!" Bahkan bibir kami kompak menolak. Sesaat refleks kami saling menoleh. Bersitatap sekian detik. Lalu sama-sama membuang pandangan."Kenapa syaratnya harus seperti itu?" Pemuda itu tampak sekali keberatan."Iya." Ibunya pun turut menimpali. "Kalian bisa minta apa saja dari kami, asal jangan menjodohkan mereka," pinta wanita itu menunjukku dan putranya, "kasihan. Mereka tidak saling mengenal. Sementara berumah tangga itu bukan hal yang main-main. Ibadah panjang. Seharusnya sekali dalam seumur hidup," papar sang ibu panjang. Kentara sekali dia tidak menyetujui. Sementara anaknya mengamini omongan ibunya dengan anggukan.Paman kembali menghela napas. "Kami memang berasal dari keluarga biasa. Sangat tidak pantas jika keponaka

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-30
  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   9. Arzen

    (POV Arzen)"Zen!"Aku yang tengah sibuk meracik minuman pesanan menoleh begitu mendengar Diaz memanggil. Pemuda itu tergopoh-gopoh mendekat."Arsy." Diaz menyebut nama adikku dengan napas tersengal."Kenapa dengan dia?" tanyaku cuek. Mata ini masih fokus pada cup di mesin peracik kopi."Arsy kecelakaan, Zen," balas Diaz dengan wajah yang pucat."Apaaah?!" Aku tersentak kaget. Tangan ini refleks mencopot celemek hitam yang menutup kemeja kotak-kotak di badan. Kugantung kain tersebut. Salah seorang karyawanku mendekat untuk meneruskan pekerjaan."Bagaimana bisa?" tanyaku panik saat ke luar dari bar."Papamu barusan telpon." Diaz menjawab, "beliau sempat marah karena hape kamu sulit dihubungi," imbuhnya serius."Hapeku lagi dicharger." Aku memberi tahu. Gegas kutuju ruang kerja. Mengambil ponsel cepat kemudian keluar lagi.Aku dan Diaz melangkah tergesa ke luar kafe. Kamu menuju mobil di parkiran. Diaz langsung tancap gas begitu aku selesai memasang sabuk pengaman.Ponsel yang mati kuny

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-30
  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   10. Dilema Arzen

    (POV Arzen)Namanya Aliya. Dia adalah sepupu dari Diaz. Aku sudah mengenalnya selama bertahun-tahun.Dari kecil aku sering main ke rumah Diaz. Ketemulah dengan Aliya. Gadis pemalu yang punya mata indah.Ceruk di pipi membuatnya manis kala tersenyum.Aku, Diaz, dan Aliya akrab sedari kecil. Aku yang kaku sangat cocok berteman dengan Aliya yang lemah lembut. Jika sedang bad mood, Aliya adalah orang pertama yang kudatangi. Karena Aliya mampu menenangkan dengan ucapan. Di umur lima belas kami berikrar sebagai sepasang kekasih.Sebenarnya Mama melarang aku berdekatan dengan Diaz. Wanita itu memang masih berpikiran sempit. Katanya, jangan terlalu dekat dengan bawahan. Nanti mereka melunjak.Untung pikiran Papa seberangan dengan Mama. Prinsipnya bahwa semua orang itu sama derajatnya di hadapan Allah. Hanya ketakwaan yang membedakan.Tidak heran semua karyawan baik di kantor maupun rumah, sangat menghormati Papa.*Usai berpamitan pada keluarga korban yang bernama Nafia, aku, Mama, dan Papa p

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-30
  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   11. Aliya

    (POV Arzen)Waktu besuk sudah berakhir. Arsy dipapah oleh dua orang sipir wanita. Gadis itu masuk lagi ke tempat tahanan anak-anak nakal. Wajah gadis enam belas tahun itu amat muram dan terlihat sekali tertekan.Arsy bukan remaja yang nakal. Dia hanya ingin segera bisa naik mobil. Agar nanti di usia tujuh belas tahun, dirinya bisa mendapatkan hadiah mobil sesuai janji Papa.Andai Arsy dapat menahan diri. Untuk tidak memaksa Pak Eko mengajarinya menyetir, mungkin kejadian buruk ini tidak akan menimpa. Dia masih bebas ceria bercengkerama dengan teman-teman sekolahnya. Aku tidak dibuat pusing karena harus menikahi Nafia. Dan gadis itu ... pastinya dia akan berbahagia karena sebentar lagi mau menikah."Huftt!" Aku menarik napas panjang."Ada apa?" tegur Diaz mendengar helaan napasku. Mata pemuda itu tetap fokus ke arah depan jalanan."Aku gak tega ngeliat keadaan Arsy, Yas," jujurku lemah. Pandangan ini kubuang ke arah jendela mobil. Gerimis sedang membungkus kota. Beberapa orang tampak t

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-30
  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   12. Keputusan

    "Jadi kamu mengizinkan aku menikahi gadis malang itu?" tanyaku dengan hati yang dipenuhi keraguan."Ya." Aliya menjawab dengan air mata yang kembali membanjir."Al?" Kutatap wajah sendu itu. Tidak kusangka Aliya sama sekali tidak melarang. "Kenapa kamu sebaik itu?" tanyaku sambil mengelap kedua pipinya yang basah dengan jemari.Aliya mencoba tersenyum. "Karena aku tidak mau menjadikanmu anak durhaka dengan tidak mematuhi perintah kedua orang tua." Suara Aliya terdengar serak saat berbicara, "walau ini amat menyakitkan, tapi aku terima. Aku terima keputusanmu menjadi anak yang berbakti." Lagi Aliya mencoba untuk tersenyum.Sikap pengertian dan bijak seperti inilah yang membuatku tidak pernah mampu melepaskannya. Aliya yang manis tidak pernah menuntut. Di setiap pertengkaran kami, selalu dia yang meminta maaf duluan. Padahal lebih sering aku yang berbuat salah."Ini gak adil!" Aku sedikit mengumpat. "Kenapa orang sebaik kamu harus mendapatkan kenyataan pahit seperti ini?" sesalku tidak

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-30
  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   13. Jawaban Keraguan

    (Nafia)"Mas Ibnu?!"Mata ini terbeliak. Sungguhkah itu kekasih hatiku? Kekasih yang sudah hampir dua bulan ini pergi selamanya dari sisiku.Setelah sekian lama berpisah, aku kembali melihat sosok bijak itu. Mas Ibnu tampak duduk di sebuah bangku taman yang indah."Mas Ibnu!" Aku berseru.Pria itu menoleh. Senyum simpul ia sunggingkan untukku. Mas Ibnu terlihat amat menawan dengan koko putih yang ia kenakan. Sekarang tangan itu melambai.Aku berlari. Lantas menghambur memeluknya."Aku rindu, Mas. Aku merengek. "Kenapa pergi tiba-tiba tanpa pamit?" Kali ini aku merajuk. "Ke mana saja kamu selama ini, Mas?" cecarku haru. Ada rasa kesal, tetapi bahagia juga.Mas Ibnu memisahkan diri. "Maaf, jika aku pergi dengan sangat mendadak." Dia berucap pelan, "sekarang aku tinggal di sini. Di taman surga yang indah ini.""Kenapa tinggal di sini? Aku sangat kehilangan kamu, Mas.""Karena di sini menyenangkan. Begitu tenang dan damai." Mata Mas Ibnu terpejam saat mengucap kata damai. "Dan aku bersam

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-31
  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   14. Berdebat dengan Diaz

    (Arzen)Hari yang paling kutakutkan tiba. Sejak tadi pagi perasaan ini dilanda sepi. Di saat rumah sudah mulai tampak oleh para tamu yang hadir serta ramainya ornamen khas pengantin, aku justru dilanda sepi.Papa dan Arsy terlihat begitu bahagia hari ini. Wajah keduanya semringah dan berbinar. Begitu juga Diaz dan kedua orang tuanya. Hanya Mama yang terlihat murung.Wanita itu memang tidak menyetujui perjodohan ini. Baginya Nafia tidak pantas bersanding denganku. Namun, demi melihat kebebasan Arsy, Mama tidak punya pilihan lain. Alasan yang sama denganku.Berkali-kali Papa memberi wejangan. Memberi semangat agar aku kuat menjalani. Serta menguatkan hati yang merapuh ini.Lalu gadis itu pun tiba. Aku sedikit dibuat pangling melihat penampilan Nafia. Gadis yang biasa natural tanpa riasan, kini menjelma menjadi wanita yang manis. Dia berdiri diapit oleh bibinya dan Ira.Dengan berbagai alasan Mama tidak bersedia membimbing gadis itu menuju pelaminan ini. Melihat cara jalannya hati ini di

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-31

Bab terbaru

  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   67. Bulan Madu

    Ditemani Arzen dan Diaz keesokan harinya, aku pulang ke rumah Bapak Ibu. Kami pamit pada mereka. Tangan Arzen yang masih sakit tidak memungkinkan dia untuk menyetir sendiri."Jaga Fia baik-baik ya," pesan Bapak sambil menepuk pundak Arzen, "dia sudah kuanggap seperti putri kandungku sendiri.""Insya Allah, Pak." Arzen membalas kalem, "dan saya sangat berterima kasih karena selama Nafia pergi dari rumah, Bapak dan Ibu telah merawatnya dengan baik.""Maaf, Ya Nak Arzen, kami sempat pernah berbohong dengan mengatakan tidak tahu keberadaan Fia," timpal Ibu."Gak papa, Bu. Itu kan memang kemauannya Nafia sendiri," jawab Arzen bijak.Setelah pamit dari rumah Bapak Aminuddin, aku mengajak Arzen berkunjung ke rumah Paman Santosa. Pada dirinya juga kami meminta doa restu."Pesan saya masih sama, Dek Arzen. Tolong jaga dan cintai Nafia dengan baik," ucap Paman kalem."Insya Allah, Paman." Arzen mengangguk ramah, "dan tolong jangan sungkan menegur jika saya lalai seperti kemarin," lanjutnya tulu

  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   66. Kembali Bersatu

    "Aku masih mencintai kamu, Zen. Masih." Tangan ini terus melingkari erat perutnya. Agar Arzen percaya jika aku memang benar-benar tidak menginginkan dia pergi.Arzen mengurai pelukan. Kami saling bertatapan. Maniknya menelisik mataku lekat. Seakan tengah mencari kejujurannya di dalamnya."Naf, aku tahu kamu tersiksa dengan pernikahan ini, makanya aku sadar diri dengan menjauh dari kamu," tutur Arzen lembut. Belum pernah kudengar dia selembut ini berbicara. "Jika perpisahan mampu memberimu kebahagiaan, aku rela pergi." Aku kembali menggeleng. "Tolong jangan katakan itu," mohonku seraya menempelkan telunjuk di bibir Arzen. "Karena kebahagiaanku adalah ketika kamu mencintai aku," tuturku serius.Arzen meraih jemariku. Dia mengecupnya lembut. "Aku mencintai kamu, Naf. Dan aku berjanji mulai detik ini akan selalu membuatmu bahagia."Aku tersenyum haru. Tanpa malu kupeluk pria ini lagi. "Kita rajut kembali mahligai rumah tangga yang sempat terkoyak kemarin.""Iya." Arzen balas mendekapku

  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   65. Kesungguhan

    "Aaa!" Aku menjerit histeris. Takut tertimpa benda puluhan kilogram itu."Nafiaaa ... Awaaas!" Terdengar teriakan banyak orang dengan lantang.Semua terjadi dengan begitu cepat. Seseorang menarik tubuhku menjauh.PRAAANK!Aku membuka mata. Dadaku masih berdetak kencang. Ketika tengadah ternyata aku berada dalam pelukan Arzen. Lelaki itu pun tengah terpejam dengan napas tersengal-sengal. Di seberang sana Deva melakukan hal yang sama pada Aliya.Mata ini terbelalak melihat lampu gantung kepunyaan Deva hancur berantakan. Lampu gantung dengan materi kristal dan besi emas yang berbentuk kubah yang begitu indah itu sudah tidak berbentuk lagi. Kini hanya meninggalkan serpihan beling yang berserakan di lantai.Tiba-tiba aku merasa merinding. Ngeri membayangkan lampu dengan berat lima puluh kilogram itu menghantam tubuhku.Aku menatap Arzen kembali. Tubuh kami yang saling menempel membuat detak jantungnya juga terdengar jelas."Kamu gak papa?" Arzen bertanya lirih. Dia balas memindaiku. Namun,

  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   64. Galau

    "Aaa!" Aku menjerit histeris. Takut tertimpa benda puluhan kilogram itu."Nafiaaa ... Awaaas!" Terdengar teriakan banyak orang dengan lantang.Semua terjadi dengan begitu cepat. Seseorang menarik tubuhku menjauh.PRAAANK!Aku membuka mata. Dadaku masih berdetak kencang. Ketika tengadah ternyata aku berada dalam pelukan Arzen. Lelaki itu pun tengah terpejam dengan napas tersengal-sengal. Di seberang sana Deva melakukan hal yang sama pada Aliya.Mata ini terbelalak melihat lampu gantung kepunyaan Deva hancur berantakan. Lampu gantung dengan materi kristal dan besi emas yang berbentuk kubah yang begitu indah itu sudah tidak berbentuk lagi. Kini hanya meninggalkan serpihan beling yang berserakan di lantai.Tiba-tiba aku merasa merinding. Ngeri membayangkan lampu dengan berat lima puluh kilogram itu menghantam tubuhku.Aku menatap Arzen kembali. Tubuh kami yang saling menempel membuat detak jantungnya juga terdengar jelas."Kamu gak papa?" Arzen bertanya lirih. Dia balas memindaiku. Namun,

  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   63. Pesta Ulang Tahun Deva

    Aku melepas pegangan Arzen. "Aku mau telpon Diaz buat jemput kamu."Ketika hendak berdiri, Arzen mencegah. "Jangan bohongi diri kamu, Naf.""Aku gak bohongi hati sendiri, Zen." Aku menjawab datar, "tapi, saat ini aku sudah mati rasa sama kamu. Entah besok atau lusa. Yang pasti saat ini, aku sedang tidak mau bersama kamu."Kutingalkan Arzen segera. Aku tidak mau terlarut akan bujuk rayuannya. Seperti niat sebelumnya Diaz pun kuhubungi. Dan sekitar setengah jam pemuda itu sudah menampakan diri."Kamu boleh saja marah sama Arzen, tapi jangan berlarut-larut. Karena itu sama saja kamu memelihara dendam. Percuma kamu beribadah jika masih saja mengikuti napsu setan itu," nasihat Diaz dengan tenang dan serius. "Arzen tidak pernah kasar sana kamu. Dia tidak pernah KDRT. Dia hanya masih terjebak kisah masa lalu, tapi kini dia sudah menyadari kekeliruannya. Jadi tolong jangan buat setan tertawa menang karena berhasil memisahkan kalian."Aku termangu. Wejangan Diaz terdengar begitu panjang. Aku

  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   62. Nasihat-nasihat

    Arzen akan menginap di sini," kata Bapak Aminuddin tenang."Tapi, Pak." Aku menyela tidak rela."Kasihan jika suamimu harus tidur di luar."Tanpa menunggu jawabanku, Bapak Aminuddin berlalu."Zennnn, kamu ...."Hachiii!Aku mendesah. Ingin rasanya berteriak, tapi kutahan. Walaupun Bapak Ibu sudah menganggap layaknya anak kandung, tetap saja aku harus bersikap sopan.Dengan menahan gondok, kubuka pintu lebar-lebar."Makasih." Arzen mengulum senyum.Lelaki itu memasuki kamar. Matanya menatap sekeliling. Aku sendiri berjalan tenang menuju lemari. Kuraih sebuah selimut."Ini udah ada selimut lho, Naf. Ha-hachiii." Arzen memberi tahu disertai bersin.Aku tidak membalas. Kini bantal pada ranjang pun aku ambil. Arzen mengernyit bingung karenanya."Lho ... kamu mau tidur di mana?" tegur Arzen begitu melihatku keluar kamar. Beberapa kali dia menggosok hidungnya yang merah. Bersinnya pun masih kerap menyerang."Aku tidur di sofa ruang keluarga saja," balasku kalem. "Biar kamu yang tidur di kama

  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   61. Pantang Mundur

    Aku kembali ke rumah Bapak Aminuddin. Kembali tidur di kamar yang dulu. Seperti yang sudah-sudah kedua orang tua ini begitu menyayangi aku. Segala kebutuhanku tercukupi di sini.Waktu berjalan begitu cepatnya. Tidak terasa sudah sepuluh hari aku tinggal di rumah Bapak Aminuddin ini. Setiap hari Arzen datang berkunjung. Kadang pagi sebelum berangkat kerja. Kadang malam hari setelah pulang kerja.Pernah juga dia datang ke sini seorang diri. Tujuannya tidak lain adalah membujuk aku untuk pulang. Ibu Sita dan sang suami juga tidak mau ketinggalan. Keduanya beberapa kali mampir dengan maksud membawaku kembali.Lama-lama bosan menghadapi rayuan Arzen yang terus saja meminta kembali. Akhirnya kedatangan dia aku abaikan. Namun, Arzen tidak kenal menyerah. Bahkan ketika hujan turun dengan derasnya, lelaki itu tetap berdiri di teras depan menungguku."Temui suamimu, Nafia. Kasihan dia kedinginan di luar," suruh Ibunya Mas Ibnu memohon."Biarin aja, Bu. Salah sendiri ngeyel," balasku malas. "Sud

  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   60. Usaha Arzen

    Kejadian itu begitu cepat. Setelah tiga bulan dalam persembunyian, akhirnya Arzen dan Diaz mampu menemukan aku. Sayangnya aku yang panik justru melakukan kecerobohan.Keegoisan mengalahkan kewarasan. Sudah tahu tengah mengandung kenapa aku mesti melarikan diri. Jika tidak ingin menjumpai Arzen, harusnya aku bicara baik-baik saja. Kenapa membahayakan diri sendiri dan kandungan ini?Bodoh! Aku pun menyesali kecerobohan kemarin. Tapi, aku lebih menyesali saat terbangun dari pingsan perut ini sudah kembali rata. Gerakan di dalam sana tidak lagi kurasakan.Aku telah kehilangan permata hati. Penantian selama lima bulan ini sia-sia sudah. Hidupku serasa hancur saat ini. Ketika Arzen datang, rasa benciku padanya bangkit lagi. Walaupun hati kecil ini menyalakan kecerobohan sendiri. Namun, Arzen juga turut andil atas kematian calon bayi kami.Aku yang masih berduka tidak menginginkan kedatangan Arzen. Ketika pria itu menampakan diri, sontak aku mengusirnya. Tidak peduli dia berkali mengucap ka

  • Menaklukkan Suami dan Mertua Super Dingin   59. Aliya yang Sesungguhnya

    Sudah empat hari Nafia dirawat. Keadaannya berangsur-angsur membaik. Namun, hingga sekarang wanita itu belum sudi dikunjungi olehku. Padahal ketika Aliya datang, Nafia menerima kedatangan gadis itu dengan baik. Walau pedih, tapi kuterima. Konsekuensi dari berbagai kesalahanku padanya.Namun, ada yang mengganjal hati. Sudah lebih dari sekali aku melihat Aliya datang menjenguk Nafia pasti bersama Deva. Aku tahu mereka berteman. Tetapi, cara pandang Aliya tampak berbeda pada Deva."Aku lihat-lihat, sekarang lengket banget sama bosnya Nafia," sindirku suatu sore. Aku sengaja main ke rumahnya. Masalahnya aku tidak bisa langsung menegurnya di rumah sakit. Itu karena Aliya tidak mau lepas dari Deva. Sementara aku, masalah berdebat lagi dengan pemuda beganjulan itu."Memangnya kenapa?" Aliya membalas tenang. "Kami sama-sama single," imbuhnya santai."Oh ... jadi sekarang kamu sudah ikhlas jika aku lepas?" Walau emosi, tetapi kuikuti permainannya. Tenang."Zen, sadar dong! Kamu baru saja ken

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status