"Besok-besok kalau datang kesini gak perlu bawa apa-apa!" ketus Farah melirik barang bawaan Satya. Ada tiga kantong plastik besar dengan logo minimarket dan sebuah paper bag berlogo merk ternama. "Kamu pikir rumah kami gudang penyimpanan kebutuhan bayi?" tambahnya lantas menyerahkan Sabia ke Satya. "Jangan bikin cucuku nangis! Mamanya masih ganti baju," katanya lagi sebelum meninggalkan Satya dan Sabia di ruang keluarga. Satya yang mendapat omelan malah tersenyum senang. Pria itu mengangkat putrinya itu ke atas kepalanya yang bersandar di sofa. "Cantiknya Papa, kenapa ketawa-ketawa? Seneng lihat papa dimarahi Oma? Emmm....?" gemas Satya melihat putrinya yang sejak tadi tertawa riang. Pagi-pagi sekali Satya sudah berangkat ke rumah keluarga Rahardian. Rindu katanya, kemarin dia Tidak sempat datang karena mengurus masalah Danisa. Dan sebagai gantinya pagi ini dia datang lebih awal dari biasanya. "Gemes banget sih anak Papa," ucap Satya menciumi pipi gembul Sabia. Bayi cantik
"Mau makan dimana?" tanya Satya saat mereka dalam berjalan. Pria itu meminta untuk memangku Sabia. "Di kafe dekat taman kota," jawab Bestari menoleh sebentar lalu kembali sibuk dengan layar ponselnya. "Cuma mau ketemuan sama Sandra atau ada orang lain?" tanya Satya menatap Bestari. Dua orang itu duduk di kursi penumpang. Sedangkan kursi depan ada dua bodyguard yang di sewa Farhan. Bestari menoleh, ada rasa segan untuk menjawab. "Sama Alfa?" tebak Satya. Meski ragu Bestari akhirnya mengangguk. "Nanti nyusul katanya," jawab Bestari lalu mengambil alih Sabia karena bayi kecil itu mulai rewel. "Anak Mama haus?" Bestari menimang Sabia. "Bentar ya, Mama ambilin dotnya." "Biar aku yang saja." Dengan sigap Satya langsung mengambil tas bayi yang di pangku salah satu bodyguard di kursi depan. "Sini!" Seperti sudah hafal Satya langsung tahu dimana letak dot berisi susu yang tadi sudah disiapkan Bi Tutik. Setelah membuka penutup botol itu pun langsung diarahkannya ke
"Maaf, aku sudah salah bicara." Satya langsung menutup mulutnya setelah selesai mengucap maaf. Kepalanya menunduk fokus pada kaki putrinya, mengelusnya pelan. Terdengar desahan berat dari mulut Bestari. Ingin kembali mengomel namun tak jadi. Diam-diam Satya melirik Bestari lalu mendesah pelan, wanita dengan rambut dikuncir kuda itu sudah tak lagi melototi dirinya meski masih bermuka masam. Detik itu juga Satya yakin dan percaya, kalau nasihat dari Derry asisten pribadinya seratus persen benar. "Wanita itu suka tiba-tiba marah karena alasan yang tidak jelas. Jika itu terjadi pada pasangan Anda, apapun masalahnya cukup ucapkan saja, 'Maaf aku salah,' masalah akan langsung selesai. Jangan membantah apalagi berusaha menjelaskan. Karena satu penjelasan akan dibalas sepuluh bantahan. Dan masalahnya akan semakin panjang." Kata-kata Derry beberapa hari yang lalu saat Satya meminta nasihat. "Semua wanita sama, jika sudah memiliki anak maka sifatnya akan berubah seperti singa saat
"Kamu anggap aku apa?" geram Alfa. Wajahnya sudah memerah meski mimik wajahnya terlihat tenang. Sedikitpun matanya tidak melotot. Itilah Alfa, semarah apapun ekspresinya tetap tenang dan datar. "Ini tadi..." Tari terlihat bingung. Mau menjelaskan tapi putrinya menangis meminta digendong. Jadilah dia lebih dulu menggendong putrinya itu. "Maaf Kak bisa bantu ambilkan empeng Sabia," pinta Tari pada Satya. Sepertinya Sabia lapar dan haus jadi mau dikasih empeng dulu sembari dibikinkan susu formula. Untuk memberi Asi tempatnya tidak tepat. "Tari, bisa jelasin sedang apa kamu sama Satya?" Karena kesal dan merasa diabaikan Alfa pun meninggikan suaranya. Rasa emosi telah menutup rasa empatinya. Satya yang hendak mengambil tas bayi langsung tersulut emosi. "Kecilkan suaramu, kau menakuti putriku." Bestari tak tahu harus bagaimana, putrinya menangis sedangkan tubuhnya terjebak di tengah-tengah dua pria yang sedang adu mulut. "Putrimu?" Alfa terkekeh..."Putri yang lahir kare
"Boleh Tante masuk?" Aisyah berdiri di tengah pintu kamar saat Bestari menidurkan bayinya. "Iya, silakan Tante." Bestari tersenyum lalu bangkit dari tidurannya. "Sudah tidur?" tanya Aisyah setengah berbisik. "Sudah," "Apa Tante ganggu?" Pelan, Aisyah duduk di sisi ranjang yang kosong. "Sama sekali tidak. Tante ada perlu?" Aisyah menggelengkan kepalanya. "Tante cuma mau bicara sebentar, boleh?" Bestari mengangguk tak lupa seuntas senyum tipis ia berikan pada mantan mertuanya itu. Aisyah menghela nafas sebelum berbicara. Wajahnya tiba-tiba berubah sendu. Dan hal itu membuat Bestari penasaran. "Tadi siang mamamu telpon, katanya Sabia sudah mulai belajar jalan. Mamamu juga mengirimkan videonya. Ya Alloh... seneng banget liatnya... jadi pengen bisa ikut ngajarin jalan." Bestari tersenyum, " Iya, tadi baru belajar jalan lagi. Sebenarnya sebelumnya Sabia sudah bisa jalan selangkah dua langkah Te, waktu awal umur sepuluh bulan. Tapi karena belum bisa jaga keseimbangan sab
"Kenapa? Apa kamu ingin kembali pada Satya?" tanya Alfa masih dengan wajah tenangnya. Pria itu memang sangat pandai menyembunyikan ekspresinya kemarahannya. Sedang di tempatnya Satya sedang menahan diri untuk tidak bersorak karena jawaban Bestari. "Jawablah, apa dia alasannya?" Alfa kembali bertanya. Kali ini nada suaranya mulai meninggi menunjukkan emosi sudah mulai mengikis ketenangannya. Alfa tipe orang yang suka memendam perasaannya. Menahan diri dan menumpuk kekesalannya. Namun ketika sudah tak sanggup mehanan emosi bisa meledak tanpa memikirkan tempat kondisi. "Alfa, tenanglah. Jangan memberondong Tari dengan pertanyaanmu." Nura meremas lengan putranya. "Tari, bolehkah kami tahu alasannya? Sebelumnya kamu sudah menerima lamaran Alfa, kenapa sekarang tiba-tiba berubah?" tanya Nura dengan suara lembut. Tak ada sedikitpun nada marah dari suaranya. Reaksi Nura membuat Tari tambah merasa bersalah. Meski merasa kecewa tapi tantenya itu masih bersikap lembut dan sabar.
Pov Abisatya. "Satya, sini." Mama melambaikan tangannya begutu aku masuk kedalam rumah. "Lihat ini, Farah kirim video Sabia belajar jalan. Ya Allah... lucunya..." Tawa Mama dan Anindya membuatku penasaran. Kupercepat langkah kaki menuju ruang tengah. "Sini, cepat!!" Mama menepuk sofa sebelahnya. "Mana lihat, Ma." Aku ambil alih ponsel dari tangan Mama. Di layar benda pintar itu terlihat bidadari kecilku sedang berjalan selangkah demi selangkah berusaha menggapai sebuah tangan yang aku yakin milik Tari. Wajahnya yang begitu cantik semakin membuatku terpesona dengan tawanya yang membuat mata indahnya sedikit menyipit. Suara tawa malaikat kecilku itu seperti alunan musik yang terdengar merdu menenuhi gendang telingaku. Dan entah lewat mana tiba-tiba suara itu sudah merasuk kedala dada dan menggetarkan hatiku. Tanpa terasa lelehan bening itu merembes membasahi pipiku. Ya Allah..... seindah inikah rasa cinta seorang ayah terhadap putrinya. Andai saja aku bisa melihatny
Sudah satu setengah jam aku duduk termenung di depan teras rumah kediaman keluarga Rahardian. Tadi saat kami akan pulang, Tante Farah melarang. Dia meminta agar kami menginap saja sekali besok. mengantar Tari dan Sabia ke bandara. "Kalian menginap saja, nanti gak sempat ketemu Sabia lo,..... besok kan Tari balik ke Surabaya." Tante Farah memaksa kami untuk menginap. Awalnya Mama sempat bimbang karena teringat Anindya di rumah sendiri tapi saat mendengar anak bontotnya itu sudah dalam perjalanan menyusul, Mama langsung mengiyakan dan langsung sibuk membuat makanan kesukaan Tari untuk dibawa ke Surabaya. Dan akhirnya dua ibu-ibu itu asyik sibuk di dapur. Papa jangan ditanya, sudah stanby di depan televisi jadi suporter timnas sepak bola tentu bersama Om Ibra, Sama-sama penggemar bola. "Lo lagi nyariin uang receh?" Suara Ganendra yang membuatku kaget. Aku mendongak, menatap pria yang berdiri sombong di sebelahku dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celananya. "Nggak usah Nya
[Halo, Assalamu'alaikum...] Terdengar suara Anindya dari spiker ponsel Tari yang tergeletak diatas meja samping ranjang. "Wa'alaikum salam, iya, ada apa, Anin?" tanya Tari sambil mentapukan bedak ke wajah dan leher Sabia. Dua baru selesai memandika putrinya saat ponselnya itu berdering. "Mbak," panggil Anindya dengan nada suara sedih. Ya, sejak menyadari kesalahannya, Anindya sudah membiasakan untuk memanggil Tari dengan panggilan Mbak. Sebagai bentuk rasa hormat dan juga kasih sayangnya sebagai seorang adik kepada kakak iparnya. "Ada apa? Kok nangis, kamu gak papa kan?" Tari memberondong adik iparnya itu dengan banyak pertanyaan karena merasa khawatir mendengar suara Anindya yang tiba-tiba diingi isak tangis. "Mama Mbak, dia berubah lagi," adunya sambil menahan tangis. "Berubah gimana maksudnya?" "Kemarin setelah ketemu Mbak Tari, mama meminta Papa untuk membatalkan perjodohan. Tapi pagi inu tiba-tiba saja Mama bilang akad nikahnya akan dimajukan besok pagi," "
Ganendra langsung berdiri begitu terdengar suara mobil di depan rumah. "Itu pasti dia?" katanya lalu melangkah. "Tunggu!" Jihan menyusul dan langsung mencekal lengan suaminya itu. "Jangan pakai emosi. Tari sudah memiliki keputusannya sendiri. Jadi, hormati keputusannya." "Tari adikku, aku juga punya keputusanku sebelum menurutu keinginan Tari." Ganendra melepas tangan Jihan dan melangkah keluar. Seolah tak peduli, dengan tatapan dingin Tari menggendong putrinya lalu naik ke kamarnya di lantai dua. Sebuah helaan nafas terdengar dari mulut Jihan. Beberapa hari ini kakak beradik itu membuatnya pusing dan hampir kehabisan kesabaran. Ganendra yang main api dengan Anindya lalu Tarinyang makin hari makin aneh dengan sikap dinginnya. "Bikin pusing," gumamnya tidak berniat mengikuti Ganendra ataupun Tari. "Kalau mau berantem yan terserah," gerutunya lalu melangkah menuju dapur untuk lanjut memasak. Di teras Ganendra langsung menyambut Satya denga tatapan tajam penuh amarah. Raha
Pukul setengah lima Ganendra pulang dari kantor. Pra itu berjalan menuju dapur, dimana istrinya sedang memasak dibantu artnya. "Assalamu'alaikum," ucapnya berdiri di depan meja dapur sambil mengukurkan tangannya. Jihan menoleh, diletakkan pisau yang digunakan mengupas kentang. "Wa'alaikum salam," jawabnya lalu mencium tangan Ganendra. Sebuah senyum tipis muncul di bibir Ganendra. Meski belum sepenugnya berbaikan namun sikap Jihan tetap patuh dan menghormatinya sebagai suami. "Masak apa?" tanyanya membuat obrolan. Jihan menghela nafas, rasanya enggan menjawab namun tak bisa mengabaikan. "Sayur sop sama perkedel kentang, ayam kecap, ikan goreng dan sambal," jawabnya lengkap. Ganendra menganggukkan kepalanya, "Hemmm.... kelihatan enak," katanya lagi dengan senyum lebar. "Terus?" Jihan menatap suaminya itu datar. Ganendra bukan orang yang suka bebasa-basi. Pasti ada yang diinginkannya dari omong kosongnya itu. "Bisa bikinkan aku kopi?" "Hemm..." Jihan menganggu
Sore ini Tari dan Jihan sibuk di dapur. Dua wanita itu sibuk mencoba resep makanan yang rencananya akan Tari masukkan di daftar menu di kafe miliknya. "Segini?" tanya Jihan menakar sirup yang akan di masukkan ke dalam blender. "Iya, habis itu susu uhtnya juga sesuai takaran yang ada di buku," jawab Tari sambil memotong buah strawberry dan mangga. Dua puluh menit berlalu dan minuman juga sepiring camilan sudah siap di atas nampan. "Biar aku yang bawa." Jihan mengambil nampan tesebut dna membawanya ke ruang tengah. Dibelakangnya Tari mengikuti sambil menggendong Sabia. Sambil mengawasi Sabia yang asyik bermain sambil. menonton kartun kesukaannya, Tari dan Jihan berbincang. Meski dua sahabat itu belum sepakat masalah Anindya namun mereka tetap akur. "Apapun yang terjadi aku tidak akan membiarkan pernikahannya itu terjadi. Meskipun itu artinya aku harus melawan Papa," ujar Tari. "Kenapa harus kamu? Suruh Anindya sendiri yang bicara sama Papa Ibra. Maaf, tapi ini semua nggak a
Belum lima belas menit Satya dan Ibra pergi, sang pengasuh mendatangi Tari. "Permisi Bu, saya pamit balik ke Surabaya," ucap Sarah sambil membawa ransel di pundaknya. Tari sama sekali tak menoleh untuk melihat wanita yang saat ini sangat dibencinya. Entah benar atau tidak perselingkuhan itu? Tapi, nyatanya sejak pertama kali wanita itu masuk ke dalam rumahnya Satya selalu membela jika dirinya mengadukan sikap tidak wajar Sarah yang terkesan genit dan terkadang tidak sopan. Sebulan yang lalu tiba-tiba Satya membawa pulang seorang wanita muda bernama Sarah, katanya didapat dari sebuah agen penyalur pengasuh di dekat kantornya. Kata Satya,, untuk membantu Tari mengasuh Sabia agar tidak kecapekan. Namun sikap Sarah yang ceplas-ceplos dan kadang terkesan genit membuat Tari tidak terlalu menyukai wanita yang mengaku berasal dari desa itu. "Sama siapa kamu balik ke Surabayanya? Sendirian?" sahut Jihan membuat Tari menoleh, menyipitkan mata menatap perempuan yang berdiri di sisi kan
"Dia...." "Dia kenapa?" desak Ibra tak sabar. Melihat reaksi Tari tiba-tiba banyak pikiran buruk muncul di otaknya. Tari mememjamkan matanya, menarik nafas panjng dan menghembuskan perlahan. "Pelan-pelan saja, bicaralah apa yang sudah Satya lakukan?" Ibra mengelus punggung tangan puyfinya itu lembut. "Kami berdebat dan aku mulai kesal padanya," jawab Tari menundukkan kepalanya. Ibra mengheka nafas panjang lalu dibawanya Tari masuk kedalam dekapannya. "Tidak apa-apa," ucapnya mengelus punggung punggung putri kesayangannya itu dengan lembut. Tangis Tari pecah. Pundaknya sampai terguncang menunjukkan betapa sakit hatinya. "Jangan takut ada Papa di sini. Semua akan baik-baik saja, " ucap Ibra dengan tatapan dingin. Dia tahu putrinya itu sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi entah apa? Cukup sulit untuk membuat Tari jujur akan masalahnya. "Ini sudah malam kamu tidurlah, Papa temani di sini sampai kami terlelap." Ibra membantu Tari naik ke atas tempat tidur, menyelimutin
"Apa yang kalian lakukan?" pekik Tari saat melihat orang dua orang laki-laki dan perempuan dengan tubuh saling menempel dan tangan sang pria melingkar di tengkuk sang wanita dan wajah mereka saling berhadapan seperti sedang berciuman. "Tari,.. aku bisa jelasin," ujar Satya panik, memisahkan diri dari wanita yang baru saja dipeluknya. Ya, salah satu dari dua orang itu adalah Satya, suaminya sendiri sedang berduaan dengan Sarah, pengasuh yang baru saja diterimanya bekerja satu bulan yang lalu. "Jelasin apa Mas? Jelasin kalau kamu ada main dengan pengasuh putrimu sendiri," cecar Tari dengan wajah merah dan mata memanas. Dadanya seolah tebakar oleh konaran amarah yang menyulut emosi besar dalam dirinya. "Tidak seperti itu," bantah Satya menggelengkan kepalanya. Dengan wajah panik Satya melangkah mendekati istrinya yang sudah diliputu amarah. Namun baru selangkah, sebuh tangan menghentikannya. "Pak, saya saya takut dimarahin Ibu." Sarah memegang lengan kekar Satya. Wajahn
Tidak ingin memperpanjang perdebatan yang akhirnya akan melebar kemana-mana, Tari pun menuruti keinginan Satya untuk langsung pulang ke rumahnya dan tidak jadi menemui Anindya. Sampai di rumah terlihat Sabia sedang bermain di taman ditemani Ibra dan pengasuh barunya. Rasa kesal di hati Tari perlahan luntur melihat wajaha bahagia papanya dan putri semata wayangnya. "Kalian sudah pulang?" tanya Ibra ketika Satya dan Tari mendekat. Sepasang suami istri itu mencium pungung tangan Ibra bergantian. "Iya," jawab Tari dengan wajah kusut. Dan itu menarik perhatian Ibra. "Aku masuk dulu ya Pa, nitip Sabia. Nanti kalau sudah selesai mainnya biar pengasuhnya bawa masuk," "Oh iya. Sabia biar sama Papa saja. Kamu pasti lelah, istirahatlah di kamarmu," jawab Ibra menyuruh putrinya itu segera istirahat. Sebagai seorang ayah, Ibra tentu hafal dengan sifat putrinya itu. Mimik wajah Tari, sudah menunjukkan jika putrinya itu sedang kesal pada Satya. Tak lagi menyahut Tari pun segera mas
Dari bandara Tari dan Satya langsung menuju rumah sakit. Kabar Jihan ingin mengajukan cerai membuat Tari sedih dan panik. Ia tahu betul seperti apa sahabatnya itu. Meski terlihat lembut dan baik hati namun sebenarnya istri Ganendra itu lebih keras kepala dari pada Tari dan Sandra. Tak hanya keras kepala, Jihan juga lebih realistis dibanding dua sahabatnya. Tari bisa menitup mata demi cinta begitu juga Sandra, bisa melakukan rela melakukan dosa demi orang yang dicintainya. Tapi tidak dengan Jihan, cinta tidak akan membutakan matanya. "Jihan, plis pikirin lagi. Jangan ambil keputusan di saat kepala masih panas." Sudah lebih satu jam Tari menasehati sahabatnya itu. "Ini sudah seminggu, mana ada kepala panas. Aku sudah sangat tenang dan sadar sepenuhnya." Jihan menatap adik iparnya itu lekat. "Jangan bilang kamu membela kakakmu? Hubungan kita lebih berharga dari keberpihakan," Tari menghela nafas panjang, lebih baik menasehati Jihan saat dia galau dan sedih ketimbang saat dia s