"Aku salah apa sama kalian?"
Tangis Nayara Prameswari pecah hingga tubuhnya bergetar. Ia tersungkur di lantai marmer berpola mozaik. Tetesan darah yang mengalir dari hidungnya langsung menodai lantai. Nayara mendongakkan kepala, menatap kedua kakak iparnya dengan tatapan memohon. Namun, Jeni dan Sintia justru membalas dengan sikap acuh tak acuh. Sintia yang pertama bereaksi. "Di keluarga ini, kamu itu cuma Babu! Kamu tau, di mana posisi Babu?!" Kemudian, Sintia menoleh kepada Jeni dan berkata, "Jeni, kasih tau dia! Di mana tempat seorang Babu hina kayak dia!" Jeni maju beberapa langkah hingga akhirnya berdiri di sisi kanan Nayara. Ia menarik rambut Nayara ke belakang dengan tangan kirinya. Lalu tanpa segan, ia langsung menginjak kaki kanan Nayara. "Aaarrghh!" Nayara berteriak kesakitan. "Sakit, Kak! Kakiku ... sakit ...." Nayara melirik kaki kanan Jeni yang masih berada di atas kaki kanannya. Sialnya, kaki kanan Nayara yang pincang itulah yang diinjak Jeni. Tanpa berperasaan, Jeni berkata dengan suara rendah yang dalam, "Babu akan selamanya berada di bawah kaki majikan. Paham, nggak?!" Karena Nayara tidak menjawabnya, Jeni menarik rambutnya lebih keras lagi hingga tatapan Nayara tertuju pada langit-langit ruang makan yang sangat tinggi. Jeni berteriak, "Jawab, Nay!" Pandangan Nayara kini menatap lampu gantung bertingkat yang memberikan pencahayaan berlapis di ruang makan. Sebelumnya, Jeni telah menampar Nayara berkali-kali hingga sudut bibirnya berdarah. Ditambah lagi, Sintia mendorong Nayara hingga kepalanya membentur sudut meja makan. Nayara telah menahan sakit kepala yang cukup lama hingga hidungnya mengeluarkan tetesan darah. Meskipun begitu, kedua kakak iparnya tidak melepasnya juga. "Aku ... mengerti." Suara yang dihasilkan Nayara sangat pelan hingga nyaris tidak terdengar. "Bisa-bisanya Dhirga punya Istri buruk rupa kayak kamu!" celetuk Sintia. "Apa sih, yang bisa dibanggakan dari kamu, hah?!" Jeni tidak mau kalah, ia berkata, "Kamu menikah sama Dhirga bukan karena cinta, tapi keterpaksaan. Jadi, sebaiknya kamu tahu diri!" Usai mengucapkan hal itu, Jeni melepas cengkeraman tangannya dari rambut Nayara. Belum sempat Nayara membalas, terdengar langkah kaki dari arah tangga. Dhirga muncul, menatap ketiganya dengan dahi berkerut. "Kenapa ribut-ribut?" tanya Dhirga. Dhirga menatap Nayara tanpa ekspresi. Ia tahu, istrinya terluka. Namun, tidak berniat membantunya. "Lihat, nih! Istri cacatmu sudah merusak gaunku sampai gosong. Nyetrika aja nggak becus!" Jeni mengangkat gaun pesta berwarna merah marun yang terbakar di bagian punggung. Wajahnya merah padam karena terkuras emosi. "Bukan aku, Mas," sanggah Nayara. "Tadi Kak Jeni manggil saat aku lagi nyetrika. Aku lupa belum mencabut kabel setrikanya." Jeni memang memanggil Nayara untuk menyiapkan sarapannya saat ia sedang menyetrika. Saat Nayara masih mengoleskan selai kacang pada roti, Jeni berteriak dari ruang laundry. Lalu, berjalan cepat menghampiri Nayara ke ruang makan dengan emosi meledak-ledak. Nayara tidak tahu jika gaun milik Jeni terbakar karena keteledorannya. Sebab itulah, Nayara menjadi linglung. Jeni menunjuk Nayara dengan wajah menantang. "Heh! Kamu yang salah, kenapa malah nyalahin aku? Aku nggak mau tau, kamu harus ganti gaunku!" Dhirga hanya diam. Ia menatap Nayara dengan dingin dan membiarkan istrinya dihujani makian. Tak ada sepatah kata pun yang keluar untuk melindunginya. "Istri macam apa kamu, Nay?! Kamu harus dikasih pelajaran!" celetuk Sintia, nada suaranya mengandung kebencian. Kedua mata Nayara terpejam sesaat guna menstabilkan emosi. Ia menahan diri agar tidak ada air mata yang tumpah. Dengan segenap tenaga, Nayara merangkak untuk meraih tongkatnya yang tergeletak tidak begitu jauh. 'Ah, sakit banget!' Nayara menahan sakit pada kaki kanannya. Nayara berusaha berdiri dengan bantuan tongkatnya. "Mas, tolong aku!" pinta Nayara. "Aku nggak melakukan apapun." Kali ini, Nayara bukan memohon belas kasih pada kakak iparnya, melainkan pada suaminya sendiri. Jeni mendengus kasar. "Dhirga, jadi Suami harus tegas. Kalau nggak, mau ditaruh di mana muka kamu sebagai kepala keluarga?" "Nasehati Istri kamu, Dhirga!" timpal Sintia. Nayara melihat Dhirga berjalan mendekatinya. Sontak, hatinya menjadi berbunga-bunga. Ia mengira, Dhirga pasti akan melindungi dari kekejaman kedua kakak iparnya. Plak! Tidak disangka, apa yang diharapkan Nayara bertolak belakang dengan takdirnya. Dhirga justru menampar Nayara dengan keras. "Nay, apa kamu bodoh?! Berapa kali harus aku ingatkan, jaga sikapmu di rumah ini!""Mas, aku sudah berusaha. Tapi Kak Jeni dan Kak Sintia selalu menyudutkan aku."Nayara menoleh kepada kedua kakak iparnya. Ia masih berharap hati dingin suaminya mencair dan melihat kebenaran yang terpampang nyata.Dhirga menatap tajam. "Kakak-kakakku nggak mungkin marah kalau kamu nggak berulah. Aku lebih kenal mereka daripada kamu."Belum sempat Nayara membela diri, Dhirga berkata lagi, "Cepat minta maaf sama mereka, terutama Kak Jeni!"Nayara menunduk. Ia hanya bisa mengangguk, menelan kepahitan yang tak pernah habis. Membela diri hanya akan membuat luka di hatinya semakin dalam.Maka, lagi-lagi Nayara harus mengalah. Demi mempertahankan keutuhan rumah tangganya, kenapa tidak?Nayara memang bukan babu di rumah mertuanya. Namun sejak menikah dengan Dhirga Mahendra, hidup Nayara tak ubahnya seperti seorang babu. Siapa Nayara?Nayara hanyalah seorang Istri pajangan yang menikah bukan atas dasar saling cinta. Namun, hanyalah berdasarkan kesepakatan diantara kedua keluarga.Sedangkan D
"Belum, Mas. Ada apa?"Nayara menoleh sekilas. Ia balik bertanya. Hari Sabtu seperti ini, suasana di rumah mertuanya begitu sepi. Anggota keluarga Mahendra bepergian menikmati waktu akhir pekan. Sedangkan semua pelayan sibuk dengan urusan masing-masing. Sejak kedatangannya, tak satu pun yang peduli pada Nayara. Ia tahu, keberadaannya di rumah ini tidak lebih dari sekadar bayangan.Dhirga bersedekap, matanya mengamati ruangan yang berantakan dengan pakaian yang masih bertumpuk. Ia menghela napas, lalu menatap Nayara dengan tatapan penuh curiga."Kamu nggak buat ulah lagi, kan?"Nayara tersenyum miris, meski hatinya tersayat. Lalu, menggeleng.Nayara masih teringat perlakuan Dhirga padanya tadi. Ia seolah tidak ingin berbicara dengan suaminya. "Kamu tahu maksudku, Nay. Jangan bikin masalah di rumah ini! Karena semua orang sudah cukup terganggu dengan kehadiranmu."Kalimat itu menghantam Nayara lebih keras dari tamparan."Mengganggu? Aku di sini karena Ayahku menukar nyawanya dengan p
"Aku hamil, Dhirga."Suara Clarissa memecah ruangan mewah itu seperti petir di siang bolong. Nayara menahan napas, dada berdegup kencang.Hamil?"Aduh... ya sudah, Sayang. Aku janji akan menikahimu secepatnya." Suara Dhirga terdengar panik, namun tetap berusaha tenang.Janji? Bukankah Dhirga sudah terikat janji dengan Nayara?"Kamu janji akan bertanggung jawab, kan? Aku ingat malam itu, Dhirga."Suara Clarissa tegas. Penuh tuntutan."Iya, Sayang. Aku janji."Nayara nyaris kehilangan kendali. Dunia seakan berputar. Nafasnya sesak, tapi sebelum ia melangkah pergi, tanpa sengaja tongkat di tangannya menyenggol guci di sudut ruangan.Prang!Guci pecah menghantam lantai marmer.Dhirga menoleh cepat. Mata mereka bertemu. Nayara berdiri di sana, kaku, wajahnya pucat pasi."Dia siapa, Dhirga?" Clarissa bertanya, matanya bergantian menatap Nayara dan Dhirga.Suasana mendadak dingin dan sunyi.Dhirga berdiri, ekspresinya datar namun tajam. "Kemari lah"Nayara ingin menolak, tapi kakinya seakan
"Tapi, pesta itu juga akan menjadi momen pengumuman pernikahan kedua Dhirga dengan Clarissa."Nayara menegang. Dadanya terasa seperti dihantam benda tajam.Jeni terkikik. "Kasihan sekali, ya! Baru setahun jadi istri, sudah mau dimadu."Clarissa menatap Nayara dengan sorot penuh kemenangan. "Aku sudah menunggu saat ini, Nayara. Aku dan Dhirga memang seharusnya bersama."Bukannya malu, Clarissa justru berkata secara terang-terangan. Padahal Clarissa dan Nayara sama-sama perempuan. Seharusnya, Clarissa tahu isi hati Nayara sangat rapuh. Istri mana yang sanggup melihat pernikahan kedua suaminya? Apalagi, calon madunya sedang berbadan dua.Nayara tidak menunjukkan ekspresi terkejut. Ia hanya diam, menatap lurus ke arah Dhirga. "Jadi ini keputusanmu, Mas?"Dhirga mengangguk tanpa ragu. "Ya."Jawaban itu terdengar ringan, seakan pernikahan mereka selama hampir setahun ini tidak berarti apa-apa.Adinda menyilangkan tangan di dadanya. "Dan kau sendiri yang akan mengumumkannya besok, Nayara.
"Harga diri, kamu bilang?"Dhirga meludah ke tanah, ekspresinya penuh penghinaan. Matanya yang tajam menusuk langsung ke arah Nayara, yang berdiri dengan tubuh gemetar."Harga diri kamu cuma bisa dibayar pakai uang, Nay!" Dhirga mencemooh. "Kamu tahu berapa biaya pengobatan Ibumu? Masih mau bicara soal harga diri sama aku, hah?""Tapi, Mas—" suara Nayara bergetar, kedua tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya."Cukup, Nay!" bentak Dhirga. "Kalau besok kamu tidak menuruti kemauan keluargaku, aku pastikan nyawa Ibumu terancam!"Ancaman itu bagaikan cambuk yang menghantam jiwanya. Tubuh Nayara membeku. Ia tahu, melawan hanya akan memperburuk keadaan.Malam itu, di taman belakang rumah keluarga Mahendra yang megah, dua hati bertarung dalam kesunyian. Namun, hanya satu yang memegang kendali dan Nayara bukanlah pemenangnya.Keesokan harinya. Hiruk-pikuk memenuhi kediaman keluarga Mahendra. Para pekerja mondar-mandir, menata hidangan mewah di atas meja panjang. Pelayan sibuk menyusun dekor
Nayara hanyalah seorang mempelai wanita yang tidak pernah diinginkan di keluarga Mahendra. Meskipun pesta ini adalah pesta pernikahan Nayara dan Dhirga yang pertama, tapi ironisnya tokoh utama dalam pesta ini bukanlah Nayara, melainkan calon madunya! Di sudut ruangan, keluarga Mahendra sibuk menjamu kolega bisnis mereka, seolah pesta ini bukanlah tentang ulang tahun pernikahan putranya, melainkan hanya strategi perusahaan. Lalu, momen itu tiba. Pembawa acara melangkah ke tengah panggung dengan penuh percaya diri, mikrofon di tangannya menggema di seluruh ruangan. “Hadirin yang terhormat, hari ini kita berkumpul untuk merayakan momen spesial ulang tahun pernikahan Dhirga Mahendra yang pertama. Kami mengundang Tuan Leonardo Mahendra, Nyonya Adinda, serta putra mereka, Tuan Dhirga, untuk maju ke depan.” Suara tepuk tangan memenuhi ruangan. Leonardo dan Adinda melangkah dengan anggun, menunjukkan wibawa mereka sebagai keluarga terpandang. Sementara itu, Dhirga berjalan lebih lambat
Sekali lagi, keterkejutan menyelimuti suasana. Adinda, ibu mertua Nayara, menatapnya dengan ekspresi terkejut dan jijik seolah mendengar sesuatu yang memalukan.“Saya menyadari bahwa keluarga Mahendra membutuhkan keturunan untuk meneruskan garis keturunan mereka,” lanjut Nayara, berusaha menahan isak yang mengancam pecah dari dadanya. “Dan karena saya tidak bisa memberikan itu… saya memilih untuk mengalah.”Air mata akhirnya jatuh, mengalir di pipinya yang pucat. Namun, ia tetap tersenyum. Senyum yang begitu menyakitkan.“Saya ikhlas,” ucapnya pelan, meski hatinya menjerit dalam kepedihan. “Saya ikhlas jika suami saya menikah lagi.”Dhirga tidak bereaksi. Wajahnya tetap datar, seolah semua ini bukanlah sesuatu yang penting baginya.Sebaliknya, Clarissa justru mengangkat dagunya dengan penuh kemenangan.Sementara itu, di dalam hati Nayara, hanya ada kehancuran.Akhir dari kata-kata Nayara menjadi pukulan telak baginya. Mana ada seorang istri sah yang rela dimadu?Setelah melakukan sega
"Iya, Kak... Dia memang temanku waktu kuliah dan juga saat bekerja sebelum aku menikah dengan Mas Dhirga." Suara Nayara terdengar lemah, namun ada sedikit ketegasan di dalamnya. Matanya menatap lurus ke arah Jeni, meskipun ada ketidaknyamanan yang jelas tergambar di wajahnya."Ada apa ini?!" suara Sintia tiba-tiba memecah suasana. Ia muncul dari belakang dengan ekspresi penasaran sekaligus sinis."Ini, Nayara! Masa dia bilang temenan sama Dimas?" Jeni melipat tangannya di dada, nada suaranya penuh keraguan dan sindiran."Dimas Prayoga? Pimpinan Prayoga Group?!" Sintia membelalakkan mata, nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar."Iya, aku sih nggak percaya," Jeni menambahkan, bibirnya menyunggingkan senyum penuh ejekan.Sintia melangkah lebih dekat, memandang Nayara dari atas ke bawah dengan tatapan meremehkan. "Heh, babu! Sekalinya babu ya tetap babu. Gausah mimpi ketinggian!" suaranya dipenuhi cibiran dan penghinaan.Nayara mengepalkan jemarinya, berusaha mengendalik
Tok tok tok..."Nay," suara Dimas terdengar lembut dari balik pintu, diiringi ketukan pelan.Nayara perlahan bangkit dari duduknya di pinggir ranjang, lalu membuka pintu. "Ada apa, Dim?"Dimas tersenyum kecil. "Kamu lagi sibuk nggak?""Enggak kok. Kenapa?""Biar nggak bosen di kamar, kita lihat-lihat sekitar yuk. Sekalian nikmatin udara dingin Puncak."Ajakan itu membuat Nayara terdiam sejenak. Kata-kata Dhirga seakan kembali terngiang di kepalanya. "Jangan dekat-dekat sama Dimas!" Ia ingin ikut, jujur saja, tetapi hatinya dicekam rasa bersalah. Akhirnya, ia menggeleng pelan."Enggak, Dim. Makasih. Rasanya aku pengin istirahat aja."Raut wajah Dimas langsung berubah. Senyumnya memudar, sorot matanya redup, bibirnya sedikit menegang seperti menahan kecewa. Tapi ia tak berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk singkat, lalu menutup pintu dengan lembut.Nayara kembali duduk di kasur, memandangi langit-langit kamar yang artistik, tirai jendela yang melambai tertiup angin, dan wangi kayu manis
"Besok pagi ikut denganku ke Puncak, ada acara di villa," kata Dhirga dingin tanpa menatap Nayara."Iya, Mas," jawab Nayara pelan, menunduk. Ia pura-pura tidak terkejut, padahal tadi, dari balik tembok koridor, ia sudah mendengar semua percakapan keluarga Mahendra. Termasuk rencana Leonardo dan kekhawatiran Dhirga akan pertemuan antara dirinya dan Dimas."Dan ingat, Nay! Besok akan ada Dimas. Jangan berani macam-macam, karena aku akan mengawasimu setiap saat," lanjut Dhirga dengan tatapan tajam, nyaris seperti ancaman.Nayara mengangguk patuh. Dengan hati yang berat, ia mulai mengemas beberapa potong pakaian sederhana ke dalam tas jinjing miliknya. Sebenarnya ia enggan ikut, tapi ia tahu perintah Dhirga tak bisa ditawar, apalagi setelah tahu akan ada Dimas di sana.Keesokan paginya, halaman rumah Mahendra sudah ramai oleh anggota keluarga yang bersiap berangkat. Dua mobil besar menunggu di depan. Namun satu sosok belum terlihat."Dhirga, istri pertamamu mana?" tanya Sintia, menoleh ke
"Iya, Kak. Kayaknya pasti ada yang penting... atau bahkan mungkin masalah," ujar Clarissa pelan, seolah sedang menerka-nerka sesuatu."Masalah apa maksud kamu?" tanya Jeni, alisnya naik penasaran."Mungkin... Nayara""Ah, kalau dia sih adik ipar miskin yang selalu bawa masalah!" potong Jeni sambil tertawa keras. Matanya menyipit, bibirnya sedikit terangkat sinis.Setibanya di rumah keluarga Mahendra, wajah Jeni dan Sintia masih berseri-seri. Tawa mereka memenuhi udara, mencairkan suasana sore itu."Kalian habis dari mana?" tanya Adinda tiba-tiba saat melihat mereka masuk ke ruang tamu."Habis belanja dong, Ma! Ke butik Hermès. Hari ini kita ditraktir Clarissa," sahut Jeni bangga, sambil memamerkan tas barunya dengan semangat seperti anak kecil yang baru mendapat mainan mahal."Wah, belanja kok nggak ajak Mama?" Adinda bersungut manja."Tenang, Ma. Untuk Mama justru yang paling spesial," potong Clarissa dengan senyum liciknya yang tersamarkan oleh nada lembut. Saat Jeni dan Sintia sibu
“Cukup! Cukup!” teriak Adinda, membanting sendok ke meja hingga membuat semua orang terdiam.“Dhirga, cepat pergi! Jangan dengarkan ocehan Nayara!” lanjutnya tajam.“Iya, sayang. Ayo, aku antar kamu ke depan,” timpal Clarissa manja sambil meraih tangan Dhirga dan menggenggamnya erat—seolah ingin menandai siapa yang layak di samping Dhirga.“Pelayan!” panggil Adinda dengan nada tinggi.“Iya, Nyonya,” jawab seorang pelayan yang langsung berlari mendekat.“Bereskan semua makanan ini. Buang ke tong sampah. Jangan sisakan satu pun!”“Baik, Nyonya.”Nayara yang masih berdiri dengan wajah tertunduk, hanya bisa menarik napas dalam diam. Ia kembali ke kamarnya sambil memeluk dirinya sendiri, seolah ingin meredam amarah dan kesedihannya yang bercampur jadi satu.Sementara itu, Clarissa menggandeng Dhirga ke depan rumah. Matanya berbinar, senyumnya lebar seperti pemenang perang.“Sayang, bulan madu kita kapan?” tanya Clarissa manja, menyandarkan kepalanya di bahu Dhirga saat mereka berjalan menu
“Pagi, sayang,” suara lembut Clarissa memecah keheningan kamar dengan senyum manis yang menyebalkan.Dhirga membuka matanya perlahan, ekspresinya masih setengah sadar. Ia menguap kecil dan meregangkan tubuh sebelum menjawab pelan, “Iya, pagi juga…”“Kemeja dan jasnya sudah aku siapkan, sekarang kamu mandi dulu, ya,” ucap Clarissa sambil membelai lembut lengan Dhirga.Sementara itu, di dapur, Nayara tengah sibuk menyiapkan sarapan. Walau kondisinya tak begitu kuat, ia tak pernah melewatkan rutinitas ini. Untuk suaminya, ia ingin selalu menjadi yang pertama menyentuh pagi harinya, walaupun suaminya sealu bersikap arogan kepadanya.Dengan tangan gemetar, ia menata hidangan satu per satu di atas meja makan. Nasi gurih pandan dengan taburan kacang mete dan bawang goreng, omelet isi smoked beef dan paprika merah, roti sourdough hangat dengan mentega Eropa, salad buah segar dengan dressing madu lemon, serta jus jeruk asli yang baru diperas. Meja makan itu terlihat seperti hidangan hotel bint
"Dimas itu teman aku, Mas... waktu zaman kuliah. Dan aku sempat satu kantor dengannya saat jadi office girl di perusahaan Prayoga Group, itu sebelum aku menikah denganmu." Terang Nayara dengan suara bergetar, matanya menatap Dhirga yang masih berdiri di ambang pintu."Terus kenapa kamu bisa berduaan, Nay!? Di rumah ini lagi!" Nada suara Dhirga meninggi. Rahangnya mengeras, matanya tajam menatap Nayara. Ia bukan marah karena cemburu, bukan karena cinta—tetapi karena harga dirinya sebagai suami dipertaruhkan di depan laki-laki lain.Dhirga tahu, sejak awal pernikahan mereka bukan karena cinta. Hanya janji kepada almarhum ayah Nayara yang mengikatnya. Namun, martabatnya sebagai pria dan kepala keluarga Mahendra tak bisa diinjak begitu saja."Aku juga nggak tahu, Mas. Tiba-tiba dia datang ke rumah ini," jawab Nayara pelan, namun dengan nada penuh tekanan. Ia tahu posisinya lemah, tapi ia juga tahu dirinya tak salah.Dhirga mendekat satu langkah, wajahnya keras namun tenang."Ingat, ya, Na
"Mas, aku bisa jelasin!" seru Nayara sambil spontan melepaskan genggaman tangan Dimas. Tangannya bergerak cepat mengusap pipi yang masih terasa linangan air mata."Masuk, Nay!" bentak Dhirga dengan nada membara."Mas..." Nayara menatap memohon, matanya berkaca-kaca lagi, berharap setidaknya ada sedikit ruang untuk mendengar."Aku bilang masuk!" Dhirga membentak lebih keras, membuat Nayara terkejut dan akhirnya melangkah masuk ke rumah dengan langkah pelan dan tubuh gemetar.Dhirga kini menatap Dimas tajam, matanya menyala seperti bara api. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal seolah menahan gejolak yang siap meledak.“Dimas, saya tidak suka Anda mendekati istri saya! Walaupun saat ini Anda bagian dari keluarga besar ini, Anda tidak punya hak mencampuri urusan rumah tangga saya. Termasuk Nayara!” suaranya meninggi, sorot matanya menusuk, napasnya memburu menahan amarah.“Saya minta Anda pergi sekarang juga!”Dimas tidak langsung mundur. Ia menatap Dhirga dengan tatapan tegas, m
“Paman bisa saja,” ujar Dhirga sambil tersenyum tipis. “Ya sudah, aku pergi dulu ya, Paman”“Ya sudah, pergilah,” sahut sang paman sambil melambaikan tangan pelan.Tanpa membuang waktu, Dhirga segera bergegas meninggalkan Hotel Raffles. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, seolah ada sesuatu yang sangat mendesak menunggu di tujuan.Setibanya di depan gerbang kediaman keluarga Mahendra, seorang satpam menghampirinya dan berkata dengan sopan, “Permisi, Bapak mau bertemu siapa? Kebetulan rumah sedang kosong, semua anggota keluarga Mahendra sedang mengadakan pesta di Hotel Raffles.”Dimas turun dari mobilnya dengan tenang, menyembunyikan kegugupan yang sebenarnya mulai merayap di dadanya. “Oh, saya memang tadi dari Hotel Raffles. Saya diminta Pak Dhirga untuk datang ke sini dan bertemu dengan Nona Nayara.”Satpam itu sempat tampak ragu. Namun setelah mendengar nama Dhirga disebut, ia mengangguk pelan. “Baik, silakan masuk, Pak. Saya panggilkan Non Nayara.”Tanpa menunda, satpam
"Pelayan!" teriak Jeni memanggil."Iya, Non," pelayan berlari menghampiri dengan wajah tegang, napasnya memburu karena tergesa."Buatkan Clarissa minum. Cepat!" perintah Jeni tajam, ekspresinya penuh ketidaksabaran dan kekesalan."Baik, Non." Pelayan itu melirik ke arah Nayara yang masih sibuk memunguti pecahan beling dengan tangan gemetar. "Nay, mau saya bantuin?" bisiknya lirih, penuh simpati."Gausah bantu-bantu Nayara! Kamu urusin kerjaanmu saja!" sahut Jeni dengan nada tinggi."Baik, Non." Pelayan itu menunduk dan segera berlari ke dapur untuk membuatkan minuman sesuai perintah.Sementara itu, Nayara tampak kesulitan untuk bangkit. Tangannya yang terluka terkena pecahan beling membuatnya meringis menahan sakit. Luka kecil di telapak tangannya mengeluarkan darah, namun ia tetap berusaha berdiri. Kakinya sempat terpeleset oleh air yang belum sempat dibersihkan, membuatnya jatuh kembali."Akh..." erangnya pelan.Dengan sisa tenaga dan napas yang tertahan, Nayara bangkit lagi. Ia men