Nayara hanyalah seorang mempelai wanita yang tidak pernah diinginkan di keluarga Mahendra.
Meskipun pesta ini adalah pesta pernikahan Nayara dan Dhirga yang pertama, tapi ironisnya tokoh utama dalam pesta ini bukanlah Nayara, melainkan calon madunya! Di sudut ruangan, keluarga Mahendra sibuk menjamu kolega bisnis mereka, seolah pesta ini bukanlah tentang ulang tahun pernikahan putranya, melainkan hanya strategi perusahaan. Lalu, momen itu tiba. Pembawa acara melangkah ke tengah panggung dengan penuh percaya diri, mikrofon di tangannya menggema di seluruh ruangan. “Hadirin yang terhormat, hari ini kita berkumpul untuk merayakan momen spesial ulang tahun pernikahan Dhirga Mahendra yang pertama. Kami mengundang Tuan Leonardo Mahendra, Nyonya Adinda, serta putra mereka, Tuan Dhirga, untuk maju ke depan.” Suara tepuk tangan memenuhi ruangan. Leonardo dan Adinda melangkah dengan anggun, menunjukkan wibawa mereka sebagai keluarga terpandang. Sementara itu, Dhirga berjalan lebih lambat di belakang mereka, wajahnya tetap dingin tanpa ekspresi. Setelah mereka berdiri di tengah ruangan, Dhirga mengambil mikrofon dari tangan pembawa acara. Ia menarik napas, lalu menatap para tamu yang kini memperhatikannya dengan antusias. “Hari ini, saya ingin memperkenalkan istri saya secara resmi,” ucap Dhirga dengan suara yang tenang, tetapi tetap tegas. Ruangan kembali sunyi. Para tamu menunggu dengan penuh rasa ingin tahu. "Nayara, sini!" panggil Dhirga, singkat. Dari sudut ruangan, Nayara tampil dengan gaun putih panjang yang sederhana . Ia melangkah maju. Langkah Nayara tertatih dengan bantuan kedua tongkat yang menopang tubuhnya. Wajahnya yang sebagian tertutup luka bakar tampak tegang, tetapi ia berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Nayara berdiri di samping Dhirga. Matanya berusaha mencari ketulusan di wajah pria itu. Namun yang ia temukan hanyalah kebencian dan dendam. Dhirga mencondongkan tubuhnya, berbisik tepat di telinga Nayara. "Segera umumkan pernikahanku dengan Clarissa," desaknya dengan suara rendah yang penuh tekanan. Nayara mengatur keberanian. Kedua tangannya yang memegang tongkat semakin erat, berusaha meredam gemetar di tubuhnya. Nayara menatap wajah para tamu. Puluhan pasang mata tertuju padanya, menunggu apa yang akan ia katakan. Nayara ingin menolak. Ingin berteriak. Ingin mengatakan bahwa ini tidak adil. Namun Nayara tahu, apapun yang dilakukannya hari ini, tidak akan mengubah keputusan Dhirga. Nayara tetaplah boneka dalam permainan keluarga Mahendra. Dan kini, Nayara harus memainkan perannya—meskipun itu berarti menghancurkan dirinya sendiri. "Nona Clarissa, silakan maju ke depan!" Nayara mempertahankan emosi pada nada suaranya agar tetap stabil. Bagaimana pun juga, ia harus berbesar hati menerima takdirnya. Suasana pesta yang tadinya dipenuhi percakapan mendadak senyap. Semua mata tertuju pada tiga sosok yang kini berdiri di hadapan mereka. Clarissa melangkah maju, bergabung di sisi Nayara. Clarissa tersenyum tipis, seolah menganggap semua ini sebagai permainan belaka. Namun, sebelum Nayara sempat melanjutkan perkataannya, tangisnya pecah. Ia berusaha menahan, tetapi air mata itu jatuh begitu saja, mengalir tanpa bisa dikendalikan. Sesak di dadanya semakin menjadi, menenggelamkan semua keberanian yang tadi ia kumpulkan. "Nay! Cepat bicara!" bisik Dhirga dengan nada tajam, penuh ketidaksabaran. Tubuh Nayara bergetar. Kata-kata yang sudah diperintahkan oleh mertuanya kemarin seakan menguap dari ingatannya. Ia ingin bicara, tapi suaranya tertahan di tenggorokan. Jeni yang sedari tadi berdiri di dekatnya, mendekat dan mengelus bahunya seolah memberi dukungan. Namun, di balik gestur lembut itu, terselip niat lain. Jeni berisik di telinga Nayara, "Heh, Babu! Cepat bicara! Jangan diam saja!" Seketika, cubitan mendarat di pinggang Nayara, membuatnya meringis. Sakitnya tidak seberapa dibandingkan luka di hatinya, tetapi penghinaan itu jauh lebih menyakitkan. Seluruh tamu masih menunggu. Ada yang menatapnya dengan iba, tetapi banyak juga yang mulai kehilangan kesabaran. Nayara mengusap air mata yang terus mengalir di pipinya. Napasnya berat. Untuk apa semua ini? Untuk apa ia harus berdiri di sini, di hadapan orang-orang yang hanya ingin menyaksikan kehancurannya? Tangannya yang menggenggam mikrofon semakin erat. Di dalam dadanya, ada sesuatu yang perlahan bangkit—rasa sakit yang bercampur dengan amarah. Nayara menatap ke suaminya dan Clarissa yang berdiri di sampingnya. Nayara menarik napas dalam, berusaha menenangkan debaran di dadanya. Ia mengangkat kembali mikrofon dengan tangan gemetar, menatap tamu-tamu yang menunggu dengan penuh rasa ingin tahu. “Saya.…” Di tengah badai perasaan yang bergejolak, Nayara tetap memaksakan diri untuk tetap berbicara. “Perkenalkan, saya Nayara Prameswari—Istri sah dari Dhirga Mahendra.” Ruangan semakin sunyi. Semua mata tertuju padanya, termasuk mata Dhirga yang kini menatapnya tajam. Dhirga dan keluarganya sudah tidak sabar menunggu Nayara mengumumkan hal penting. “Saya berdiri di sini untuk mengumumkan bahwa … saya merelakan suami saya untuk menikahi Clarissa Anindita.” Beberapa tamu terkejut. Mereka mulai berbisik-bisik, membicarakan keputusan yang dianggap aneh bagi seorang istri sah. Nayara tidak goyah. Ia tetap berdiri tegak, meskipun hatinya sudah remuk. “Saya sadar .…” Suara Nayara mulai bergetar. “Setahun pernikahan kami, saya belum mampu memberikan keturunan untuk keluarga Mahendra. Itulah sebabnya, saya dengan sadar mengizinkan dia menikah lagi." Dhirga yang berdiri di sampingnya hanya mendengarkan tanpa reaksi. Sementara Clarissa melipat tersenyum bahagia. Nayara menundukkan kepalanya sejenak sebelum kembali menguatkan dirinya. “Itu karena… saya tidak akan pernah bisa memiliki anak.” Desas-desus mulai terdengar dari kerumunan tamu. Leonardo Mahendra yang berdiri di dekatnya pun mengernyitkan dahi. Nayara menarik napas panjang, mempersiapkan diri untuk mengungkapkan kenyataan pahit yang selama ini ia pendam sendiri. “Rahim saya… telah diangkat karena tragedi kecelakaan 1 tahun yang lalu” ucapnya lirih, namun cukup jelas untuk didengar semua orang di ruangan itu.Sekali lagi, keterkejutan menyelimuti suasana. Adinda, ibu mertua Nayara, menatapnya dengan ekspresi terkejut dan jijik seolah mendengar sesuatu yang memalukan.“Saya menyadari bahwa keluarga Mahendra membutuhkan keturunan untuk meneruskan garis keturunan mereka,” lanjut Nayara, berusaha menahan isak yang mengancam pecah dari dadanya. “Dan karena saya tidak bisa memberikan itu… saya memilih untuk mengalah.”Air mata akhirnya jatuh, mengalir di pipinya yang pucat. Namun, ia tetap tersenyum. Senyum yang begitu menyakitkan.“Saya ikhlas,” ucapnya pelan, meski hatinya menjerit dalam kepedihan. “Saya ikhlas jika suami saya menikah lagi.”Dhirga tidak bereaksi. Wajahnya tetap datar, seolah semua ini bukanlah sesuatu yang penting baginya.Sebaliknya, Clarissa justru mengangkat dagunya dengan penuh kemenangan.Sementara itu, di dalam hati Nayara, hanya ada kehancuran.Akhir dari kata-kata Nayara menjadi pukulan telak baginya. Mana ada seorang istri sah yang rela dimadu?Setelah melakukan sega
"Iya, Kak... Dia memang temanku waktu kuliah dan juga saat bekerja sebelum aku menikah dengan Mas Dhirga." Suara Nayara terdengar lemah, namun ada sedikit ketegasan di dalamnya. Matanya menatap lurus ke arah Jeni, meskipun ada ketidaknyamanan yang jelas tergambar di wajahnya."Ada apa ini?!" suara Sintia tiba-tiba memecah suasana. Ia muncul dari belakang dengan ekspresi penasaran sekaligus sinis."Ini, Nayara! Masa dia bilang temenan sama Dimas?" Jeni melipat tangannya di dada, nada suaranya penuh keraguan dan sindiran."Dimas Prayoga? Pimpinan Prayoga Group?!" Sintia membelalakkan mata, nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar."Iya, aku sih nggak percaya," Jeni menambahkan, bibirnya menyunggingkan senyum penuh ejekan.Sintia melangkah lebih dekat, memandang Nayara dari atas ke bawah dengan tatapan meremehkan. "Heh, babu! Sekalinya babu ya tetap babu. Gausah mimpi ketinggian!" suaranya dipenuhi cibiran dan penghinaan.Nayara mengepalkan jemarinya, berusaha mengendalik
"Saya juga mau pernikahan kami diselenggarakan di hotel Raffles karena saya akan mengundang teman-teman kerja saya." Tambah Clarissa Leonardo mengangguk pelan. "Kalau masalah itu, silakan kalian bicara. Papah dan mama selalu mendukung." Setelah mendapatkan persetujuan, Dhirga dan Clarissa segera menuju hotel untuk memesan tanggal pernikahan mereka. Semuanya tampak berjalan sesuai rencana, tanpa kendala berarti. Raffles Hotel. Bukan sekadar hotel mewah, tetapi yang termewah di seluruh Jawa Barat. Berdiri megah di jantung Kota Bogor, hotel ini menjadi simbol eksklusivitas, kemewahan, dan prestise. Dengan arsitektur modern yang berpadu dengan nuansa klasik, setiap sudutnya memancarkan keanggunan. Begitu memasuki lobi, kesan mewah langsung terasa. Langit-langit tinggi dengan lampu kristal yang berkilauan, lantai marmer mengilap, serta aroma bunga segar yang memenuhi udara menciptakan suasana yang begitu berkelas. Para tamu yang datang disambut dengan pelayanan terbaik, seolah mer
Dimas menatap jendela lagi, berharap sosok yang ia nantikan muncul dari keramaian di luar. Namun, yang ia lihat hanyalah orang-orang asing berlalu lalang, sibuk dengan kehidupan mereka masing-masing. Tidak ada Nayara.Pukul 14.00. Ia akhirnya menyerah.Dengan enggan, Dimas bangkit dari kursinya, menyambar jaketnya yang terlipat di sandaran kursi. Ia berjalan keluar restoran dengan langkah pelan. Perasaan kecewa masih menggelayuti hatinya. Mungkin ini kesalahan dirinya sendiri, terlalu berharap pada sesuatu yang belum pasti.Di luar, matahari mulai meredup. Dimas menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Pertemuan yang diharapkannya tak terjadi, tapi entah mengapa, ia merasa ini belum berakhir. Ada sesuatu yang membuatnya yakin, Nayara tidak sengaja menghindarinya. Ia hanya perlu mencari tahu alasannya.Di kamar kecilnya, Nayara terbaring diam. Cahaya redup dari jendela yang setengah terbuka membuat bayangan di dinding tampak bergerak pelan. Matanya menatap langit-lang
Tok! Tok!“Nay, Non Jeni sudah telepon dari tadi. Minta saya untuk membawa kamu pulang sekarang,” suara pelayan masuk ke ruangan, memecah keheningan yang menyelimuti ruang perawatan.“Iya... sebentar, lima menit lagi,” jawab Nayara pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh isak yang masih tertahan.“Baik, saya tunggu di depan,” ujar pelayan itu sopan, lalu menutup pintu dan kembali membiarkan Nayara berdua dengan ibunya.Nayara menggenggam tangan sang ibu yang masih terbaring koma, kulitnya yang dingin membuat hatinya terasa perih.“Ibu... aku pulang dulu ya,” ucapnya serak. “Aku harap ibu cepat sadar, agar kita nggak terus bergantung pada keluarga Mahendra.”Ia mengusap air matanya dan menunduk dalam-dalam. Hatinya berat meninggalkan satu-satunya sosok yang membuatnya kuat. Tapi hidup harus terus berjalan, meski langkahnya tertatih-tatih.Mobil pelayan keluarga Mahendra kembali mengantarkan Nayara ke rumah megah itu. Namun, saat mobil tiba di halaman, terlihat mobil mewah lain juga baru
"Pelayan!" teriak Jeni memanggil."Iya, Non," pelayan berlari menghampiri dengan wajah tegang, napasnya memburu karena tergesa."Buatkan Clarissa minum. Cepat!" perintah Jeni tajam, ekspresinya penuh ketidaksabaran dan kekesalan."Baik, Non." Pelayan itu melirik ke arah Nayara yang masih sibuk memunguti pecahan beling dengan tangan gemetar. "Nay, mau saya bantuin?" bisiknya lirih, penuh simpati."Gausah bantu-bantu Nayara! Kamu urusin kerjaanmu saja!" sahut Jeni dengan nada tinggi."Baik, Non." Pelayan itu menunduk dan segera berlari ke dapur untuk membuatkan minuman sesuai perintah.Sementara itu, Nayara tampak kesulitan untuk bangkit. Tangannya yang terluka terkena pecahan beling membuatnya meringis menahan sakit. Luka kecil di telapak tangannya mengeluarkan darah, namun ia tetap berusaha berdiri. Kakinya sempat terpeleset oleh air yang belum sempat dibersihkan, membuatnya jatuh kembali."Akh..." erangnya pelan.Dengan sisa tenaga dan napas yang tertahan, Nayara bangkit lagi. Ia men
“Paman bisa saja,” ujar Dhirga sambil tersenyum tipis. “Ya sudah, aku pergi dulu ya, Paman”“Ya sudah, pergilah,” sahut sang paman sambil melambaikan tangan pelan.Tanpa membuang waktu, Dhirga segera bergegas meninggalkan Hotel Raffles. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, seolah ada sesuatu yang sangat mendesak menunggu di tujuan.Setibanya di depan gerbang kediaman keluarga Mahendra, seorang satpam menghampirinya dan berkata dengan sopan, “Permisi, Bapak mau bertemu siapa? Kebetulan rumah sedang kosong, semua anggota keluarga Mahendra sedang mengadakan pesta di Hotel Raffles.”Dimas turun dari mobilnya dengan tenang, menyembunyikan kegugupan yang sebenarnya mulai merayap di dadanya. “Oh, saya memang tadi dari Hotel Raffles. Saya diminta Pak Dhirga untuk datang ke sini dan bertemu dengan Nona Nayara.”Satpam itu sempat tampak ragu. Namun setelah mendengar nama Dhirga disebut, ia mengangguk pelan. “Baik, silakan masuk, Pak. Saya panggilkan Non Nayara.”Tanpa menunda, satpam
"Mas, aku bisa jelasin!" seru Nayara sambil spontan melepaskan genggaman tangan Dimas. Tangannya bergerak cepat mengusap pipi yang masih terasa linangan air mata."Masuk, Nay!" bentak Dhirga dengan nada membara."Mas..." Nayara menatap memohon, matanya berkaca-kaca lagi, berharap setidaknya ada sedikit ruang untuk mendengar."Aku bilang masuk!" Dhirga membentak lebih keras, membuat Nayara terkejut dan akhirnya melangkah masuk ke rumah dengan langkah pelan dan tubuh gemetar.Dhirga kini menatap Dimas tajam, matanya menyala seperti bara api. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal seolah menahan gejolak yang siap meledak.“Dimas, saya tidak suka Anda mendekati istri saya! Walaupun saat ini Anda bagian dari keluarga besar ini, Anda tidak punya hak mencampuri urusan rumah tangga saya. Termasuk Nayara!” suaranya meninggi, sorot matanya menusuk, napasnya memburu menahan amarah.“Saya minta Anda pergi sekarang juga!”Dimas tidak langsung mundur. Ia menatap Dhirga dengan tatapan tegas, m
Plak! Plak!"Aduh!"Nayara menjerit pelan, tangisnya pecah saat dua tamparan keras mendarat di pipinya. Tubuhnya terhuyung, namun ia tetap mencoba duduk dengan susah payah. Wajahnya kini memerah dan basah oleh air mata. Dhirga berdiri di hadapannya, matanya menyala penuh amarah, tak peduli dengan kondisi Nayara yang baru saja pulih dari rumah sakit."Lihat ini, Nay!" bentak Dhirga.Ia mengacungkan ponselnya, memperlihatkan sederet foto dan video. Dalam gambar itu, terlihat Nayara dan Dimas duduk berdampingan di sebuah ruangan rumah sakit, tampak akrab. Lalu video menyusul, suara Dimas terdengar jelas, mengungkapkan sesuatu yang membuat Nayara terperangah."Tapi aku nggak tahu, Mas... Aku beneran nggak tahu apa-apa," Nayara mencoba menjelaskan, suaranya bergetar diselingi isak tangis."Nggak tahu?! Kamu pikir aku bodoh? Seharusnya kamu jauhin dia! Mau taruh di mana harga diri aku sebagai suamimu, hah?!"Plak!Tamparan ketiga mendarat. Kali ini lebih keras. Nayara terjatuh lagi, tubuhny
Di balik kaca mobil, terlihat Dimas duduk di kursi kemudi, dan di sampingnya Nayara dengan wajah letih. Dhirga yang melihat itu langsung menghampiri mereka dengan langkah lebar, namun nadanya tetap ia jaga."Nay, pulang sama aku sekarang," katanya pelan tapi tegas, suaranya dipaksa tenang demi menutupi amarah yang sedang membara. Ia masih mengingat pesan papanya agar tak gegabah.Dimas segera turun dari mobil, lalu membukakan pintu penumpang. Nayara pun turun perlahan dengan tongkat putih di tangannya. Hati Dhirga terasa disayat melihat perempuan yang masih sah menjadi istrinya itu bersandar pada pria lain.Namun, ia menggertakkan gigi dan menahan emosinya."Terima kasih, Dim," ucap Nayara sembari tersenyum ke arah Dimas.Dhirga langsung menggenggam tas Nayara dan menggandeng tangan istrinya dengan kasar. Cengkeramannya begitu kuat hingga Nayara mengernyit kesakitan."Mas, pelan-pelan... sakit," lirih Nayara mencoba melepas genggaman."Jangan banyak omong! Cepat masuk ke mobil!" bisik
Matanya membelalak. Nafasnya terxekat. Clarissa berdiri terpaku di balik celah pintu yang terbuka sedikit, menyaksikan adegan yang baginya lebih manis dari balas dendam itu sendiri—Dimas sedang duduk di sisi ranjang, jemarinya membelai rambut Nayara yang tertidur lelap."Nggak salah lagi... Ini yang bikin hubungan Dhirga dan Dimas memanas belakangan ini," bisik Clarissa, senyumnya merekah penuh kemenangan.Ia segera mengeluarkan ponselnya. Jepret. Satu foto penuh makna tersimpan. Tak puas, ia lanjutkan dengan merekam video saat Dimas mulai berbicara dengan suara pelan namun penuh emosi."Nay... aku itu sayang banget sama kamu," ucap Dimas, seolah Nayara bisa mendengarnya dalam tidurnya yang tenang. Suaranya gemetar, matanya berkaca-kaca."Sejak zaman kuliah aku sudah tertarik sama kamu. Tapi kenapa... kenapa kamu malah pilih laki-laki seperti Dhirga?" Ia menarik nafas panjang, seakan menyembunyikan luka yang telah lama terpendam. "Tapi nggak apa-apa, Nay. Mulai sekarang sampai kapanpu
Di tempat berbeda, Clarissa duduk di samping Dhirga yang masih terlelap. Matanya menatap kosong, pikirannya melayang entah ke mana. Perlahan ia berdiri, turun dari ranjang, dan berjalan keluar kamar untuk mengambil minum. Namun, langkahnya terhenti di depan kamar Dimas di Villa itu.Pintu kamar itu sedikit terbuka. Clarissa mengintip—kosong."Dimas kemana ya?" gumamnya pelan, alisnya berkerut penuh curiga.Saat ia berbalik, langkahnya bertemu dengan Pak Salman yang sedang menyusuri lorong villa."Ayah, Dimas kemana?" tanyanya, mencoba terdengar biasa saja.Pak Salman menggeleng. "Belum pulang dari tadi sejak nganter Nayara ke rumah sakit."Clarissa terdiam sejenak. "Lho, tadi udah pulang kok, Yah. Tadi cuman aku dan Dhirga yang ada di sana"Pak Salman mengangkat bahu. "Tapi di sini belum kelihatan sama sekali."Kecurigaan Clarissa menguat. Ada sesuatu yang tidak beres. Tatapannya mengeras. Ia yakin Dimas masih berada di rumah sakit—dan kemungkinan besar, masih bersama Nayara.Tanpa pi
Dimas Prayoga.Ia tak benar-benar kembali ke vila. Hanya sebentar ia pergi, mencari butik terdekat untuk mengganti bajunya yang basah kuyup. Udara dingin mulai menusuk kulit, tapi pikirannya lebih dingin lagi—mengingat keadaan Nayara yang belum stabil.Setelah berganti pakaian, ia kembali ke rumah sakit. Langkahnya terhenti di depan meja perawat."Sus, apakah pasien atas nama Nayara sudah bisa dijenguk?" tanyanya sopan."Sudah, Pak. Tapi mohon maaf, Bapak ini keluarganya?" suster menatapnya penuh selidik."Saya saudaranya, Sus. Tadi saya yang mengantar Nayara ke sini. Suaminya meminta saya untuk menjaganya sementara," ucap Dimas tanpa ragu, menyisipkan kebohongan kecil demi bisa berada di sisi Nayara.Suster mengangguk, tampak puas dengan jawabannya. "Baik, silakan masuk. Pasien sudah sadar."Dimas mendorong pelan pintu ruang UGD. Hatinya tercekat melihat Nayara terbaring lemah. Wajahnya pucat, matanya sembab. Tangannya tergolek dengan infus yang menancap."Nay... kamu habis nangis, y
"Pasien belum siuman. Kemungkinan karena terlalu lama tenggelam di dalam air. Silakan urus administrasinya terlebih dahulu, Pak," ucap dokter dengan nada profesional namun tenang."Tolong berikan penanganan terbaik untuk Nayara, ya, Dok. Semua biayanya saya yang tanggung," kata Dimas, tegas namun penuh kepanikan yang ditahan."Baik, Pak. Kami akan lakukan yang terbaik," dokter membalas sebelum kembali masuk ke dalam ruang perawatan.Dimas kemudian berjalan menuju bagian administrasi rumah sakit. Meski tubuhnya masih basah dan dingin, ia tetap fokus mengurus semua biaya pengobatan Nayara tanpa sedikit pun mengeluh.Namun tiba-tiba..."Dimas." Sebuah suara familiar terdengar dari belakang. Dimas menoleh perlahan. Di sana berdiri Dhirga Mahendra, wajahnya tampak menahan emosi yang bercampur canggung."Aku... aku minta maaf, ya," ucap Dhirga dengan nada berat, jelas terasa dipenuhi keterpaksaan.Dimas hanya mengangguk kecil. "Iya, nggak apa-apa.""Bagaimana keadaan Nayara sekarang?" tanya
Byur!Suara air kolam memecah keheningan malam. Sosok lelaki melompat tanpa pikir panjang, menyusul tubuh Nayara yang sudah hampir tenggelam. Dimas berenang secepat mungkin, tangannya meraih tubuh Nayara yang sudah lemas. Dengan tenaga penuh, ia menyeret Nayara ke tepi kolam."Cepat! Tolong angkat!" seru Dimas.Paman Dimas, yang sudah bersiaga, segera membantu mengangkat tubuh Nayara ke lantai tepi kolam. Nayara tampak tak sadarkan diri, wajahnya pucat, napasnya tak terdengar."Nayara! Nay! Dengar aku!" Dimas langsung melakukan pertolongan pertama. Ia menepuk-nepuk pipinya pelan, namun Nayara tetap tak merespons. Dengan tangan gemetar, ia memiringkan tubuh Nayara, memompa dadanya perlahan—satu, dua, tiga kali. Tak ada respons.Dimas menunduk, melakukan napas buatan. Satu tiupan. Dua tiupan. Tangannya kembali menekan dada Nayara, ritmis namun panik.Saat itu, Dhirga melihat apa yang dilakukan Dimas. Matanya membelalak, dadanya naik turun penuh amarah. Tanpa aba-aba, ia menghampiri dan.
“Paman apa-apaan sih...” Dimas tersipu malu, pipinya bersemu merah, seakan kata-kata pamannya tadi membongkar sesuatu yang selama ini ingin ia simpan rapat-rapat. “Baiklah, Nay, Dim, Paman mau cek dulu persiapan makan malam untuk nanti” ujar Pak Salman dengan senyum hangat lalu meninggalkan mereka berdua di taman. “Baik, Paman,” jawab Dimas sopan. Nayara menoleh ke Dimas, masih menyimpan rasa penasaran. “Maksud Pak Salman tadi apa, Dim? Tentang... menunggu itu?” Dimas terdiam sejenak, matanya berusaha menghindar. “Ah, itu cuma gurauan Paman. Nggak usah dipikirin, Nay,” jawabnya sambil tertawa kecil, meski dalam hatinya bergemuruh hebat. Nayara hanya mengangguk pelan, percaya. Tapi di dadanya muncul rasa yang tak bisa dijelaskan. Malam pun perlahan menyelimuti villa. Di tepi kolam renang, suasana berubah semarak. Para pelayan mondar-mandir menata meja panjang yang dihiasi lilin aroma terapi dan kelopak bunga mawar. Taplak putih gading dibentangkan rapi, dan piring-piring por
Tok tok tok..."Nay," suara Dimas terdengar lembut dari balik pintu, diiringi ketukan pelan.Nayara perlahan bangkit dari duduknya di pinggir ranjang, lalu membuka pintu. "Ada apa, Dim?"Dimas tersenyum kecil. "Kamu lagi sibuk nggak?""Enggak kok. Kenapa?""Biar nggak bosen di kamar, kita lihat-lihat sekitar yuk. Sekalian nikmatin udara dingin Puncak."Ajakan itu membuat Nayara terdiam sejenak. Kata-kata Dhirga seakan kembali terngiang di kepalanya. "Jangan dekat-dekat sama Dimas!" Ia ingin ikut, jujur saja, tetapi hatinya dicekam rasa bersalah. Akhirnya, ia menggeleng pelan."Enggak, Dim. Makasih. Rasanya aku pengin istirahat aja."Raut wajah Dimas langsung berubah. Senyumnya memudar, sorot matanya redup, bibirnya sedikit menegang seperti menahan kecewa. Tapi ia tak berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk singkat, lalu menutup pintu dengan lembut.Nayara kembali duduk di kasur, memandangi langit-langit kamar yang artistik, tirai jendela yang melambai tertiup angin, dan wangi kayu manis