Share

BAB 12

Author: Dana Jaryanto
last update Last Updated: 2025-04-12 14:19:28

Tok! Tok!

“Nay, Non Jeni sudah telepon dari tadi. Minta saya untuk membawa kamu pulang sekarang,” suara pelayan masuk ke ruangan, memecah keheningan yang menyelimuti ruang perawatan.

“Iya... sebentar, lima menit lagi,” jawab Nayara pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh isak yang masih tertahan.

“Baik, saya tunggu di depan,” ujar pelayan itu sopan, lalu menutup pintu dan kembali membiarkan Nayara berdua dengan ibunya.

Nayara menggenggam tangan sang ibu yang masih terbaring koma, kulitnya yang dingin membuat hatinya terasa perih.

“Ibu... aku pulang dulu ya,” ucapnya serak. “Aku harap ibu cepat sadar, agar kita nggak terus bergantung pada keluarga Mahendra.”

Ia mengusap air matanya dan menunduk dalam-dalam. Hatinya berat meninggalkan satu-satunya sosok yang membuatnya kuat. Tapi hidup harus terus berjalan, meski langkahnya tertatih-tatih.

Mobil pelayan keluarga Mahendra kembali mengantarkan Nayara ke rumah megah itu. Namun, saat mobil tiba di halaman, terlihat mobil mewah lain juga baru
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 13

    "Pelayan!" teriak Jeni memanggil."Iya, Non," pelayan berlari menghampiri dengan wajah tegang, napasnya memburu karena tergesa."Buatkan Clarissa minum. Cepat!" perintah Jeni tajam, ekspresinya penuh ketidaksabaran dan kekesalan."Baik, Non." Pelayan itu melirik ke arah Nayara yang masih sibuk memunguti pecahan beling dengan tangan gemetar. "Nay, mau saya bantuin?" bisiknya lirih, penuh simpati."Gausah bantu-bantu Nayara! Kamu urusin kerjaanmu saja!" sahut Jeni dengan nada tinggi."Baik, Non." Pelayan itu menunduk dan segera berlari ke dapur untuk membuatkan minuman sesuai perintah.Sementara itu, Nayara tampak kesulitan untuk bangkit. Tangannya yang terluka terkena pecahan beling membuatnya meringis menahan sakit. Luka kecil di telapak tangannya mengeluarkan darah, namun ia tetap berusaha berdiri. Kakinya sempat terpeleset oleh air yang belum sempat dibersihkan, membuatnya jatuh kembali."Akh..." erangnya pelan.Dengan sisa tenaga dan napas yang tertahan, Nayara bangkit lagi. Ia men

    Last Updated : 2025-04-12
  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 14

    “Paman bisa saja,” ujar Dhirga sambil tersenyum tipis. “Ya sudah, aku pergi dulu ya, Paman”“Ya sudah, pergilah,” sahut sang paman sambil melambaikan tangan pelan.Tanpa membuang waktu, Dhirga segera bergegas meninggalkan Hotel Raffles. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, seolah ada sesuatu yang sangat mendesak menunggu di tujuan.Setibanya di depan gerbang kediaman keluarga Mahendra, seorang satpam menghampirinya dan berkata dengan sopan, “Permisi, Bapak mau bertemu siapa? Kebetulan rumah sedang kosong, semua anggota keluarga Mahendra sedang mengadakan pesta di Hotel Raffles.”Dimas turun dari mobilnya dengan tenang, menyembunyikan kegugupan yang sebenarnya mulai merayap di dadanya. “Oh, saya memang tadi dari Hotel Raffles. Saya diminta Pak Dhirga untuk datang ke sini dan bertemu dengan Nona Nayara.”Satpam itu sempat tampak ragu. Namun setelah mendengar nama Dhirga disebut, ia mengangguk pelan. “Baik, silakan masuk, Pak. Saya panggilkan Non Nayara.”Tanpa menunda, satpam

    Last Updated : 2025-04-12
  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 15

    "Mas, aku bisa jelasin!" seru Nayara sambil spontan melepaskan genggaman tangan Dimas. Tangannya bergerak cepat mengusap pipi yang masih terasa linangan air mata."Masuk, Nay!" bentak Dhirga dengan nada membara."Mas..." Nayara menatap memohon, matanya berkaca-kaca lagi, berharap setidaknya ada sedikit ruang untuk mendengar."Aku bilang masuk!" Dhirga membentak lebih keras, membuat Nayara terkejut dan akhirnya melangkah masuk ke rumah dengan langkah pelan dan tubuh gemetar.Dhirga kini menatap Dimas tajam, matanya menyala seperti bara api. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal seolah menahan gejolak yang siap meledak.“Dimas, saya tidak suka Anda mendekati istri saya! Walaupun saat ini Anda bagian dari keluarga besar ini, Anda tidak punya hak mencampuri urusan rumah tangga saya. Termasuk Nayara!” suaranya meninggi, sorot matanya menusuk, napasnya memburu menahan amarah.“Saya minta Anda pergi sekarang juga!”Dimas tidak langsung mundur. Ia menatap Dhirga dengan tatapan tegas, m

    Last Updated : 2025-04-12
  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 16

    "Dimas itu teman aku, Mas... waktu zaman kuliah. Dan aku sempat satu kantor dengannya saat jadi office girl di perusahaan Prayoga Group, itu sebelum aku menikah denganmu." Terang Nayara dengan suara bergetar, matanya menatap Dhirga yang masih berdiri di ambang pintu."Terus kenapa kamu bisa berduaan, Nay!? Di rumah ini lagi!" Nada suara Dhirga meninggi. Rahangnya mengeras, matanya tajam menatap Nayara. Ia bukan marah karena cemburu, bukan karena cinta—tetapi karena harga dirinya sebagai suami dipertaruhkan di depan laki-laki lain.Dhirga tahu, sejak awal pernikahan mereka bukan karena cinta. Hanya janji kepada almarhum ayah Nayara yang mengikatnya. Namun, martabatnya sebagai pria dan kepala keluarga Mahendra tak bisa diinjak begitu saja."Aku juga nggak tahu, Mas. Tiba-tiba dia datang ke rumah ini," jawab Nayara pelan, namun dengan nada penuh tekanan. Ia tahu posisinya lemah, tapi ia juga tahu dirinya tak salah.Dhirga mendekat satu langkah, wajahnya keras namun tenang."Ingat, ya, Na

    Last Updated : 2025-04-13
  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 17

    “Pagi, sayang,” suara lembut Clarissa memecah keheningan kamar dengan senyum manis yang menyebalkan.Dhirga membuka matanya perlahan, ekspresinya masih setengah sadar. Ia menguap kecil dan meregangkan tubuh sebelum menjawab pelan, “Iya, pagi juga…”“Kemeja dan jasnya sudah aku siapkan, sekarang kamu mandi dulu, ya,” ucap Clarissa sambil membelai lembut lengan Dhirga.Sementara itu, di dapur, Nayara tengah sibuk menyiapkan sarapan. Walau kondisinya tak begitu kuat, ia tak pernah melewatkan rutinitas ini. Untuk suaminya, ia ingin selalu menjadi yang pertama menyentuh pagi harinya, walaupun suaminya sealu bersikap arogan kepadanya.Dengan tangan gemetar, ia menata hidangan satu per satu di atas meja makan. Nasi gurih pandan dengan taburan kacang mete dan bawang goreng, omelet isi smoked beef dan paprika merah, roti sourdough hangat dengan mentega Eropa, salad buah segar dengan dressing madu lemon, serta jus jeruk asli yang baru diperas. Meja makan itu terlihat seperti hidangan hotel bint

    Last Updated : 2025-04-13
  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 18

    “Cukup! Cukup!” teriak Adinda, membanting sendok ke meja hingga membuat semua orang terdiam.“Dhirga, cepat pergi! Jangan dengarkan ocehan Nayara!” lanjutnya tajam.“Iya, sayang. Ayo, aku antar kamu ke depan,” timpal Clarissa manja sambil meraih tangan Dhirga dan menggenggamnya erat—seolah ingin menandai siapa yang layak di samping Dhirga.“Pelayan!” panggil Adinda dengan nada tinggi.“Iya, Nyonya,” jawab seorang pelayan yang langsung berlari mendekat.“Bereskan semua makanan ini. Buang ke tong sampah. Jangan sisakan satu pun!”“Baik, Nyonya.”Nayara yang masih berdiri dengan wajah tertunduk, hanya bisa menarik napas dalam diam. Ia kembali ke kamarnya sambil memeluk dirinya sendiri, seolah ingin meredam amarah dan kesedihannya yang bercampur jadi satu.Sementara itu, Clarissa menggandeng Dhirga ke depan rumah. Matanya berbinar, senyumnya lebar seperti pemenang perang.“Sayang, bulan madu kita kapan?” tanya Clarissa manja, menyandarkan kepalanya di bahu Dhirga saat mereka berjalan menu

    Last Updated : 2025-04-13
  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 19

    "Iya, Kak. Kayaknya pasti ada yang penting... atau bahkan mungkin masalah," ujar Clarissa pelan, seolah sedang menerka-nerka sesuatu."Masalah apa maksud kamu?" tanya Jeni, alisnya naik penasaran."Mungkin... Nayara""Ah, kalau dia sih adik ipar miskin yang selalu bawa masalah!" potong Jeni sambil tertawa keras. Matanya menyipit, bibirnya sedikit terangkat sinis.Setibanya di rumah keluarga Mahendra, wajah Jeni dan Sintia masih berseri-seri. Tawa mereka memenuhi udara, mencairkan suasana sore itu."Kalian habis dari mana?" tanya Adinda tiba-tiba saat melihat mereka masuk ke ruang tamu."Habis belanja dong, Ma! Ke butik Hermès. Hari ini kita ditraktir Clarissa," sahut Jeni bangga, sambil memamerkan tas barunya dengan semangat seperti anak kecil yang baru mendapat mainan mahal."Wah, belanja kok nggak ajak Mama?" Adinda bersungut manja."Tenang, Ma. Untuk Mama justru yang paling spesial," potong Clarissa dengan senyum liciknya yang tersamarkan oleh nada lembut. Saat Jeni dan Sintia sibu

    Last Updated : 2025-04-14
  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 20

    "Besok pagi ikut denganku ke Puncak, ada acara di villa," kata Dhirga dingin tanpa menatap Nayara."Iya, Mas," jawab Nayara pelan, menunduk. Ia pura-pura tidak terkejut, padahal tadi, dari balik tembok koridor, ia sudah mendengar semua percakapan keluarga Mahendra. Termasuk rencana Leonardo dan kekhawatiran Dhirga akan pertemuan antara dirinya dan Dimas."Dan ingat, Nay! Besok akan ada Dimas. Jangan berani macam-macam, karena aku akan mengawasimu setiap saat," lanjut Dhirga dengan tatapan tajam, nyaris seperti ancaman.Nayara mengangguk patuh. Dengan hati yang berat, ia mulai mengemas beberapa potong pakaian sederhana ke dalam tas jinjing miliknya. Sebenarnya ia enggan ikut, tapi ia tahu perintah Dhirga tak bisa ditawar, apalagi setelah tahu akan ada Dimas di sana.Keesokan paginya, halaman rumah Mahendra sudah ramai oleh anggota keluarga yang bersiap berangkat. Dua mobil besar menunggu di depan. Namun satu sosok belum terlihat."Dhirga, istri pertamamu mana?" tanya Sintia, menoleh ke

    Last Updated : 2025-04-14

Latest chapter

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 21

    Tok tok tok..."Nay," suara Dimas terdengar lembut dari balik pintu, diiringi ketukan pelan.Nayara perlahan bangkit dari duduknya di pinggir ranjang, lalu membuka pintu. "Ada apa, Dim?"Dimas tersenyum kecil. "Kamu lagi sibuk nggak?""Enggak kok. Kenapa?""Biar nggak bosen di kamar, kita lihat-lihat sekitar yuk. Sekalian nikmatin udara dingin Puncak."Ajakan itu membuat Nayara terdiam sejenak. Kata-kata Dhirga seakan kembali terngiang di kepalanya. "Jangan dekat-dekat sama Dimas!" Ia ingin ikut, jujur saja, tetapi hatinya dicekam rasa bersalah. Akhirnya, ia menggeleng pelan."Enggak, Dim. Makasih. Rasanya aku pengin istirahat aja."Raut wajah Dimas langsung berubah. Senyumnya memudar, sorot matanya redup, bibirnya sedikit menegang seperti menahan kecewa. Tapi ia tak berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk singkat, lalu menutup pintu dengan lembut.Nayara kembali duduk di kasur, memandangi langit-langit kamar yang artistik, tirai jendela yang melambai tertiup angin, dan wangi kayu manis

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 20

    "Besok pagi ikut denganku ke Puncak, ada acara di villa," kata Dhirga dingin tanpa menatap Nayara."Iya, Mas," jawab Nayara pelan, menunduk. Ia pura-pura tidak terkejut, padahal tadi, dari balik tembok koridor, ia sudah mendengar semua percakapan keluarga Mahendra. Termasuk rencana Leonardo dan kekhawatiran Dhirga akan pertemuan antara dirinya dan Dimas."Dan ingat, Nay! Besok akan ada Dimas. Jangan berani macam-macam, karena aku akan mengawasimu setiap saat," lanjut Dhirga dengan tatapan tajam, nyaris seperti ancaman.Nayara mengangguk patuh. Dengan hati yang berat, ia mulai mengemas beberapa potong pakaian sederhana ke dalam tas jinjing miliknya. Sebenarnya ia enggan ikut, tapi ia tahu perintah Dhirga tak bisa ditawar, apalagi setelah tahu akan ada Dimas di sana.Keesokan paginya, halaman rumah Mahendra sudah ramai oleh anggota keluarga yang bersiap berangkat. Dua mobil besar menunggu di depan. Namun satu sosok belum terlihat."Dhirga, istri pertamamu mana?" tanya Sintia, menoleh ke

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 19

    "Iya, Kak. Kayaknya pasti ada yang penting... atau bahkan mungkin masalah," ujar Clarissa pelan, seolah sedang menerka-nerka sesuatu."Masalah apa maksud kamu?" tanya Jeni, alisnya naik penasaran."Mungkin... Nayara""Ah, kalau dia sih adik ipar miskin yang selalu bawa masalah!" potong Jeni sambil tertawa keras. Matanya menyipit, bibirnya sedikit terangkat sinis.Setibanya di rumah keluarga Mahendra, wajah Jeni dan Sintia masih berseri-seri. Tawa mereka memenuhi udara, mencairkan suasana sore itu."Kalian habis dari mana?" tanya Adinda tiba-tiba saat melihat mereka masuk ke ruang tamu."Habis belanja dong, Ma! Ke butik Hermès. Hari ini kita ditraktir Clarissa," sahut Jeni bangga, sambil memamerkan tas barunya dengan semangat seperti anak kecil yang baru mendapat mainan mahal."Wah, belanja kok nggak ajak Mama?" Adinda bersungut manja."Tenang, Ma. Untuk Mama justru yang paling spesial," potong Clarissa dengan senyum liciknya yang tersamarkan oleh nada lembut. Saat Jeni dan Sintia sibu

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 18

    “Cukup! Cukup!” teriak Adinda, membanting sendok ke meja hingga membuat semua orang terdiam.“Dhirga, cepat pergi! Jangan dengarkan ocehan Nayara!” lanjutnya tajam.“Iya, sayang. Ayo, aku antar kamu ke depan,” timpal Clarissa manja sambil meraih tangan Dhirga dan menggenggamnya erat—seolah ingin menandai siapa yang layak di samping Dhirga.“Pelayan!” panggil Adinda dengan nada tinggi.“Iya, Nyonya,” jawab seorang pelayan yang langsung berlari mendekat.“Bereskan semua makanan ini. Buang ke tong sampah. Jangan sisakan satu pun!”“Baik, Nyonya.”Nayara yang masih berdiri dengan wajah tertunduk, hanya bisa menarik napas dalam diam. Ia kembali ke kamarnya sambil memeluk dirinya sendiri, seolah ingin meredam amarah dan kesedihannya yang bercampur jadi satu.Sementara itu, Clarissa menggandeng Dhirga ke depan rumah. Matanya berbinar, senyumnya lebar seperti pemenang perang.“Sayang, bulan madu kita kapan?” tanya Clarissa manja, menyandarkan kepalanya di bahu Dhirga saat mereka berjalan menu

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 17

    “Pagi, sayang,” suara lembut Clarissa memecah keheningan kamar dengan senyum manis yang menyebalkan.Dhirga membuka matanya perlahan, ekspresinya masih setengah sadar. Ia menguap kecil dan meregangkan tubuh sebelum menjawab pelan, “Iya, pagi juga…”“Kemeja dan jasnya sudah aku siapkan, sekarang kamu mandi dulu, ya,” ucap Clarissa sambil membelai lembut lengan Dhirga.Sementara itu, di dapur, Nayara tengah sibuk menyiapkan sarapan. Walau kondisinya tak begitu kuat, ia tak pernah melewatkan rutinitas ini. Untuk suaminya, ia ingin selalu menjadi yang pertama menyentuh pagi harinya, walaupun suaminya sealu bersikap arogan kepadanya.Dengan tangan gemetar, ia menata hidangan satu per satu di atas meja makan. Nasi gurih pandan dengan taburan kacang mete dan bawang goreng, omelet isi smoked beef dan paprika merah, roti sourdough hangat dengan mentega Eropa, salad buah segar dengan dressing madu lemon, serta jus jeruk asli yang baru diperas. Meja makan itu terlihat seperti hidangan hotel bint

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 16

    "Dimas itu teman aku, Mas... waktu zaman kuliah. Dan aku sempat satu kantor dengannya saat jadi office girl di perusahaan Prayoga Group, itu sebelum aku menikah denganmu." Terang Nayara dengan suara bergetar, matanya menatap Dhirga yang masih berdiri di ambang pintu."Terus kenapa kamu bisa berduaan, Nay!? Di rumah ini lagi!" Nada suara Dhirga meninggi. Rahangnya mengeras, matanya tajam menatap Nayara. Ia bukan marah karena cemburu, bukan karena cinta—tetapi karena harga dirinya sebagai suami dipertaruhkan di depan laki-laki lain.Dhirga tahu, sejak awal pernikahan mereka bukan karena cinta. Hanya janji kepada almarhum ayah Nayara yang mengikatnya. Namun, martabatnya sebagai pria dan kepala keluarga Mahendra tak bisa diinjak begitu saja."Aku juga nggak tahu, Mas. Tiba-tiba dia datang ke rumah ini," jawab Nayara pelan, namun dengan nada penuh tekanan. Ia tahu posisinya lemah, tapi ia juga tahu dirinya tak salah.Dhirga mendekat satu langkah, wajahnya keras namun tenang."Ingat, ya, Na

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 15

    "Mas, aku bisa jelasin!" seru Nayara sambil spontan melepaskan genggaman tangan Dimas. Tangannya bergerak cepat mengusap pipi yang masih terasa linangan air mata."Masuk, Nay!" bentak Dhirga dengan nada membara."Mas..." Nayara menatap memohon, matanya berkaca-kaca lagi, berharap setidaknya ada sedikit ruang untuk mendengar."Aku bilang masuk!" Dhirga membentak lebih keras, membuat Nayara terkejut dan akhirnya melangkah masuk ke rumah dengan langkah pelan dan tubuh gemetar.Dhirga kini menatap Dimas tajam, matanya menyala seperti bara api. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal seolah menahan gejolak yang siap meledak.“Dimas, saya tidak suka Anda mendekati istri saya! Walaupun saat ini Anda bagian dari keluarga besar ini, Anda tidak punya hak mencampuri urusan rumah tangga saya. Termasuk Nayara!” suaranya meninggi, sorot matanya menusuk, napasnya memburu menahan amarah.“Saya minta Anda pergi sekarang juga!”Dimas tidak langsung mundur. Ia menatap Dhirga dengan tatapan tegas, m

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 14

    “Paman bisa saja,” ujar Dhirga sambil tersenyum tipis. “Ya sudah, aku pergi dulu ya, Paman”“Ya sudah, pergilah,” sahut sang paman sambil melambaikan tangan pelan.Tanpa membuang waktu, Dhirga segera bergegas meninggalkan Hotel Raffles. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, seolah ada sesuatu yang sangat mendesak menunggu di tujuan.Setibanya di depan gerbang kediaman keluarga Mahendra, seorang satpam menghampirinya dan berkata dengan sopan, “Permisi, Bapak mau bertemu siapa? Kebetulan rumah sedang kosong, semua anggota keluarga Mahendra sedang mengadakan pesta di Hotel Raffles.”Dimas turun dari mobilnya dengan tenang, menyembunyikan kegugupan yang sebenarnya mulai merayap di dadanya. “Oh, saya memang tadi dari Hotel Raffles. Saya diminta Pak Dhirga untuk datang ke sini dan bertemu dengan Nona Nayara.”Satpam itu sempat tampak ragu. Namun setelah mendengar nama Dhirga disebut, ia mengangguk pelan. “Baik, silakan masuk, Pak. Saya panggilkan Non Nayara.”Tanpa menunda, satpam

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 13

    "Pelayan!" teriak Jeni memanggil."Iya, Non," pelayan berlari menghampiri dengan wajah tegang, napasnya memburu karena tergesa."Buatkan Clarissa minum. Cepat!" perintah Jeni tajam, ekspresinya penuh ketidaksabaran dan kekesalan."Baik, Non." Pelayan itu melirik ke arah Nayara yang masih sibuk memunguti pecahan beling dengan tangan gemetar. "Nay, mau saya bantuin?" bisiknya lirih, penuh simpati."Gausah bantu-bantu Nayara! Kamu urusin kerjaanmu saja!" sahut Jeni dengan nada tinggi."Baik, Non." Pelayan itu menunduk dan segera berlari ke dapur untuk membuatkan minuman sesuai perintah.Sementara itu, Nayara tampak kesulitan untuk bangkit. Tangannya yang terluka terkena pecahan beling membuatnya meringis menahan sakit. Luka kecil di telapak tangannya mengeluarkan darah, namun ia tetap berusaha berdiri. Kakinya sempat terpeleset oleh air yang belum sempat dibersihkan, membuatnya jatuh kembali."Akh..." erangnya pelan.Dengan sisa tenaga dan napas yang tertahan, Nayara bangkit lagi. Ia men

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status