"Harga diri, kamu bilang?"
Dhirga meludah ke tanah, ekspresinya penuh penghinaan. Matanya yang tajam menusuk langsung ke arah Nayara, yang berdiri dengan tubuh gemetar. "Harga diri kamu cuma bisa dibayar pakai uang, Nay!" Dhirga mencemooh. "Kamu tahu berapa biaya pengobatan Ibumu? Masih mau bicara soal harga diri sama aku, hah?" "Tapi, Mas—" suara Nayara bergetar, kedua tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. "Cukup, Nay!" bentak Dhirga. "Kalau besok kamu tidak menuruti kemauan keluargaku, aku pastikan nyawa Ibumu terancam!" Ancaman itu bagaikan cambuk yang menghantam jiwanya. Tubuh Nayara membeku. Ia tahu, melawan hanya akan memperburuk keadaan. Malam itu, di taman belakang rumah keluarga Mahendra yang megah, dua hati bertarung dalam kesunyian. Namun, hanya satu yang memegang kendali dan Nayara bukanlah pemenangnya. Keesokan harinya. Hiruk-pikuk memenuhi kediaman keluarga Mahendra. Para pekerja mondar-mandir, menata hidangan mewah di atas meja panjang. Pelayan sibuk menyusun dekorasi. Sementara itu, anggota keluarga Mahendra sudah berdandan rapi, bersiap menyambut para tamu. Di sudut ruangan, Nayara berdiri terpaku di depan cermin kamarnya. Tatapan matanya kosong, menatap bayangannya sendiri—wajah yang selama ini selalu ia hindari. Separuhnya penuh luka bakar. Kulit yang dulunya mulus kini rusak, meninggalkan bekas yang tak hanya di kulitnya, tetapi juga di jiwanya. Gaun putih yang diberikan Dhirga terasa dingin di tubuhnya. Tidak ada kebahagiaan dalam mengenakannya, hanya penderitaan yang semakin dalam. Tanpa mengetuk, pintu kamarnya terbuka kasar. "Heh, cepetan keluar! Tamu sudah datang!" suara Sintia terdengar tajam. Nayara menoleh sekilas, lalu mengangguk pelan. Dengan susah payah, ia meraih tongkatnya dan mulai berjalan keluar kamar. Langkahnya berat, tapi bukan karena fisiknya yang lemah. Ada luka yang lebih dalam dari sekadar tubuhnya—luka yang tidak terlihat oleh mata, namun terasa menyesakkan di dada. Saat Nayara muncul di ruang utama, semua mata langsung tertuju padanya. Bisikan-bisikan mulai terdengar. "Kasihan sekali dia..." "Dia siapa ya? Apa masih ada hubungan darah dengan keluarga Mahendra? Tapi, kenapa cacat seperti itu?" "Lihat, dia bahkan harus pakai tongkat!" Nayara tetap berjalan, meski setiap langkah terasa seperti perjalanan menuju kehancuran. Di tengah pesta yang meriah itu, sepasang mata hitam yang yang tajam menatap Nayara dari kejauhan. Tatapan yang tak sekadar melihat, melainkan mengunci. Seolah mencoba menyelami setiap luka yang kini tertoreh di wajah dan jiwanya. Pria itu adalah Dimas Prayoga, pria yang mengenakan setelan hitam elegan. Ia memperhatikan Nayara dari kejauhan. Di balik senyum tipis Dimas, ada perasaan yang telah dipendamnya selama bertahun-tahun. Dulunya, Nayara dan Dimas hanyalah dua rekan kerja biasa di perusahaan yang kini ia pimpin—Prayoga Group. Namun bagi Dimas, Nayara bukan sekadar teman. Nayara adalah seseorang yang diam-diam ia kagumi sejak masa kuliah. Seorang pria paruh baya mendekati Dimas, menepuk bahunya dengan ringan. "Kau tampak begitu serius, Dimas. Ada yang menarik perhatianmu?" ujar pria itu, yang tak lain adalah pamannya. Dimas tersenyum kecil. "Tidak ada, Paman. Aku hanya menikmati suasana. Pesta saja" Pria itu mengikuti arah pandangan Dimas, lalu tersenyum paham. "Ah, gadis itu... namanya Nayara, bukan? Dulu dia bekerja sebagai office girl di perusahaan kita. Tapi, kok sekarang wajah dan kakinya..." Dimas mengangguk pelan. "Ya, Paman. Aku juga bingung apa yang sudah terjadi dengannya!" Pamannya terdiam sejenak sebelum mengatakan sesuatu. "Kau selalu mematuhi aturan keluarga untuk merintis dari bawah. Aku ingat saat kau hanya seorang karyawan magang di divisi keuangan. Sekarang, kau sudah menjadi penerus Prayoga Group. Tapi tetap saja, aku bisa melihat bahwa ada hal lain yang masih kau perjuangkan." Dimas menghela napas pelan, matanya tak lepas dari sosok Nayara yang kini sedang berjalan dengan bantuan tongkatnya. "Dia tidak tahu statusku, Paman. Tidak tahu bahwa selama ini aku...." Dimas terlihat ragu-ragu. Ia membiarkan kalimatnya menggantung begitu saja. Pamannya menepuk bahunya sekali. "Kalau kamu sungguh menginginkan Nayara, bicaralah! Jangan biarkan waktu menghapus kesempatan yang mungkin hanya datang sekali, Dimas!" Dimas tidak merespon. Bukan tidak ingin mendekati Nayara. Dimas bahkan sudah mencari Nayara dan mempertimbangkan langkah selanjutnya. Dimas tahu, malam ini mungkin adalah awal dari segalanya atau justru akhir dari harapannya. Di saat yang sama, lagi-lagi Nayara mendapatkan perlakuan keji dari salah satu kakak iparnya. "Heh, Babu! Berdiri yang tegap! Jangan bikin malu keluarga!" Suara Jeni terdengar tajam seperti tatapannya saat berbicara dengan Nayara. Nayara menunduk, menahan napas. Hinaan itu sudah biasa. Tapi tetap saja, sakitnya tak pernah berkurang. Suasana berubah seketika ketika seorang wanita masuk dari pintu utama. Clarissa Anindita. Gaun berwarna merah marun yang dikenakannya begitu mewah, berhias detail kristal yang berkilauan setiap kali terkena cahaya. Potongan gaun yang pas menonjolkan tubuhnya yang sempurna. Rambut panjangnya ditata rapi, wajahnya dihiasi riasan yang sempurna. Di sampingnya, seorang pria berdiri dengan gagah. Dhirga Mahendra. Setelan jas hitam membalut tubuhnya dengan sempurna, menambah pesona pria itu. Ia tampak berwibawa dan yang lebih menyakitkan, sama sekali tidak menoleh ke arah Nayara. Para tamu kini hanya tertuju pada Clarissa dan Dhirga. Keduanya benar-benar pasangan yang serasi. Sementara Nayara?Nayara hanyalah seorang mempelai wanita yang tidak pernah diinginkan di keluarga Mahendra. Meskipun pesta ini adalah pesta pernikahan Nayara dan Dhirga yang pertama, tapi ironisnya tokoh utama dalam pesta ini bukanlah Nayara, melainkan calon madunya! Di sudut ruangan, keluarga Mahendra sibuk menjamu kolega bisnis mereka, seolah pesta ini bukanlah tentang ulang tahun pernikahan putranya, melainkan hanya strategi perusahaan. Lalu, momen itu tiba. Pembawa acara melangkah ke tengah panggung dengan penuh percaya diri, mikrofon di tangannya menggema di seluruh ruangan. “Hadirin yang terhormat, hari ini kita berkumpul untuk merayakan momen spesial ulang tahun pernikahan Dhirga Mahendra yang pertama. Kami mengundang Tuan Leonardo Mahendra, Nyonya Adinda, serta putra mereka, Tuan Dhirga, untuk maju ke depan.” Suara tepuk tangan memenuhi ruangan. Leonardo dan Adinda melangkah dengan anggun, menunjukkan wibawa mereka sebagai keluarga terpandang. Sementara itu, Dhirga berjalan lebih lambat
Sekali lagi, keterkejutan menyelimuti suasana. Adinda, ibu mertua Nayara, menatapnya dengan ekspresi terkejut dan jijik seolah mendengar sesuatu yang memalukan.“Saya menyadari bahwa keluarga Mahendra membutuhkan keturunan untuk meneruskan garis keturunan mereka,” lanjut Nayara, berusaha menahan isak yang mengancam pecah dari dadanya. “Dan karena saya tidak bisa memberikan itu… saya memilih untuk mengalah.”Air mata akhirnya jatuh, mengalir di pipinya yang pucat. Namun, ia tetap tersenyum. Senyum yang begitu menyakitkan.“Saya ikhlas,” ucapnya pelan, meski hatinya menjerit dalam kepedihan. “Saya ikhlas jika suami saya menikah lagi.”Dhirga tidak bereaksi. Wajahnya tetap datar, seolah semua ini bukanlah sesuatu yang penting baginya.Sebaliknya, Clarissa justru mengangkat dagunya dengan penuh kemenangan.Sementara itu, di dalam hati Nayara, hanya ada kehancuran.Akhir dari kata-kata Nayara menjadi pukulan telak baginya. Mana ada seorang istri sah yang rela dimadu?Setelah melakukan sega
"Iya, Kak... Dia memang temanku waktu kuliah dan juga saat bekerja sebelum aku menikah dengan Mas Dhirga." Suara Nayara terdengar lemah, namun ada sedikit ketegasan di dalamnya. Matanya menatap lurus ke arah Jeni, meskipun ada ketidaknyamanan yang jelas tergambar di wajahnya."Ada apa ini?!" suara Sintia tiba-tiba memecah suasana. Ia muncul dari belakang dengan ekspresi penasaran sekaligus sinis."Ini, Nayara! Masa dia bilang temenan sama Dimas?" Jeni melipat tangannya di dada, nada suaranya penuh keraguan dan sindiran."Dimas Prayoga? Pimpinan Prayoga Group?!" Sintia membelalakkan mata, nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar."Iya, aku sih nggak percaya," Jeni menambahkan, bibirnya menyunggingkan senyum penuh ejekan.Sintia melangkah lebih dekat, memandang Nayara dari atas ke bawah dengan tatapan meremehkan. "Heh, babu! Sekalinya babu ya tetap babu. Gausah mimpi ketinggian!" suaranya dipenuhi cibiran dan penghinaan.Nayara mengepalkan jemarinya, berusaha mengendalik
"Saya juga mau pernikahan kami diselenggarakan di hotel Raffles karena saya akan mengundang teman-teman kerja saya." Tambah Clarissa Leonardo mengangguk pelan. "Kalau masalah itu, silakan kalian bicara. Papah dan mama selalu mendukung." Setelah mendapatkan persetujuan, Dhirga dan Clarissa segera menuju hotel untuk memesan tanggal pernikahan mereka. Semuanya tampak berjalan sesuai rencana, tanpa kendala berarti. Raffles Hotel. Bukan sekadar hotel mewah, tetapi yang termewah di seluruh Jawa Barat. Berdiri megah di jantung Kota Bogor, hotel ini menjadi simbol eksklusivitas, kemewahan, dan prestise. Dengan arsitektur modern yang berpadu dengan nuansa klasik, setiap sudutnya memancarkan keanggunan. Begitu memasuki lobi, kesan mewah langsung terasa. Langit-langit tinggi dengan lampu kristal yang berkilauan, lantai marmer mengilap, serta aroma bunga segar yang memenuhi udara menciptakan suasana yang begitu berkelas. Para tamu yang datang disambut dengan pelayanan terbaik, seolah mer
Dimas menatap jendela lagi, berharap sosok yang ia nantikan muncul dari keramaian di luar. Namun, yang ia lihat hanyalah orang-orang asing berlalu lalang, sibuk dengan kehidupan mereka masing-masing. Tidak ada Nayara.Pukul 14.00. Ia akhirnya menyerah.Dengan enggan, Dimas bangkit dari kursinya, menyambar jaketnya yang terlipat di sandaran kursi. Ia berjalan keluar restoran dengan langkah pelan. Perasaan kecewa masih menggelayuti hatinya. Mungkin ini kesalahan dirinya sendiri, terlalu berharap pada sesuatu yang belum pasti.Di luar, matahari mulai meredup. Dimas menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Pertemuan yang diharapkannya tak terjadi, tapi entah mengapa, ia merasa ini belum berakhir. Ada sesuatu yang membuatnya yakin, Nayara tidak sengaja menghindarinya. Ia hanya perlu mencari tahu alasannya.Di kamar kecilnya, Nayara terbaring diam. Cahaya redup dari jendela yang setengah terbuka membuat bayangan di dinding tampak bergerak pelan. Matanya menatap langit-lang
Tok! Tok!“Nay, Non Jeni sudah telepon dari tadi. Minta saya untuk membawa kamu pulang sekarang,” suara pelayan masuk ke ruangan, memecah keheningan yang menyelimuti ruang perawatan.“Iya... sebentar, lima menit lagi,” jawab Nayara pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh isak yang masih tertahan.“Baik, saya tunggu di depan,” ujar pelayan itu sopan, lalu menutup pintu dan kembali membiarkan Nayara berdua dengan ibunya.Nayara menggenggam tangan sang ibu yang masih terbaring koma, kulitnya yang dingin membuat hatinya terasa perih.“Ibu... aku pulang dulu ya,” ucapnya serak. “Aku harap ibu cepat sadar, agar kita nggak terus bergantung pada keluarga Mahendra.”Ia mengusap air matanya dan menunduk dalam-dalam. Hatinya berat meninggalkan satu-satunya sosok yang membuatnya kuat. Tapi hidup harus terus berjalan, meski langkahnya tertatih-tatih.Mobil pelayan keluarga Mahendra kembali mengantarkan Nayara ke rumah megah itu. Namun, saat mobil tiba di halaman, terlihat mobil mewah lain juga baru
"Pelayan!" teriak Jeni memanggil."Iya, Non," pelayan berlari menghampiri dengan wajah tegang, napasnya memburu karena tergesa."Buatkan Clarissa minum. Cepat!" perintah Jeni tajam, ekspresinya penuh ketidaksabaran dan kekesalan."Baik, Non." Pelayan itu melirik ke arah Nayara yang masih sibuk memunguti pecahan beling dengan tangan gemetar. "Nay, mau saya bantuin?" bisiknya lirih, penuh simpati."Gausah bantu-bantu Nayara! Kamu urusin kerjaanmu saja!" sahut Jeni dengan nada tinggi."Baik, Non." Pelayan itu menunduk dan segera berlari ke dapur untuk membuatkan minuman sesuai perintah.Sementara itu, Nayara tampak kesulitan untuk bangkit. Tangannya yang terluka terkena pecahan beling membuatnya meringis menahan sakit. Luka kecil di telapak tangannya mengeluarkan darah, namun ia tetap berusaha berdiri. Kakinya sempat terpeleset oleh air yang belum sempat dibersihkan, membuatnya jatuh kembali."Akh..." erangnya pelan.Dengan sisa tenaga dan napas yang tertahan, Nayara bangkit lagi. Ia men
“Paman bisa saja,” ujar Dhirga sambil tersenyum tipis. “Ya sudah, aku pergi dulu ya, Paman”“Ya sudah, pergilah,” sahut sang paman sambil melambaikan tangan pelan.Tanpa membuang waktu, Dhirga segera bergegas meninggalkan Hotel Raffles. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, seolah ada sesuatu yang sangat mendesak menunggu di tujuan.Setibanya di depan gerbang kediaman keluarga Mahendra, seorang satpam menghampirinya dan berkata dengan sopan, “Permisi, Bapak mau bertemu siapa? Kebetulan rumah sedang kosong, semua anggota keluarga Mahendra sedang mengadakan pesta di Hotel Raffles.”Dimas turun dari mobilnya dengan tenang, menyembunyikan kegugupan yang sebenarnya mulai merayap di dadanya. “Oh, saya memang tadi dari Hotel Raffles. Saya diminta Pak Dhirga untuk datang ke sini dan bertemu dengan Nona Nayara.”Satpam itu sempat tampak ragu. Namun setelah mendengar nama Dhirga disebut, ia mengangguk pelan. “Baik, silakan masuk, Pak. Saya panggilkan Non Nayara.”Tanpa menunda, satpam
Tok tok tok..."Nay," suara Dimas terdengar lembut dari balik pintu, diiringi ketukan pelan.Nayara perlahan bangkit dari duduknya di pinggir ranjang, lalu membuka pintu. "Ada apa, Dim?"Dimas tersenyum kecil. "Kamu lagi sibuk nggak?""Enggak kok. Kenapa?""Biar nggak bosen di kamar, kita lihat-lihat sekitar yuk. Sekalian nikmatin udara dingin Puncak."Ajakan itu membuat Nayara terdiam sejenak. Kata-kata Dhirga seakan kembali terngiang di kepalanya. "Jangan dekat-dekat sama Dimas!" Ia ingin ikut, jujur saja, tetapi hatinya dicekam rasa bersalah. Akhirnya, ia menggeleng pelan."Enggak, Dim. Makasih. Rasanya aku pengin istirahat aja."Raut wajah Dimas langsung berubah. Senyumnya memudar, sorot matanya redup, bibirnya sedikit menegang seperti menahan kecewa. Tapi ia tak berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk singkat, lalu menutup pintu dengan lembut.Nayara kembali duduk di kasur, memandangi langit-langit kamar yang artistik, tirai jendela yang melambai tertiup angin, dan wangi kayu manis
"Besok pagi ikut denganku ke Puncak, ada acara di villa," kata Dhirga dingin tanpa menatap Nayara."Iya, Mas," jawab Nayara pelan, menunduk. Ia pura-pura tidak terkejut, padahal tadi, dari balik tembok koridor, ia sudah mendengar semua percakapan keluarga Mahendra. Termasuk rencana Leonardo dan kekhawatiran Dhirga akan pertemuan antara dirinya dan Dimas."Dan ingat, Nay! Besok akan ada Dimas. Jangan berani macam-macam, karena aku akan mengawasimu setiap saat," lanjut Dhirga dengan tatapan tajam, nyaris seperti ancaman.Nayara mengangguk patuh. Dengan hati yang berat, ia mulai mengemas beberapa potong pakaian sederhana ke dalam tas jinjing miliknya. Sebenarnya ia enggan ikut, tapi ia tahu perintah Dhirga tak bisa ditawar, apalagi setelah tahu akan ada Dimas di sana.Keesokan paginya, halaman rumah Mahendra sudah ramai oleh anggota keluarga yang bersiap berangkat. Dua mobil besar menunggu di depan. Namun satu sosok belum terlihat."Dhirga, istri pertamamu mana?" tanya Sintia, menoleh ke
"Iya, Kak. Kayaknya pasti ada yang penting... atau bahkan mungkin masalah," ujar Clarissa pelan, seolah sedang menerka-nerka sesuatu."Masalah apa maksud kamu?" tanya Jeni, alisnya naik penasaran."Mungkin... Nayara""Ah, kalau dia sih adik ipar miskin yang selalu bawa masalah!" potong Jeni sambil tertawa keras. Matanya menyipit, bibirnya sedikit terangkat sinis.Setibanya di rumah keluarga Mahendra, wajah Jeni dan Sintia masih berseri-seri. Tawa mereka memenuhi udara, mencairkan suasana sore itu."Kalian habis dari mana?" tanya Adinda tiba-tiba saat melihat mereka masuk ke ruang tamu."Habis belanja dong, Ma! Ke butik Hermès. Hari ini kita ditraktir Clarissa," sahut Jeni bangga, sambil memamerkan tas barunya dengan semangat seperti anak kecil yang baru mendapat mainan mahal."Wah, belanja kok nggak ajak Mama?" Adinda bersungut manja."Tenang, Ma. Untuk Mama justru yang paling spesial," potong Clarissa dengan senyum liciknya yang tersamarkan oleh nada lembut. Saat Jeni dan Sintia sibu
“Cukup! Cukup!” teriak Adinda, membanting sendok ke meja hingga membuat semua orang terdiam.“Dhirga, cepat pergi! Jangan dengarkan ocehan Nayara!” lanjutnya tajam.“Iya, sayang. Ayo, aku antar kamu ke depan,” timpal Clarissa manja sambil meraih tangan Dhirga dan menggenggamnya erat—seolah ingin menandai siapa yang layak di samping Dhirga.“Pelayan!” panggil Adinda dengan nada tinggi.“Iya, Nyonya,” jawab seorang pelayan yang langsung berlari mendekat.“Bereskan semua makanan ini. Buang ke tong sampah. Jangan sisakan satu pun!”“Baik, Nyonya.”Nayara yang masih berdiri dengan wajah tertunduk, hanya bisa menarik napas dalam diam. Ia kembali ke kamarnya sambil memeluk dirinya sendiri, seolah ingin meredam amarah dan kesedihannya yang bercampur jadi satu.Sementara itu, Clarissa menggandeng Dhirga ke depan rumah. Matanya berbinar, senyumnya lebar seperti pemenang perang.“Sayang, bulan madu kita kapan?” tanya Clarissa manja, menyandarkan kepalanya di bahu Dhirga saat mereka berjalan menu
“Pagi, sayang,” suara lembut Clarissa memecah keheningan kamar dengan senyum manis yang menyebalkan.Dhirga membuka matanya perlahan, ekspresinya masih setengah sadar. Ia menguap kecil dan meregangkan tubuh sebelum menjawab pelan, “Iya, pagi juga…”“Kemeja dan jasnya sudah aku siapkan, sekarang kamu mandi dulu, ya,” ucap Clarissa sambil membelai lembut lengan Dhirga.Sementara itu, di dapur, Nayara tengah sibuk menyiapkan sarapan. Walau kondisinya tak begitu kuat, ia tak pernah melewatkan rutinitas ini. Untuk suaminya, ia ingin selalu menjadi yang pertama menyentuh pagi harinya, walaupun suaminya sealu bersikap arogan kepadanya.Dengan tangan gemetar, ia menata hidangan satu per satu di atas meja makan. Nasi gurih pandan dengan taburan kacang mete dan bawang goreng, omelet isi smoked beef dan paprika merah, roti sourdough hangat dengan mentega Eropa, salad buah segar dengan dressing madu lemon, serta jus jeruk asli yang baru diperas. Meja makan itu terlihat seperti hidangan hotel bint
"Dimas itu teman aku, Mas... waktu zaman kuliah. Dan aku sempat satu kantor dengannya saat jadi office girl di perusahaan Prayoga Group, itu sebelum aku menikah denganmu." Terang Nayara dengan suara bergetar, matanya menatap Dhirga yang masih berdiri di ambang pintu."Terus kenapa kamu bisa berduaan, Nay!? Di rumah ini lagi!" Nada suara Dhirga meninggi. Rahangnya mengeras, matanya tajam menatap Nayara. Ia bukan marah karena cemburu, bukan karena cinta—tetapi karena harga dirinya sebagai suami dipertaruhkan di depan laki-laki lain.Dhirga tahu, sejak awal pernikahan mereka bukan karena cinta. Hanya janji kepada almarhum ayah Nayara yang mengikatnya. Namun, martabatnya sebagai pria dan kepala keluarga Mahendra tak bisa diinjak begitu saja."Aku juga nggak tahu, Mas. Tiba-tiba dia datang ke rumah ini," jawab Nayara pelan, namun dengan nada penuh tekanan. Ia tahu posisinya lemah, tapi ia juga tahu dirinya tak salah.Dhirga mendekat satu langkah, wajahnya keras namun tenang."Ingat, ya, Na
"Mas, aku bisa jelasin!" seru Nayara sambil spontan melepaskan genggaman tangan Dimas. Tangannya bergerak cepat mengusap pipi yang masih terasa linangan air mata."Masuk, Nay!" bentak Dhirga dengan nada membara."Mas..." Nayara menatap memohon, matanya berkaca-kaca lagi, berharap setidaknya ada sedikit ruang untuk mendengar."Aku bilang masuk!" Dhirga membentak lebih keras, membuat Nayara terkejut dan akhirnya melangkah masuk ke rumah dengan langkah pelan dan tubuh gemetar.Dhirga kini menatap Dimas tajam, matanya menyala seperti bara api. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal seolah menahan gejolak yang siap meledak.“Dimas, saya tidak suka Anda mendekati istri saya! Walaupun saat ini Anda bagian dari keluarga besar ini, Anda tidak punya hak mencampuri urusan rumah tangga saya. Termasuk Nayara!” suaranya meninggi, sorot matanya menusuk, napasnya memburu menahan amarah.“Saya minta Anda pergi sekarang juga!”Dimas tidak langsung mundur. Ia menatap Dhirga dengan tatapan tegas, m
“Paman bisa saja,” ujar Dhirga sambil tersenyum tipis. “Ya sudah, aku pergi dulu ya, Paman”“Ya sudah, pergilah,” sahut sang paman sambil melambaikan tangan pelan.Tanpa membuang waktu, Dhirga segera bergegas meninggalkan Hotel Raffles. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, seolah ada sesuatu yang sangat mendesak menunggu di tujuan.Setibanya di depan gerbang kediaman keluarga Mahendra, seorang satpam menghampirinya dan berkata dengan sopan, “Permisi, Bapak mau bertemu siapa? Kebetulan rumah sedang kosong, semua anggota keluarga Mahendra sedang mengadakan pesta di Hotel Raffles.”Dimas turun dari mobilnya dengan tenang, menyembunyikan kegugupan yang sebenarnya mulai merayap di dadanya. “Oh, saya memang tadi dari Hotel Raffles. Saya diminta Pak Dhirga untuk datang ke sini dan bertemu dengan Nona Nayara.”Satpam itu sempat tampak ragu. Namun setelah mendengar nama Dhirga disebut, ia mengangguk pelan. “Baik, silakan masuk, Pak. Saya panggilkan Non Nayara.”Tanpa menunda, satpam
"Pelayan!" teriak Jeni memanggil."Iya, Non," pelayan berlari menghampiri dengan wajah tegang, napasnya memburu karena tergesa."Buatkan Clarissa minum. Cepat!" perintah Jeni tajam, ekspresinya penuh ketidaksabaran dan kekesalan."Baik, Non." Pelayan itu melirik ke arah Nayara yang masih sibuk memunguti pecahan beling dengan tangan gemetar. "Nay, mau saya bantuin?" bisiknya lirih, penuh simpati."Gausah bantu-bantu Nayara! Kamu urusin kerjaanmu saja!" sahut Jeni dengan nada tinggi."Baik, Non." Pelayan itu menunduk dan segera berlari ke dapur untuk membuatkan minuman sesuai perintah.Sementara itu, Nayara tampak kesulitan untuk bangkit. Tangannya yang terluka terkena pecahan beling membuatnya meringis menahan sakit. Luka kecil di telapak tangannya mengeluarkan darah, namun ia tetap berusaha berdiri. Kakinya sempat terpeleset oleh air yang belum sempat dibersihkan, membuatnya jatuh kembali."Akh..." erangnya pelan.Dengan sisa tenaga dan napas yang tertahan, Nayara bangkit lagi. Ia men