Oh ya, yang jadi favoritku adalah jalur lari untuk manusia. Karena lintasannya yang melewati jalan yang paling teduh dari jalur lari yang lain. Meski lintasannya paling jauh, karena berada paling pinggir, jadi kalau di hitung, kelilingnya pasti lebih besar, yang berarti jarak tempuhnya lebih panjang dari jalur lain. Di sebelah kanan langsung berbatasan dengan pepohonan, dan itu sangat rindang. Aku pernah memberitahu ayah ada taman yang ada lintasan larinya. Maksudku supaya dia bisa keluar dari ruang kerjanya, dan mencoba untuk menurunkan berat badannya. Tapi pria itu malah kembali melempar pertanyaan padaku.
“Lalu aku harus melakukan apa?” dia berkata dari balik kacamata bacanya. “Apa ayah tidak mau berlari? Maksudku, sekedar…jalan jalan?” kataku agak ragu. Ayahku menghembuskan nafas berat. “Aku sudah mencoba beribu-ribu kali untuk lari dari kenyataan, Sofia. Tolong biarkan aku bekerja dengan tenang, oke?” lalu dia kembali pada komputernya. Dan aku anggap itu artinya, tidak.
Sekarang, aku benar-benar merasa bosan. Menjelajahi dapur untuk mendapat sedikit camilan, mungkin bukan ide yang buruk saat ini. Aku berjalan keluar kamar dan turun menuju dapur. Baiklah, harus aku akui. Sulit untuk mencari makanan ringan di kulkas jika kau punya orang tua super irit sebagai pengatur pengeluaran jajan. Jadi aku harus membuka pintu kulkas agak lama sampai akhirnya aku menemukan sebungkus kecil sereal di pojok kulkas. Aku tau membuka kulkas dengan waktu yang lama dapat membuat kerusakan, dan aku pasti sudah habis dimarahi jika orangtuaku melihatnya.
Ngomong-ngomong soal pintu., sepertinya aku belum menutup pintu kamarku. Ini bisa menjadi bencana. Masalahnya, Hermist sangat menyukai benda elektronik yang ringan. Dan ponselku ada di kamarku. Dan Hermist,.. juga tidak terlihat disini. Ini akan sangat kacau.
“Hermist!!?” panggilku sambil berlari mencarinya. Aku masih berharap dia tidak melakukan itu. Maksudku mencuri ponselku. Lalu aku melihatnya berjalan terburu buru dengan sesuatu yang ada di gigitannya.
Ya. Dia melakukannya.
Kucing itu menoleh padaku dengan mimik santai tak bersalah. Aku mulai mengejarnya sambil berteriak “Hermist! Tidak, tunggu!!”. Sekarang aku mulai berpikir dia sedang meledekku dengan melempar mimik lugunya tadi. Hermist semakin cepat berlari bersama dengan ponselku dimulutnya, dan sekarang dia keluar dari area rumah menuju keluar. Ttanpa pikir panjang aku terus mengejarnya. Karena ponselku bersamanya. Aku tidak tau akan seberapa kerusakannya, yang sudah pasti aku tau, ini akan jadi bahan pergibahan ibu-ibu komplek besok pagi.
Tapi bagian bagusnya,..
Aku tidak peduli.
Sekarang aku sudah melewati dua rumah tetangga. Dan Hermist berbelok masuk ke rumah ketiga. Tanpa sadar kerumah siapa dan apa yang ada disana, aku tetap fokus mengejar Hermist. Tidak juga, sejujurnya, aku mengejar ponselku, sampai aku sadar ada sepasang mata sedang menatapku. Mungkin pemilik rumah atau apa. Mungkin Hermist juga merasakannya karena dia tiba-tiba berhenti. Aku mengangkat kepalaku dan mendapati cowok tinggi berkulit putih dengan rambut pirangnya menatapku dari jarak dua meter.
Tiba-tiba aku merasa tidak terlalu menyesal karena tidak menutup pintu kamarku.
“Hai! “ sapanya dengan memberi senyum. “Um.. Itu kucingmu?” lajutnya sambil mengelus makhluk berbulu lebat yang berada dalam gendongannya. Mungkin itu anjingnya. “Iya, ini kucingku.” Lalu aku menggendong Hermist juga. Kalau tidak dia akan lari lagi. “Hermist, berikan!” bisikku pada Hermist yang mungkin didengar cowok itu. “Hermist ya? Nama yang keren”. “Terima kasih. Anjingmu juga keren”. Usaha yang bagus untuk perkenalan yang aneh ini. Lalu dia tertawa sedikit dan membuat klarifikasi. “Haha.. ini bukan anjing. Dia kucing. Namanya Twilith”
Upss…
“Oh, maaf maaf. Aku tidak tau”. Aku benar-benar merasa jadi orang aneh karena menganggap itu anjing. Jika kau berada diposisiku, aku yakin kau akan melakukan kesalahan yang sama. Lalu dia tertawa lagi. “Haha.. Tak apa. Kebanyakan orang memang mengira dia anjing. Lucu juga. Tapi.. terima kasih.”. “Untuk apa?” tanyaku. “Untuk memuji Twilith, benar kan Twill?” katanya tersenyum lagi dilanjut pertanyaannya yang berpura-pura mengajak Twilith bicara. Kucing putih itu memalingkan pandangan dari majikannya. “Dengan senang hati. Lagi pula dia memang pantas menerima pujian” balasku sambil tersenyum juga. Seketika aku ingat pintu rumah masih terbuka. “Mmm, sudah ya, aku harus pulang, karena.., kau tau, rumahku tidak bisa menjaga dirinya sendiri ‘kan?” kataku sambil berjalan mundur membawa Hermist bersamaku. Tanpa membiarkannya bicara lagi aku segera kabur dari tempat itu. “Terima kasih ya. Maaf telah merepotkan. Sampai jumpa!” Setelah itu aku lari lagi menuju rumahku, dan untungnya tidak terjadi apa apa dirumah.
Saat ini, aku baru sadar, sudah berapa lama aku terkurung di rumah. Sosok yang kutemui beberapa menit lalu, aku tak percaya ada orang seperti dia tinggal di lingkungan rumah. Bukan hanya itu, dia bahkan tampak seperti seumuran denganku. Aku baru menyadari ibuku sudah pernah mencoba memberitauku ribuan kali bahwa ada penghuni baru di daerah ini.
Baiklah, sekarang bukan saatnya memikirkan orang asing. Aku harus memanfaatkan sisa sisa waktu liburku dengan baik hari ini. Aku terduduk di sofa depan televisi dan mencari remote-nya. Dan berharap ada acara bagus di TV. “Hai, Sofia. Kau pasti tidak percaya ini kan?” kata Bill tiba-tiba saat aku baru saja menekan tombol ‘ON’ remote TV. “Hai, sayang.” kata ibu. “Lihat apa yang kita dapatkan.” Sebenarnya saat dia bilang “lihat”, saat itu juga aku berniat untuk tidak melihat dan pergi. Tapi akhirnya aku melihatnya. Seekor ikan kakap merah dalam jaring —seperti jaring untuk menangkap ubur-ubur di Spongebob― yang dimasukkan kedalam plastik hitam besar. Sudah jelas, malam ini akan ada pesta ikan bakar ala resep buatan ibuku. “Kalian mendapatkannya di kali itu? Emm.. maksudku di tempat kalian biasa memancing?” tanyaku heran. Karena tidak mungkin mereka mendapatkan kakap merah disana. “Tidak. Kami menemukan tempat lain untuk memancing. Dan banyak yang memancing disana.” kata Bill a
Aku melihat keseluruh penjuru. Terlihat orang orang kelas sebelah sedang asik mengobrol dengan kelompok pertemanan mereka. Sepotong percakapan mereka tak sengaja terdengar olehku, dan aku jadi mengerti mengapa mereka begitu serius dengan bahasan mereka. Si Anak Populer. Dan lebih spesifiknya, mereka bicara tentang… Jennifer Amity. Siapa yang tak kenal dengan seorang Jennifer Amity. Bahkan seluruh angkatan, baik yang tahun ini, tahun lalu sampai alumni sekalipun. Sebenarnya tak heran sih kalau dia bisa jadi begitu terkenal. Karena itu sesuatu yang sudah sangat jelas
“Hai semuanya! Nampaknya aku benar-benar tertinggal.” Sebuah suara yang terdengar dari jauh. Suara yang persis sama seperti yang kudengar kemarin. Suara yang lembut dan menyenangkan, terdapat aura semangat dan keceriaan tersirat didalamnya. Meski begitu wibawanya tetap tidak hilang. Dan sampai waktunya si misterius itu bersuara, aku baru menyadari. Dia yang kemarin. Hei" panggilku sambil menyenggol lengan Jessy. "Dia itu siapa?" dia menatapku agak heran. "Kau bercanda?" "tidak, aku serius, dia itu siapa?" tiba-tiba Ellen ikut angkat suara. "Ya ampun, Sofia. Dia itu Derald. Cowok populer yang pernah jadi pacar Jennifer Amity. Putus dua bulan lalu, katanya karena beda komitmen. Dan Derald yang memutuskannya. Itu berita yang bahkan masih hangat sampai sekarang!" Terlihat wajah serius dari dua oran
“Kau mau pergi kemana?” Tanya Derald padaku yang tertangkap basah hari itu, membawa tas keluar kelas pada jam pulang sekolah normal, pukul 2 siang. Aku menoleh kebelakang perlahan dan mendapati tatapan malas Derald dengan jari yang mengisyaratkan untuk kembali. Aku kembali melihat kedepan dan menghela napas. Aku benar benar lelah. Setidaknya biarkan aku kembali ke kursi santai dirumah dan membaca novelku untuk sehari saja. “Baiklah, kau menang.” Responku pasrah. Mau tak mau, akupun kembali ke kelas. “Baguslah jika kau mengerti, karena hingga kita siap untuk medan tempur nanti, kita tidak akan mendapat waktu luang. Persiapkan dirimu, Sofia” Kalimat kemudian diakhiri dengan senyuman manis khas miliknya itu. Sedikit memberiku semangat, tapi aku menganggapnya sebagai ejekan pada anak baru yang buta mater
Aku selalu merasa takut untuk merasa bahagia, apalagi untuk cerita roman remaja. Bukan hanya karena orangtuaku yang sangat kaku. Entahlah, setiapkali aku merasa bahagia, disaat yang bersamaan aku merasa akan ada suatu bahaya atau kecelakaan besar. Dengan ‘fobia’ anehku itu aku jadi orang yang sangat waspada. Posisi, keadaan, ataupun orang lain, aku seakan tidak bisa mempercayai mereka jauh dari lubuk instingku yang paling dalam. Tapi aku harus tetap memakai topeng ini untuk bisa menjalani kehidupan normal. Dan parahnya terkadang hormone hormone remaja ini terlalu sulit untuk dikendalikan. Aku bahkan sering merasa tidak mengerti diriku sendiri. Mungkin itulah artinya menjadi remaja? Dan seperti biasa di jam pulang sekolah, tim kami selalu belajar bersama di bawah pohon itu, markas kami. Bahkan seingatku kami tidak pernah pulang tepat waktu sejak saat itu. Sampai penjaga sekolah berteriak untuk mengakhiri seluru
Kami semua berlatih bersama selam 2 minggu itu. Bukan hanya hubungan dan kerja sama kami yang mengalami perkembangan, namun juga ranah social disekitar kami. Tak luput juga gossip gossip baru yang beredar. Sekian banyak hoax-hoax yang beredar dan cukup banyak penghuni sekolah yang meyakini hal itu. Seperti Jennifer yang naksir keeper tim futsal sekolah yang sudah jelas mustahil ditaksir cewek popular, apalagi mengingat mantannya yang sekelas Derald. Yang membuatku paling tidak percaya adalah ada aku dalam pergosipan kali ini. Aku. Iya, Aku?? Mungkin karena selama enam hari aku terus bersamanya, cowok yang pernah jadi pacar Jennifer itu, dan menghabiskan sore hariku dibawah pohon dengan Derald, bersama yang lainnya juga sebenarnya. Juga tentang seberapa dekat rumah kami, dan soal kesamaan pelih
“Hmm, Rhena kan?” Kami semua tercengang. “AHH! Derald!!” Bob membentak Derald dan melempar tatapan kesal. Tiba tiba suasana menjadi riuh dan mulai menggoda Bob. Ahaha.. ternyata seperti ini rasanya menggoda seseorang? Aku cukup menikmatinya. “Jelas aku mengetahuinya, dia sering hadir di rapat kegiatan sekolah. Rhena Taylor, perwakilan dari klub permainan papan” Terang Derald. Ah iya, aku baru ingat dia salah satu anggota OSIS. Kalau tidak salah aku mengingat, dia membacakan pidato pembukaan tahun lalu. “Oh.. Jadi itu sebabnya kau mendapatkan permainan ini? Dasar modus.” Celetuk Jimmy yang kemudian mengundang tawa kami semua. Permainan berlanjut. Dan lagi lagi aku mendapat angka 2. Tetapi aku tidak meli
“Siaaap, MULAIII!!!”Aku menutup mataku. Mulai merasakan tubuhku bergerak maju tanpa menggerakkan kakiku. Tanpa sadar aku mengencangkan pelukanku padanya. Sepertinya aku sempat menjerit ketika dia mulai berlari, entahlah aku tidak terlalu mengingatnya. Aku membenamkan wajahku dibalik punggungnya yang lebar. Antara takut jatuh atau malu. Derald kembali berbicara ditengah nafasnya yang terengah. “*hufh* Kau berat ya..” “Jangan bicarakan itu sekarang, aku akan jatuh!” teriakku panic. Tapi Derald hanya tertawa dan terus melanjutkan larinya kearah teman-teman kami di bawah pohon. Aku mendengar sayup terdengar teriakan mereka dari kejauhan. Tetapi lagi lagi, yang bisa kuingat hanya diriku yang sedang memeluk Derald sambil berlari sekarang.&