Baiklah, sekarang bukan saatnya memikirkan orang asing. Aku harus memanfaatkan sisa sisa waktu liburku dengan baik hari ini. Aku terduduk di sofa depan televisi dan mencari remote-nya. Dan berharap ada acara bagus di TV. “Hai, Sofia. Kau pasti tidak percaya ini kan?” kata Bill tiba-tiba saat aku baru saja menekan tombol ‘ON’ remote TV. “Hai, sayang.” kata ibu. “Lihat apa yang kita dapatkan.” Sebenarnya saat dia bilang “lihat”, saat itu juga aku berniat untuk tidak melihat dan pergi. Tapi akhirnya aku melihatnya. Seekor ikan kakap merah dalam jaring —seperti jaring untuk menangkap ubur-ubur di Spongebob― yang dimasukkan kedalam plastik hitam besar. Sudah jelas, malam ini akan ada pesta ikan bakar ala resep buatan ibuku. “Kalian mendapatkannya di kali itu? Emm.. maksudku di tempat kalian biasa memancing?” tanyaku heran. Karena tidak mungkin mereka mendapatkan kakap merah disana. “Tidak. Kami menemukan tempat lain untuk memancing. Dan banyak yang memancing disana.” kata Bill antusias. “Sofia, seharusnya kau ikut tadi. Banyak stan makanan…” dan dia terus meneruskan ceritanya sepanjang nasehat ayah yang lebih suka kusebut “Pantang Pacaran” itu. Sepanjang Bill bercerita pun aku masih sesekali memikirkan tentang cowok yang baru saja kutemui hari ini.
Walau berkat cowok itu aku sudah mulai sadar kalau aku harus keluar dan agak bersosialisai dengan orang sekitar, tapi aku belum ada niatan sediktpun untuk berubah jadi aktif. Aku sudah sangat nyaman dengan kesendirianku —maksudku, dengan sifatku yang cenderung penyendiri―saat ini.
Aku tiba tiba merasa memiliki perasaan baik untuk besok.
*************
“Bu, aku berangkat ya..!” teriakku dari sisi luar pagar rumah. Samar-samar aku mendengar ibu mengatakan sesuatu, yang mungkin adalah,”Iya, hati-hati dijalan.” atau “Sofia, jangan lupa makan bekalmu!.” Bill dan aku memang tidak satu sekolah. Bill di SMA, sekarang kelas X(10) dan aku di SMP. Terlalu lama untuk menyusulnya di SMA karena aku masih kelas VIII(8). Tapi kehidupan di SMP juga tidak terlalu buruk bagiku. Menurut ayah, masa-masa SMA lebih berbahaya dan butuh pengawasan ekstra. Tapi kurasa…, mungkin dia agak berlebihan.
Aku sudah sampai dan langsung masuk menuju pertigaan lorong lantai dasar. Masih jam 6 lebih 2 menit, tapi lapangan sudah mulai dipenuhi orang-orang. Banyak yang duduk-duduk di lapangan dan mengoceh dengan gerombolannya.
Dan aku??
Ya, bagian sedihnya kalau kau jadi aku. Aku tidak punya teman dekat ataupun lingkup pertemanan, apalagi pacar. Bahkan untuk sekedar mengobrol di jam-jam segini. Jadi, sudah jelas aku akan langsung ke kelasku.
Di kelas, kudapati isinya lebih banyak dari biasanya. Biasanya, saat terjadi peningkatan jumlah penghuni kelas di jam 6 pagi, saat itulah banyak tugas yang belum terselesai. Mereka bermaksud untuk mendiskusikan —sebenarnya sebutan lebih tepat adalah, menyontek, yang sering disebut sesi “Cari Contekan”― jawaban atau bentuk dari tugas-tugas itu. Untungnya, aku bukan bagian dari Veteran Cari Contekan. Aku tidak memilki waktu bermain ‘bersama teman’ secara khusus, jadi aku jelas memiliki lebih banyak waktu untuk menyelesaikan tugasku secara mandiri. Tapi bukan berarti aku tidak pernah melakukannya juga sih.
Kelas begitu riuh. Sibuk berteriak “Oooiii, siapa yang udah ngerjain nomer 3??!” atau “Yang udah liat dong…!!”
Terlihat jelas wajah-wajah panik dan gaya-gaya menyontek mereka yang unik. Aku berjalan menuju tempatku duduk. Dan kurasa, teman sebangku-ku diganti. Tidak masalah. Teman baru di pekan ini juga tidak buruk.
Dan akhirnya aku tau. Itu Liz. Anak aktif dan labil. Dia terlihat cukup menyenangkan. “Hai” sapaku. Tidak ada salahnya kan mulai duluan? “Hai,” katanya dengan senyum lebar. “Eh,mm.. maaf ya, aku bertukar tempat duduk. Jadi aku disini.” Jelasnya masih dengan senyum lebar itu. “Tak apa, aku mengerti. Oh, ya, Liz, kau sudah mengerjakan tugas?” tanyaku padanya. Dia terlihat bingung. “Tugas apa?” Tiba-tiba dia tersadar sendiri. “Oh, iya!!” lalu dia membuka tasnya dan mencari bukunya. Sejurus kemudian dia meninggalkanku dan bergabung di sesi Cari Contekan.
Ya, pemandangan kelas sekarang ini memang tidak terlihat cukup baik. Ini situasi yang sangat genting bagi mereka. Lebih baik keluar untuk cari udara segar. Seperti tempatku berdiri sekarang. Dari balkon depan kelas memang tempat yang paling tepat untuk melihat keadaan di bawah sana, lapangan sekolah yang cukup besar. Itupun jika tidak ada pohon yang menutupi. Dari tempat ini aku juga bisa melihat dengan jelas pemandangan sawah di belakang sekolah, juga mata hari terbit yang hangat dan menyilaukan.
Tapi langit terlihat agak gelap hari ini. Mungkin akan turun hujan dalam beberapa saat. Kabar baik bagi mereka yang sudah berada didalam kelas sekarang. Hujan, berarti tidak ada upacara, dan berarti ada tambahan waktu untuk sesi Cari Contekan sekarang. Lagi pula, aku juga sedang malas kemana-mana, jadi aku memutuskan untuk tetap berdiri di balkon ini. Hujannya cukup tenang kali ini, jadi tidak terlalu berangin. Sensasi yang sangat menyenangkan, jika sudah sampai tahap paling nyaman, kau tiba-tiba tidak lagi mendengar suara berisik dari dalam kelasmu. Tapi sendiri disini, agak terasa sepi.
Aku melihat keseluruh penjuru. Terlihat orang orang kelas sebelah sedang asik mengobrol dengan kelompok pertemanan mereka. Sepotong percakapan mereka tak sengaja terdengar olehku, dan aku jadi mengerti mengapa mereka begitu serius dengan bahasan mereka. Si Anak Populer. Dan lebih spesifiknya, mereka bicara tentang… Jennifer Amity. Siapa yang tak kenal dengan seorang Jennifer Amity. Bahkan seluruh angkatan, baik yang tahun ini, tahun lalu sampai alumni sekalipun. Sebenarnya tak heran sih kalau dia bisa jadi begitu terkenal. Karena itu sesuatu yang sudah sangat jelas
“Hai semuanya! Nampaknya aku benar-benar tertinggal.” Sebuah suara yang terdengar dari jauh. Suara yang persis sama seperti yang kudengar kemarin. Suara yang lembut dan menyenangkan, terdapat aura semangat dan keceriaan tersirat didalamnya. Meski begitu wibawanya tetap tidak hilang. Dan sampai waktunya si misterius itu bersuara, aku baru menyadari. Dia yang kemarin. Hei" panggilku sambil menyenggol lengan Jessy. "Dia itu siapa?" dia menatapku agak heran. "Kau bercanda?" "tidak, aku serius, dia itu siapa?" tiba-tiba Ellen ikut angkat suara. "Ya ampun, Sofia. Dia itu Derald. Cowok populer yang pernah jadi pacar Jennifer Amity. Putus dua bulan lalu, katanya karena beda komitmen. Dan Derald yang memutuskannya. Itu berita yang bahkan masih hangat sampai sekarang!" Terlihat wajah serius dari dua oran
“Kau mau pergi kemana?” Tanya Derald padaku yang tertangkap basah hari itu, membawa tas keluar kelas pada jam pulang sekolah normal, pukul 2 siang. Aku menoleh kebelakang perlahan dan mendapati tatapan malas Derald dengan jari yang mengisyaratkan untuk kembali. Aku kembali melihat kedepan dan menghela napas. Aku benar benar lelah. Setidaknya biarkan aku kembali ke kursi santai dirumah dan membaca novelku untuk sehari saja. “Baiklah, kau menang.” Responku pasrah. Mau tak mau, akupun kembali ke kelas. “Baguslah jika kau mengerti, karena hingga kita siap untuk medan tempur nanti, kita tidak akan mendapat waktu luang. Persiapkan dirimu, Sofia” Kalimat kemudian diakhiri dengan senyuman manis khas miliknya itu. Sedikit memberiku semangat, tapi aku menganggapnya sebagai ejekan pada anak baru yang buta mater
Aku selalu merasa takut untuk merasa bahagia, apalagi untuk cerita roman remaja. Bukan hanya karena orangtuaku yang sangat kaku. Entahlah, setiapkali aku merasa bahagia, disaat yang bersamaan aku merasa akan ada suatu bahaya atau kecelakaan besar. Dengan ‘fobia’ anehku itu aku jadi orang yang sangat waspada. Posisi, keadaan, ataupun orang lain, aku seakan tidak bisa mempercayai mereka jauh dari lubuk instingku yang paling dalam. Tapi aku harus tetap memakai topeng ini untuk bisa menjalani kehidupan normal. Dan parahnya terkadang hormone hormone remaja ini terlalu sulit untuk dikendalikan. Aku bahkan sering merasa tidak mengerti diriku sendiri. Mungkin itulah artinya menjadi remaja? Dan seperti biasa di jam pulang sekolah, tim kami selalu belajar bersama di bawah pohon itu, markas kami. Bahkan seingatku kami tidak pernah pulang tepat waktu sejak saat itu. Sampai penjaga sekolah berteriak untuk mengakhiri seluru
Kami semua berlatih bersama selam 2 minggu itu. Bukan hanya hubungan dan kerja sama kami yang mengalami perkembangan, namun juga ranah social disekitar kami. Tak luput juga gossip gossip baru yang beredar. Sekian banyak hoax-hoax yang beredar dan cukup banyak penghuni sekolah yang meyakini hal itu. Seperti Jennifer yang naksir keeper tim futsal sekolah yang sudah jelas mustahil ditaksir cewek popular, apalagi mengingat mantannya yang sekelas Derald. Yang membuatku paling tidak percaya adalah ada aku dalam pergosipan kali ini. Aku. Iya, Aku?? Mungkin karena selama enam hari aku terus bersamanya, cowok yang pernah jadi pacar Jennifer itu, dan menghabiskan sore hariku dibawah pohon dengan Derald, bersama yang lainnya juga sebenarnya. Juga tentang seberapa dekat rumah kami, dan soal kesamaan pelih
“Hmm, Rhena kan?” Kami semua tercengang. “AHH! Derald!!” Bob membentak Derald dan melempar tatapan kesal. Tiba tiba suasana menjadi riuh dan mulai menggoda Bob. Ahaha.. ternyata seperti ini rasanya menggoda seseorang? Aku cukup menikmatinya. “Jelas aku mengetahuinya, dia sering hadir di rapat kegiatan sekolah. Rhena Taylor, perwakilan dari klub permainan papan” Terang Derald. Ah iya, aku baru ingat dia salah satu anggota OSIS. Kalau tidak salah aku mengingat, dia membacakan pidato pembukaan tahun lalu. “Oh.. Jadi itu sebabnya kau mendapatkan permainan ini? Dasar modus.” Celetuk Jimmy yang kemudian mengundang tawa kami semua. Permainan berlanjut. Dan lagi lagi aku mendapat angka 2. Tetapi aku tidak meli
“Siaaap, MULAIII!!!”Aku menutup mataku. Mulai merasakan tubuhku bergerak maju tanpa menggerakkan kakiku. Tanpa sadar aku mengencangkan pelukanku padanya. Sepertinya aku sempat menjerit ketika dia mulai berlari, entahlah aku tidak terlalu mengingatnya. Aku membenamkan wajahku dibalik punggungnya yang lebar. Antara takut jatuh atau malu. Derald kembali berbicara ditengah nafasnya yang terengah. “*hufh* Kau berat ya..” “Jangan bicarakan itu sekarang, aku akan jatuh!” teriakku panic. Tapi Derald hanya tertawa dan terus melanjutkan larinya kearah teman-teman kami di bawah pohon. Aku mendengar sayup terdengar teriakan mereka dari kejauhan. Tetapi lagi lagi, yang bisa kuingat hanya diriku yang sedang memeluk Derald sambil berlari sekarang.&
“Ayo” kata Derald. “Kemana?” tanyaku sambil berdiri. “Ke bawah pohon. Kau mau menunggu sendirian di lapangan ini?” Saat itu juga aku baru sadar orang-orang sudah pergi. “Ya... baiklah.” Sampai di ‘markas’ tempat kami biasa berlatih, aku langsung bersandar pada pohon itu. “Ah.. nyaman sekali” kataku perlahan bersandar. “Tadi itu sangat menyenangkan, seru sekali.. Seandainya kita tidak berdebat, pasti kita bisa menjawab semuanya.” Aku membuka tutup botol minumku dan mulai meminumnya. “Aku sudah mengatakan jawabannya, tapi kau malah bilang jawabanku salah.” Jawabnya. Kami terus bercerita tentang seleksi tadi. Itu memang topik yang bagus untuk saat ini. Sore itu sangat nyaman. Bersandar di bawah pohon,