Kami semua berlatih bersama selam 2 minggu itu. Bukan hanya hubungan dan kerja sama kami yang mengalami perkembangan, namun juga ranah social disekitar kami. Tak luput juga gossip gossip baru yang beredar. Sekian banyak hoax-hoax yang beredar dan cukup banyak penghuni sekolah yang meyakini hal itu. Seperti Jennifer yang naksir keeper tim futsal sekolah yang sudah jelas mustahil ditaksir cewek popular, apalagi mengingat mantannya yang sekelas Derald. Yang membuatku paling tidak percaya adalah ada aku dalam pergosipan kali ini.
Aku.
Iya, Aku?? Mungkin karena selama enam hari aku terus bersamanya, cowok yang pernah jadi pacar Jennifer itu, dan menghabiskan sore hariku dibawah pohon dengan Derald, bersama yang lainnya juga sebenarnya. Juga tentang seberapa dekat rumah kami, dan soal kesamaan peliharaan kami. Kalau ada yang bertanya padaku tentang perasaanku pada Derald, maka jawabanku mungkin hanya…
“Well, kami cuma teman”. Maksudku, ayolah,sepasang muda mudi yang duduk dibawah pohon bukan berarti saling mencinta kan? Mungkin mereka hanya sedang belajar?
Meski aku juga tidak terlalu yakin dengan jawaban itu. Aku sebenarnya juga merasa bingung. Terkadang apa yang dilakukan Derald dan bagaimana dia bertindak dihadapanku bukan seperti apa yang dilakukan antar teman.
Waktupun terus berjalan, bagi dari cabang lomba manapun di tim 2 sekarang sudah lebih siap dari sebelumnya. Namun kami tetap berkumpul di bawah pohon itu setiap harinya dengan berbagai kesibukan tambahan selain tetap berlatih, seperti mengerjakan tugas, atau bahkan bermain.
Seperti hari itu, cukup banyak waktu yang tersisa, dan kami memutuskan sehari sebelum seleksi kami akan bersantai.
“Hei, semuanya! Lihat apa yang kupunya!” Bob datang dan berhasil menarik perhatian kami semua di bawah pohon. Bahakn mungkin juga beberapa orang lain di sekitar. Mata semua orang tampak sangat penasaran dengan apa yang Bob bawa. Ya, setumpuk kartu. “Aku mendapatkannya dari anak anak di Klub Permainan Papan. Kita akan bermain kali ini.” Bob menjelaskan dengan sangat antusias, begitu juga yang lainnya. Mungkin juga Derald. “Aku tidak ikut. Aku tidak ingin menang dan mengecewakanmu, Bob. Maaf” kata Derald. “Sombongnya..” kataku sambil meliriknya yang cengar cengir. “Tidak tidak, ini bukan soal menang atau kalah. Ini tentang.. Harga dirimu.” Jelas Bob sambil memperlihatkan kartu kartu itu. “King and His People?” tanyaku.
Permainan yang sudah cukup lama aku tidak memainkannya. Ada kartu raja dan rakyatnya. Jika kau mendapat kartu Raja maka kau bisa memerintahkan rakyat dengan menyebutkan angka pemain dan kegiatannya. Hanya ada satu kartu raja dan perintahnya dianggap ‘mutlak’ sesuai norma. Kartu akan terus dikocok juga dibagikan kembali secara acak pada tiap pemain. Aku jadi ingat ketika aku pertama kali bermain dengan teman temanku di sekolah dasar. Aku menangis karena mendapat perintah untuk menepuk bahu orang asing yang lewat karena aku sangat pemalu dulu. Benar benar payah.
“Ya, aku rasa ini bagus untuk mendekatkan dan meningkatkan kekompakan tim.” Derald berkomentar. “Sudahlah, siapa peduli, aku hanya ingin mengetahui rahasia kalian semua! Hahaha..” kata Stacy. “Tapi aku akan lebih dulu menjebakmu Stace.” Ya, Ellen memang yang paling dekat dengan Stacy, sudah menjadi wajar dia menjahilinya. “Ah, bicara tentang rahasia, aku jadi ingat rahasiamu juga sudah kuketahui, benar kan’? Derald?” Jimmy menggoda. “Hmm? Yang mana?” Derald pura pura bodoh sambil tersenyum. Jenis senyum yang berbeda kali ini. Entahlah. “Sepertinya akan menyenangkan!”
“Oke.. permainan dimulai! Aku akan mengocok kartu dan membagikannya.” Bob memulai. Tapi aku merasa ada yang kurang. Sepertinya dimulai terlalu cepat. “Kita… tidak menetukan batas perintahnya?” Bob terkekeh mengerikan “Ehehe.. Jika perintah yang diberikan sudah disetujui 2/3 dari kita, maka perintah itu mutlak.” Dia kemudian tersenyum dengan cara yang mengerikan juga. Aku berpikir ada yang benar benar aneh disini. Tapi jika kuingat, tentunya kami sudah cukup ‘dewasa’ untuk menetukan mana yang boleh dan tidak.
Masing masing kami sudah mendapat kartu. Aku mendapat angka 2. Aku melihat Ellen mendapat angka 4 dan Bob angka 5. Berarti kartu raja ada di antara Stacy, Jimmy dan Derald. “Oh aku jadi raja!” Kata Stacy sedikit terkejut kemudian dengan cepat berubah menjadi tawa jahat. “Ahahaha.. Aku perintahkan pemain nomor 5 untuk mendeskripsikan orang yang disukainya!” dia memerintah dan menunjuk Ellen. Eh?.
“Aku pemain nomor 5” jawab Bob bingung. Kami juga bingung.
“Eh? Bukannya Ellen nomor 5?” Stacy kebingungan.
“Aku nomor 4.” Jawab Ellen datar kemudian menertawakan Stacy.
“AAHHH… Siaal! Huh.. baiklah. Bob silakan.”
Baru pertama kalinya aku melihat Bob memiliki wajah agak malu seperti itu. Meski dia menutupnya dengan tertawa bersama kami dan tubuhnya yang agak sedikit gempal.
“Hmm apa yaa, yang jelas dia perempuan.” Kami tertawa mendengar jawabannya, hingga Stacy memintanya untuk lebih spesifik.
“Di..Dia memiliki rambut panjang, selalu memakai pita dikepalanya. Tulisannya juga sangat bagus.” Kami menunggu kelanjutan ceritanya hingga dia tiba tiba berhenti.
“Ah sudahlah, itu sudah cukup kann??” Bob nampak kesal tetapi aku bisa melihat dia antusias ketika menceritakannya. Tapi kami semua belum bisa mengenali siapa yang dimaksud, khususnya aku yang bahkan tidak mengunjungi kelas lain keculai diminta oleh guru. Derald kemudian berbicara, lagi lagi dengan nada datar sambil mengangguk.
“Hmm, Rhena kan?” Kami semua tercengang detik itu juga.
“AHH! Derald!!” Bob membentak Derald dan melempar tatapan kesal. Tiba tiba suasana menjadi riuh dan mulai menggoda Bob. Ahaha.. ternyata seperti ini rasanya menggoda seseorang? Aku cukup menikmatinya.
“Hmm, Rhena kan?” Kami semua tercengang. “AHH! Derald!!” Bob membentak Derald dan melempar tatapan kesal. Tiba tiba suasana menjadi riuh dan mulai menggoda Bob. Ahaha.. ternyata seperti ini rasanya menggoda seseorang? Aku cukup menikmatinya. “Jelas aku mengetahuinya, dia sering hadir di rapat kegiatan sekolah. Rhena Taylor, perwakilan dari klub permainan papan” Terang Derald. Ah iya, aku baru ingat dia salah satu anggota OSIS. Kalau tidak salah aku mengingat, dia membacakan pidato pembukaan tahun lalu. “Oh.. Jadi itu sebabnya kau mendapatkan permainan ini? Dasar modus.” Celetuk Jimmy yang kemudian mengundang tawa kami semua. Permainan berlanjut. Dan lagi lagi aku mendapat angka 2. Tetapi aku tidak meli
“Siaaap, MULAIII!!!”Aku menutup mataku. Mulai merasakan tubuhku bergerak maju tanpa menggerakkan kakiku. Tanpa sadar aku mengencangkan pelukanku padanya. Sepertinya aku sempat menjerit ketika dia mulai berlari, entahlah aku tidak terlalu mengingatnya. Aku membenamkan wajahku dibalik punggungnya yang lebar. Antara takut jatuh atau malu. Derald kembali berbicara ditengah nafasnya yang terengah. “*hufh* Kau berat ya..” “Jangan bicarakan itu sekarang, aku akan jatuh!” teriakku panic. Tapi Derald hanya tertawa dan terus melanjutkan larinya kearah teman-teman kami di bawah pohon. Aku mendengar sayup terdengar teriakan mereka dari kejauhan. Tetapi lagi lagi, yang bisa kuingat hanya diriku yang sedang memeluk Derald sambil berlari sekarang.&
“Ayo” kata Derald. “Kemana?” tanyaku sambil berdiri. “Ke bawah pohon. Kau mau menunggu sendirian di lapangan ini?” Saat itu juga aku baru sadar orang-orang sudah pergi. “Ya... baiklah.” Sampai di ‘markas’ tempat kami biasa berlatih, aku langsung bersandar pada pohon itu. “Ah.. nyaman sekali” kataku perlahan bersandar. “Tadi itu sangat menyenangkan, seru sekali.. Seandainya kita tidak berdebat, pasti kita bisa menjawab semuanya.” Aku membuka tutup botol minumku dan mulai meminumnya. “Aku sudah mengatakan jawabannya, tapi kau malah bilang jawabanku salah.” Jawabnya. Kami terus bercerita tentang seleksi tadi. Itu memang topik yang bagus untuk saat ini. Sore itu sangat nyaman. Bersandar di bawah pohon,
“Lomba akan diadakan 3 hari lagi. Karena lomba ini diadakan bersamaan dengan Pekan Pramuka, maka kita akan bersama dengan anggota pramuka dan klub sains dari berbagai daerah. Kita juga akan menginap 2 hari 1 malam disana.” Suara kemudian menjadi riuh, padahal kami hanya ber 6. Tapi aku hanya terdiam. Bukannya aku tidak suka jika itu menginap. Masalah terbesarnya berada di orangtuaku. Bagaimana aku akan mendapatkan izin untuk ini?Menginap? Bahkan untuk bermain bersama teman-temanku diluar hari sekolah saja sudah cukup untuk membuat satu rumah terasa kaku dan dingin. Itu terakhir kali terjadi di sekolah dasar. Aku hanya memiliki 72 jam tersisa sampai waktunya tiba nanti. Apa aku harus memicu permasalahan itu lagi? Atau aku harus mundur dari kesempatan ini? Tapi aku benar benar tidak ingin mundur. Ini bukan hanya tentang uang lomba, teman teman, atau Derald. Ini tentang diriku dan kesempatanku untuk berkembang. Aku mungkin tidak akan mendapat kesempatan yang s
“Tunggu, tunggu dulu, Derald. Setelah kupikir pikir sepertinya tidak usah. Hahah, Iya, aku baik baik saja. Aku akan mencoba untuk mengatasi ini sendiri. Hahaha.. iya..” Kataku dengan tawa janggung disetiap selanya. “Kenapa?” Derald bertanya seperti benar benar tidak mengerti apa dan mengapa. Gawat, aku sungguh belum menemukan alasan yang pas untuk kukatakan padanya dan mencegahnya bertemu orangtuaku. Derald kembali berbicara. “Tenang saja, kau tau, semua sponsor acara sekolah kita sampai saat ini? Akulah yang menegosiasikannya selama aku bergabung dengan OSIS. Ini pasti akan berjalan lancer. Percayalah. Hahaha..” katanya sangat percaya diri sambil menepuk pundakku dengan maksud menghibur. Tapi aku tetap sama sekali tidak terhibur. “Oh, benar juga. Karena 3 hari lagi kita akan berangkat, bagaimana jik
Di bawah, aku sudah melihat ayah dan Bill yang berada di depan TV sambil menungggu ibu yang sedang menyiapkan makan malam. Bau masakan ibu sudah menyeruak kemana mana, sepertinya akan segera matang. Aku dengan kaos putih longgar dan celana pendek hitamku langsung ikut menubrukkan diri ke sofa tempat ayah dan Bill. “Kau tidak membantu ibumu, Sofia?” Ayah menegurku namun tidak melihat mataku ketika berbicara. Dan akupun juga melakukan hal yuang sama. “Ibu sebentar lagi sudah selesai.” Jawabku singkat, nampaknya ayah juga tidak peduli dengan apapun jawabanku. Seperti biasa. Jujur saja, semakin aku beranjak ‘tua’, aku semakin tidak ingin berbicara dnegan orangtuaku, khusunya ayah. Entahlah, aku hanya tidak nyaman. Insitngku mengatakan akan selalu ada hal tak baik jika aku berbicara secara dalam dengan ayahku. Tapi saat ini nampaknya ayah nampaknya punya lebih dari satu topik untuk diceritakan.
Selama berlari Derald tidak melepas genggaman tangannya padaku. Tempo larinya juga disesuaikan dengan kemampuan fisikku. Aku menyadarinya karena kecepatan berlarinya tidak secepat waktu itu ketika menggendongku. Ini terasa sangat menyenangkan. Meskipun agak melelahkan untuk fisikku yang lemah. Aku merasa payah tiba tiba. “Tunggu disini, aku akan segera kembali.” Katanya padaku ketika dia berhenti berlari. Dia kemudian masuk ke salah satu rumah yang cukup besar dengan banyak motor disana. Dia kemudian keluar dengan menaiki motor besar dan helm yang sudah nagkring manis di kepalanya. Derald mengangkat kaca helmnya. “Naiklah, jika terlalu lama kita tidak akan sempat berkeliling.”Tanganku yang sedang meraih helm yang disodorkannya terhenti karena kalimatnya tadi. “Tunggu, apa yang baru saja ka―”&nb
“Oh, Kurt, ini Sofia, teman sekolahku. Sofia, ini Kurt.” Jelasnya singkat padaku dan Kurt. “Hoohh, apa ini? Jadi kau mendapat gadis baru, huh, Pangeran?” Kurt menggoda Derald walau masih dengan nada santai sambil mengeluarkan sebatang rokok dari saku dan membakarnya. Aku tidak dapat mencegah diriku sendiri untuk memalingkan wajah, karena aku yakin wajahku memerah sekarang, menahan diriku untuk tidak tersenyum disaat seperti ini sangat sulit. Dari jarak pandang yang tidak terlalu jauh aku melihat Derald dari sudut mataku. Oh… dia juga seperti menahan sesuatu juga. “K―Kurt, kau terlalu banyak bicara.” Derald berusaha kembali mengambil alih dirinnya agar tetap terkontrol. “Dimana Kido?” Derald bertanya ke poin utama mengapa kita berada disini sekarang