Di bawah, aku sudah melihat ayah dan Bill yang berada di depan TV sambil menungggu ibu yang sedang menyiapkan makan malam. Bau masakan ibu sudah menyeruak kemana mana, sepertinya akan segera matang. Aku dengan kaos putih longgar dan celana pendek hitamku langsung ikut menubrukkan diri ke sofa tempat ayah dan Bill.
“Kau tidak membantu ibumu, Sofia?” Ayah menegurku namun tidak melihat mataku ketika berbicara. Dan akupun juga melakukan hal yuang sama. “Ibu sebentar lagi sudah selesai.” Jawabku singkat, nampaknya ayah juga tidak peduli dengan apapun jawabanku. Seperti biasa. Jujur saja, semakin aku beranjak ‘tua’, aku semakin tidak ingin berbicara dnegan orangtuaku, khusunya ayah. Entahlah, aku hanya tidak nyaman. Insitngku mengatakan akan selalu ada hal tak baik jika aku berbicara secara dalam dengan ayahku. Tapi saat ini nampaknya ayah nampaknya punya lebih dari satu topik untuk diceritakan.
Terima kasih buat orang orang yang sudah mau membaca ceritaku, walau dengan cerita yang tidak terlalu seru, tata bahasa yang berantakan, dan segala kekurangannya. Aku sangat berterimakasih.
Selama berlari Derald tidak melepas genggaman tangannya padaku. Tempo larinya juga disesuaikan dengan kemampuan fisikku. Aku menyadarinya karena kecepatan berlarinya tidak secepat waktu itu ketika menggendongku. Ini terasa sangat menyenangkan. Meskipun agak melelahkan untuk fisikku yang lemah. Aku merasa payah tiba tiba. “Tunggu disini, aku akan segera kembali.” Katanya padaku ketika dia berhenti berlari. Dia kemudian masuk ke salah satu rumah yang cukup besar dengan banyak motor disana. Dia kemudian keluar dengan menaiki motor besar dan helm yang sudah nagkring manis di kepalanya. Derald mengangkat kaca helmnya. “Naiklah, jika terlalu lama kita tidak akan sempat berkeliling.”Tanganku yang sedang meraih helm yang disodorkannya terhenti karena kalimatnya tadi. “Tunggu, apa yang baru saja ka―”&nb
“Oh, Kurt, ini Sofia, teman sekolahku. Sofia, ini Kurt.” Jelasnya singkat padaku dan Kurt. “Hoohh, apa ini? Jadi kau mendapat gadis baru, huh, Pangeran?” Kurt menggoda Derald walau masih dengan nada santai sambil mengeluarkan sebatang rokok dari saku dan membakarnya. Aku tidak dapat mencegah diriku sendiri untuk memalingkan wajah, karena aku yakin wajahku memerah sekarang, menahan diriku untuk tidak tersenyum disaat seperti ini sangat sulit. Dari jarak pandang yang tidak terlalu jauh aku melihat Derald dari sudut mataku. Oh… dia juga seperti menahan sesuatu juga. “K―Kurt, kau terlalu banyak bicara.” Derald berusaha kembali mengambil alih dirinnya agar tetap terkontrol. “Dimana Kido?” Derald bertanya ke poin utama mengapa kita berada disini sekarang
“Jadi,…” Kataku menagih sesuatu padanya. “Hm?” Derald nampaknya tidak mengerti apa yang aku bicarakan. “… kau berhutang penjelasan padaku. Sejak dirimu tiba tiba muncul di depan kelasku hingga detik ini. Apa maksu―” Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, dia memotongku dengan tertawa kecil. Aku mengerutkan dahi. “Apa yang lucu?” “Haha… Tidak, tidak apa-apa…” Derald mengusap ujung matanya. “…kau sangat ekspresif ya, haha… maksudku… ah sudahlah.” Dia berusaha menjelaskan ditengah tawanya. Apa aku begitu lucu? Aku tidak tau.&n
“Terimakasih untuk hari ini, Derald.” Kataku berjalan dibelakangnya menuju ke halaman depan rumah. Disana, Kido terparkir rapi menunggu pemiliknya. “Ya,..” Derald mengambil helm yang digantung di spion motornya. “…kita berhasil.” Aku mengangguk sedikit sambil tersenyum. Derald pun bersiap untuk pulang. Ya, ceritanya cukup panjang, tapi perizinan dengan orangtuaku berjalan lancer, dan membuahkan hasil juga. Meski aku tidak yakin apakah ini karena kemampuan negoisasinya, atau hanya karena ayahku sudah mendapatkan impresi yang baik tentang Derald bahkan sebelum mereka bertemu dan saling mengenal hari ini. Yang intinya, aku berhasil mendapat izin, untuk tetap mengikuti lomba, dan menginap. “Sampai jumpa besok, Sofia. Aku akan menghubungimu nanti.” Dera
“Halo...” Suara laki-laki yang terdengar tidak asing muncul dari ujung sana. “Halo, Anderson disini. Siapa?” Meski aku sudah berusaha untuk tetap sopan, sepertinya auraku menolak hingga suaraku tetap mengeluargan nada-nada malas di dalamnya, semoga tidak terdengar di ujung sana. “Saya Derald Roussaint, bisa saya bicara dengan Sofia?” Tak heran seperti pernah mendengar suaranya, ini Derald! Padahal aku baru saja membayabgkan dirinya dalam halusinasiku. Maafkan aku atas apa yang aku lakukan dalam imajinasiku dengan menggunakan sosokmu, Derald. Meski tidak mungkin kukatakan langsung. Tidak, 
“Ya,.. baiklah, sepertinya kita memang harus lebih fokus lagi, hahah…” Kataku menuju akhir dari pembicaraan. “Ya,…” Jawab Derald terdengar seperti tidak senang. Dia lalu melanjutkan dengan nada bicara yang berbeda 180 derajat dalam hitungan milisekon. “Jadi, bagaimana menurutmu jika aku benar-benar mengatakan pengakuan pada ibumu seperti tadi?” Seakan aku melewatkan satu atau dua detak jantungku, aku merasa ruang pernafasanku menyempit. Huft.. dia kembali menggodaku, bahkan disaat saat seperti ini. Kebiasaan Derald yang aneh. Aku menghentikan langkahku di anak tangga kedua dari lantai pertama. Aku melihat sudah tidak ada orang, dan hanya beberapa lampu malam sedikit menerangi ruangan itu. “Me―Memangnya tadi itu… benar-benar perasaanmu?” Aku tersenyum konyol tanpa sadar sambil mempercepat langkahku ke dapur lalu membuka cabin
Aah, apa kakiku masih menapak di lantai? Sepertinya ada laki-laki yang meneriakkan namaku, sesaat sebelum semuanya tampak gelap. Tidak boleh menyusakan, kah? Terdengar terlalu keren untukku mengatakannya, kurasa. Tapi, ya, itu benar. Seharusnya aku tidak bergantung padanya terlalu sering. Aku bahkan membuat Derald membantuku meminta izin pada ayahku. Hal sepele seperti itu saja aku tidak mampu dan meminta bantuannya. Bila dipikir-pikir, aku sangat lemah, bukan? Sejak kapan aku menjadi seperti ini? Sangat tidak keren. Jika terus seperti ini, aku tidak akan pernah sampai diposisi Derald,.. Ya…, terlalu jauh… “Oiii…” Suara yang berat menggema seperti berasal dari tempat yang sangat jauh. Beberapa saat kemudian aku mencium bau min menyengat, salah satu bau favoritku di dunia ini selama 13 ta
“Aku ini benar benar sangat payah…” Meski tubuhku sedikit mendapat kekuatannya kembali, sepertinya hatiku masih tidak ingin diatur oleh otakku dan bertindak sesuai keinginannya. “… seharusnya aku.. sedang belajar sekarang. Kau tau, aku akhirnya berhasil masuk dalam tim inti untuk perlombaan besok. Kesempatan ini ada 3 tahun sekali, dan jatuh pada angkatan kita, keren bukan? Eheheh…” Aku tidak tau mengapa, tapi Fazel tidak merespon apapun, mungki dia tidak mendengarkan. Ya… lebih baik dia tidak mendengar aku yang seperti ini, entah dia peduli atau tidak, aku hanya merasa malu. “Akhirnya aku memiliki beberapa teman. Ellen, Stacy, Bob, Jim,… dan, Derald… Oh, kau tau, aku sepertinya juga belum berkenalan dengan rekan baru kami di tim S
“Ooi! Katakan sesuatu!” Suara pukulan yang keras tepat di perutnya bersamaan dengan suaranya yang mencoba untuk menahan muntahan darah untuk keluar dari mulutnya. Wajahnya yang berlumuran darah tiba tiba menyebut namaku. “Lari, S-Sofia…” “Derald!” Aku segera menggerakkan tubuhku dan berlari menuju Derald. Tapi ketiga orang yang berada dibelakangku segera menangkapku. “Sofia— Ugh…!“ Derald mencoba berteriak ketika melihat mereka menangkapku. Meski dia akhirnya dipukuli lagi dan lagi. Aku mencoba untuk memberontak tetapi mereka langsung menahan perger
“Bagaimana dengan perjanjiannya?” “Aah. Hanya beberapa jam lagi, ya…” Aku tiba-tiba menghentikan langkahku. “… setelah itu kita bisa membakar tempat ini.” Wah, wah… Sepertinya meninggalkan tempat ini bukan tindakan yang benar untuk sekarang. Apa jangan jangan ini yang aku dan Derald dengar sore tadi sebelum babak kedua dimulai. Aku segera kembali ketempat sebelumnya, merapat ke dinding. “Selain itu, memanfaatkan acara ini sungguh ide yang luar biasa, ketua. Anda memang hebat.&
“Kau… sungguh tidak menggunakan parfum?” Aku membalas wajah terkejutnya dengan tatapan bingung. Apa itu sesuatu yang aneh? Aku hanya mengangguk. “Sungguh, kau tidak pernah memakai parfum?” “Uhm.” Aku lagi lagi mengangguk. “Sungguh tidak pernah?” Dia mendekatkan wajahnya.
Aku segera beranjak menuju tenda kami yang berada di bawah pohon, tidak sulit untuk menemukannya. Segera aku masuk ke dalam tendaku yang ku tempati berdua dengan Alisa nantinya. Setidaknya aku perlu istirahat dari ini keriuhan ini. Istirahat yang cukup bagi fisik, dan mentalku. Terus berada bersama ditengah orangorang membuatku lelah, secara batin. Aku melepas jas almamater dan rompi rajut serta melonggarkan dasi yang ku gunakan. Hanya meninggalkan kemeja dan rok kotak-kotak, juga membiarkan kaos kaki hitamku tetap berada di tempatnya. Di dalam sini terasa panas, ditambah aku yang baru saja berlari, membuat tubuhku menjadi terasa panas. Aku mulai bisa merasakan keringat menetes satu demi satu dari tubuhku. M
“Uughhh..haaah….” Aku meregangkan tubuhku setelah keluar dari area hutan. Babak kedua akhirnya kami lalui dengan lancar. Ternyata tidak semua dari peserta lolos di babak ini. Itu sangat masuk akal jika kau tanya aku. Pasalnya, berbeda dari mengerjakan soal biasa, dengan sistem permainan “Mencari Harta Karun” pada babak ini, kau tidak bisa memilih soal mana yang menurutmu mudah atau yang bisa kau kerjakan terlebih dulu. Semuanya harus selesai denga jawaban yang tepat, atau setidaknya mendekati. Jika kau salah perhitungan, itu akan menyebabkan mu tersesat di dalam hutan itu. Ya, meskipun sudah ada tali pembatas untuk membuat permainan ini tetap aman. “Kau meregangkan tubuhmu seperti wanita tua, Sofia.” 
“Kalau begitu, sekarang kita selalu bersama ya, Sofia!” Kataku padanya. Gadis itu kemudian membalas senyumku dengan begitu cerahnya. Aku merasakan sesuatu yang membuatku bergetar ketika melihat itu. “Lalu kau sendiri, kenapa ada di sini?” Dia balik bertanya padaku.Sungguh, aku berfikir untuk tidak mengatakannya. Dia mungkin tidak akan mengerti apa yang aku akan aku ceritakan. Apa sebaiknya aku berbohong? Tapi kebohongan apa yang harus aku katakan. Bagian dari dalam diriku seperti tidak bisa berbohong padanya.“Um.. ceritanya panjang—“ “Ceritakan!” Sekarang dia melihatku dengan mata yang berapi api. Well, sepertinya aku memang tidak bisa berbohong darinya.&
Tapi malam itu, rasanya aku sudah tidak kuat lagi menahan semuanya. Aku ingin berlari, berteriak, sejauh dan sekencang yang aku bisa. Aku ingin melepaskan semuanya. Dengan mata tertutup dan air mata yang mulai menetes aku berlari secepat yang aku bisa. AKu tidak memiliki tujuan, tidak tau harus kemana. Tapi aku hanya ingin berlari, dengan begitu mungkin aku kana kelelahan dan pingsan, atau mati jika aku beruntung, hanya itu yang ada dalam pikiranku saat itu. Tapi sepertinya malaikat masih ingin melihatku bertarung lebih lama lagi. Nihil, aku akhirnya hanya kesulitan bernafas dan terjatuh di tengah jalan yang sepi, tak ada siapapun. Saljunya terasa begitu lembut, meski akhirnya melukai tanganku yang sudah terlalu lama menahan suhu dingin di luar sini. Aku akhirnya mau tidak mau bangkit kembali setelah
Di malam bersalju itu, aku bertemu dengannya. Udara yang dingin menerpa jari jemariku yang kecil saat itu. Aku hanya bisa menahan dinginnya, dan perlahan merasakan kulitku yang seakan membeku. Meski begitu aku masih memilih untuk berada di luar. Mau bagaimana lagi, di dalam rumah ataupun di luar, dinginnya tetap sama. Entahlah, apa aku pantas mengatakan bahwa takdir yang harus kujalani ini terlalu sulit. Aku tidak ingin mengasihani diriku sendiri. Aku mulai percaya apa yang dikatakan orang orang. “Sesuatu yang kau dapatkan harus kau bayar dengan sesuatu yang setimpal.” Adik perempuanku baru saja lahir be
“Kau mengatakan sesuatu?” “Ahh umm tidak, hanya, aku terkesan kau bisa melewatkan tahap taman kanak kanak, sekaligus merasa kasihan.” Begitu jawabnya. Sebenarnya aku sedikit mencurigainya karena dia terbata bata. Tapi, mungkin ia hanya terkejut mendengar ada orang yang melewatkan TK. “Ya… orangtuaku, khususnya ayah. Dia berfikir taman kanak-kanak itu adalah hal yang sia sia dan terlalu memakan banyak biaya hanya untuk ‘bermain-main’. Jadi, daripada mengirimku ke TK, ayah menyuruhku untuk tetap di perpustakaan dan belajar.” “Kau benar benar terus belajar?” Derald hampir kehilangan fokusnya pada soal dan melihatku dengan tatapan terkejut.&n