“Hai semuanya! Nampaknya aku benar-benar tertinggal.” Sebuah suara yang terdengar dari jauh. Suara yang persis sama seperti yang kudengar kemarin. Suara yang lembut dan menyenangkan, terdapat aura semangat dan keceriaan tersirat didalamnya. Meski begitu wibawanya tetap tidak hilang. Dan sampai waktunya si misterius itu bersuara, aku baru menyadari.
Dia yang kemarin.
Hei" panggilku sambil menyenggol lengan Jessy. "Dia itu siapa?" dia menatapku agak heran. "Kau bercanda?" "tidak, aku serius, dia itu siapa?" tiba-tiba Ellen ikut angkat suara. "Ya ampun, Sofia. Dia itu Derald. Cowok populer yang pernah jadi pacar Jennifer Amity. Putus dua bulan lalu, katanya karena beda komitmen. Dan Derald yang memutuskannya. Itu berita yang bahkan masih hangat sampai sekarang!" Terlihat wajah serius dari dua orang yang menghimpit ku ini. "Wah.. aku sangat kacau. Orang populer saja aku tidak kenal. Aku memang payah. Hehe.." kataku tersenyum berat sambil menggaruk tengkuk ku yang —sebenarnya—tidak gatal.
Jadi, dia Derald.
Derald ya…
Sekejap aku menghilang dalam pikiranku sendiri dan tidak mendengar apapun lagi disekitarku. AKu tidak mengingat apa yang terjadi selama aku ‘menghilang’.
Memang sih, dari postur tubuhnya, sudah tidak mengherankan kalau dia pernah jadi pacar Jennifer. Dan dia benar-benar seperti seorang 'Derald'. Bukannya aku tau bagaimana seharusnya seseorang bernama Derald. Tapi dia memang sangat cocok dengan nama Derald, apalagi dengan wajah yang terlihat seperti seorang brave leader di film-film.
"Hei Derald! Dari mana saja kau? Kemarilah" seketika Bob dan Jimmy berdiri dan merangkul Derald yang baru selesai berlari dari sebernag lapangan menuju tempat kami berada. Mereka seperti sudah kenal lama. Bahkan mungkin lebih dekat lagi. Seperti sahabat.
Dan saat itu juga aku merasa isi perutku mulai merambat naik, ingin kembali ke luar. Aku seperti berdebar debar untuk kedua kalinya hari ini. Astaga… apakah aku menderita asma?
Bob kemudian berkata “Nah, Derald, ini Sofia. Anggota tim kita” lalu dia mulai berbisik ―walau aku masih bisa mendengarnya dengan sangat-sangat jelas— “dan dia anggota baru itu.” Tergambar di raut wajah Derald seperti tersirat Oooh begitu. “Sofia, ini Derald” kata Bob memperkenalkan Derald padaku. Kurasa dia agak sedikit terlambat, karena aku sudah tau. Untuk menjaga reputasi dan kesopanan, maka kuucapkan “Hai, Derald”.
“Hai, Derald”Aku berdiri dan menawarkan jabat tangan.
Dia terlihat agak syok. Tapi aku tidak masalah. Lalu dia membalas tanganku, dan masih dengan senyumnya yang sama.
“Kita pernah bertemu sebelumnya kan?” Tanya Derald padaku.
“Hmm.. Iya.. kurasa, ahaha..” kataku agak canggung. Aku tidak tau bagaimana harus bertindak sekarang.
“Sudah kuduga. Aku selalu ingin bicara denganmu lagi sejak itu.” Dia sangat antusias dan tersenyum lagi padaku. Pesonanya sangat menyilaukan. Tapi sebelum aku tertangkap basah tidak tau harus bagaiman hanya didepan cowok tinggi ini, aku memaksakan diri dan berbohong.
“Aku juga!” kataku dengan tersenyum, kemudian mengangkat kepala agar bisa melihat matanya.
“Keren! Kalau begitu ayo kita pergi bersama dan mengobrol kapan-kapan.”
Tunggu sebentar…
Hanya diriku atau orang ini memang terlalu mudah mengajak orang orang untuk jalan jalan bersamanya?
“Jadi kalian sudah saling mengenal? Ah, kalian benar benar tidak asik. Kupikir salah satu diantara kalian akan jatuh cinta pada pandangan pertama, sial.” Keluh Bob di sambut dengan tawa para laki-laki di tim kami. Aku mencoba menahan senyum malu, dan menutup sedikit dengan rambutku yang hanya mencapai bahu.
Tidak butuh waktu lama setelah itu saat aku kembali duduk, mata Ellen dan Stacy belum lepas dariku. Rasa iri, heran, takjub dan tidak menyangka itu akan terjadi, bergabung jadi satu dalam sorot mata mereka. Perasaan negative mereka benar benar menusukku ssecara tak kasat mata, sangat tidak menyenangkan. Aku hanya pura-pura tidak lihat.
“Ok, sekarang bagaimana?” tanya Derald membuka sesi pertemuan dengan suara benar benar seperti pemimpin sungguhan. Dia keren.
Lalu kami semua membuat strategi. Terdapat 3 cabang lomba, cerdas cermat, penyelamatan dan penanganan darurat, dan eksperimen kimia. Masing masing mata lomba terdiri dari 2 orang, karena itu hanya satu tim yang akan ikut lomba. Ellen dan Stacy lebih ahli dalam eksperimen kimia, Bob dan Jimmy juga ahli di penyelamatan darurat. Jadi, aku yang tidak punya keahlian apapun ini, mau tidak mau ikut cerdas cermat bersama Derald, yang sudah pasti lebih menguasai materinya.
Setelah mengumpulan laporannya, seluruh tim berpencar mencari tempat latihan mereka selama seminggu kedepan. “Sepertinya disana kosong” saran Stacy menunjuk ke bangku taman yang teduh dengan pepohonan. Baru kami berencana berjalan kesana, tim 3 sudah menempatinya lebih dulu.
Aku melihat tempat yang cukup bagus ditaman, walau tidak semewah markas tim lain. “Disana!” teriakku sambil menunjuk pohon besar di taman.
“Ya.., itu cukup teduh.” kata Jimmy. ”Bagaimana menurutmu Bob?” Bob terlihat tidak sabar.
“Tentu saja iya, aku bisa makan setiap kali kita berkumpul!” Kalau melihat dari tempatnya yang berada di dekat kantin, alasan Bob memang cukup masuk akal.
“Baiklah, apa yang kita tunggu?” Derald siap berlari, dan dia benar-benar melakukannya. “Yang terakhir harus traktir jajan!” katanya bersemangat dan diikuti Jimmy.
“Aku setuju!”
Kami berlomba sampai dibawah pohon itu. Tapi sepertinya, aku memang ditakdirkan untuk menjajani mereka. Dan fakta bahwa aku tidak berbakat dalam bidang olahraga juga sangat mendukung. Sepanjang waktu sebelum seleksi rasa-rasanya sangat cepat berlalu. Aku harus kebut materi dan ini membuatku agak lelah. Banyak yang harus kuketahui sebagai anak baru. Dan tentunya Derald tidak akan membiarkanku istirahat sampai aku benar-benar siap. Dia juga banyak memberiku kertas-kertas penuh materi yang harus aku pelajari.
“Kau mau pergi kemana?” Tanya Derald padaku yang tertangkap basah hari itu, membawa tas keluar kelas pada jam pulang sekolah normal, pukul 2 siang. Aku menoleh kebelakang perlahan dan mendapati tatapan malas Derald dengan jari yang mengisyaratkan untuk kembali. Aku kembali melihat kedepan dan menghela napas. Aku benar benar lelah. Setidaknya biarkan aku kembali ke kursi santai dirumah dan membaca novelku untuk sehari saja. “Baiklah, kau menang.” Responku pasrah. Mau tak mau, akupun kembali ke kelas. “Baguslah jika kau mengerti, karena hingga kita siap untuk medan tempur nanti, kita tidak akan mendapat waktu luang. Persiapkan dirimu, Sofia” Kalimat kemudian diakhiri dengan senyuman manis khas miliknya itu. Sedikit memberiku semangat, tapi aku menganggapnya sebagai ejekan pada anak baru yang buta mater
Aku selalu merasa takut untuk merasa bahagia, apalagi untuk cerita roman remaja. Bukan hanya karena orangtuaku yang sangat kaku. Entahlah, setiapkali aku merasa bahagia, disaat yang bersamaan aku merasa akan ada suatu bahaya atau kecelakaan besar. Dengan ‘fobia’ anehku itu aku jadi orang yang sangat waspada. Posisi, keadaan, ataupun orang lain, aku seakan tidak bisa mempercayai mereka jauh dari lubuk instingku yang paling dalam. Tapi aku harus tetap memakai topeng ini untuk bisa menjalani kehidupan normal. Dan parahnya terkadang hormone hormone remaja ini terlalu sulit untuk dikendalikan. Aku bahkan sering merasa tidak mengerti diriku sendiri. Mungkin itulah artinya menjadi remaja? Dan seperti biasa di jam pulang sekolah, tim kami selalu belajar bersama di bawah pohon itu, markas kami. Bahkan seingatku kami tidak pernah pulang tepat waktu sejak saat itu. Sampai penjaga sekolah berteriak untuk mengakhiri seluru
Kami semua berlatih bersama selam 2 minggu itu. Bukan hanya hubungan dan kerja sama kami yang mengalami perkembangan, namun juga ranah social disekitar kami. Tak luput juga gossip gossip baru yang beredar. Sekian banyak hoax-hoax yang beredar dan cukup banyak penghuni sekolah yang meyakini hal itu. Seperti Jennifer yang naksir keeper tim futsal sekolah yang sudah jelas mustahil ditaksir cewek popular, apalagi mengingat mantannya yang sekelas Derald. Yang membuatku paling tidak percaya adalah ada aku dalam pergosipan kali ini. Aku. Iya, Aku?? Mungkin karena selama enam hari aku terus bersamanya, cowok yang pernah jadi pacar Jennifer itu, dan menghabiskan sore hariku dibawah pohon dengan Derald, bersama yang lainnya juga sebenarnya. Juga tentang seberapa dekat rumah kami, dan soal kesamaan pelih
“Hmm, Rhena kan?” Kami semua tercengang. “AHH! Derald!!” Bob membentak Derald dan melempar tatapan kesal. Tiba tiba suasana menjadi riuh dan mulai menggoda Bob. Ahaha.. ternyata seperti ini rasanya menggoda seseorang? Aku cukup menikmatinya. “Jelas aku mengetahuinya, dia sering hadir di rapat kegiatan sekolah. Rhena Taylor, perwakilan dari klub permainan papan” Terang Derald. Ah iya, aku baru ingat dia salah satu anggota OSIS. Kalau tidak salah aku mengingat, dia membacakan pidato pembukaan tahun lalu. “Oh.. Jadi itu sebabnya kau mendapatkan permainan ini? Dasar modus.” Celetuk Jimmy yang kemudian mengundang tawa kami semua. Permainan berlanjut. Dan lagi lagi aku mendapat angka 2. Tetapi aku tidak meli
“Siaaap, MULAIII!!!”Aku menutup mataku. Mulai merasakan tubuhku bergerak maju tanpa menggerakkan kakiku. Tanpa sadar aku mengencangkan pelukanku padanya. Sepertinya aku sempat menjerit ketika dia mulai berlari, entahlah aku tidak terlalu mengingatnya. Aku membenamkan wajahku dibalik punggungnya yang lebar. Antara takut jatuh atau malu. Derald kembali berbicara ditengah nafasnya yang terengah. “*hufh* Kau berat ya..” “Jangan bicarakan itu sekarang, aku akan jatuh!” teriakku panic. Tapi Derald hanya tertawa dan terus melanjutkan larinya kearah teman-teman kami di bawah pohon. Aku mendengar sayup terdengar teriakan mereka dari kejauhan. Tetapi lagi lagi, yang bisa kuingat hanya diriku yang sedang memeluk Derald sambil berlari sekarang.&
“Ayo” kata Derald. “Kemana?” tanyaku sambil berdiri. “Ke bawah pohon. Kau mau menunggu sendirian di lapangan ini?” Saat itu juga aku baru sadar orang-orang sudah pergi. “Ya... baiklah.” Sampai di ‘markas’ tempat kami biasa berlatih, aku langsung bersandar pada pohon itu. “Ah.. nyaman sekali” kataku perlahan bersandar. “Tadi itu sangat menyenangkan, seru sekali.. Seandainya kita tidak berdebat, pasti kita bisa menjawab semuanya.” Aku membuka tutup botol minumku dan mulai meminumnya. “Aku sudah mengatakan jawabannya, tapi kau malah bilang jawabanku salah.” Jawabnya. Kami terus bercerita tentang seleksi tadi. Itu memang topik yang bagus untuk saat ini. Sore itu sangat nyaman. Bersandar di bawah pohon,
“Lomba akan diadakan 3 hari lagi. Karena lomba ini diadakan bersamaan dengan Pekan Pramuka, maka kita akan bersama dengan anggota pramuka dan klub sains dari berbagai daerah. Kita juga akan menginap 2 hari 1 malam disana.” Suara kemudian menjadi riuh, padahal kami hanya ber 6. Tapi aku hanya terdiam. Bukannya aku tidak suka jika itu menginap. Masalah terbesarnya berada di orangtuaku. Bagaimana aku akan mendapatkan izin untuk ini?Menginap? Bahkan untuk bermain bersama teman-temanku diluar hari sekolah saja sudah cukup untuk membuat satu rumah terasa kaku dan dingin. Itu terakhir kali terjadi di sekolah dasar. Aku hanya memiliki 72 jam tersisa sampai waktunya tiba nanti. Apa aku harus memicu permasalahan itu lagi? Atau aku harus mundur dari kesempatan ini? Tapi aku benar benar tidak ingin mundur. Ini bukan hanya tentang uang lomba, teman teman, atau Derald. Ini tentang diriku dan kesempatanku untuk berkembang. Aku mungkin tidak akan mendapat kesempatan yang s
“Tunggu, tunggu dulu, Derald. Setelah kupikir pikir sepertinya tidak usah. Hahah, Iya, aku baik baik saja. Aku akan mencoba untuk mengatasi ini sendiri. Hahaha.. iya..” Kataku dengan tawa janggung disetiap selanya. “Kenapa?” Derald bertanya seperti benar benar tidak mengerti apa dan mengapa. Gawat, aku sungguh belum menemukan alasan yang pas untuk kukatakan padanya dan mencegahnya bertemu orangtuaku. Derald kembali berbicara. “Tenang saja, kau tau, semua sponsor acara sekolah kita sampai saat ini? Akulah yang menegosiasikannya selama aku bergabung dengan OSIS. Ini pasti akan berjalan lancer. Percayalah. Hahaha..” katanya sangat percaya diri sambil menepuk pundakku dengan maksud menghibur. Tapi aku tetap sama sekali tidak terhibur. “Oh, benar juga. Karena 3 hari lagi kita akan berangkat, bagaimana jik