Aku melihat keseluruh penjuru. Terlihat orang orang kelas sebelah sedang asik mengobrol dengan kelompok pertemanan mereka. Sepotong percakapan mereka tak sengaja terdengar olehku, dan aku jadi mengerti mengapa mereka begitu serius dengan bahasan mereka.
Si Anak Populer.
Dan lebih spesifiknya, mereka bicara tentang…
Jennifer Amity.
Siapa yang tak kenal dengan seorang Jennifer Amity. Bahkan seluruh angkatan, baik yang tahun ini, tahun lalu sampai alumni sekalipun. Sebenarnya tak heran sih kalau dia bisa jadi begitu terkenal. Karena itu sesuatu yang sudah sangat jelas, dia memiliki semua aspek untuk menjadi populer. Kau tidak harus jadi cewek penyendiri sepertiku untuk tau hal itu.
Cewek-cewek mungil di sekolahku memang sangat mudah untuk jadi terkenal. Apalagi mendapatkan pacar setinggi 170 sentimeter yang lebih tua satu atau dua tahun, mungkin juga anggota tim inti basket atau futsal. Yah, kita bisa jadikan Jennifer sebagai acuan.
Dengan tinggi 150 sentimeter dan rambut panjang pirangnya, bakal jadi aneh kalau cowok-cowok akan berpikir dua kali buat naksir dia. Kulit putih, bulu mata lentik dan seorang mayoret. Tidak heran dia begitu populer ‘kan?
Tiba-tiba aku melihat seseorang di ujung lorong ini yang sudah mulai sepi. Dia baru saja dari tangga dan menuju ke lorong ini. Sepertinya,.. entah kenapa aku merasa pernah mengenalnya. Atau setidaknya melihatnya. Aku mencoba menyipitkan mataku yang rabun jauh 0,5 ini.
Dan benar saja, dia yang kemarin. Cowok yang mencoba bicara pada kucing putihnya itu. Dan aku rasa dia juga melihatku dari kejauhan, kemudian mencoba mengingat siapa aku. Sulit untuk mengenali orang dari jarak 25 meter.
Dia melangkah berbelok ke salah satu pintu kelas yang tertutup. Tapi dia nampak masih berusaha mengenaliku. Mungkin menyerah, atau karena tidak enak terus dipandang orang asing dari kejauhan, dia melempar sebuah lambaian kecil dan senyum manis yang sama. Aku dapat merasakannya meski dari jarak yang terasa sangat jauh ini. Dan aku membalasnya dengan cara yang sama. Aku jadi penasaran siapa orang itu. Aku baru saja melihatna, tapi entah kenapa sepertinya denyut jantungku agak sedikit lebih cepat dari biasanya hari ini. Apa aku menderita suatu penyakit parah?
Tiba tiba terdengar suara air hujan yang juga tiba-tiba turunnya, berbarengan dengan bel nyaring khas sekolah. Aku mencoba kembali pada diriku yang biasanya. Ayolah, lupakan semua dan fokus pada sekolah hari ini, Sofia!
****
Sekarang sudah jam 2 siang. Waktunya pulang. Tapi aku masih ada jadwal ekskul hari ini. Untungnya aku sedang tidak ada janji dengan laptop atau buku-buku ini. Aku berjalan menuju tempat anggota Science Club biasa berkumpul. Sekedar informasi, aku baru bergabung sejak pertemuan terakhir minggu lalu karena aku sama sekali tidak mengikuti kegiatan ekstra apapun hingga orang-orang dari kesiswaan memberitahukannya pada orangtuaku. Menurutku, ini lebih mirip kelompok Dokter Kecil atau semacamnya. Dan dengar-dengar, akan ada lomba 2 minggu lagi. Jika kau bertanya padaku tentang tujuanku ikut kegiatan ini, akan ku beritau. 20 persen karena kegiatan klub ini sangat jarang, 30 persen karena dipaksa ikut kegiatan ekstra apapun, 50 persen karena mengincar uang hadiah lomba yang cukup besar untuk masuk di rekening pelajarku.
Saat aku menaruh tas, dan mulai berkeliling. Di klub kami, kebanyakan dari mereka adalah orang yang serius. Maksudku, mereka sering menghabiskan waktu dengan membaca buku atau artikel-artikel majalah kesehatan. Dan jarang sekali terlihat bahkan dalam klub sains pun, orang orang mengoceh dengan temannya tentang anak populer atau semacamnya. Hanya segelintir orang yang punya selera humor. Tapi aku betah, karena bukan hanya aku satu-satunya orang pendiam disini.
Setelah beberapa menit berkeliling,seorang pria paruh baya yang kukenali sebagai Pembina klub ini datang. Dia bilang tidak bisa melatih kami hari ini, jadi dia hanya memberi tugas sebagai persiapan lomba. “ternyata rumornya benar” pikirku. Kemudian ia membagi 18 orang ini menjadi 3 tim. Dan aku terpilih masuk tim 2, bersama lima orang lainnya yang baru saja ku kenal beberapa menit setelah kami jadi tim. Diantaranya Ellen, Jessy, Bob, Jimmy. Hanya itu yang ada dan berkenalan denganku. Mereka bukan anak anak introvert sepertiku, tetapi mereka sanagt menyenangkan. Selama perbincangan pertama kami, aku menyadari aku bercerita lebih banyak dari biasanya. Bob memberi tau ada satu anggota lagi, dan dia belum ditempat sekarang. Dan sebelum si misterius sampai, mereka semua —anggota tim ku— berjanji untuk tidak akan memberitaukannya padaku. Aku bertanya tanya apa alasannya.
“Hai semuanya! Nampaknya aku benar-benar tertinggal.” Sebuah suara yang terdengar dari jauh. Suara yang persis sama seperti yang kudengar kemarin. Suara yang lembut dan menyenangkan, terdapat aura semangat dan keceriaan tersirat didalamnya. Meski begitu wibawanya tetap tidak hilang. Dan sampai waktunya si misterius itu bersuara, aku baru menyadarinya.
“Hai semuanya! Nampaknya aku benar-benar tertinggal.” Sebuah suara yang terdengar dari jauh. Suara yang persis sama seperti yang kudengar kemarin. Suara yang lembut dan menyenangkan, terdapat aura semangat dan keceriaan tersirat didalamnya. Meski begitu wibawanya tetap tidak hilang. Dan sampai waktunya si misterius itu bersuara, aku baru menyadari. Dia yang kemarin. Hei" panggilku sambil menyenggol lengan Jessy. "Dia itu siapa?" dia menatapku agak heran. "Kau bercanda?" "tidak, aku serius, dia itu siapa?" tiba-tiba Ellen ikut angkat suara. "Ya ampun, Sofia. Dia itu Derald. Cowok populer yang pernah jadi pacar Jennifer Amity. Putus dua bulan lalu, katanya karena beda komitmen. Dan Derald yang memutuskannya. Itu berita yang bahkan masih hangat sampai sekarang!" Terlihat wajah serius dari dua oran
“Kau mau pergi kemana?” Tanya Derald padaku yang tertangkap basah hari itu, membawa tas keluar kelas pada jam pulang sekolah normal, pukul 2 siang. Aku menoleh kebelakang perlahan dan mendapati tatapan malas Derald dengan jari yang mengisyaratkan untuk kembali. Aku kembali melihat kedepan dan menghela napas. Aku benar benar lelah. Setidaknya biarkan aku kembali ke kursi santai dirumah dan membaca novelku untuk sehari saja. “Baiklah, kau menang.” Responku pasrah. Mau tak mau, akupun kembali ke kelas. “Baguslah jika kau mengerti, karena hingga kita siap untuk medan tempur nanti, kita tidak akan mendapat waktu luang. Persiapkan dirimu, Sofia” Kalimat kemudian diakhiri dengan senyuman manis khas miliknya itu. Sedikit memberiku semangat, tapi aku menganggapnya sebagai ejekan pada anak baru yang buta mater
Aku selalu merasa takut untuk merasa bahagia, apalagi untuk cerita roman remaja. Bukan hanya karena orangtuaku yang sangat kaku. Entahlah, setiapkali aku merasa bahagia, disaat yang bersamaan aku merasa akan ada suatu bahaya atau kecelakaan besar. Dengan ‘fobia’ anehku itu aku jadi orang yang sangat waspada. Posisi, keadaan, ataupun orang lain, aku seakan tidak bisa mempercayai mereka jauh dari lubuk instingku yang paling dalam. Tapi aku harus tetap memakai topeng ini untuk bisa menjalani kehidupan normal. Dan parahnya terkadang hormone hormone remaja ini terlalu sulit untuk dikendalikan. Aku bahkan sering merasa tidak mengerti diriku sendiri. Mungkin itulah artinya menjadi remaja? Dan seperti biasa di jam pulang sekolah, tim kami selalu belajar bersama di bawah pohon itu, markas kami. Bahkan seingatku kami tidak pernah pulang tepat waktu sejak saat itu. Sampai penjaga sekolah berteriak untuk mengakhiri seluru
Kami semua berlatih bersama selam 2 minggu itu. Bukan hanya hubungan dan kerja sama kami yang mengalami perkembangan, namun juga ranah social disekitar kami. Tak luput juga gossip gossip baru yang beredar. Sekian banyak hoax-hoax yang beredar dan cukup banyak penghuni sekolah yang meyakini hal itu. Seperti Jennifer yang naksir keeper tim futsal sekolah yang sudah jelas mustahil ditaksir cewek popular, apalagi mengingat mantannya yang sekelas Derald. Yang membuatku paling tidak percaya adalah ada aku dalam pergosipan kali ini. Aku. Iya, Aku?? Mungkin karena selama enam hari aku terus bersamanya, cowok yang pernah jadi pacar Jennifer itu, dan menghabiskan sore hariku dibawah pohon dengan Derald, bersama yang lainnya juga sebenarnya. Juga tentang seberapa dekat rumah kami, dan soal kesamaan pelih
“Hmm, Rhena kan?” Kami semua tercengang. “AHH! Derald!!” Bob membentak Derald dan melempar tatapan kesal. Tiba tiba suasana menjadi riuh dan mulai menggoda Bob. Ahaha.. ternyata seperti ini rasanya menggoda seseorang? Aku cukup menikmatinya. “Jelas aku mengetahuinya, dia sering hadir di rapat kegiatan sekolah. Rhena Taylor, perwakilan dari klub permainan papan” Terang Derald. Ah iya, aku baru ingat dia salah satu anggota OSIS. Kalau tidak salah aku mengingat, dia membacakan pidato pembukaan tahun lalu. “Oh.. Jadi itu sebabnya kau mendapatkan permainan ini? Dasar modus.” Celetuk Jimmy yang kemudian mengundang tawa kami semua. Permainan berlanjut. Dan lagi lagi aku mendapat angka 2. Tetapi aku tidak meli
“Siaaap, MULAIII!!!”Aku menutup mataku. Mulai merasakan tubuhku bergerak maju tanpa menggerakkan kakiku. Tanpa sadar aku mengencangkan pelukanku padanya. Sepertinya aku sempat menjerit ketika dia mulai berlari, entahlah aku tidak terlalu mengingatnya. Aku membenamkan wajahku dibalik punggungnya yang lebar. Antara takut jatuh atau malu. Derald kembali berbicara ditengah nafasnya yang terengah. “*hufh* Kau berat ya..” “Jangan bicarakan itu sekarang, aku akan jatuh!” teriakku panic. Tapi Derald hanya tertawa dan terus melanjutkan larinya kearah teman-teman kami di bawah pohon. Aku mendengar sayup terdengar teriakan mereka dari kejauhan. Tetapi lagi lagi, yang bisa kuingat hanya diriku yang sedang memeluk Derald sambil berlari sekarang.&
“Ayo” kata Derald. “Kemana?” tanyaku sambil berdiri. “Ke bawah pohon. Kau mau menunggu sendirian di lapangan ini?” Saat itu juga aku baru sadar orang-orang sudah pergi. “Ya... baiklah.” Sampai di ‘markas’ tempat kami biasa berlatih, aku langsung bersandar pada pohon itu. “Ah.. nyaman sekali” kataku perlahan bersandar. “Tadi itu sangat menyenangkan, seru sekali.. Seandainya kita tidak berdebat, pasti kita bisa menjawab semuanya.” Aku membuka tutup botol minumku dan mulai meminumnya. “Aku sudah mengatakan jawabannya, tapi kau malah bilang jawabanku salah.” Jawabnya. Kami terus bercerita tentang seleksi tadi. Itu memang topik yang bagus untuk saat ini. Sore itu sangat nyaman. Bersandar di bawah pohon,
“Lomba akan diadakan 3 hari lagi. Karena lomba ini diadakan bersamaan dengan Pekan Pramuka, maka kita akan bersama dengan anggota pramuka dan klub sains dari berbagai daerah. Kita juga akan menginap 2 hari 1 malam disana.” Suara kemudian menjadi riuh, padahal kami hanya ber 6. Tapi aku hanya terdiam. Bukannya aku tidak suka jika itu menginap. Masalah terbesarnya berada di orangtuaku. Bagaimana aku akan mendapatkan izin untuk ini?Menginap? Bahkan untuk bermain bersama teman-temanku diluar hari sekolah saja sudah cukup untuk membuat satu rumah terasa kaku dan dingin. Itu terakhir kali terjadi di sekolah dasar. Aku hanya memiliki 72 jam tersisa sampai waktunya tiba nanti. Apa aku harus memicu permasalahan itu lagi? Atau aku harus mundur dari kesempatan ini? Tapi aku benar benar tidak ingin mundur. Ini bukan hanya tentang uang lomba, teman teman, atau Derald. Ini tentang diriku dan kesempatanku untuk berkembang. Aku mungkin tidak akan mendapat kesempatan yang s