Kabar gembira kudapat siang ini. Putusan sidang memenangkanku sebagai pemilik dari rumah dan isinya itu. Setelah mendapat telphone, segeran saja aku menuju rumah mbk Yayuk. Aku turun dari mobil, mbak Yayuk ternyat sedang di teras bersama mbak Nur.Braakk!Tubuhku terdorong menghantam pagar rumah mbak Yayuk. Aku melihat ke belakang, ibu sudah berdiri dengan bencinya menatapku.Mbak Yayuk dan mbak Nur berdiri? Memegangku yang terhuyung hampir jatuh."Bu Ida! Keterlaluan. " Mbak Nur berkacak pinggang kearah ibu. "Untung Sari bisa menopang badannya. Kalau sampai Sari jatuh, ibu bakal l saya ubek-ubek."Gak usah ikut campur Nur! Kalau dia jatuh, bagus lah. Memang itu tujuanku.!"Kuusap perutku pelan. Untungnya tangan ini sempat mmencari pegangangan. Jika tidak. Aku sudah jatuh tengkurap sekarang."Heh Sari, memang betul-betul kurang ajar kamu ya. Lihat, kamu sudah membuat Aldo bertengkar dengan Rani!"Aku menatao wajah ibu dengan amarah. Sejujurnya aku tak suka cara ibu memperlakukanku.
Sejak kejadian perginya Rani, mas Aldo memang selalu menghubungiku. Aku tak pernah menjawab panggilan telphone nya, apa lagi membalas pesannya. Biarkam dia berharap dalam perih. Sama sepertiku mengharapkan kehadirannya dulu saat aku butuh. Bahkan sekarang dia menemuiku di toko sendirian."Pergilah mas, aku tak ada waktu denganmu sekarang!""Tapi Sari, kamu sedang hamil anakku. Anak kita. Tak bisakah aku memberinya perhatian?"Aku ingin tertawa mendengarnya. Dia ingin memberikan perhatian pada anakku." Kamu yakin ini anakmu? Bukankah kemarin kamu bilang aku menjual diri?"Mas Aldo terdiam. Dia menunduk menatap lantai ruangan ini."Pergilah!" Ucapku kasar."Apa salah jika aku hanya menginginkan seorang anak? Apa begitu salah jika aku menuntut anak dalam pernikahan kita?" Dia kembali berucap. Entah kenapa, setiP kali dia bicaran rasanya ingin ku robek mulutnya itu."Kamu tak pernah merasa salah memang mas? Lima tahun menikah, pernah kamu menemaniku periksa kedokter? Menemaniku mencari
Setelah mendengar pernyataan mas Yuda. Aku merasa segan didekatnya. Bahkan sepanjanh perjalanan pulang. Hingga mengantarkan mbak Yayuk kerumahnya, aku lebih banyak diam.Sesekali bersuara saat Aisyah memanggilku dan bertanya sesuatu yang dilihatnya dijalan. Tapi kini, gadis kecil iti tidur di kursi belakang. Aku jadi salah tingkah karena suasana yang hening."Ac nya kurang dingin?" Mas Yuda mengecek suhu AC di depanku."Oh, sudah mas. Sudah dingin. Kenapa?" Tanyaku menatapny."Lho kok tanya balik? Kamu itu yang kenapa, kalau AC menyala, kok keringatmu banyak?"Ah, dia tak tau apa aku sedang gugup."Gak papa mas. Sudah menyetir saja. Jangan membuatku malu"Mas Yuda justru tertawa mendengar kalimatku. "Yaa, aku akan berpura-pura tak tau kamu gugup."Lah, dia menggoda!Aku hanya tersenyum, ingin rasanya mengecil dan sembunyi di balik lubang AC yang dingin.Kami menuju kerumahku. Sampai di rumah, mas Yuda membukakan pintu. Aku melihat mobil yang kukenal di jalan masuk rumah. Itu seperti m
Setelah kedatangan mas Aldo kerumah hari itu. Dia tak pernah lagi menemuiku. Hari-hariku berjalan begitu baik. Ada ibu, Aisyah, mas Yuda, mbak Yayuk dan mbak Nur juga Kania. Kehamilan ini tak terasa sulit untuk aku lalui.Aku tak pernah kerumah lamaku dan mas Aldo. Ibu secara tegas melarangku kesana. Ibu diam-diam mendengar pembicaraan kami saat itu. Dan dengan tanpa kompromi lagi, ibu tak ingin mrlihat wajah mas Aldo ada dalam kehidupan kami.Aku tau rasanya, hatikupun sakit saat bayiku dihina. Seperti itulah hati ibuku saat itu. Kecewa, marah dan sangat terluka. Mendengar sendiri bagaimana aku dihina mantan suamiku.Rumah lamaku dan mas Aldo sudah menjadi taman bermain. Beberapa kali ibu mas Aldo sempat mempersulit proses renovasi. Tapi Arya membantuku menyelesaikan segalanya." bagaimana dengan stroller ini?" Mas Yuda meminta pendapatku."Bagus, lucu juga." Ucapku mengomentari.Aku sedang berbelanja perlengkapan bayi saat ini. Kami sudah membeli hampir semua keperluannya. Hanya tin
Pagi ini aku mengantar sendiri Aisyah kesekolah. Kania libur satu minggu, karena kelas di pakai ujian kakak tingkatnya. Jadilah dia ikut aku ke toko. Aisyah akan pulang di antar bus sekolah setiap siang.Jalanan sedikit macet pagi ini. Aku bahkan tak bisa berjalan cepat di jalur ini. Ada kemacetan panjang hingga ke lampu merah depan."Tumben macet sekali?" Kania bicara sendiri Dia sibuk melihat kedepan, sampai mendongakkan kepalanya. Tetap saja tak ada yang terlihat."Ada kecelakaan ya mbak?" Dia bertanya padaku."Entah. Mbak kan duduk sebelahmu, menyetir lagi. Kok malah kamu tanya?"Dia tersenyum malu. " yaa maaf, siapa tau kan?"Aku menggelengkan kepala heran. Anak ini pintar, juara kelas, bakan sering ikut olimpiade berbagai pelajaran. Tapi kadang-kadang ya, pertanyaanya bikin darah tinggi.Hampir setengah jam lebih kami terjebak. Aku sampai mual dan pusing karena bau mesin. "Hueek...hueekk...,""Kenapa mbak? Duh mual ya?" Kania panik memijat tengkukku dan mengoleskan minyak di ke
Kami pulang kerumah malam. Ibu sejak tadi menelphone ingin kami segera pulang. Tapi tak mau bicara apa yang sebenarnya ibu khawatirkan.Sampai dirumah, ibu bahkan sudah menunggu di teras rumah. "Ada apa bu?" Aku turun lebih dulu. Kania memasukkam mobil ke dalam garasi."Ada tamu." Suara Ibu setengah berbisik."Siapa? Ibu kok khawatir begitu" Aku merasa heran dengan sikap ibu."Bapaknya Aisyah katanya." Ibu menatapku cemas.Dari mana Bapak Aisyah tau rumah ini? "Ibu takut Sari, dari tadi Aisyah dikamar ketakutan. Bapaknya maksa mau ajak Aisyah. Dia bawa teman, wajahnya seram.""Aisyah sudah ketemu?""Tadi dia sama ibu didepan. Dia lihat orangnya datang. Langsung tarik Aisyah. Dia takut, lari kekamar."Aku berjalan kedalam. Ibu membantuku menaiki tangga teras. Hatiku berdebar, bahkan takut. Jika benar Aisyah di ajak pergi, bagaimana aku bisa menahan rindu bila jauh dengannya.Saat aku masuk, seorang pria dengan rambut di ikat kebelakang memandangku dengan sedikit senyuman. Di samping
Kami memutari kota lebih dari dua jam. Hingga hari mulai gelap. Kami mampir kesebuah masjid untuk sholat magrib. Air mataku tumpah tak tertahan. Aku tak akan sanggup jauh dari Aisyah.Jaga anakku ya Allah. Jaga dan lindungi anakku!Kami kembali memutari kota. Ibu sudah menangis sejak tadi. Kepalaku juga semakin berat dan sakit. Lelah memang kurasakan. Namun membayangkan dimana anak itu akan tidur, membuat amarahku memuncak. Tak terima dengan perlakuan mereka pada anakku.Jika sampai sehelai saja rambut anakku terlepas. Akan aku pastikan mereka membayarnya!Mas Yuda menelphoneku saat di jalan. "Assalamualaikum mas"'Waalaikumsalam. Dimana?' Suaranya diseberang jalan nampak juga tegang. 'Aku sudah baca pesanmu. Semuanya baik?'"Aiysah dibawa orang mas!" Akhirnya aku menangis kencang. Rasanya dadaku sesak karena menahan gejolak sejak tadi. 'Dibawa yang katanya Bapaknya?'"Iya. Aku sekarang di depan mall Harmoni mas. Kami sudah memutari seluruh kota. Bagaimana mas, bagaimana kalau Aisyah
Berjuang antara hidup dan mati. Allah buktikan aku mampu melaluinya. Setelah menunggu pembukaan sempurna hingga lewat tengah malam, Bayi mungil ini kini kudekap. Sakit yang kurasakan hilang sudah tak berbekas. Ia sibuk menyusu sekarang, meski belum benar tapi kulihat lelaki kecil ini tak menyerah mencari Asinya.Rambutnya hitam nan tebal, bibirnya merah dengan alis yang nyaris bertaut. Pipinya menyembul seperti mochi yang siap digigit. Mengemaskan.Ibu tak berhenti memelukku, menciumku bahkan mengusap-usap rambut cucu lelakinya ini. Mas Yuda masih setia menemani. Bahkan hari ini, dengan paksaan dia mendesak cuti. Sejak semalam, dia yang paling heboh mengendong saat sikecil menangis. Mungkin karena pernah memiliki bayi, dia pandai sekali membantuku merawat bayiku.Mas Yuda yang meng Azani saat lahir dini hari tadi. Di sudah berperan menjadi Bapak yang luar biasa sebelum waktunya. Sejak bangun, Aisyah selalu mendekati tempat tidur bayi. Dia tak berhenti mengelus-elus pipi adiknya. Gadi